Anda di halaman 1dari 6

Seorang wanita berusia 25 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan anggota gerak atas terasa lemah, keluhan ini

sudah dirasakan sejak 6 bulan. Pada awalnya keluhan dirasakan pada kelopak mata dimana kedua kelopak mata
terasa berat untuk dibuka. Satu bulan terakhir anggota gerak atas mulai terasa berat. Keluhan semakin memberat
dengan beraktivitas dan membaik dengan beristirahat. Selama sakit ini tidak ada riwayat demam. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan, tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 84 kali permenit, RR 20 kalipermenit, Suhu 36,5⁰C.
Pemeriksaan neurologis didapatkan ptosis bilateral, ekstrimitas atas kekuatan otot 4, hiporefleksi, reflek patologis
negatif, normotonus dan eutrofi. Ekstrimitas bawah dalam batas normal. Pada pemeriksaan sensorik tidak
didapatkan gangguan, tidak ada gangguan BAB dan BAK. Tidak didapatkan riwayat pemakaian obat-obatan
tertentu. Kemudian dokter menguntruksikan untuk dilakukan pemeriksa an EMG dan MRI Thorak

PTOSIS BILATERAL: istilah medis untuk turunnya kelopak mata bagian atas. Kondisi ini dapat mempengaruhi
satu atau kedua mata. Ketika ujung kelopak mata atas turun, bagian atas daerah pandangan anda mungkin menjadi
terhalang. Ptosis pada myasthenia gravis onsetnya perlahan-lahan, timbulnya khas yaitu pada malam hari disertai
kelelahan, dan bertambah berat sepanjang malam. Kemudian menjadi permanen. Ptosis bilateral pada orang muda
merupakan tanda awal myasthenia gravis. Biasanya penderita juga mengatasinya dengan menaikkan alis mata
(mengerutkan dahi).

KEKUATAN: skala penilaian berdasarkan medical research council ( MRC )


 5 = kekuatan normal, mampu melawan tahanan penuh
 4 = gerakan sedang, mampu melawan tahanan ringan.
 3 = gerakan melawan gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan.
 2 = tidak dapat melawan gravitasi, hanya mampu bergeser.
 1 = hanya mampu menggerakan bagian - bagian otot saja.
 0 = tidak ada gerakan

TONUS: otot yang dirasakan oleh pemeriksa ketika melakukan gerakan sendi secara pasif sepanjang range of
movement ( ROM ).
Cara pemeriksaan :
Tonus lengan
1. Pegang tangan pasien seperti ingin bersalaman, dan tahan lengan bawah. Lalu lakukan pronasi dan
supinasi lengan bawah. Selanjutnya putar tangan pada pergelangan tangan.
2. Tahan lengan bawah dan siku, kemudian gerakan tangan sampai jangkauan fleksi dan ekstensi menjadi maksimal
pada siku.
Tonus tungkai
1. Tonus pada lutut : letakkan tangan anda dibelakang lutut, tangan satu lagi dopergelangan kaki
kemudian lakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada lutut.
2. Tonus pergelangan kaki : tahan pergelangan kaki, lalu lakukan gerakan fleksi dan dorsofleksi pada kaki.
Interpretasi :
 Normotonus : tahanan ringan dirasakan disetiap arah gerak
 Hipotonus : tonus menurun. Tahanan dirasakan hilanga saat digerakan.
 Hipertonus : tonus meningkat.
Lead pipe rigidity ( seperti membengkokkan besi )
Cogwheel rigidity ( seperti gigi roda )

TROFI
Cara pemeriksaan :
Lakukan pengukuran menggunakan pipa meteran pada kedua sisi ekstremitas, pada titik –titik pengukuran seperti
berikut :
 10 cm dibawah fossa cubiti
 10 cm di atas fossa cubiti
 10 cm dibawah lutut
 10 cm di atas lutut
Interpretasi :
Abnormal bila terdapat perbedaan > 2 cm antara ekstremitas kiri dan kanan.

HIPOREFLEKSIA: adalah kondisi saat reaksi refleks seseorang berkurang atau bahkan tidak dapat merespons
rangsangan yang diberikan.

REFLEKS PATOLOGIS: respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal. Refleks patologis pada
ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliable dan lebih mempunyai korelasi secara klinis
dibandingkan pada ekstremitas atas.

A.    Dasar pemeriksaan refleks


1.      Selain dengan jari - jari tangan untuk pemeriksaan reflex ekstremitas atas,bisa juga dengan menggunakan
reflex hammer.
2.      Pasien harus dalam posisi enak dan santai
3.      Rangsangan harus diberikan dengan cepat dan langsung

B.     Jenis Refleks Patologis


  Jenis Refleks Patologis Untuk Ekstremitas Superior adalah sebagai berikut :

1.      Refleks Tromner


Cara: pada jari tengah gores pada bagian dalam
      + : bila fleksi empat jari yang lain
2.      Refleks Hoffman
      Cara : pada kuku jari tengah digoreskan
      + : bila fleksi empat jari yang lain
3.      Leri : fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap lengan diluruskan dengan bagian ventral
menghadap ke atas. Respon : tidak terjadi fleksi di sendi siku.
4.      Mayer : fleksi maksimal jari tengah pasien ke arah telapak tangan. Respon : tidak terjadi oposisi ibu jari.

