Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demensia adalah berkurangnya kognisi pada tingkat kesadaran yang stabil.1
Demensia merupakan jenis penyakit tidak menular, tetapi mempunyai dampak
yang membahayakan bagi fungsi kognitif lansia.
Prevalensi demensia terhitung mencapai 35,6 juta jiwa di dunia. Deklarasi
Kyoto menyatakan tingkat prevalensi dan insidensi demensia di Indonesia menempati
urutan keempat setelah China, India, dan Jepang (Alzheimer’s Disease International,
2006). Data demensia di Indonesia pada lanjut usia (lansia) yang berumur 65 tahun ke
atas adalah 5% dari populasi lansia (Tempo, 2011).
Demensia terjadi karena adanya gangguan fungsi kognitif. Fungsi kognitif
merupakan proses mental dalam memperoleh pengetahuan atau kemampuan
kecerdasan, yang meliputi cara berpikir, daya ingat, pengertian, serta pelaksanaan.
Bertambahnya usia secara alamiah menyebabkan seseorang akan mengalami
penurunan fungsi kognitif, yang sangat umum dialami lansia adalah berkurangnya
kemampuan mengingat sehingga lansia menjadi mudah lupa. Berkurangnya fungsi
kognitif pada lansia merupakan manifestasi awal demensia.
Ada beberapa dampak jika fungsi kognitif pada lansia demensia tidak diperbaiki.
Dampak tersebut yaitu menyebabkan hilangnya kemampuan lansia untuk mengatasi
kehidupan sehari-hari (Hutapea, 2005). Demensia juga berdampak pada pengiriman
dan penerimaan pesan. Dampak pada penerimaan pesan, antara lain: lansia mudah
lupa terhadap pesan yang baru saja diterimanya; kurang mampu membuat koordinasi
dan mengaitkan pesan dengan konteks yang menyertai; salah menangkap pesan; sulit
membuat kesimpulan. Dampak pada pengiriman pesan, antara lain: lansia kurang
mampu membuat pesan yang bersifat kompleks; bingung pada saat mengirim pesan;
sering terjadi gangguan bicara; pesan yang disampaikan salah.
Upaya yang dapat dilakukan oleh tenaga keperawatan untuk mencegah penurunan
fungsi kognitif pada lansia demensia yaitu dengan terapi kolaboratif farmakologis dan
terapi non farmakologis. Terapi kolaboratif farmakologis yaitu donezepil, galatamine,
rivastigmine, tetapi masing-masing obat tersebut memiliki efek samping. Terapi non

1
farmakologis antara lain: terapi teka teki silang; brain gym; puzzle; dan lain-lain.
Terapi non farmakologis ini tidak memiliki efek samping.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Demensia
A. Definsi Demensia
Definisi demensia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa edisi ke III (PPDGJ –III) menyatakan bahwa demensia merupakan suatu
sindrom yang diakibatkan oleh penyakit atau gangguan otak yang biasanya
bersifat kronikprogresif dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang
multipel (multiple higher cortical function) termasuk di dalamnya daya ingat,
daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung, kemampuan
belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgement). Demensia umumnya disertai dan
ada kalanya diawali dengan kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian
emosi, perilaku sosial, atau motivasi hidup.2

B. Epidemiologi
Demensia sebenarnya penyakit penuaan. Di antara orang Amerika yang
berusia 60 tahun, kira-kira 5% mengalami demensia berat dan 15% mengalami
demensia ringan. Pada usia > 80 tahun sekitar 20% mengalami demensia berat.
50-60% pasien demensia mengalami demensia tipe Alzheimer yang merupakan
demensia tipe tersering. Lebih dari 2 juta orang dengan demensia dirwat di rumah.
Faktor resiko terjadinya demensia tipe Alzheimer meliputi wanita, memiliki “first
degree relative” dengan penyakit tersebut, dan memiliki riwayat trauma kepala.
Sindrom Down juga berhubungan dengan terjadinya demensia tipe Alzheimer.
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia.
Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya
mencapai 20 hingga 40 persen. Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50
hingga 60 persen diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering
dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi
demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang
yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen

3
pada 21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari
50 persen perawatan rumah (nursing home bed).

