tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 75%
dokter maupun keluarga sehingga dibutuhkan panduan yang jelas agar tidak
bayi >35 minggu akan terlihat ikterik. Namum, 3%-5% dari kejadian ikterik
universal bayi baru lahir yang terlihat kuning (sari pediatri vol 20, no 2 )
Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan icterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih dalam jaringan. Icterus secara klinis akan mulai
tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. (buku ajar
neonatologi)
Epidemiologi
dijumpa pada masa neonates. Diperkirakan sekitar 60% aterm dan 80% bayi
baru lahir premature akan dating dengan icterus klinis dengan TSB >5 mg/dl.
Icterus fisiologis dianggap sebagai penyebab paling sering dari icterus klinis
setelah hari pertama kehidupan, terhitung 50% kasus. Sekitar 15 % bayi yang
sebagai TSB > 25mg/dl adalah sekitar 1 dari 2500 kelahiran hidup. (betty
ansong assoku)
Bayi baru lahir dengan keturunan asia tenggara dan timur jauh memiliki
tingkat TSB yang tinggi. Selain itu, icterus neonatorum tampaknya lebih umum
pada orang yang tinggal di dataran tinggi dan mereka yang tinggal di sekitar laut
KLASIFIKASI
1. Icterus fisiologis
Bentuk Icterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dl. Pada bayi cukup
bulan dapat mencapai 6-8 mg/dl pada usia 3 hari kehidupan setelah itu berangsur
turun. Pada bayi premature, awitan icterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik
perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih
premature dapat mencapai 10-12 mg/dl pada hari ke-5 dan masih dapat naik
menjadi >15 mg/dl tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar normal bilirubin tali
pusat < 2 mg/dl dan berkisar 1,4 sampai 1,9 mg/dl. (buku ajar neonatal dan ppm)
bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi
lebih dari persentil ke-95 untuk usia berdasarkan normogram, kadarnya meningkat
> 5 mg/dl/hari atau > 0,2 mg/dl/jam atau icterus bertahan lebih dari 2 minggu.
b. Gilbert syndrome
bilirubin direk serum (> 1,0 mg/dl) dan disebabkan oleh gangguan fungsi
hepatobiliary.
a. Obstruksi aliran bilier: atresia bilier, kista koledokus, kolangitis
septikemia.
Metabolism bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Perbedaan
utama metabolisme pada neonatus adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada
lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat menghasilkan 34
mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung
dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam
2. Transportasi
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir
Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak
larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Pada saat
KONJUGASI
Ekskresi bilirubin
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air
dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah
bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi
relative tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas beta
PATOFISIOLOGI
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada
langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme
oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat
digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-
paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir
tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam
plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak
terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen
(misalnya obatobatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang
mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang
dapat mengarah ke neurotoksisitas. Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut
ke dalam hepatosit, dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke
hepatosit akan meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi
ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. Bilirubin terikat menjadi
asam glukuronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui reaksi yang
dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi
bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang
larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar.
Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-
glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi
enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena
asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan. pada bayi atau
ditularkan dari ibu ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko
hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes,
sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.
DIAGNOSIS
Berbagai factor risiko dapat meningkatkan kejadian hyperbilirubinemia yang
berat. Tampilan icterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik. Evaluasi neonates dengan icterus dimulai dengan anamnesis
yang rinci, termasuk Riwayat kelahiran, Riwayat keluarga, timbulnya icterus, dan
serologi ibu. Warna feses dan urin serta adanya pruritus harus dinilai untuk bayi yang
dievaluasi untuk icterus dan dapat memberikan petunjuk untuk jenis icterus.
The American Academy merekomendasikan skrining universal semua bayi baru
lahir untuk penyakit kuning dan mengidentifikasi factor risiko untuk mengembangkan
hyperbilirubinemia.Untuk menilai penyakit kuning, bayi baru lahir idealnya harus
diperiksan di siang hari. Namun, penilaian klinis mungkin tidak dapat diandalkan
terutama jika bayi baru lahir telah menerima fototerapi atau memiliki kulit gelap. Oleh
karena itu icterus yang signifikan secara klinis harus selalu dikonfirmasi dengan TSB.
Pemeriksaan fisik terfokus untuk mengidentifikasi penyebab icterus patologis
harus dilakukan. Evaluasi untuk pucat, cephalhematoma, perdarahan subgaleal, memar
yang luas, hepatosplenomegaly, penurunan berat badan, serta tanda dehidrasi harus
dinilai. Selain itu semua bayi dengan icterus juga harus dinilai untuk tanda dan gejala
ensefalopati bilirubin yang mencakup kelesuan, makan yang buruk, perubahan tidur,
hingga kejang.
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.9,12
3. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini
secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang
menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada
bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral
ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel
darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut
diulang hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit
dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari
sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke
dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini
perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus
albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan
jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan
kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.12
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain
trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan
keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi
tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar
bilirubin berapapun.
Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur
fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya.12
albumin.