I. Latar belakang
II. Definisi
III. Etiologi
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral
yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan dulu
disebut sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 6 edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular
paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang
telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan
terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang
mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada
daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah
oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai
contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit
karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.1
Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian juga berbagai
sindroma neuropsikiatrik.
Dimensia terkait dengan adanya infeksi. Seperti semua agen penyebab infeksi pada
SSP, yaitu dapat berupa bakteri, virus, protozoa, spirochaeta, maupun fungi, yang
dapat secara tunggal atau bersama-sama menyebabkan terjadinya infeksi otak
sebelum berkembangnya demensia. Infeksi dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) seringkali menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya.
Pasien yang terinfeksi dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan
kira-kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma
immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat saat
otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali
disertai oleh tampaknya kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.1
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10
tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan
bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing
individu. Usia harapan hidup pada9 pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah
sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan
bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat.
Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata
angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien
harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga
15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika
terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.4
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang
yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan
gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer,
demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.
Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan
hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun
gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat
menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi
berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan
benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu
agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia
pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien
mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.4 Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga
oleh karena perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada
demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga
berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel
(misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan
tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia
bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer)
hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler)
menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan
trauma kepala).4 Begitu banyak faktor penyebab terjadinya demensia pada
berbagai penyakit yang telah disebut di atas. Apapun sebabnya, semuanya
menyebabkan perubahan psikoneurokimiawi di otak. Secara ringkas bahwa proses
demensia adalah terjadinya perubahan neuro kimiawi yang tersebut dibawah ini :
V. Patofisiologi
5.1 Dimensia Alzheimer
Pada penyakit Alzheimer ditemukan hilangnya neuron selektif dan sinaps, adanya
plak neuritis yang mengandung peptida amiloid-β dan neurofibrillary tangles
(NFTs) yang membentuk hiperfosforilasi dari protein tau. Plak neuritik dibentuk
oleh agregasi peptide amiloid-β yang dikelilingi oleh neurit distropi, mikroglia
yang teraktivasi, dan atrosit reaktif. Sedangkan NFTs merupakan buntalan
filamen di dalam sitoplasma sel saraf yang mengelilingi sel saraf. (Querfurth
dkk, 2011; PPK Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia, 2015)
Pada DA yang early-onset ditemukan mutasi gen APP pada kromosom 21, PS1 pada
kromosom 14, dan PS2 pada kromosom 1 yang menyebabkan produksi berlebihan
dan/atau peningkatan agregasi dari Aβ. Dalam pembentukan Aβ, APP dipecah oleh
tiga enzim yaitu α-, β-, dan γ-sekretase. Pemecahan APP oleh β-sekretase
kemudian oleh γ-sekretase menghasilkan Aβ, sebaliknya pemecahan oleh α-
sekretase akan menghasilkan peptida yang bersifat nontoksik. (Querfurth dkk,
2011)
Terdapat dua varian terminal karboksil dari Aβ yaitu Aβ40 yang biasa dijumpai
pada cairan serebrospinal sedangkan Aβ42 merupakan komponen utama amyloid
yang berdeposit di otak pada penyakit Alzheimer. Peningkatan Aβ42
menyebabkan akumulasi radikal bebas, disregulasi dari homeostatis sel-sel neuron,
respon inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling pathway. (Querfurth
dkk, 2011) Peranan imunitas alamiah (innate immune system) dalam mediasi
neuroinflamasi pada AD, yang utamanya dibawa oleh mikroglia dan astrosit, saat ini
dipandang sebagai pemegang peranan yang penting dalam pathogenesis penyakit
ini. Selain itu, imunitas adaptif juga memegang peranan penting dalam merespon
cedera pada system saraf pusat (SSP), meskipun efek pada imunitas ini, yang
mayoritas dimediasi oleh sel T dan B, lebih jelas terlihat pada penyakit
neuroinflamasi seperti multiple sclerosis (MS). Pada awal dekade 2000an,
penelitiian tentang penggunaan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
pada pasien dengan MCI dan AD tidak menunjukkan hasil yang bermakna, akan
tetapi faktor neuroinflamasi kini menjadi topik yang ramai dibacarakan karena
penelitian-penelitian terbaru yang menyebutkan tentang peranan sistem imun
alamiah maupun adaptif dalam pathogenesis AD. (Van Eldik dkk, 2016) Dewasa ini
banyak teori yang mengemukakan bahwa pathogenesis DA dan dan
progresivisitasnya tidak hanya merupakan konsekuensi dari disfungsi neuronal,
melainkan juga melibatkan mekanisme neuroinflamasi yang bergantung kepada glia,
dimana mikroglia dan astrosit merupakan sel glia yang utama dalam respon
neuroinflamasi terhadap stressor. Selain itu, makrofag perivaskuler dan sel myeloid
perifer juga berespon terhadap sinyal neuroinflamasi, dan memasuki jaringan
otak yang membutuhkan. Proses neuroinflamasi yang berlebihan pada akhirnya
justru berkontribusi terhadap patologi penyakit. Mikroglia secara tradisional
dianggap sebagai sel yang terutama berperanan dalam mempertahankan jaringan
otak dari cedera, sedangkan astrosit dipandang sebagai penyokong struktur dan
penyedia nutrisi bagi neuron. Pada saat terjadi neuroinflamasi, kedua sel ini
ternyata menunjukkan peranan yang lebih dari yang sudah disebutkan di atas.