C. Etiologi
Demensia memiliki banyak penyebab namun demensia tipe Alzheimer dan
vaskular mencakup 75% kasus.
1. Demensia Alzheimer
Diagnosis pasti demensia Alzheimer ini diperoleh dengan pemeriksaan
neuropatologi, namun umumnya didiagnosis setelah penyebab-penyebab
demensia lain yang tersingkirkan dengan pemeriksaan klinis.
2. Demensia Vaskular
Demensia vaskular diduga akibat penyakit vaskular serebral yang bersifat
multipel. Demensia vaskular umumnya terjadi pada pria, khususnya mereka yang
memiliki hipertensi atau faktor resiko penyakit kardiovaskular.
3. Penyakit Pick.
Pada penyakit Pick ditemukan adanya atrofi pada regio frontotemporal yang
luas. Penyebab penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini terjadi sebanyak 5%
dari total jumlah demensia ireversibel dan banyak terjadi pada pria.
4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob.
Merupakan penyakit degeneratif otak yang jarang. Disebabkan oleh agen yang
progresif secara lambat dan ditransmisikan, paling mungkin suatu prion, yang
merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau RNA.
5. Penyakit Huntington.
Demensia pada penyakit Huntington memperlihatkan gerakan motorik yang
lambat, namun memori dan bahasa relatif intak pada stadium awal penyakit.
Demensia pada penyakit huntington yang berat didapatka depresi dan psikosis
yang tinggi serta didapatkan gerakan koreoartetoid yang klasik.

6. Penyakit Parkinson.

4
Terjadi akibat adanya gangguan pada ganglia basalis dan umumnya
berhubungan dengan demensia dan depresi. Gerakan motorik yang lambat pada
penyakit parkinson disertai juga dengan kemampuan berpikir yang lambat.
Lewy’s Body merupakan demensia yang menyerupai alzheimer dan ditandai
halusinasi. Manifestasinya biasanya selain halusinasi ada perbincangan selama
masa pertumbuhan.
7. Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala.
Demensia dapat merupakan suatu penyakit dari trauma kepala, demikian juga
berbagai sindrom neuropsikiatrik.

D. Patogenesis Demensia
Porsi tertentu dari suatu fungsi intelektual dikontrol oleh batasan region dari
cerebrum. Penurunan memori adalah gejala utama dari demensia dan mungkin
terjadi bersamaan dengan penyakit yang luas pada beberapa bagian yang berbeda
di cerebrum. Keutuhan bagian-bagian tertentu dari diencephalon dan bagian
inferomedial dari globus temporal adalah dasar dari kuatnya suatu memori. Pada
hal yang sama, penurunan fungsi bahasa diasosiasikan secara spesifik dengan
penyakit yang menyerang hemisfer cerebrum khsusunya bagian perisylvian dari
frontal, temporal dan globus parietal. Kemampuan dalam membaca dan
menghitung yang menurun atau bahkan menghilang dihubungkan dengan lesi
pada bagian posterior dari hemisfer serebral bagian kiri (dominan). Kemampuan
dalam menggunakan alat atau apraxia yang menurun atau bahkan menghilang
berhubungan dengan menghilangnya jaringan pada bagian parietal yang dominan.
Penurunan dalam menggambar ataupun konstruksi figur yang simpel dan
kompleks dapat dilihat dengan lesi pada globus parietal dengan bagian kanan
yang lebih sering dibandingkan bagian kiri. Masalah mengenai tingkah laku dan
stabilitas personality umumnya berhubungan dengan degenerasi lobus frontal.
Hasil gambaran klinis dari penyakit cerebral bergantung pada tingkat lesi,
banyaknya jaringan cerebral yang rusak dan bagian-bagian dari otak yang
menanggung beban dari perubahan patologis.
E. Gambaran Klinik

