Anda di halaman 1dari 28

Case Report Session

PROLONGED JAUNDICE

Oleh :

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup bulan dan
kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan (premature) mencapai 58%. Rumah
Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak
85% yang mana memiliki kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar
bilirubin di atas 13 mg/dl.4
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dala
minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan
bayi terlihat bewarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin pada
sklera dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal,
sehingga proses glukoronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini
menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjungasi didalam darah. Pada kebanyakan bayi
baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjungasi merupakan fenomena transisional yang
normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga
bilirubin berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat
bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan
demikian, setiap bayi mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus merupakan keadaan
yang fisiologis atau patologi serta dimonitor apakah mempunyai kecendrungan untuk
berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat.3

1.2 Batasan Masalah


Case report session ini membahas tentang definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi
patogenesis, gambaran klinis, penegakan diagnosis dan tatalaksana prolonged jaundice
1.3 Tujuan Penulisan
Case report session ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai definisi,
klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, penegakkan diagnosis dan
tatalaksana prolonged jaundice
1.4 Metode Penulisan
Case report session ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai sumber.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan perubahan jaringan menjadi kuning
dan disebut sebagai ikterus.1 Ikterus neonatal adalah perubahan warna pada warna kulit dan
sklera menjadi kekuningan pada bayi baru lahir oleh bilirubin.2 Ikterus terlihat ketika kadar
bilirubin serum mencapai 5 - 7 mg/dl.3.Bilirubin serum normal adalah 0,3 – 1,0 mg/dl.1
2.2 Epidemiologi
Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Kematian neonatus terbanyak di
Indonesia disebabkan oleh asfiksia (37%), Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%), ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%),
dan kelainan kongenital (1%) per 1.000 kelahiran hidup.4
Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup bulan dan
kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan (premature) mencapai 58%. Rumah
Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak
85% yang mana memiliki kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar
bilirubin di atas 13 mg/dl.4
2.3 Patogenesis

Gambar 2.1 Metabolisne bilirubin


Proses pembentukan bilirubin terdiri dari beberapa proses pembentukan. Sekitar 80-
85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem monosit-makrofag. Masa
hidup rata rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50ml darah,
menghasilkan 250-350 mg bilirubin.1
Pada katabolisme hemoglobin (terutama di limpa), globin mula-mula dipisahkan dari
heme, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Biliverdin diubah menjadi bilirubin tak
terkonjungasi. Bilirubin tak terkonjungasi larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak
dapat diekresi dalam empedu atau urine. Bilirubin tak terkonjungasi berikatan dengan
albumin dalam suatu komplek larut-air, kemudian diangkut darah ke sel-sel hati.
Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam 3 langkah : ambilan, konjungasi, dan
ekresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang diberi simbol sebagai
protein Y dan Z. Konjungasi bilirubin dengan asam glukoronat dikatalisis oleh enzim
glukoronil tranferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjungasi tidak larut lemak
tapi larut dalam air dan dapat di ekresikan dalam empedu dan urine. Langkah terakhir dalam
metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi melalui. Bilirubin tak
terkonjungasi tidak di ekresikan ke dalam empedu, kecuali setelah proses foto oksidasi atau
foto isomerisasi.1
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjungasi menjadi serangkaian senyawa yang
disebut sterkobilin dan urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitas
10 hingga 20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil di
ekskresi dalam urine.1
2.3 Klasifikasi
Ikterus fisiologik
Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai
faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.3
Tabel 2.1 Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis 5

Ikterus non fisiologis


Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak mudah
dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di bawah ini merupakan petunjuk
untuk tindak lanjut, yaitu :
 ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam
 setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi;
 peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam
 adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap bayi (muntah, letargis, malas
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak
stabil)
 ikterus yang bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.1
2.4 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :

1. Produksi yang berlebihan


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan
diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. 6

2.5 Manifestasi Klinis


Ikterus dapat ada pada saat lahir atau dapat muncul pada setiap saat selama masa
neonatus, bergantung pada keadaan yang menyebabkannya. Ikterus biasanya mulai dari muka
dan ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen dan kemudian kaki.6 Sebagian besar
kasus hiperbilirubin-emia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat
tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa
kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata ter-putar-putar
keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek jangka panjang Kern
icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, dan tuli.5
2.6 Diagnosis
2.6.1 Ikterus Fisiologis
Pada keadaan normal, kadar bilirubin berkisar 1-3 mg/dL dan meningkat <5
mg/dL/24 jam sehingga ikterik pada neonatus terlihat pada hari kedua atau ketiga, dan
biasanya mencapai puncaknya pada hari kedua dan keempat dengan kadar 5-6 mg/dL dan
menurun sampai <2 mg/dL pada hari kelima dan ketujuh setelah lahir. Ikterik yang
berhubungan dengan perubahan ini dianggap fisiologis dan merupakan hasil peningkatan
produksi bilirubin akibat pemecahan sel darah merah dan terbatasnya konjugasi bilirubin oleh
hepar neonatus yang masih imatur.
Respons normal dapat terjadi dikarenakan usia eritrosit yang lebih pendek sehingga
meningkatkan kadar bilirubin; defisiensi uridin 5’-difosfoglukoronosiltransferase (UGT),
yang akan menyebabkan penurunan pembersihan bilirubin; menurunkan ekskresi hepatic dan
meningkatkan sirkulasi enterohepatik.7,8

