Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ikterus

2.1.1 Pengertian

Ikterus adalah perubahan warna kulit dan sklera menjadi kuning yang

terjadi akibat peningkatan kadar bilirubin di dalam darah (hiperbilirubinimea)

(Wiliamson & Crozier, 2014).

Hiperbilirubinemia pada neonatus atau disebut juga ikterus neonatorum

yang bersifat patologis adalah keadaan klinis pada neonatus yang ditandai

pewarnaan kuning pada kulit, mukosa, sklera akibat dari akumulasi bilirubin

(indirek maupun direk) di dalam serum/darah yang secara klinis akan mulai

tampak di daerah muka, apabila kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg/dL

pada minggu pertama (Yuliastati dan Nining, 2016).

2.1.2 Klasifikasi

1. Hiperbilirubinemia fisiologis

Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada

neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu

berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar

bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta

memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar

bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5

dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu.

7
8

Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi

cukup bulan maupun prematur.

Hiperbilirubinemia fisiologis dapat disebabkan beberapa mekanisme:

a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh:

1) Masa hidup eritrosit yang lebih singkat

2) Peningkatan eritropoiesis inefektif

b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik

c. Defek uptake bilirubin oleh hati

d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase

(UDPG-T) yang rendah

e. Penurunan ekskresi hepatik.

2. Hiperbilirubinemia patologis

Keadaan di bawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia patologis

dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut:

a. Awitan ikterus sebelum usia 24 jam

b. Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi

c. Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam

d. Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL

e. Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,

penurunan berat --badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)

f. Ikterus yang menetap >2 minggu (IDAI, 2011).


9

2.1.3 Tanda dan gejala hiperbilirubinemia

1. Tanda hiperbilirubinemia

Bayi dengan hiperbilirubinemia akan memperlihatkan tanda-tanda

sebagai berikut:

a. Ikterus pada 24 jam pertama

b. Ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai

dengan keadaan berat badan lahir kurang dari 2000 gram.

c. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL atau lebih setiap 24

jam.

d. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus yang

cukup bulan dan 12,5 mg/dL pada neonatus yang kurang bulan (Yuliastati

dan Nining, 2016).

e. Tidak mau menyusu/malas minum.

f. Terlihat sangat lemah (Ngastiyah, 2005).

2. Gejala hiperbilirubinemia

a. Asfiksia

b. Hipoksia

c. Sindroma gangguan pernafasan

d. Pada pemeriksaan fisik: bentuk abdomen membuncit, terjadi pembesaran

hati, feses berwarna seperti dempul, dapat ditemukan adanya kejang,

opistotonus, tidak mau minum, letargi, reflek moro lemah atau tidak ada

sama sekali (Yuliastati dan Nining, 2016).


10

2.1.4 Etiologi

Dalam prosesnya, sel darah merah yang sudah tua, rusak, dan abnormal

dibuang dari peredaran darah, terutama yang ada di dalam limpa. Selama proses

pembuangan berlangsung, hemoglobin (protein pengangkut oksigen di dalam sel

darah merah) dipecah menjadi pigmen kuning yang disebut bilirubin. Kemudian,

bilirubin dibawa ke hati, kemudian diubah secara kimiawi, lalu dibuang ke usus

sebagai bagian dari empedu.

Pada sebagian besar neonatus, kadar bilirubin darah secara normal

meningkat sementara dalam beberapa hari pertama setelah lahir, sehingga

menyebabkan kulit berwarna kuning (Fida dan Maya, 2012).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.

Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat

inkompabilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini

juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal, perdarahan

subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan

penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada

penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia,

dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia (Saifuddin AB, 2010).

2.1.5 Patofisiologi

Ikterus pada bayi baru lahir (BBL) disebabkan oleh stadium maturasi

fungsional (fisiologik) atau manifestasi dari suatu penyakit (patologik). Tujuh

puluh lima persen dari bilirubin yang ada pada BBL berasal dari penghancuran

hemoglobin dan dari mioglobin sitokrom, katalase dan triptofan pirolase. Satu
11

gram hemoglobin yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin. Bayi cukup bulan

akan menghancurkan eritrosit sebanyak 1 gram/hari dalam bentuk bilirubin

indirek yang terikat dengan albumin bebas (1 gram albumin akan mengikat 16 mg

bilirubin). Bilirubin indirek dalam lemak dan bila sawar otak terbuka, bilirubin

akan masuk ke dalam otak dan terjadi kernicterus. Yang memudahkan terjadinya

hal tersebut ialah maturitas, asfiksia/hipoksia, trauma lahir, BBLR (kurang dari

2500 g), infeksi, hipoglikemia,hiperkarbia dan lain-lain. Didalam hepar birirubin