5
Demensia memiliki beberapa gambaran klinis antara lain sebagai berikut:
1. Gangguan Memori
2. Orientasi
3. Afasia
4. Apraksia
5.Agnosia
6. Gejala psikotik
7. Perubahan kepribadian
8. Gangguan lainya
F. Klasifikasi
Klasifikasi demensia menurut PPDGJ II sebagai berikut:
1. Demensia pada penyakit Alzheimer
a) Demensia pada penyakit Alzheimer onset dini
b) Demensia pada penyakit Alzheimer onset lambat
c) Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran
d) Demensia pada penyakit Alzheimer YTT
2. Demensia vaskuler
a) Demensia vaskuler onset akut
b) Demensia multi-infark
c) Demensia vaskuler subkortikal
d) Demensia vaskuler campuran kortikal dan subkortikal
e) Demensia vaskuler lainnya
f) Demensia vaskuler YTT
3. Demensia Pada Penyakit Lain YDK
a) Demensia pada penyakit Pick
b) Demensia pada penyakit Cruetzfeldt-Jakob
c) Demensia pada penyakit Huntington
d) Demensia pada penyakit parkinson
e) Demensia pada penyakit HIV
f) Demensia pada penyakit lainnya YDT YDK
4. Demensia YTT

6
G. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis menurut PPDG III:
DEMENSIA
Pedoman Diagnostik

 Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai
menganggu kegiatan harian seseorang ( personal activites of daily living )
seperti : mandi, berpakaian , makan kebersihan diri ,buang air besar dan
kecil.
 Tidak ada gangguan kesadaran ( clear consciousness)
 Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan .

1. DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

Pedoman Diagnostik

 Terdapat gejala demensia


 Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat.
 Onset biasa nya sulit ditentukan waktunya yang persis , tiba-tiba orang lain
sudah menyadari ada nya kelaianan tersebut . Dalam perjalanan
penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata .
 Tidak adanya bukti klinis , atau temuan dari pemeriksaan khusus, yang
menyatakan bahwa kondisi mental itu disebabkan oleh penyakit otak atau
sistemik lain yang dapat menimbulkan demensia ( misalnya
hipotiroidisme,hiperkalsemia,definisi vitamin B12 , definisi niasin,
neurosifilis , hidrosefalus bertekanan normal, atau hematoma subdural).
 Tidak adanya serangan apopletik mendadak atau gejala neurologic
kerusakan otak otak local seperti hipeparesis, hilang nya daya sensorik ,
defek lapangan pandang mata , dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa
dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini di kemudian hari dapat
bertumpang tindih).

7
2. Demensia Pada Penyakit Alzheimer Onset Dini

Pedoman Diagnostik

 Demensia yang onset nya sebelum 65 tahun.


 Perkembangan gejala cepat dan progresif (deteriorasi)
 Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit Alzheimer merupakan faktor
yang menyokong diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi.

3. Demensia Vaskular

Pedoman Diagnostik

 Terdapatnya gejala demensia


 Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata ( mungkin terdapat
hendaya daya ingat , gangguan daya pikir gejala neurologis fokal). Daya
titik dari (insight) dan daya nilai (judgment) secara relative teta baik .
 Suatu onset yang emndadak atau deteriorasi yang bertahap disertai dengan
neurologis fokal , meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia
vascular. Pada beberapa kasus , penetapan hanya dapat dilakukan dengan
pemeriksaan CT-Scan atau pemeriksaan neuro patologis.

4. Demensia Pada Penyakit lain YDK

a. Demensia pada penyakit Pick

Pedoman Diagnostik

 Adanya gejala demensia yang progresif


 Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang
menonjol , diserta euphoria ,emosi tumpul dan prilaku social yang kasar ,
disinhibisi , dan apatis serta gelisah
 Menifestasi gangguan prilaku pada umumnya mendahului gangguan daya
ingat.

8
b. Demensia Pada Penyakit Creustzfeldt – Jacob

Pedoman Diagnostik

 Trias yang snagat mengarah pada diagnosis penyakit ini :


- Demsia yang progresif merusak
- Penyakit pyramidal dan ekstrapiramidal dengan mioklonus
- Elektroensefalogram yang khas (trifasik)

c. Demensia Pada Penyakit Huntington

Pedoman Diagnostik

 Ada kaitan antara gangguan gerakan keiroform (Choreiform) demensia,


dan riwayat keluarga dengan penyakit Huntington.
 Gerakan koreiform yang involunter , terutama pada wajah tangan dan bahu
atau cara berjalan yang khas , merupakan menifestasi dini dari gangguan
ini . gejala ini biasanya mendahului gejala demensia , jarang sekali gajala
dini tersebut tak muncul sampai demnsia menjadi sangat lanjut
 Gejala demensia ditandai dengan gangguan funsi lobus frontalis pada
tahap dini , dengan daya ingat relative masih terpelihara , sampai saat
selanjutnya.

