Anda di halaman 1dari 14

DIMENSIA

I. Latar belakang

Demensia merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan berbagai gangguan


fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat
dipengaruhi pada demensia adalah intelegensia umum, belajar, memori, bahasa,
memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan, dan
kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga terpengaruhi. Jika pasien mempunyai
suatu gangguan kesadaran, maka pasien kemungkinan memenuhi kriteria diagnostik
untuk delirium.Di samping itu, suatu diagnosis demensia menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM-IV) mengatakan
bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat
dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.1 Butir klinis
penting dari demensia adalah indentifikasi gejala dan pemeriksaan klinis tentang
penyebabnya. Gangguan mungkin progresif atau statis, permanen atau reversibel.
Suatu penyebab dasar selalu diasumsikan, walaupun pada kasus yang jarang
adalah tidak mungkin untuk menentukan penyebab spesifik. Kemungkinan
pemulihan (reversibilitas) demensia adalah berhubungan dengan patologi dasar
dan ketersediaan serta penerapan pengobatan yang efektif. Diperkirakan 15
persen orang dengan demensia mempunyai penyakit-penyakit yang reversibel
jika dokter memulai pengobatan tepat pada waktunya, sebelum terjadi kerusakan
yang ireversibel.

II. Definisi

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang


disebabkan oleh penyakit otak (organik), yang tidak berhubungan dengan
gangguan tingkat kesadaran. Demensia merujuk pada gejala klinis yang mempunyai
bermacam penyebab. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori
selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian,
bahasa, praksis, dan visuospasial. Penurunan yang terjadi harus cukup berat
sehingga memengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.2 Demensia
mungkin disebabkan oleh penyakit metabolik tertentu, intoksikasi obat, atau
cedera, di mana kasusnya sering reversibel setelah penyebab yang mendasari
diobati. Namun, jika disebabkan oleh suatu penyakit seperti penyakit Alzheimer,
cedera otak, atau degenerasi karena penuaan (pikun), perubahan yang terjadi adalah
ireversibel.3 Walaupun sebagian besar kasus demensia menunjukkan penurunan
yang progresif dan tidak dapat pulih (reversibel), namun bila merujuk pada definisi
diatas maka demensia dapat pula terjadi mendadak (misalnya pasca stroke, atau
cedera kepala), dan beberapa penyebab demensia dapat sepenuhnya pulih
(misalnya hematoma subdural, toksisitas obat, depresi) bila dapat diatasi dengan
cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia berapapun meskipun
umumnya muncul setelah usia 65 tahun.2. Penting pula membedakan demensia
dengan delirium. Delirium merupakan keadaan confusion (kebingungan), biasanya
timbul mendadak, ditandai dengan gangguan memori dan orientasi (sering dengan
konfabulasi) dan biasanya disertai gerakan abnormal, halusinasi, ilusi, dan
perubahan afek. Untuk membedakan dari demensia, pada delirium terdapat
penurunan tingkat kesadaran. Delirium hanya berfluktuasi intensitasnya dan
dapat menjadi demensia bila kelainan yang mendasari tidak teratasi. Penyebab
paling sering delirium 5 meliputi ensefalopati akibat penyakit infeksi, toksik dan
faktor nutrisi, atau penyakit sistemik.2

III. Etiologi

Demensia mempunyai banyak penyebab tetapi demensia tipe Alzheimer dan


demensia vaskular secara bersama-sama berjumlah sebanyak 75 persen dari
semua kasus. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah
penyakit Pick, penyakit Creutz-feldt-Jakob, penyakit Huntington, penyakit
Parkinson, human immunodeficiency virus (HIV), dan trauma kepala.1

3.1 Demensia Tipe Alzheimer

Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak,


namun demnikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam
lingkungan klinis setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari
pertimbangan diagnosis.1 Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih
tidak diketahui, telah terjadi kemajuan dalam mengerti dasar molekular dari deposit
amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi gangguan. Beberapa penelitian
telah menyatakan bahwa sebanyak 40 persen pasien mempunyai riwayat keluarga
menderita demensia tipe Alzheimer, jadi faktor genetic dianggap berperan sebagian
dalam perkembangan gangguan dalam sekurangnya beberapa kasus. Dukungan
tambahan lain adalah bahwa angka persesuaian untuk kembar monozigot adalah
lebih tinggi dari angka untuk kembar dizigot. Dalam beberapa kasus yang telah
tercatat baik gangguan telah ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen
autosomal dominan, walaupun transmisi tersebut adalah jarang.