A. Mikroglia
Mikroglia berasal dari sel hematopoietik pada yolk sac yang kemudian bertumbuh
menjadi otak selama pertumbuhan fetus. Sel ini juga bersifat self-renewing atau
secara otomatis memperbarui diri sendiri selama usia dewasa individu tersebut.
Sel-sel ini merupakan fagosit pada SSP, dan memiliki banyak kesamaan fungsi
dengan makrofag dan monosit, serta bersifat otonom dari monosit perifer yang
umumnya memang tidak memasuki otak. Pada masa perkembangan, sel-sel
mikroglia membersihkan kelebihan koneksi sinaps dan memodulasi perkembangan
sirkuit yang krusial bagi perkembangan otak. (Colton dan Wilcock, 2010) Pada
otak orang dewasa, mikroglia meregulasi plastisitas sinaps dan remodeling sirkuit
neuronal. Peranan kunci dari mikroglia lainnya adalah peranannya dalam
homeostasis dan sebagai sentinel, yang mengawasi adanya ancaman terhadap
neuron, dan memberikan sinyal untuk respon inflamasi pada saat terjadi intrusi oleh
pathogen. Sel-sel ini juga mungkin berperanan dalam neurogenesis dan
sinaptogenesis, serta membersihkan debris dari hasil apoptosis sel. (Colton dan
Wilcock, 2016) Hal ini penting untuk dipahami, karena AD dimulai saat usia
lanjut dimana proses penuaan sering dihubungkan dengan pathogenesis penyakit ini.
Pada saat terjadi cedera sel, sel mikroglia berubah menjadi fagositik, namun
proses ini mengganggu fungsi mikroglia dalam memonitor aktivitas sinaptik,
sehingga homeostasis neuron menjadi terganggu. Pada otak penderita AD,
mikroglia ditemukan berkumpul di sekitar plak neuritik namun sudah kehilangan
kapasitas fagositiknya dan bahkan mungkin memiliki sifat toksik terhadap
jaringan. (Heppner dkk, 2015; Schafer dan Stevens, 2015) Penting untuk diingat
bahwa DA merupakan suatu proses yang panjang dimana jarak dari deposisi
amiloid-β dengan dengan demensia adalah sekitar 20 tahun. Wilcock dkk
melakukan analisa qPCR untuk marka inflamasi dengan otopsi otak penderita yang
menderita DA tahap awal. Dari dua grup yang diteliti, terdapat peningkatan respon
inflamasi pada satu grup, dan peningkatan komponen makrofag dan proses perbaikan,
dan fibrosis di grup yang lain. Polarisasi ini tidak terlihat pada pasien dengan late-
onset DA. Pada penelitiaan lainnya,ditemukan bahwa pasien dengan gen yang
mengkoding triggering receptor expressed on myeloid cells 2 (TREM2) yang
diekspresikan oleh mikroglia, ternyata meningkatkan risiko DA. (Jonsson dkk,
2013; Lill dkk, 2015)Selain itu, protein transmembrane CD33 lebih banyak
diekspresikan oleh mikroglia pada pasien AD dibandingkan dengan orang normal.
(Griciuc dkk, 2013)