akan diikat oleh enzim glucuronil transverase menjadi bilirubin direk yang larut

dalam air, kemudian diekskresi ke sistem empedu selanjutnya masuk kedalam

usus dan menjadi sterkobilin. Sebagian diserap kembali dan keluar melalui urine

sebagai urobilinogen. Pada BBL bilirubin direk dapat dirubah menjadi bilirubin

indirek didalam usus karena disini terdapat betaglukoronidase yang berperan

penting terhadap perubahan tersebut. Bilirubin indirek ini diserap kembali, oleh

usus selanjutrnya masuk kembali ke hati (inilah siklus intrahepatik) (Ngastiyah,

2005).

Keadaan ikterus dipengaruhi oleh :

1. Faktor produksi yang berlebihan melampaui pengeluarannya. Terdapat pada

hemolisis yang meningkat seperti pada ketidakcocokkan golongan darah (Rh,

ABO antagonis, defisiensi G-6-PD dan sebagainya).

2. Gangguan dalam ambilan dan konjugasi hepar yang disebabkan imaturitas

hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi (mengubah) bilirubin, gangguan

fungsi hepar akibat asidosis hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapat enzim

glukuronil transferase (G-6-PD).


12

3. Gangguan transportasi bilirubin darah terikat oleh albumin kemudian diangkut

ke hepar. Ikatan ini dapat dipengaruhi oleh obat seperti salisilat dan lain-lain.

Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak bilirubin indirek yang bebas

dalam darah yang mudah melekat pada otak (terjadi kernicterus).

4. Gangguan dalam ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau di luar hepar.

Akibat kelainan bawaan atau infeksi, atau kerusakan hepar oleh penyebab lain

(Ngastiyah, 2005).

2.1.6 Pencegahan

1. Setiap bayi baru lahir harus dievaluasi terhadap kemungkinan mengalami

hiperbilirubinemia berat. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu

dengan memeriksa kadar bilirubin serum total atau pengkajian terhadap faktor

risiko secara klinis. Dengan memeriksa bilirubin serum total dan memplot

hasilnya pada nomogram, kita dapat mengetahui apakah bayi berada pada

zona risiko rendah, menengah, atau tinggi untuk terjadinya hiperbilirubinemia

berat. Studi terbaru menyatakan bahwa kombinasi kadar bilirubin sebelum

dipulangkan dan usia gestasi merupakan prediktor terbaik untuk terjadinya

hiperbilirubinemia berat.

2. Saat ini tersedia alat noninvasif untuk memperkirakan kadar bilirubin pada

kulit dan jaringan subkutan, yaitu transcutaneus bilirubinometer (BiliCheck®,

Minolta JM®). Hasil yang didapat akan berbeda dari kadar bilirubin serum

total, karena bilirubin yang diukur bukan bilirubin dalam serum, melainkan

bilirubin yang terdeposisi pada jaringan. Belum ada studi yang mempelajari

apakah bilirubin serum atau bilirubin kulit yang lebih akurat untuk
13

menggambarkan deposisi bilirubin pada susunan saraf pusat. Hasil

pemeriksaan transcutaneus bilirubinometer dipengaruhi oleh usia gestasi,

keadaan sakit, edema, dan pigmentasi kulit. Penggunaan kadar bilirubin

transkutan membutuhkan nomogram tersendiri.

3. Setiap ibu hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah dan faktor

Rhesus (IDAI, 2011).

2.1.7 Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis meliputi terapi sinar dan tranfusi tukar.

1. Terapi sinar

Terapi sinar adalah terapi untuk mengatasi keadaan hiperbilirubunemia

dengan menggunakan sinar berenergi tinggi yang mendekati kemampuan

maksimal untuk menyerap bilirubin. Yang biasanya sering digunakan dan

paling efisien adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.

Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin

dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin

dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa

harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar

bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih

fatal (Marmi dan Raharjo, 2015).

a. Cara kerja terapi sinar

Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu

senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol

yang mudah larut dalam air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan
14

faeces. Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian

konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan

menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus

sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar bersama feces

(Ngastiyah, 2005).

b. Alat untuk terapi sinar

1) Sebuah kotak untuk 8-10 lampu neon @20 Watt yang disusun secara

paralel.