5. Demensia YTT

Pedoman Diagnistik

 Kategori ini digunakan bila criteria umum untuk diagnostic demensia


terpenuhi , tetapi tidak mungkin didentifikasi pada salh satu tipe tertentu

Diagnosis demensia berdasarkan DSM IV terdiri dari:


Kriteria diagnosis demensia tipe alzheimer.
A. Adanya gangguan kognitif yang multupel dengan manifestasi
1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk mengingat informasi baru dan
memanggil kembali informasi lama)

9
2. Satu atau lebih gangguan kognitif berikut:
a. Afasia atau gangguan bahasa
b. Apraksia atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik
walaupun fungsi motorik adalah utuh
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengindentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik adalah utuh
d. Gangguan dalam fungsi eksekutif (seperti perencanaan, perorganisasian,
berpikir abstrak)
B. Gangguan fungsi kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masingmasing
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan
menunjukan suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya
C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan kognitif
yang terus-menerus
D. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 bukan karena salah satu dari berikut:
a. Kondisi sistem saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progesif dalam
daya ingat dan kognisi (misalnya penyakit cerebrovaskular, parkinson,
huntington, hematosubdural, hidrocephalus tekanan normal, tumor otak)
b. Penyakit sistemik yang diketahui menyebabkan demensia (misalnya
hipotiroidisme, def. Vit. B12, asam folat, def. Niacin, hiperkalsemia,
neurosiphilis, infeksi HIV)
c. Kondisi akibat zat.
E. Defisit tidak terjadi semata-mata selama suatu perjalanan delirium.
F. Gangguan tidak lebih baik diperankan oleh gangguan aksis 1 lainnya (misalnya
gangguan depresif berat, skizofrenia)
Kriteria diagnosis demensia vaskular
A. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya peninggian refleks tendon dalam,
respon ekstensor plantar, palsi pseudobulbar, kelainan gaya berjalanan, kelemahan
pada satu ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium indikatif untuk
cerebrovaskular (misalnya infark multipel yang mengenai korteks dan substansia
putih dibawahnya) yang dianggap berhubungan secara etiologi dengan gangguan.
B. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium.

10
Kriteria diagnosis demensia karena kondisi medis umum lain
Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari kondisi medis.

Kriteria diagnosis demensia menetap akibat zat


A. Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu delirium dan
menetap melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus zat. B. Terdapat
bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau penemuan laboratorium
bahwa defisit secara etiologis berhubungan dengan efek menetap dari pemakaian
zat (misalnya obat yang disalah gunakan, medikasi)

Kriteria diagnosis demensia karena penyebab multipel


A. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau penemuan
laboratorium bahwa gangguan memiliki lebih dari satu penyebab (misalnya
trauma kepala kepala ditambah penggunaan alkohol kronis, demensia tipe
alzheimer dengan perkembangan demensia vaskular selanjutnya).
B. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium.

Kriteria diagnosis demensia yang tidak ditentukan


Kategori ini digunakan untuk mendiagnosis demensia yang tidak memenuhi
kriteria tipe spesifik yang dijelaskan dalam bagian ini. Sebagai contoh yaitu
manifestasi klinis demensia dimana terdapat kekurangan bukti-bukti untuk
menegakkan penyebab spesifik.
Dalam menegakkan diagnosis klinis dari demensia dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Anamnesis
a. Riwayat medis umum
b. Riwayat neurologis
c. Riwayat gangguan kognitif

11
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang yang
meliputi:
- Gangguan orientasi orang, waktu dan tempat
- Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran, menyebut maupun gangguan
komprehensif)
- Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan
suatu aktifitas)
- Gangguan praksis dan visuospasial.
d. Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian
e. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
f. Riwayat keluarga
g. Pemeriksaan objektif
2 Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan umum
b. Pemeriksaan neurologis
c. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa,
kalkulasi, praksis, visuospasial dan visuoperceptual. Mini Mental State
Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan awal
yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas
pengobatan dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE
adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita dengan
nilai MMSE kurang atau dibawah dari 27 terutama pada golongan berpendidikan
tinggi. Pemeriksaan aktifitas harian dengan pemeriksaan Activity of Daily Living
(ADL) dan instrumental Activity of Daily Living (IADL) dapat pula dilakukan.
Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi olehtingkat pendidikan, sosial dan budaya
(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Contoh tabel peneliaian MMSE
Nama Pasien:………………..(Lk/ r )
Umur:………………Pendidikan……...........……Pekerjaan:........…………