  Jenis RefleksPatologis Untuk Ekstremitas Inferior adalah sebagai berikut :


1.      Babinski : gores telapak kaki di lateral dari bawah ke atas ==> + bila dorsofleksi ibu jari, dan abduksi ke
lateral empat jari lain
2.      Chaddok : gores bagian bawah malleolus medial ==> + sama dengan babinski
3.      Oppenheim : gores dengan dua sendi interfalang jari tengah dan jari telunjung di sepanjang os tibia/cruris==>
+ sama dgn babinski
4.      Gordon : pencet/ remas m.gastrocnemeus/ betis dengan keras==> + sama dengan babinski
5.      Schaeffer : pencet/ remas tendo achilles ==> + sama dengan babinski
6.      Gonda : fleksi-kan jari ke 4 secara maksimal, lalu lepas ==> + sama dengan babinski
7.      Bing : tusuk jari kaki ke lima pada metacarpal/ pangkal ==> + sama dengan babinski
8.      Stransky : penekukan (lateral) jari longlegs ke-5. Respon : seperti babinsky.
9.   Rossolimo : pengetukan ada telapak kaki. Respon : fleksi jari-jari longlegs pada sendi interfalangeal.
10.  Mendel-Beckhterew : pengetukan dorsum pedis pada daerah os coboideum. Respon : seperti rossolimo.

REFLEKS FISIOLOGIS: adalah reflex regang otot (muscle stretch reflex) yang muncul sebagai akibat rangsangan
terhadap tendon atau periosteum atau kadang - kadang terhadap tulang, sendi, fasia atau aponeurosis. Refleks yang
muncul pada orang normal disebut sebagai refleks fisiologis.
Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi lainnya, dan
terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan, kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot
anggota gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung/pinggang gangguan fungsi otonom. Interpretasi
pemeriksaan refleks fisiologis tidak hanya menentukan ada/tidaknya tapi juga tingkatannya.

A.    Dasar pemeriksaan refleks

1.      Pemeriksaan menggunakan alat refleks hammer


2.    Penderita harus berada dalam posisi rileks dan santai. Bagian tubuh yang akan diperiksa harus dalam posisi
sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang nantinya  akan terjadi dapat muncul secara optimal
3.      Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung;keras pukulan harus dalam batas nilai ambang, tidak perlu
terlalu keras
4.      Oleh karena sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus dalam keadaan sedikit
kontraksi.

B.     Jenis Refleks fisiologis

1.      Refleks Biceps (BPR) : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi
lengan setengah diketuk pada sendi siku. Respon : fleksi lengan pada sendi siku.
2.       Refleks Triceps (TPR) : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit
pronasi. Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku.
5.      Refleks Patela (KPR) : ketukan pada tendon patella dengan hammer. Respon : plantar fleksi longlegs karena
kontraksi m.quadrises femoris.
6.      Refleks Achilles (APR) : ketukan pada tendon achilles. Respon : plantar fleksi longlegs karena kontraksi
m.gastroenemius.
15.  Reflek Moro : Refleks memeluk pada bayi saat dikejutkan dengan tangan
16.  Reflek Babinski : Goreskan ujung reflak hammer pada lateral telapak kaki mengarah ke jari, hasil positif pada
bayi normal sedangkan pada orang dewasa abnormal ( jari kaki meregang / aduksi ektensi )
17.  Sucking reflek : Reflek menghisap pada bayi
18.  Grasping reflek : Reflek memegang pada bayi
19.  Rooting reflek : Bayi menoleh saat tangan ditempelkan ke sisi pipi

 penyebab kelemahan otot


 faktor-faktor yang mendasari terjadinya kelemahan otot
 differential diagnosa pada kasus kelemahan otot ter utama dari kasus LMN dan diagnosis?
KELAINAN SARAF PERIFER
Sindrom Guillain-Barre = salah satu penyakit sistem saraf perifer yang tersering mengancam nyawa.
Penyakit ini adalah suatu kelainan demielinasi akut yang mengenai akson motorik secara progresif dan
cepat yang mengakibatkan kelemahan yang merambat keatas (ascending weakness) yang dapat
menyebabkan kematian akibat kegagalan otot pernapasan hanya dalam waktu beberapa hari saja.
ETIOLOGI: infeksi Canzpylobacter jejuni, virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, dan virus imunodefisiensi
manusia atau vaksin yang menghancurkan toleransi diri (self-tolerance), oleh karenanya timbul respons
autoimun.
PATOGENESIS: Agen penyebab infeksi terkait termasuk Jejas paling luas di dalam akar saraf dan segmen
saraf proksimal, disertai infiltrasi sel mononukleus yang banyak mengandungi makrofag. Baik respons
imun humoral maupun seluler dianggap berperan dalam proses terjadinya penyakit.
PENGOBATAN: termasuk plasmaferesis (untuk mengeluarkan antibodi yang mengganggu), infus
imunoglobulin intravena (melalui mekanisme supresi respons imun yang tjdak jelas), dan perawatan
suportif seperti bantuan ventilasi. Pasien yang bertahan hidup pada awal fase akut penyakit biasanya
sembuh dalam beberapa waktu.