2) Pleksiglas 0,5 inci yang melapisi bagian bawah kotak tersebut yang

berfungsi memblok sinar ultraviolet (Ngastiyah, 2005).

c. Indikasi transfusi tukar darah

1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≥ 20 mg/dL

2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg/dL per

jam

3) Anemia berat pada bayi baru lahir dengan gejala gagal jantung

4) Kadar HB tali pusat < 14 mg/dL dan uji Coombs direk positif

(Saifuddin AB, 2010).

d. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar

1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.

2) Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam (maksimal sampai 500

jam).

3) Pasang label, kapan terapi dimulai dan kapan selesainya.

(Ngastiyah, 2005).
15

e. Pelaksanaan pemberian terapi sinar

1) Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksimal 500

jam) agar sinar dapat merata ke seluruh tubuh.

2) Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat

dengan kain kasa yang dilipat lipat dan dibalut. Sebelumnya katupkan

dahulu kelopak matanya (untuk mencegah kerusakan retina).

3) Posisi bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam

bila mungkin, agar sinar merata.

4) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap

4-6 jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan sebentar lampunya

dan bayi diberikan banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali

suhunya. Jika tetap hubungi dokter.

5) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan

suhu tubuh bayi.

6) Pada waktu memberi bayi minum, dikeluarkan, dipangku, penutup

mata dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.

7) Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam

8) Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi

dihentikan walaupun belum 100 jam.

9) Jika setelah terapi selama 100 jam bilirubin tetap tinggi/kadar bilirubin

dalam serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum

melebihi 500 jam digunakan. Selanjutnya hubungi dokter. Mungkin

perlu transfusi tukar.


16

10) Pada kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari

(Ngastiyah, 2005).

f. Komplikasi terapi sinar

1) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan

peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada

BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.

2) Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek

dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus.

3) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar

(berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang setelah terapi selesai.

4) Gangguan retina bila mata tidak ditutup.

5) Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu

dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua

dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstra

minum.

6) Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan

(Ngastiyah, 2005).

2. Tranfusi tukar (exchange transfusion)

Transfusi tukar adalah merupakan cara yang dilakukan untuk

mengkuarkan darah dari bayi untuk ditukar dengan darah yang tidak sesuai

atau patologis dengan tujuan mencegah peningkatan kadar bilirubin dalam

darah (Yuliastati dan Nining, 2016).


17

Transfusi tukar dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang tidak

dapat diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi

kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada

ikhterus yang disebabkan oleh hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan

Rhesus, ABO, infeksi Toxoplasmosis (Ngastiyah, 2005).

a. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar

1) Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dL.

2) Peningkatan kadar bilirubin indirek cepat yaitu 0,3-1 mg % per jam.

3) Anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.

4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang 14 mg/dL.

5) Uji Coomb positif (Susanti dan Sari, 2017).

b. Tujuan transfusi tukar

1) Mengganti eritrosit yang dapat menjadi hemolisis.

2) Membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis.

3) Menurunkan kadar bilirubin indirek.

4) Memperbaiki anemia.

5) Transfusi tukar dilakukan oleh dokter didalam kamar yang antiseptic

(Susanti dan Sari, 2017).

c. Komplikasi transfusi tukar

1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih


18

5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis

nekrotikan

6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia (Ngastiyah, 2005).

d. Perawatan setelah transfusi tukar

Dapat meliputi perawatan daerah yang dilakukan pemasangan

kateter transfusi dengan melakukan kompres NaCl fisiologis kemudian

ditutup dengan kassa steril dan difiksasi, lakukan pemeriksaan kadar Hb

dan bilirubin serum setiap 12 jam dan pantau tanda vital (Yuliastati dan

Nining, 2016).

2.2 Konsep Hiperbilirubin

2.2.1 Pengertian

Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum

setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum

bilirubin (Iyan, 2009).

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai

suatu nilai yang maempunyai potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak

ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2014).

2.2.2 Jenis Hiperbilirubin

Menurut Prawirohardjo (2014) jenis-jenis hiperbilirubin yaitu:

1. Hiperbilirubin hemolitik

Pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebabkan oleh

inkompabiliatas golongan darah ibu dan bayi, seperti :


19

a. Inkompabilitas Rhesus

b. Inkompabilitas ABO 20

c. Inkompabilitas golongan darah lain

d. Kelainan eritrosit conginetal

e. Defisiensi enzim G6PD

2. Hiperbilirubin Obstruktiva

Hiperbilirubin yang terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam

hati maupun diluar hati. Akibat sumbatan itu terjadi penumpukan bilirubin

tidak langsung.

3. Hiperbilirubin yang disebabkan oleh hal lain, seperti :

a. Pengaruh hormon atua obat yang mengurangi kesanggupan hepar untuk

mengadakan konjugasi bilirubin.

b. Hipolbuminemia.

c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak

langsung pada albumin misalnya, sulfafurzole, salsilat dan heparin.

d. Sindroma Griger–Najur. Penyakit ini tidak terdapat atau sangat kurang

glukoronil transferase dalam hepar.

e. Ikterus karena late feeding.

f. Asidosis metabolik.

g. Pemakian vitamin K, kalau dosis melebihi 10 mg %.

4. Kern-hiperbilirubin (Kern Icterus)

Hiperbilirubin ini menimbulkan sindrom neurologis akibat pengendapan

bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Pada permulaan tanda klinik
20

tidak jelas tetapi dapat disebutkan, seperti: letargi, layuh dan malas minum,

hipertonik, opistotonus, tangisan melengking, dan kejang.

2.2.3 Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk dari sejumlah destruksi normal dari sirkulasi

eritrosit dimana bilirubin berasal dari penguraian protein dan heme (Ives NK,

2012). Kadar produksi bilirubin pada bayi sekitar 6 sampai 8 mg/kgBB/hari dan

dewasa sekitar 3 sampai 4 mg/kgBB/hari (Sukadi, 2015). Bayi baru lahir akan

menghasilkan bilirubin 2 atau 3 kali lebih banyak daripada anak maupun dewasa,

oleh karena pada bayi waktu penghancuran sel darah merah lebih cepat

(Tokowski, 2011). Penghancuran sel darah pada neonatus cukup bulan sekitar

delapan puluh hari dan pada prematur sekitar tujuh puluh hari (Madan, et all,

2012). Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, heme akan diubah

menjadi biliverdin dengan bantuan enzim heme oxygenase. Biliverdin selanjutnya

berubah menjadi bilirubin dengan bantuan enzim biliverdin reductase. Bilirubin

yang dihasilkan akan berikatan secara reversibel dengan albumin dan sebagian

kecil dalam bentuk bebas. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan larut lipid yang

akan dibawa menuju hati melintasi membran sel hati. Enzim liver yaitu uridine

diphosphoglucuronate glucuronosyltransferase akan mengkonjugasi bilirubin,

dan akan mengubah menjadi pigmen bilirubin yang larut dalam air yang dapat

diekresikan ke dalam empedu dan keluar dari tubuh melalui usus dan ginjal

(Tokowski, 2011).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses fisiologis, patologis atau

kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang


21

mendapat ASI, kurang bulan, dan mendekati cukup bulan (Sukadi, 2015).

Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan

clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi kurang bulan. Bayi yang

diberikan ASI memiliki kadar bilirubin serum yang tinggi dibandingkan bayi yang

mendapat susu formula, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain

asupan cairan yang kurang, frekuensi menyusui, kehilangan berat badan/dehidrasi,

hambatan eksresi bilirubin hepatik, dan intestinal reabsorption of bilirubin

(Sukadi, 2015). Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek adalah terjadi

peningkatan produksi bilirubin akibat dari inkomptabilitas darah fetomaternal

(Rh, ABO), peningkatan penghancuran hemoglobin akibat defisiensi enzim

kongenital Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), sepsis, peningkatan

jumlah hemoglobin yang terjadi akibat dari polisitemia, keterlambatan klem tali

pusat (Sukadi, 2015). Penyebab lain dapat juga oleh karena peningkatan sirkulasi

enterohepatik yang terjadi akibat atresia atau stenosis intestinal, perubahan

clearance bilirubin hati yang disebabkan imaturitas, perubahan produksi atau

aktivitas uridine diphospoglucoronyl transferase akibat dari gangguan metabolik,

hipotiroidisme, dan selanjutnya dapat juga disebabkan oleh perubahan fungsi dan

perfusi hati yang disebabkan asfiksia, hipoksia dan sepsis, obstruksi hepatik

(hiperbilirubinemia direk) terjadi akibat anomali kongenital seperti atresia biliaris,

fibrosis kistik (Sukadi, 2015).