12
Riwayat Penyakit: Stroke( ) DM( ) Hipertensi( ) Peny.Jantung( ) Peny.
Lain…................…………………..

Pemeriksa:…………………………….. Tgl ………………


Item Tes Nilai. Nilai
mask

Orientasi

1. Sekarang (tahun), (musim),(bulan),(tanggal), hari apa? 5 --

2. 5 --
Kita berada dimana? (negara), (provinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar)

Registrasi

3.
Sebutkan 3 buah nama benda (jeruk,uang,mawar), tiap benda 1 detik, pasien disuruh
mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi 3 --
sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan.

Atensi dan kalkulasi

Kurang 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5
4. 5 --
jawaban. Atau disuruh mengeja terballik kata “WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang
benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 niali)

Mengingat kembali (ree call)

5. Pasien disuruh menyebutkan kembali 3 nama benda diatas 3 --

Bahasa

6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang di tunjukkan (pensil dan arloji) 2 --

7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata “tanpa, kalau, dan, atau, tetapi” 1 --

Pasien diminta melakukan perintah “ambil kertas ini dengan tangan kanan, lipatlah

13
8. menjadi dua dan letakkan di lantai” 3 --

Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “angkatlah tangan kiri anda”

9. 1 --

Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan)

10. 1 --

Pasien diminta meniru gambar dibawah ini

11.

1 --

Skor total 30

Penilaian MMSE;

Tabel interpretasi Skor MMSE. Skor MMSE pada pasien didapatkan 18


merupakan skor yang abnormal. Terjadi peningkatan kemungkinan menderita
demensia pada pasien. Menilik dari tingkat pendidikan pasien yang merupakan
lulusan SD, skor MMSE yang didapatkan adalah abnormal.
Skor di bawah 24 biasanya mengindikasikan adanya hendaya kognitif.
24-30 (normal)
17-23 (probable)

14
< 16 (definitif)
Atau
25-30 (normal)
< 9 (gangguan berat)
21-24 (gangguan ringan)
10-20 (gangguan sedang)

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
b. Pemeriksaan pencitraan otak
c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
d. Pemeriksaan Genetika Apolipoprotein E (APOE)

H. Diagnosa Banding
a. Delirium

b. Depresi

c. Gangguan Buatan

d. Skizofrenia

I. Tatalaksana
Perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarga dan
pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik. Selain itu diperlukan
pemeliharaan kesehatan fisik seperti kebersihan pasien, lingkungan yang
mendukung. Untuk demensia vaskuler, faktor resiko yang berperan pada penyakit
kardiovaskular harus diidentifikasi dan terapi. Contohnya faktor hipertensi,
obesitas, diabetes. Kebiasaan merokok juga harus dihentikan.
1. DONEPEZIL
Donepezil bermanfaat dalam terapi penurunan kognisi pada pasien demensia
alzaimer. Donepezil 10 mg lebih efektif dibandingkan dengan Donepezil 5 mg

15
dan plasebo dalam hal perubahan dari dasar pada Alzheimer disease Assessment
Scale-Cognition (ADAS-Cog).
Indikasi

Untuk demensia ringan sampe berat.