KELAINAN NMJ
Miasterna gravis = penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu
kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga
jumlah AchR di neuromuskular juction berkuran
ETIOLOGI: AUTOIMUN CUY!! Sebanyak 60% kasus dihubungkan dengan suatu hiperplasia reaktif sel
B intratimus yang abnormal (sering disebut hiperplasia timus), dan 20% lainnya dikaitkan dengan timoma
(tumor sel epitel timus) (Bab 11).
FAKTOR RESIKO: semua umur, dan (seperti banyak penyakit autoimun lain) lebih sering pada wanita.
Puncak kejadian pada wanita terjadi pada umur 20-30 tahun , sedangkan pada laki-laki dapat terjadi pada
umur 60 tahun. Bayi dari ibu dengan Miastenia gravis dapat memperoleh antibodi anti AchR saat lahir
PATOGENESIS: hyperplasia timus/tumor epitel timus  Lesi-lesi timus mengganggu toleransi terhadap
antigen sendiri (self antigens)  pertumbuhan sel B dan T autoreaktif autoantibodi memblok fungsi
reseptor asetilkolin pascasinaps di lempeng akhir motorik (motor end plates)  degradasi dan hilangnya
reseptor asetilkolin  penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu  rasa sakit
pada pasien
MANIFESTASI KLINIS: Kelemahan otot yang progresif di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki
asimetris terjadi dengan penggunaan otot secara berulang dan menghilang atau membaik dlm bbrp menit
atau kurang dr 1 jam dengan istirahat.
 Otot mata = penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak
mata secara abnormal (ptosis) muncul sbg gejala awal
 Otot wajah = penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi
otot faring (suara sengau)
 Otot pernafasan = sesak nafas, krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik karena infeksi

MACAM MG

a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)

b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata , lambat laun menyebar
ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka
kematian rendah (30 %)
c. Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular,
lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas. (25 %)

d. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan
bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap
obat bururk dan angka kematian tinggi. (15%)

e. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress gejala-gejala
kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk. (10 %)

PEMERIKSAAN PENUNJANG:
- penggunaan atau stimulasi elektrofisiologis berulang pada otot  memperburuk kelemahan, sedangkan
- penggunaan inhibitor kolinesterase  memperbaiki kekuatan secara menakjubkan
 Tes klinik sederhana:
a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata > 30 detik,
lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang secara bertahap (tes
positif).
 Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium = antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular
juction dalam beberapa menit.
Cara pemeriksaan: disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Interpretasi: Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap
 Uji Prostigmin (neostigmin)
Cara pemeriksaan: disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu,
diberikan pula atropin 0,8 mg).
Interpretasi: Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti
misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap
 Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody Tes: salah satu tes yang penting pdpenderita Miastenia gravis.
Interpretasi: hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun
dan pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih
dari 40 tahun
 Elektrodiagnostik = memperlihatkan defek pada transmisi neuro muscular
Teknik Single-fiber Electromyography (SFEMG) =mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular
fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita dan bs membedakan etiologi peny krn
otot atau saraf
#titer = variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yg
sama
#fiber density = jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam
Teknik Repetitive Nerve Stimulation (RNS) = Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah
reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi
 Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak) = thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.  Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan
apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan
untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak

PENGOBATAN: efektif meliputi penggunaan obat inhibitor kolinesterase, imunosupresi, plasmaferesis,


dan timektomi (pada pasien dengan lesi timus). Intervensi ini telah memperbaiki rata-rata angka ketahanan
hidup 5 tahun lebih dari 95%.
a. Acetilkolinesterase inhibitor = piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada MG golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis (konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan, kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian
propantelin bromida atau atropin.
b. Kortikosteroid Dapat diberikan prednisone. Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan berat badan,
hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum, katarak
c. Azatioprin = suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika
dibandingkan dengan steroid, dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama.
d. Plasma Exchange (PE) = pemindahan anti-asetilkolin secara efektif menurunnya titer antibodi.
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis (pasien yang
akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi)
f. Timektomi Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan Miastenia gravis
generalisata, diindikasi pada terapi awal pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar
 penatalaksanaan farmakoterapi dan non farmakoterapi kasus kelemahan otot terutama kasus LMN
 Mengapa lemah terjadi pada siang hari setelah melakukan aktivitas?
 Mengapa kelopak mata yang menjadi organ yang paling berat dengan gejala lemahnya?
 Mengapa setelah istirahat keluhan lemah pulih selama isitirahat dan muncul kembali saat aktivitas?
Penurunan jumlah hasil AChR dalam pola karakteristik kekuatan otot semakin berkurang dengan
penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot setelah masa istirahat
 Bagaimana hubungan otot rangka dengan tulang kerangka tubuh?
 Mengapa anggota gerak atas mulai terasa berat dan anggota gerak bawah normal?
 Apa hubungan gangguan BAB BAK dengan kelemahan otot

MERAH = https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-1-_-Miasthenia-Gravis.pdf

HITAM = Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai