Anda di halaman 1dari 19

Pendahuluan

Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting. Setiap

tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 75%

kematian terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan. Berdasarkan data riset

Kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 tentang penyebab kematian neonatal, kelainan

hematologi atau hyperbilirubinemia merupakan penyebab nomor 5 morbiditas

neonatal dengan prevalensi sebesar 5,6% setelah gangguan nafas, prematuritas,

sepsis, dan hipotermia. (Menteri Kesehatan republic Indonesia)

Salah satu kondisi klinis yang paling umum adalah hyperbilirubinemia.

Hyperbilirubinemia neonates adalah masalah klinis yang umum ditemua selama

periode neonatal, terutama pada minggu pertama kehidupan. Hamper 8%-11%

neonates mengalami hyperbilirubinemia. Antara 60%-80% bayi sehat

diperkirakan mengalami icterus neonatorum idiopatik. Menurut National

Perinatal Database (NNPD) kejadian hyperbilirubinemia neonates pada

kelahiran hidup adalah 3,3% (Ullah, S dkk, 2016)

Hyperbilirubinemia seringkali dianggap menakutkan oleh baik oleh

dokter maupun keluarga sehingga dibutuhkan panduan yang jelas agar tidak

terjadi overtreatment maupun underdiagnosis. Pemahaman yang baik mengenai

patofisiologi dan tata laksana hyperbilirubinemia dapat meminimalisir hal-hal

yang tidak diharapkan seperti kecemasan, penghentian menyusui, terapi yang

tidak perlu serta biaya yang berlebihan. (ppm jilid 2)


Pada bayi baru lahir terjadi kenaikan fisiologis kadar bilirubin dan 60%

bayi >35 minggu akan terlihat ikterik. Namum, 3%-5% dari kejadian ikterik

tersebut tidaklah fisiologis dan berisiko untuk terjadinya kerusakan neurologis

bahkan kemarin. Sebagai pencegahan hyperbilirubinemia berat yang dapat

menyebabkan kerusakan, pemeriksaan bilirubin telah menjadi rekomendasi

universal bayi baru lahir yang terlihat kuning (sari pediatri vol 20, no 2 )
Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh

pewarnaan icterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin tak

terkonjugasi yang berlebih dalam jaringan. Icterus secara klinis akan mulai

tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. (buku ajar

neonatologi)

Epidemiologi

Hyperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan masalah yang sering

dijumpa pada masa neonates. Diperkirakan sekitar 60% aterm dan 80% bayi

baru lahir premature akan dating dengan icterus klinis dengan TSB >5 mg/dl.

Icterus fisiologis dianggap sebagai penyebab paling sering dari icterus klinis

setelah hari pertama kehidupan, terhitung 50% kasus. Sekitar 15 % bayi yang

diberi ASI akan mengalami Unconjugated hyperbilirubinemia yang berlangsung

selama lebih dari tiga hari. Insiden hyperbilirubinemia berat didefinisikan

sebagai TSB > 25mg/dl adalah sekitar 1 dari 2500 kelahiran hidup. (betty

ansong assoku)

Bayi baru lahir dengan keturunan asia tenggara dan timur jauh memiliki

tingkat TSB yang tinggi. Selain itu, icterus neonatorum tampaknya lebih umum

pada orang yang tinggal di dataran tinggi dan mereka yang tinggal di sekitar laut

mediterania, terutama di Yunani. (betty ansong assoku)

Berdasarkan data riset Kesehatan dasar 2007, mengenai penyebab

kematian neonatal didapatkan bahwa icterus menjadi penyebab nomor5


morbiditas neonatal setelah gangguan nafas, prematuritas, sepsis dan hipotermi

dengan prevalensi 5,6%. Penelitian terbaru di 8 rumah sakit di Indonesia

menunjukkan bahwa prevalensi hyperbilirubinemia berat adalah 7% dengan

enchephalopati hyperbilirubinemia akut sebesar 2%. (kemenkes)

KLASIFIKASI

1. Icterus fisiologis

Bentuk Icterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar

bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dl. Pada bayi cukup

bulan dapat mencapai 6-8 mg/dl pada usia 3 hari kehidupan setelah itu berangsur

turun. Pada bayi premature, awitan icterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik

perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih

lama untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonates

premature dapat mencapai 10-12 mg/dl pada hari ke-5 dan masih dapat naik

menjadi >15 mg/dl tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar normal bilirubin tali

pusat < 2 mg/dl dan berkisar 1,4 sampai 1,9 mg/dl. (buku ajar neonatal dan ppm)

Umumnya fenomena icterus ini ringan dan dapat membaik tanpa

pengobatan. Icterus fisiologik tidak disebabkan oleh factor tunggal tetapi

kombinasi dari berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik

bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi

bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin

dan penurunan klirens bilirubin. (stevry mathindan)

Hyperbilirubinemia fisiologis dapat disebabkan beberapa mekanisme:


a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh:

1. Masa hidup eritrosit yang lebih singkat

2. Peningkatan eritropoiesis infektif

b. Peningkatan sirkulasi enterohepatic

c. Defek uptake bilirubin oleh hati

d. Defek konjuasi karena aktifitas uridin difosfat glukuronil transferase

(UDPG-T) yang rendah

e. Penurunan ekskresi hepatic

2. Icterus non fisiologis

Jenis icterus ini dulunya dikenal sebagai icterus patologik. Terdapatnya

hal-hal dibawah ini merupakan petunjuk untuk tidak lanjut, yaitu :

1. Icterus yang terjadi sebelum usia 24 jam

2. Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi

3. Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dl/24 jam

4. Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dl

5. Bayi menunjukkan tanda sakit seperti muntah, letargi, kesulitan

minum, penurunan berat badan, apneu, takipneu, instabilitas suhu)

6. Icterus yang menetap >2 minggu (ppm, bukur ajar neonat)

ETIOLOGI (ansong assoku)

Ada 2 penyebab terjadinya neonatal hyperbilirubinemia

1. Unconjugated Hiperbilirubinemia (UHB) atau Indirect Hiperbilirubinemia


Icterus dianggap patologis jika muncul pada hari pertama kehidupan, TSB

lebih dari persentil ke-95 untuk usia berdasarkan normogram, kadarnya meningkat

> 5 mg/dl/hari atau > 0,2 mg/dl/jam atau icterus bertahan lebih dari 2 minggu.

Berdasarkan mekanisme peningkatan bilirubin, etiologi hyperbilirubinemia tak

terkonjugasi dapat menjadi tiga kategori berikut :

A. Peningkatan produksi bilirubin:

a. Immune mediated hemolysis : termasuk ketidakcocokan golongan

dara seperti ketidakcocokan ABO dan rhesus.

b. Non immune mediated hemolysis : defek membrane sel darah merah

seperti sferositosis herediter dan eliptositosis, cacat enzim sel dara

merah seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehydrogenase (G6PD),

defisiensi piruvat kinase.

B. Penurunan bilirubin klirens:

a. Crigler-Najjar tipe 1 dan 2

b. Gilbert syndrome

C. Penyebab lain seperti bayi dari ibu dengan diabetes, hipotiroidisme

kongenital, obat-obatan. Intestinal obstruksi, stenosis pilorus, breastmilk

jaundice, dan breastfeeding jaundice

2. Conjugated hyperbilirubinemia atau direct hyperbilirubinemia

Hyperbilirubinemia terkonjugasi ditandai dengan peningkatan

bilirubin direk serum (> 1,0 mg/dl) dan disebabkan oleh gangguan fungsi

hepatobiliary.
a. Obstruksi aliran bilier: atresia bilier, kista koledokus, kolangitis

sclerosis neonates, kolelitiasis neonates.

b. Infeksi : CMV, HIV, rubella, Virus herpes, toksoplasmosis,

septikemia.

c. Penyebab lain: hepatitis neonatal idiopatik, kolestasis yang

diinduksi nutrisi parenteral, neonatal hemokromatosis.

Metabolism bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh

tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan

sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Perbedaan

utama metabolisme pada neonatus adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam

bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut:

1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada

sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus

lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat menghasilkan 34

mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung

dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam

air tetapi larut dalam lemak.

2. Transportasi

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikuloendotelial, selanjutnya

dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir

mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena


konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan non polar yang kurang.

Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak

larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Pada saat

komplekx bilirubin-albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin

terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian, bilirubin ditransfer melalui sel

membrane yang berikatan dengan ligandin (protein Y).

KONJUGASI

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang

larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine

diphosphate glucoronyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan

merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan

dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.

Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan

satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan Kembali ke reticulum endoplasma

untuk rekonjugasi berikutnya.

Ekskresi bilirubin

Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air

dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus

bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis

menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus

enterohepatis. Pada neonatus karena aktivitas enzim β glukoronidase yang

meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah
bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi

sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.

Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang

relative tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang

meningkat, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi

bilirubin yang tinggi ditemukan didalam meconium. Peningkatan hidrolisis

bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas beta

glucuronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukuronida terkonjugasi.

PATOFISIOLOGI
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada
langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme
oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat
digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-
paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir
tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam
plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak
terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen
(misalnya obatobatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang
mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang
dapat mengarah ke neurotoksisitas. Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut
ke dalam hepatosit, dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke
hepatosit akan meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi
ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. Bilirubin terikat menjadi
asam glukuronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui reaksi yang
dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi
bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang
larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar.
Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-
glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi
enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena
asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan. pada bayi atau
ditularkan dari ibu ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko
hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes,
sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.
DIAGNOSIS
Berbagai factor risiko dapat meningkatkan kejadian hyperbilirubinemia yang
berat. Tampilan icterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik. Evaluasi neonates dengan icterus dimulai dengan anamnesis
yang rinci, termasuk Riwayat kelahiran, Riwayat keluarga, timbulnya icterus, dan
serologi ibu. Warna feses dan urin serta adanya pruritus harus dinilai untuk bayi yang
dievaluasi untuk icterus dan dapat memberikan petunjuk untuk jenis icterus.
The American Academy merekomendasikan skrining universal semua bayi baru
lahir untuk penyakit kuning dan mengidentifikasi factor risiko untuk mengembangkan
hyperbilirubinemia.Untuk menilai penyakit kuning, bayi baru lahir idealnya harus
diperiksan di siang hari. Namun, penilaian klinis mungkin tidak dapat diandalkan
terutama jika bayi baru lahir telah menerima fototerapi atau memiliki kulit gelap. Oleh
karena itu icterus yang signifikan secara klinis harus selalu dikonfirmasi dengan TSB.
Pemeriksaan fisik terfokus untuk mengidentifikasi penyebab icterus patologis
harus dilakukan. Evaluasi untuk pucat, cephalhematoma, perdarahan subgaleal, memar
yang luas, hepatosplenomegaly, penurunan berat badan, serta tanda dehidrasi harus
dinilai. Selain itu semua bayi dengan icterus juga harus dinilai untuk tanda dan gejala
ensefalopati bilirubin yang mencakup kelesuan, makan yang buruk, perubahan tidur,
hingga kejang.

Pemeriksaan fisis penting yang menunjang diagnosis meliputi:8


1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis,
status hidrasi.
2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch
cry.
3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik.
4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali.
5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 8


1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi
yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu
hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.4,8,11
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel
darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257
μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Alat
ini digunakan untuk menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan yang sering
dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain : 4,8,11
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar albumin
serum juga perlu diukur. (ansong, ppm, neonatologi,mahendra tri arif)
PENATALAKSANAAN
Prinsip umum tatalaksana berdasarkan etiologic yaitu :
1. Semua obat atau factor yang mengganggu metabolisme bilirubin, ikatan dengan
albumin, atau integritas sawar darah otak harus dieliminasi.
2. Breast feeding jaundice. Tata laksana meliputi:
a. Pantau jumlah asi yang diberikan, apakah sudah mencukupi atau belum.
b. Pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali sehari
c. Pemberian air putih, air gula dan formula pengganti tidak diperlukan
d. Pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi buang air kecil dan buang
air besar.
e. Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dl perlu dilakukan penambahan volume
cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara.
f. Pemeriksaan komponen ASI dilakukan bila hyperbilirubinemia menetap >6
hari, kadar bilirubin >20 mg/dl, atau Riwayat terjadi breastfeeding jaundice
pada anak sebelumnya
3. Breastmilk jaundice:
a. Menurut American academy of pediatrics tidak menganjurkan penghentian
ASI dan merekomendasikan agar ASI terus diberikan.
b. Gartner dan aurbach menyarankan pemberhentian ASI sementara untuk
memberi kesempatan hati mengkonjugasi bilirubin indirek yang berlebihan.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan
sampai 24 jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin. Bila kadar
bilirubin meningkat setelah penghentian maka jelas penyebabnya bukan
karena ASI. Jadi, ASI dapat diteruskan Kembali.
4. Panduan untuk terapi sinar dan transfuse tukar.

Umur (jam) Fototerapi Fototerapi & persiapan Transfusi tukar jika


1. Fototerapi transfusi tukar fototerapi gagal
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.9,12

Gambar 4.Prinsip Fototerapi.9

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi


yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan
lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan
prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan pembentukan
lumirubin antara lain: spektrum dan jumlah dosis cahaya yang diberikan9
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar.
Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan
(feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin
serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam
dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan
efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area permukaan tubuh yang
terpapar dan intensitas dari sinar.9
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan
bohlam lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata
tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara
dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga berkunjung atau
memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk memulai fototerapi
bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan lahir, dan
status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum
berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.9

Gambar 5.Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu.8

2. Terapi sinar  konvensional dan intensif


Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif.
Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas
cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm 2 per nm. Cahaya diberikan pada
jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi intensif menggunakan intensitas
penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan area paparan maksimal.12
Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru
(F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya
biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada
bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek
ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar  standar
dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.12
Tabel 3. Komplikasi terapi sinar.12
Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil
penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat lactase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi
eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-
100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast
kulit dengan pelepasan histamine

3. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini
secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang
menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada
bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral
ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel
darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut
diulang hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit
dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari
sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke
dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini
perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus
albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan
jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan
kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.12
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain
trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan
keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi
tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar
bilirubin berapapun.
Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur
fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya.12

Transfusi pengganti digunakan untuk: 12


1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi

3. Menghilangkan serum bilirubin


4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat

albumin.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar 12

1. Darah yang digunakan harus golongan O.


2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang
membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan
setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus
yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang
mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit
golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A
dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched
terhadap plasma dan eritrosit bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu
sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80
ml/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.
Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna.
Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada
bayi dengan polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan
golongan darah O rhesus positif.
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: 12

-          Emboli, trombosis

-          Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

-          Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

-          Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar 12

-          Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

-          Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

-          Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

-          Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

-          Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

-          Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.

Anda mungkin juga menyukai