Farmakodinamik
Donepezil adalah inhibitor asetil kolinesterase yang bertindak terbalik secara
terpusat. Penggunaan utamanya adalah dalam pengobatan penyakit Alzheimer di
mana ia digunakan untuk meningkatkan asetilkolin kortikal. Sebuah fitur
patofisiologi awal penyakit Alzheimer yang berhubungan dengan kehilangan
memori dan defisit kognitif adalah kekurangan asetilkolin sebagai akibat dari
hilangnya selektif neuron kolinergik di korteks serebral, basalis nukleus, dan
hipokampus.
Donepezil dipostulasikan untuk mengerahkan efek terapeutiknya dengan
meningkatkan fungsi kolinergik. Ini dicapai dengan meningkatkan konsentrasi
asetilkolin melalui penghambatan reversibel hidrolisisnya oleh asetilkolinesterase.
Jika mekanisme tindakan yang diusulkan ini benar, efek donepezil dapat
berkurang seiring berkembangnya penyakit dan lebih sedikit neuron kolinergik
yang secara fungsional masih utuh.
Mekanisme
Donepezil adalah turunan piperidin yang merupakan inhibitor
acetylcholinesterase yang aktif dan aktif di pusat. Obat ini secara struktural tidak
berhubungan dengan agen antikolinesterase lainnya. Mekanisme aksi yang
diusulkan Donepezil melibatkan penghambatan cholinesterases yang reversibel
(mis. Asetilkolinesterase), yang mencegah hidrolisis asetilkolin, dan mengarah
pada peningkatan konsentrasi asetilkolin pada sinapsis kolinergik. Bukti
menunjukkan bahwa aktivitas antikolinesterase dari donepezil relatif spesifik
untuk acetylcholinesterase di otak.
Absobsi
Donepezil diserap dengan baik, bioavailabilitas oral relatif dari 100% dan
mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 3 sampai 4 jam.

16
Metabolisme Dihati
Rute Eliminasi di eksresikan di urin

2. RIVASTIGMIN
Rivistagmin adalah inhibitor kolinesterase yang menghambat
butyrylcholinesterase dan acetylcholinesterase. Rivastigmine bermanfaat untuk
demensia alzaimer pada dosis lebih tinggi (6–12 mg/hari). Meta analisis dari 2
buah RCT (durasi 26 minggu) menunjukkan perbedaan signifikan untuk
rivastigmine 6-12 mg/hari dibandingkan plasebo dengan menggunakan ADAS-
cog.

17
The Investigation of transdermal Exelon in Alzheimers disease (IDEAL) study
menemukan bahwa rivastigmine patch 17.4 mg (20cm2 /24 jam) dan 9.5 mg (10
cm2 /24jam) menunjukan efikasi yang sama dengan kapsul (6 mg dua kali sehari).
Meski demikian target dosis tidak tercapai pada sebagian besar pasien dan
perbandingan dosis yang efektif adalah 9 mg/hari (kapsul). Pada studi ini semua
grup rivastigmine bila dibandingkan dengan plasebo menunjukkan perbaikan
signifikan secara statistik pada ADAS-cog setelah 24 minggu. Bila dibandingkan
dengan kapsul, Patch 9.5 mg hanya menghasilkan efek samping 2/3 lebih sedikit
berupa mual dan muntah. Meski demikian patch 17.4 mg menunjukkan
tolerabilitas yang sama dengan kapsul. Tolerabilitas kulit baik (>90% tidak
mengalami atau hanya iritasi kulit ringan).
Indikasi

Untuk demensia ringan sampai berat, demensia tipe alzaimer, dan semensia
dengan parkinson.

Farmakodinamik
Rivastigmine adalah parasympathomimetic dan inhibitor cholinesterase
reversibel. Sebuah ciri patofisiologi awal penyakit Alzheimer yang berhubungan
dengan kehilangan memori dan defisit kognitif adalah kekurangan asetilkolin
sebagai akibat dari hilangnya selektif neuron kolinergik di korteks serebral,
basalis nukleus, dan hipokampus. Tacrine didalilkan untuk mengerahkan efek
terapeutiknya dengan meningkatkan fungsi kolinergik. Sementara mekanisme
yang tepat dari tindakan rivastigmine tidak diketahui, itu dipostulasikan untuk
mengerahkan efek terapeutiknya dengan meningkatkan fungsi kolinergik. Ini
dicapai dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin melalui penghambatan
reversibel hidrolisisnya oleh cholinesterase. Jika mekanisme yang diusulkan ini
benar, efek rivastigmine dapat berkurang seiring berkembangnya penyakit dan
lebih sedikit neuron kolinergik yang tetap berfungsi secara utuh.

Mekanismeaksi

18
Rivastigmine adalah turunan karbamat yang secara struktural terkait dengan
physostigmine, tetapi tidak untuk donepezil dan tacrine. Mekanisme yang tepat
dari rivastigmine belum sepenuhnya ditentukan, tetapi disarankan bahwa
rivastigmine mengikat secara reversibel dengan dan menginaktivasi
chlolinesterase (misalnya. Acetylcholinesterase, butyrylcholinesterase), mencegah
hidrolisis acetycholine, dan dengan demikian mengarah ke peningkatan
konsentrasi asetilkolin pada sinapsis kolinergik. Aktivitas antikolinesterase
rivastigmine relatif spesifik untuk otak acetylcholinesterase dan
butyrylcholinesterase dibandingkan dengan mereka di jaringan perifer.

3. GALANTAMIN
Berdasarkan review sistematik terhadap 7 buah RCT, galantamine memberi
manfaat namun hanya sedikit perbaikan. Galantamine (24 mg) dibandingkan
dengan plasebo memberikan perbaikan pada ADAS-Cog.

19
Indikasi Galantamine
Demensia ringan, demensia type alzaimer, demensia dengan penyakit pic,
Farmakodinamik

Galantamine adalah parasympathomimetic, khususnya, inhibitor


cholinesterase reversibel. Ini diindikasikan untuk pengobatan demensia ringan
hingga sedang dari tipe Alzheimer. Sebuah fitur patofisiologi awal penyakit
Alzheimer yang berhubungan dengan kehilangan memori dan defisit kognitif
adalah kekurangan asetilkolin sebagai akibat dari hilangnya selektif neuron
kolinergik di korteks serebral, basalis nukleus, dan hipokampus.

Galantamine dipostulasikan untuk mengerahkan efek terapeutiknya dengan


meningkatkan fungsi kolinergik. Ini dicapai dengan meningkatkan konsentrasi
asetilkolin melalui penghambatan reversibel hidrolisisnya oleh asetilkolinesterase.
Jika mekanisme tindakan yang diusulkan ini benar, efek Galantamine dapat
berkurang seiring berkembangnya penyakit dan lebih sedikit neuron kolinergik
yang tetap berfungsi secara utuh. Tidak ada bukti bahwa Galantamine mengubah
proses demensing yang mendasarinya.

Mekanisme
Galantamine adalah alkaloid fenantren dan inhibitor asetilkolinesterase yang
reversibel dan kompetitif. Ini tidak secara struktural terkait dengan inhibitor
acetylcholinesterase lainnya. Mekanisme aksi yang diusulkan Galantamine
melibatkan penghambatan reversibel asetilkolinesterase, yang mencegah hidrolisis
asetilkolin, yang menyebabkan peningkatan konsentrasi asetilkolin pada sinapsis
kolinergik. Galantamine juga mengikat alosterik dengan reseptor nicotinic
acetylcholine dan mungkin dapat mempotensiasi aksi agonis (seperti asetilkolin)
pada reseptor ini.
Eliminasi Dihati

20
4. MEMANTIN
Berdasarkan 3 RCT menunjukkan bahwa memantine (20 mg / hari)
memberikan sedikit perbaikan pada clinical impression of change (CIBIC-Plus).
Untuk pasien dengan DA ringan – sedang setelah 24 minggu. Tidak ada
perbedaan signifikan dalam jumlah pasien yang mengalami efek samping.

Indikasi demensia type alzaimer sedang sampai berat

Farmakodinamik

Memantine, turunan amantadine, adalah antagonis reseptor NMDA yang


digunakan dalam pengobatan penyakit Alzheimer. Ini berbeda dari agen

21
tradisional yang digunakan dalam penyakit Alzheimer dengan bertindak pada
neurotransmission glutamatergic, daripada kolinergik. Ada beberapa bukti bahwa
disfungsi neurotransmisi glutamatergik, yang dimanifestasikan sebagai
excitotoxicity neuronal, terlibat dalam etiologi penyakit Alzheimer (Cacabelos et
al., 1999). Dengan demikian, penargetan sistem glutamatergik, khususnya
reseptor NMDA, adalah pendekatan baru untuk pengobatan mengingat
terbatasnya kemanjuran obat yang ada yang menargetkan sistem kolinergik.
Tinjauan sistematis dari uji coba terkontrol secara acak menemukan bahwa
memantine memiliki efek positif pada kognisi, suasana hati, perilaku, dan
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Tidak ada bukti bahwa
memantine mencegah atau memperlambat neurodegenerasi pada pasien dengan
penyakit Alzheimer.

Mekanisme kerja

Memantine memberikan aksinya melalui antagonisme reseptor NMDA yang


tidak kompetitif, mengikat secara istimewa pada saluran kation yang dioperasikan
reseptor NMDA. Peningkatan kadar glutamat dalam otak yang lama pada pasien
yang mengalami gangguan cukup untuk melawan blok reseptor NMDA yang
bergantung pada tegangan oleh ion Mg2 + dan memungkinkan masuknya ion Ca2
+ secara terus-menerus ke dalam sel, yang pada akhirnya menghasilkan
degenerasi neuronal. Studi menunjukkan bahwa memantine mengikat lebih efektif
daripada ion Mg2 + pada reseptor NMDA, dan dengan demikian secara efektif
menghalangi masuknya ion Ca2 + yang lama ini melalui saluran NMDA sambil
mempertahankan aktivasi fisiologis sementara saluran dengan konsentrasi
glutamat yang dilepaskan secara sinaptik.
Dengan demikian memantine melindungi terhadap konsentrasi glutamat yang
meningkat secara kronis. Memantine juga memiliki aktivitas antagonis pada
reseptor 3 serotonergik (5-HT3) dengan potensi yang mirip dengan reseptor
NMDA, dan aktivitas antagonis yang lebih rendah pada reseptor asetilkolin
nikotinat. Obat ini tidak memiliki afinitas untuk asam γ-aminobutyric (GABA),

22
benzodiazepine, dopamine, adrenergic, histamine, atau reseptor glisin atau untuk
saluran kalsium, natrium, atau kalium yang tergantung voltase.
Absobsi
Diserap dengan baik secara oral dengan bioavailabilitas sekitar 100%. Konsentrasi
plasma puncak tercapai dalam 3-7 jam.
Metabolisme Dihati

23
24
BAB III

KESIMPULAN

Demensia adalah keadaan ketika seseorang mengalami penurunan daya ingat


dan daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas kehidupan sehari-
hari. Kriteria demensia yaitu kehilangan kemampuan intelektual, termasuk daya
ingat yang cukup berat, sehingga dapat mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.
Demensia adalah penyakit penuaan yang terjadi pada usia sekitar > 60 tahun.
Dengan perkiraan 5% mengalami demensia berat dan 15% mengalami demensia
ringan. Pada usia > 80 tahun sekitar 20% mengalami demensia berat. Dengan
kasus demensia terbanyak > 75 % kasus adalah demensia tipe Alzheimer dan
vaskular.

Perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarga dan
pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik. Selain itu diperlukan
pemeliharaan kesehatan fisik seperti kebersihan pasien, lingkungan yang
mendukung. Untuk demensia vaskuler, faktor resiko yang berperan pada penyakit
kardiovaskular harus diidentifikasi dan terapi. Contohnya faktor hipertensi,
obesitas, diabetes. Kebiasaan merokok juga harus dihentikan.
Penatalaksanaan farmakologi: Donepezil, Rivastigmin, Galantamin dan
Memantin.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Benjamin, Virginia Saddock (2010). Kaplan and Sadock Buku ajar Psikiatri
Klinis. Edisi 2.
2. Maslim Rusdi (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Repunlik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Jiwa.
4. Panduan Praktik Klinik Diagnosa dan Penatalaksanaa Demensia Perhimpunan
Spesialis Saraf Indonesia 2015.
5. Drug Created on June 13, 2005 07:24 / Updated on March 20, 2018 21:17
diakses 25 maret 2018.
6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12177686

7. Moriguchi S, Mechanism of Action of Galantamine on N-methyl-D-aspartate


Receptors in rat Cortical Neurons.US national library Of Medicine National
Institute of Healt. Diakses 25 maret 2018.
8. Janson JW, Mechanism Of Action OfMemantin. US national library Of
Medicine National Institute of Healt. Diakses 25 maret 2018.

9. Cacabelos Ramon. Donepezil in Alzheimer’s disease: From conventional trials


to pharmacogenetics, Mechanism Of Action OfMemantin. US national library Of
Medicine National Institute of Healt. Diakses 25 maret 2018.

10. Muller Thomas. Rivastigmine in the treatment of patients with Alzheimer’s


disease, Mechanism Of Action OfMemantin. US national library Of Medicine
National Institute of Healt. Diakses 25 maret 2018.

26

Anda mungkin juga menyukai