3.2 Demensia Vaskular

Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral
yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan dulu
disebut sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 6 edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular
paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang
telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan
terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang
mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada
daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah
oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai
contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit
karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.1

3.3 Penyakit Creutzfeldt-Jakob

Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang jarang, yang


disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan
(yaitu, agen infektif), paling mungkin suatu prion, yang merupakan agen
proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau RNA. Penyakit-penyakit lain yang
berhubungan dengan prion adalah scrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu
gangguan degeneratif sistem saraf pusat yang fatal pada suku di dataran tinggi
Guinea dimana prion ditransmisikan melalui kanibalisme ritual), dan sindroma
Gesrtman-Straussler (suatu demensia progresif, familial, dan sangat jarang).
Semua gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan degenerasi
berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak adanya respon imun
inflamasi.1 Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-
Jakob dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea atau
instrumen bedah yang terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit, tampaknya
sporadik, mengenai individual dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode
inkubasi mungkin relatif singkat (satu sampai dua tahun) atau relatif lama (delapan
sampai 16 tahun). Onset penyakit ditandai oleh perkembangan tremor, ataksia
gaya berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya secara cepat progresif
menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6 sampai 12 tahun.
Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak mengungkapkan kelainan, dan
pemeriksaan tomografi komputer dan MRI mungkin normal sampai perjalanan
gangguan yang lanjut. Penyakit ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG)
yang tidak biasa,yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan
tinggi.1

3.5 Penyakit Pick

Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit Alzheimer,


penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah
frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan
adanya badan Pick neuronal yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan
Pick ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk
diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-
kira lima persen dari semua demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering
terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat
pertama dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia tipe
Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh
perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif
bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas,
plasiditas, hiperoralitas) adalah jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan
pada penyakit Alzheimer.1

3.6 Penyakit Huntington

Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan demensia.


Demensia yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia subkortikal,
yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan bicara yang lebih
sedikit dibandingkan tipe demensia kortikal. Demensia pada penyakit Huntington
ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan melakukan tugas yang
kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif utuh pada stadium awal
dan menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia
menjadi lengkap dan ciri yang membedakan penyakit ini dari demensia tipe
Alzheimer adalah tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping gangguan
pergerakan koreoatetoid yang klasik.1

3.7. Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala

Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian juga berbagai
sindroma neuropsikiatrik.

3.8 Penyakit Parkinson

Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada ganglia


basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 sampai 30
persen pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan tambahan 30
sampai 40 persen mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur.
Pergerakan yang lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah disertai
dengan berpikir yang lambat pada beberapa pasien yang terkena, suatu ciri yang
disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia (bradyphenia).1

3.9 Demensia yang berhubungan dengan Infeksi

Dimensia terkait dengan adanya infeksi. Seperti semua agen penyebab infeksi pada
SSP, yaitu dapat berupa bakteri, virus, protozoa, spirochaeta, maupun fungi, yang
dapat secara tunggal atau bersama-sama menyebabkan terjadinya infeksi otak
sebelum berkembangnya demensia. Infeksi dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) seringkali menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya.
Pasien yang terinfeksi dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan
kira-kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma
immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat saat
otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali
disertai oleh tampaknya kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.1