22

2.3 Konsep Fototerapi

2.3.1 Pengertian

Phototherapy adalah terapi dengan menggunakan penyinaran sinar dengan

intensitas tinggi. Fungsinya untuk pengobatan atau terapi sinar pada bayi yang

terkena penyakit kuning. Penyakit ini disebabkan oleh adanya penimbunan

bilirubin di bawah jaringan kulit atau selaput lendir yang ditandai dengan warna

kuning yang terlihat pada kulit atau di bawah selaput lendir. Prinsip alat

phototherapy memberikan sinar pada kulit bayi secara langsung dalam jangka

waktu tertentu, dengan jarak penyinaran kurang lebih 45 cm (Maisels, et all,

2015).

2.3.2 Pengaruh Sinar Fototerapi terhadap Bilirubin

Sinar fototerapi akan merubah bilirubin yang ada di dalam kapiler

superfisial dan interstisial pada isomer yang larut dalam air yang dapat

dieksresikan tanpa metabolisme oleh hati. Bentuk bilirubin 4Z dan 15Z akan

berubah menjadi 4Z dan 15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang dapat

diekresikan. Z dan E merupakan istilah yang digunakan untuk mendesain

stereochemistry diantara kedua ikatan. Empat dan lima menunjukkan posisi ikatan

ganda. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses secara

cepat, produk fotooksidasi lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan

pembentukan isomer konfigurasi (Maisels, et all, 2015). Fototerapi juga

menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari

total serum bilirubin. Lumirubin akan diekresikan melalui empedu dan urin.

Ketika bentuk bilirubin ini berubah menjadi isomer yang nontoksik maka akan
23

lebih mudah untuk diekskresikan. Isomer mempermudah untuk terjadinya

eleminasi melalui urin dan saluran cerna. Hal ini merupakan penjelasan mengenai

khasiat fototerapi sebagai pencegahan dan penatalaksanaan hiperbilirubinemia

pada bayi baru lahir (Maisels, et all, 2015).

Gambar 2.1 Mekanisme kerja fototerapi (Maisels, et all, 2015)

Pada fototerapi, sinar yang digunakan merupakan sinar tampak berupa

gelombang elektromagnetik (Hani dan Riwidikdo, 2012), dengan panjang

gelombang 400 sampai 700 nm dan puncak absorbsi antara 460 sampai 490 nm

(Hansen, 2010). Sejauh ini sinar yang dianjurkan adalah menggunakan lampu

sinar biru (Vreman, et all, 2010). Pertimbangan fototerapi dan transfusi tukar

berdasarkan kadar bilirubin yang disesuaikan dengan umur bayi dalam jam dan

berat badan dalam gram seperti yang direkomendasi AAP untuk

hiperbilirubinemia, hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1. dan tabel 2.2.
24

Tabel 2.1 Rekomendasi “American Academy of Pediatrics” (AAP) untuk


penanganan Hibinemiaperbilirupada neonatus sehat dan cukup bulan

Total serum bilirubin (mg/dL)


Transfusi tukar
Usia Pertimbangan Transfusi tukar dan
Fototerapi jika fototerapi
(jam) Fototerapi intensif fototerapi
intensif gagal
≤ 24 - - - -
25-48 ≥ 12 ≥ 15 ≥ 20 ≥ 25
49-72 ≥ 15 ≥ 18 ≥ 25 ≥ 30
> 72 ≥ 17 ≥ 20 ≥ 25 ≥ 30
(Sumber: J Pediatri, 2004).

Tabel 2.2 Rekomendasi “American Academy of Pediatrics” (AAP) untuk


penanganan Hyperbilirubinemia pada neonatus prematur (sehat dan
sakit)

Total serum bilirubin (mg/dL)


Berat
badan Fototerapi Transfusi tukar Fototerapi Transfusi tukar
(gram)
< 1500 5-8 13-16 4-7 10-14
1500-2000 8-12 16-18 7-10 14-16
2000-2500 12-15 18-20 10-12 16-18
> 2500 15-18 20-25 12-15 18-20
(Sumber: J Pediatri, 2004).

2.3.3 Efektivitas Fototerapi

Fototerapi sangat bergantung pada intensitas sinar sehingga khasiat

fototerapi tergantung pada kualitas spektrum cahaya (panjang gelombang) sampai

pada permukaan kulit (Maisels, et all, 2015). Kualitas ini sangat dipengaruhi oleh

luas permukaan tubuh yang terpapar, penggunaan media pemantulan sinar, jarak

antara lampu dengan kulit bayi dan lain-lain (Pritchard, et all, 2014). Kualitas

spektrum yang sejauh ini dipakai sinar biru, sinar hijau atau cahaya biru kehijauan

dengan panjang gelombang 400 sampai 520 nm sedangkan untuk sinar ultraviolet

masih ada konsep yang berbeda atau kontroversial. Intensitas sinar merupakan
25

intensitas cahaya dengan sejumlah foton yang terpapar dengan permukaan tubuh

berdasarkan sentimeter kuadrat yang nilainya diukur dengan menggunakan

radiometer berkisar 30 μW/cm2/nm. Intensitas sinar ini dapat ditingkatkan dengan

pemberian fototerapi ganda atau double phototerapy (Vanborg, et all, 2012).

Penelitian di Turki tahun 2000 menggunakan sinar fototerapi ganda yang

diletakkan di atas dan di bawah bayi akan menghasilkan intensitas sinar 28,5

μW/cm2/nm atau lebih baik dibanding fototerapi tunggal (intensitas sinar 18.4

μW/cm2/nm) (Sarici, et all, 2010).

Penelitian di California menunjukkan bahwa dengan menggunakan sinar

biru jarak yang terbaik untuk menurunkan kadar bilirubin adalah jarak 10 cm

dengan penurunan kadar bilirubin sekitar 58% dibandingkan dengan jarak 30 cm

dengan penurunan kadar bilirubin sekitar 45% dan 50 cm dengan penurunan kadar

bilirubin sekitar 13% (Vreman, et all, 2010). Namun berdasarkan rekomendasi

American Academy of Pediatrics menganjurkan fototerapi sebaiknya jarak 10 cm

kecuali bila menggunakan jenis sinar halogen (AAP, 2004).

Berdasarkan luas permukaan tubuh dianggap bahwa semakin luas

permukaan tubuh yang terpapar sinar maka akan semakin cepat mempengaruhi

penurunan nilai serum bilirubin, dengan mengubah posisi bayi setiap 2 sampai 3

jam dapat memaksimalkan area yang terkena cahaya (Donnebord, et all, 2010).

American Academy of Pediatrics merekomendasikan pembukaan popok untuk

fototerapi intensif bila bilirubin serum mendekati tingkat transfusi tukar (AAP,

2004).
26

2.3.4 Efek Samping Fototerapi

Beberapa efek samping penggunaan fototerapi:

1. Dehidrasi karena terdapat kehilangan insensible water loss, dapat dicegah

dengan pemberian tambahan cairan kepada neonatus yang sedang mendapat

fototerapi.

2. Konsistensi feses yang lebih cair, yang berwarna hijau atau kecoklatan

3. Efek okuler dalam menurunkan input sensoris dan stimulasi sensoris, tetapi

dapat dicegah dengan pemberian penutup mata selama dilakukan fototerapi.

4. Suhu tubuh tidak stabil seperti hipertermi

5. Hipokalsemi lebih sering terjadi pada bayi prematur. Hal ini disebabkan oleh

perubahan metabolisme melatonin (Sukadi, 2015).


27

2.4 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah hubungan antar konsep berdasarkan studi empiris.

Kerangka teori harus berdasarkan teori asal / grand theory (Nursalam, 2016).

Penyebab hiperbilirubinemia:
1. Variasi Usia
2. Asupan ASI Neonatus hiperbilirubinemia
3. Dehidrasi Indirek 4Z, 15 Z
4. Kelainan kongenital
5. Kelainan hematologi
Fototerapi

Fotoisomerisasi Lumirubin Fotooksidase


4Z, 15 E

Eksresi melalui Empedu dan urin Urin


empedu

Penurunan
kadar bilirubin

Gambar 2.2 Kerangka teori pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar


bilirubin total pada bayi (Maisels, et all, 2015)
28

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konseptual atau kerangka berfikir merupakan model konseptual

tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasi sebagai masalah yang penting (Sugiyono, 2016).

Fototerapi pada bayi Penurunan


hiperbilirubin kadar bilirubin

Gambar 2.3 Kerangka konseptual pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar


bilirubin total pada bayi di RSIA Fatma Bojonegoro

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2016). Hipotesis pada penelitian ini yaitu:

H1 : Ada pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar bilirubin total pada bayi

di RSIA Fatma Bojonegoro.

Anda mungkin juga menyukai