IV. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10
tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan
bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing
individu. Usia harapan hidup pada9 pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah
sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan
bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat.
Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata
angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien
harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga
15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika
terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.4
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang
yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan
gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer,
demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.
Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan
hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun
gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat
menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi
berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan
benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu
agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia
pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien
mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.4 Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga
oleh karena perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada
demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga
berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel
(misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan
tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia
bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer)
hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler)
menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan
trauma kepala).4 Begitu banyak faktor penyebab terjadinya demensia pada
berbagai penyakit yang telah disebut di atas. Apapun sebabnya, semuanya
menyebabkan perubahan psikoneurokimiawi di otak. Secara ringkas bahwa proses
demensia adalah terjadinya perubahan neuro kimiawi yang tersebut dibawah ini :

1. Pengurangan neurotransmitter : asetilkolin, noradrenalin dan metabolitnya,


dopamine, 5 HT

2. Pengurangan amino acid neurotransmitter : Glu., Gly., GABA

3. Pengurangan enzim –enzim : AchE, DOPA decarboksilase, GAD., CAT

4. Pengurangan neuro peptide : somatostatin, dll.

V. Patofisiologi
5.1 Dimensia Alzheimer
Pada penyakit Alzheimer ditemukan hilangnya neuron selektif dan sinaps, adanya
plak neuritis yang mengandung peptida amiloid-β dan neurofibrillary tangles
(NFTs) yang membentuk hiperfosforilasi dari protein tau. Plak neuritik dibentuk
oleh agregasi peptide amiloid-β yang dikelilingi oleh neurit distropi, mikroglia
yang teraktivasi, dan atrosit reaktif. Sedangkan NFTs merupakan buntalan
filamen di dalam sitoplasma sel saraf yang mengelilingi sel saraf. (Querfurth
dkk, 2011; PPK Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia, 2015)

Gambar 1 Plak Amiloid dan Neurofibrillary Tangle

Pada DA yang early-onset ditemukan mutasi gen APP pada kromosom 21, PS1 pada
kromosom 14, dan PS2 pada kromosom 1 yang menyebabkan produksi berlebihan
dan/atau peningkatan agregasi dari Aβ. Dalam pembentukan Aβ, APP dipecah oleh
tiga enzim yaitu α-, β-, dan γ-sekretase. Pemecahan APP oleh β-sekretase
kemudian oleh γ-sekretase menghasilkan Aβ, sebaliknya pemecahan oleh α-
sekretase akan menghasilkan peptida yang bersifat nontoksik. (Querfurth dkk,
2011)

Gambar 2 Patofisiologi Dimensia Alzheimer

Terdapat dua varian terminal karboksil dari Aβ yaitu Aβ40 yang biasa dijumpai
pada cairan serebrospinal sedangkan Aβ42 merupakan komponen utama amyloid
yang berdeposit di otak pada penyakit Alzheimer. Peningkatan Aβ42
menyebabkan akumulasi radikal bebas, disregulasi dari homeostatis sel-sel neuron,
respon inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling pathway. (Querfurth
dkk, 2011) Peranan imunitas alamiah (innate immune system) dalam mediasi
neuroinflamasi pada AD, yang utamanya dibawa oleh mikroglia dan astrosit, saat ini
dipandang sebagai pemegang peranan yang penting dalam pathogenesis penyakit
ini. Selain itu, imunitas adaptif juga memegang peranan penting dalam merespon
cedera pada system saraf pusat (SSP), meskipun efek pada imunitas ini, yang
mayoritas dimediasi oleh sel T dan B, lebih jelas terlihat pada penyakit
neuroinflamasi seperti multiple sclerosis (MS). Pada awal dekade 2000an,
penelitiian tentang penggunaan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
pada pasien dengan MCI dan AD tidak menunjukkan hasil yang bermakna, akan
tetapi faktor neuroinflamasi kini menjadi topik yang ramai dibacarakan karena
penelitian-penelitian terbaru yang menyebutkan tentang peranan sistem imun
alamiah maupun adaptif dalam pathogenesis AD. (Van Eldik dkk, 2016) Dewasa ini
banyak teori yang mengemukakan bahwa pathogenesis DA dan dan
progresivisitasnya tidak hanya merupakan konsekuensi dari disfungsi neuronal,
melainkan juga melibatkan mekanisme neuroinflamasi yang bergantung kepada glia,
dimana mikroglia dan astrosit merupakan sel glia yang utama dalam respon
neuroinflamasi terhadap stressor. Selain itu, makrofag perivaskuler dan sel myeloid
perifer juga berespon terhadap sinyal neuroinflamasi, dan memasuki jaringan
otak yang membutuhkan. Proses neuroinflamasi yang berlebihan pada akhirnya
justru berkontribusi terhadap patologi penyakit. Mikroglia secara tradisional
dianggap sebagai sel yang terutama berperanan dalam mempertahankan jaringan
otak dari cedera, sedangkan astrosit dipandang sebagai penyokong struktur dan
penyedia nutrisi bagi neuron. Pada saat terjadi neuroinflamasi, kedua sel ini
ternyata menunjukkan peranan yang lebih dari yang sudah disebutkan di atas.

A. Mikroglia

Mikroglia berasal dari sel hematopoietik pada yolk sac yang kemudian bertumbuh
menjadi otak selama pertumbuhan fetus. Sel ini juga bersifat self-renewing atau
secara otomatis memperbarui diri sendiri selama usia dewasa individu tersebut.
Sel-sel ini merupakan fagosit pada SSP, dan memiliki banyak kesamaan fungsi
dengan makrofag dan monosit, serta bersifat otonom dari monosit perifer yang
umumnya memang tidak memasuki otak. Pada masa perkembangan, sel-sel
mikroglia membersihkan kelebihan koneksi sinaps dan memodulasi perkembangan
sirkuit yang krusial bagi perkembangan otak. (Colton dan Wilcock, 2010) Pada
otak orang dewasa, mikroglia meregulasi plastisitas sinaps dan remodeling sirkuit
neuronal. Peranan kunci dari mikroglia lainnya adalah peranannya dalam
homeostasis dan sebagai sentinel, yang mengawasi adanya ancaman terhadap
neuron, dan memberikan sinyal untuk respon inflamasi pada saat terjadi intrusi oleh
pathogen. Sel-sel ini juga mungkin berperanan dalam neurogenesis dan
sinaptogenesis, serta membersihkan debris dari hasil apoptosis sel. (Colton dan
Wilcock, 2016) Hal ini penting untuk dipahami, karena AD dimulai saat usia
lanjut dimana proses penuaan sering dihubungkan dengan pathogenesis penyakit ini.
Pada saat terjadi cedera sel, sel mikroglia berubah menjadi fagositik, namun
proses ini mengganggu fungsi mikroglia dalam memonitor aktivitas sinaptik,
sehingga homeostasis neuron menjadi terganggu. Pada otak penderita AD,
mikroglia ditemukan berkumpul di sekitar plak neuritik namun sudah kehilangan
kapasitas fagositiknya dan bahkan mungkin memiliki sifat toksik terhadap
jaringan. (Heppner dkk, 2015; Schafer dan Stevens, 2015) Penting untuk diingat
bahwa DA merupakan suatu proses yang panjang dimana jarak dari deposisi
amiloid-β dengan dengan demensia adalah sekitar 20 tahun. Wilcock dkk
melakukan analisa qPCR untuk marka inflamasi dengan otopsi otak penderita yang
menderita DA tahap awal. Dari dua grup yang diteliti, terdapat peningkatan respon
inflamasi pada satu grup, dan peningkatan komponen makrofag dan proses perbaikan,
dan fibrosis di grup yang lain. Polarisasi ini tidak terlihat pada pasien dengan late-
onset DA. Pada penelitiaan lainnya,ditemukan bahwa pasien dengan gen yang
mengkoding triggering receptor expressed on myeloid cells 2 (TREM2) yang
diekspresikan oleh mikroglia, ternyata meningkatkan risiko DA. (Jonsson dkk,
2013; Lill dkk, 2015)Selain itu, protein transmembrane CD33 lebih banyak
diekspresikan oleh mikroglia pada pasien AD dibandingkan dengan orang normal.
(Griciuc dkk, 2013)

Gambar 3 Peran mikroglia Patofisiologi Dimensia Alzheimer


B. Astrosit

Peranan astrosit dalam patogenesis DA lebih kurang dipahami dibandingkan


dengan peranan mikroglia. Selama bertahun-tahun, astrosit diketahui sebagai sel
yang jumlahnya paling banyak menyusun jaringan otak, dan berfungsi dalam
memberikan nutrisi dan menyokong struktur neuron. Dewasa ini,diketahui bahwa
astrosit juga memiliki peranan dalam neurotransmisi, utamanya glutamatergik. Sel-
sel ini bersifat eksitatorik, mereka berkomunikasi dengan neuron dengan
menerima sinyal dari pelepasan neurotransmitter dan pada gilirannya, melepaskan
molekul-molekul pemberi sinyal (gliotransmitter). Astrosit juga dihubungkan dengan
struktur serebrovaskular melalui proses yang spesial yang dinamakan endfeet.
Struktur endfeet ini hampir seluruhnya menyelubungi pembuluh darah
intraparenkimal dan penting dalam menjaga homeostasis ionic dan osmotik dan
sinyal gliovaskular. Terdapat bukti, bahwa antara astrosit dan mikroglia terdapat
komunikasi bidireksional. Astrosit juga mengalami perubahan seiring dengan
bertambahnya umur, dimana hal ini kemudian mendasari hipotesis keterlibatan
astrosit dalam patofisiologi DA. (Harada dkk, 2015)

Gambar 4 Peran Astrofit Patofisiologi Dimensia Alzheimer

Peranan astrosit dalam neuroinflamasi ditandai dengan meningkatnya produksi


sitokin dan pelepasan molekul pembawa sinyal yang mempengaruhi neuron, baik
secara langsung maupun melalui aktivasi mikroglia. Salah satu jalur yang dianggap
penting dalam pelepasan komplemen C3 oleh astrosit adalah melalui aktivasi
NFkB. Komplemen C3 ini kemudian berikatan dengan reseptor C3aR pada neuron
yang menginduksi kerusakan neuron. Pelepasan molekul CD40 oleh astrosit, yang
berikatan dengan reseptor di permukaan sel mikroglia, juga diketahui
meningkatkan produksi dan pelepasan TNF-α, yang merupakan molekul pro-inflamasi
yang penting. Dengan demikian, muncul teori-teori yang menjadikan reseptor-
reseptor tersebut target terapi yang potensial dalam DA. (Lian dkk, 2015)

5.2 Dimensia Terkait Infeksi


Berbagai agen infeksi, baik bakteri, virus, protozoa, spirochaeta, maupun fungi
pada kondisi tertentu mampu menginfeksi otak melalui berbagai mekanisme
spesifik dengan memanfaatkan berbagai faktor virulensi. Agen infeksi dari
golongan bakteri mengandung lipopolysaccharide (LPS), teichoic
acid,peptidoglycan, dan toksin bakteri yang mampu menginduksi pelepasan
mediator proinflamasi, ekspresi faktor kemotaktik, dan ekspresi molekul adhesi.
Mycobacterium tuberkulosa mampu bertahan hidup didalam makrofag/monosit,
sehingga dapat menyebar secara hematogen ke ekstrapulmoner, termasuk SSP.9
Virus HIV-1 mampu menginfeksi makrofag, mikroglia, dan astrosit, dan mampu
menghasilkan protein toksik seperti gp120 dan Tat.5 Prion protein bentuk
patogenik (PrPSc) memiliki gugusglycosylphosphatidylinositol (GPI) yang
memfasilitasi melekatnya prion protein pada membran sel neuron.13,19
Plasmodium falciparum dalam eritrosit terinfeksi mampu menghasilkan protein
antigenik Plasmodium falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP1)
yangmemediasi terjadinya cytoadherence.14 Toxoplasma gondii mampu membentuk
kista, menembus dinding sel host dan bereplikasi didalam sel host, 16,20 dan
memiliki protein permukaan yang memediasi melekatnya parasit tersebut pada
dinding leukosit dan menyebar ke berbagai organ, termasuk otak.21,22
Cryptococcus neoformans memiliki kapsul polysaccharide sebagai faktor
virulensinya.9 Berbagai karakteristik spesifik yang dimiliki oleh agen infeksi
diatas mampu menginduksi respon inflamasi di otak, yang ditandai dengan
disfungsi sawar darah-otak, terjadinya migrasi sel-sel keradangan ke jaringan
otak, dan peningkatan produksi sitokin proinflamasi di otak. Kondisi tersebut
akan mengaktivasi mikroglia dan astrosit di jaringan otak sehingga terjadi
produksi radikal bebas dan semakin meningkatnya produksi sitokin proinflamasi.
Hasil akhir dari semua proses diatas adalah berlangsungnya proses
neurodegenerasi, suatu proses yang mengarah pada kondisi demensia.5 Bakteri
mampu mencapai otak melalui beberapa cara, antara lain melalui penyebaran
langsung dari fokus infeksi di struktur kranial dan penyebaran yang terjadi
setelah trauma kepala. HIV-1, Toxoplasma gondii, dan Mycobacterium
tuberculosa menggunakan limfosit dan/atau monosit/makrofag untuk mencapai
jaringan otak. Plasmodium falciparum menggunakan mekanisme cytoadherence
untuk dapat menyebabkan patologi di otak. Makrofag/monosit dan mikroglia
merupakan faktor penting dalam neuropatogenesis infeksi SSP, yaitu dengan cara
meningkatkan lalu lintas agen infeksi kedalam SSP dan menjadi reservoir bagi
agen infeksi tersebut.23 Suatu observasi menunjukkan bahwa gejala klinis
demensia terkait infeksi berkorelasi dengan mikroglia yang teraktivasi. 24 Dalam
suatu penelitian diketahui bahwa derajat beratnya demensia terkait infeksi juga
ditentukan oleh jumlah astrosit yang teraktivasi.25 Astrosit mampu menghasilkan
mediator inflamasi penyebab terjadinya disrupsi homeostasis neuronal, sehingga
aktivasi astrosit ikut berkontribusi terhadap terjadinya neuropatologi yang terkait
dengan infeksi SSP.9,25 Saat ini diketahui terdapat dua mekanisme kerusakan
neuron pada infeksi SSP, yaitu neurotoksisitas langsung dan tidak langsung.
Neurotoksisitas langsung diperantarai oleh protein spesifik agen infeksi, misalnya
gp120 dan protein Tat pada infeksi HIV-1. Sedangkan neurotoksisitas tidak
langsung diperantarai oleh faktor -faktor terlarut yang dilepaskan oleh makrofag
dan mikroglia yang terinfeksi dan/atau teraktivasi, seperti quinolinic acid, TNF-
α, ROS, dan berbagai macam sitokin. 26 Kerusakan neuron tersebut selanjutnya
mencetuskan terjadinya disfungsi dan kematian sel neuron dan glia. 24 Mediator
proinflamasi juga mengganggu ambilan glutamat oleh astrosit, sehingga terjadi
aktivasi reseptor NMDA dan stres oksidatif. Indikator patologis dari kerusakan
dan kematian neuron berhubungan erat dengan terdapatnya makrofag dan
mikroglia yang teraktivasi. 27 Peran deposisi Aβ dalam patogenesis demensia
terkait infeksi telah dibuktikan oleh beberapa penelitian, misalnya pada infeksi
HIV-1, virus herpes simpleks, prion protein bentuk patogenik (PrPSc),
Treponema pallidum, dan Borrelia burgdoferi. Suatu penelitian menunjukkan
bahwa pembentukan plak Aβ prevalensinya secara signifikan lebih besar pada
kelompok yang terinfeksi HIV-1 dibandingkan dengan kontrol.28 Observasi
terakhir juga menunjukkan bahwa Treponema pallidum dan Borrelia burgdoferi
mengandung protein amiloidogenik. 18 Virus herpes simpleks juga diketahui
mampu meningkatkan deposisi Aβ dan fosforilasi protein tau, sehingga virus ini
dianggap sebagai faktor resiko untuk terjadinya penyakit Alzheimer.12

Gambar 5 Patofisiologi infeksi otak oleh agen infeksi

Gambar 6 Peran respon inflamasi terhadap terjadinya


gangguan fungsi kognitif

Anda mungkin juga menyukai