2.6.2 Ikterus Patologis


Beberapa keadaan dimana terdapat kadar bilirubin lebih tinggi dan hiperbilirubinemia
bertahan lebih lama. Diagnosis ikterik fisiolgis pada cukup bulan dan kurang bulan dengan
menyingkirkan penyebab-penyebab ikterik yang diketahui berdasarkan riwayat penyakit
dahulu, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Secara umum, mencari tahu
penyebab ikterik (ikterik patologis) dilakukan apabila ditemukan:
1. Muncul 24-36 jam setelah lahir
2. Bilirubin serum meningkat lebih cepat dari 5 mg/dL/24 hari
3. Bilirubin serum > 12 mg/dL pada bayi cukup bulan (terutama jika tidak ada faktor risiko)
atau 10-14 mg/dL pada bayi kurang bulan
4. Ikterus bertahan 10-14 hari setelah lahir
5. Fraksi bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL
Ikterik dan penyebabnya dikatakan patologis apabila waktu munculnya, durasi, atau
bentuknya berbeda secara signifikan dengan ikterik fisiologis. Peningkatan abnormal dari
bilirubin tidak terkonjugasi berhubungan dengan ras Asia, prematuritas, pemberian ASI, dan
penurunan berat badan.7
Gambar 2.2 Gambaran bilirubin serum berdasarkan usia neonatus

Penegakkan diagnosis ikterus neonatorum dan identifikasi etiologi melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
- Pada anamnesis, perlu diketahui usia bayi dan onset dari ikteriknya. Usia bayi perlu dan
usia gestasi perlu diketahui untuk menetukan dosis fototerapi. Risiko hiperbilirubinemia
tidak terkonjugasi berbanding terbalik dengan usia gestasi
- Perlu ditanyakan riwayat makan pada anak dan frekuensi muntah (status hidrasi). Adanya
dehidrasi dapat menurunkan kadar bilirubin serum
- Riwayat ikterik dan penyakit hemolitik di keluarga
- Penggunaan obat-obatan ketika hamil
- Riwayat prenatal (nilai adanya infeksi intrauterine atau penyakit hemolitik) dan postnatal
(riwayat makan dan komposisi makanannya serta bagaimana buang air besarnya)
- Warna urin dan feses perlu ditanyakan. Urin yang gelap sebagai indikator non spesifik
dari bilirubin terkonjugasi. Feses berwarna dempul menunjukkan adanya kolestasis.
- Bayi yang mengalami letargi menunjukkan adanya hipotiroid atau panhipopituitarism

- Bayi yang mengalami iritabilitas menunjukkan adanya gangguan metabolik


- Apabila bayi muntah, kemungkinan adanya stenosis pylorus, gangguan metabolic, atau
obstruksi usus.
- BAB yang terlambat berhubungan dengan hipotiroid atau fibrosis kistik
- Berat badan bayi perlu ditanyakan karena kegagalan penambahan berat badan
menujukkan adanya hepatitis neonatal dan penyakit metabolik.
- Riwayat perdarahan massif yang menunjukkan adanya koagulopati atau defisiensi
vitamin K
- Identifikasi faktor risiko, seperti usia gestasi rendah, terpapar nutrisi parenteral sejak dini
dan lama, kurangnya pemberian makanan enteral, sepsis, dan hepatitis neonatal, infeksi
kongenital, inkompabilitas ABO, dan trisomi 21
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama. Untuk mencari tau adanya kelainan
genetik
- Tanyakan hasil dari USG apabila telah dilakukan untuk mengidentifikasi adanya kista
koleidokus. atau kelainan intestinal lainnya.
- Perlu ditanyakan riwayat makan pada anak dan frekuensi muntah (status hidrasi). Adanya
dehidrasi dapat menurunkan kadar bilirubin serum

b. Pemeriksaan Fisik
- Periksa keadaan umum, tanda-tanda vital, berat badan, status gizi dan observasi tanda-
tanda sepsis
- Akumulasi bilirubin di jaringan akan menyebabkan kulit dan sklera ikterik. Ikterik
terlihat pertama kali di wajah dan menyebar secara kaudal ke tungkai bawah dan
ekstermitas. Total serum bilirubin dapat dinilai dengan Transcutaneous bilirubin (TcB)
yaitu pengukuran luas tubuh yang mencerminkan kadar total serum bilirubin. Ikterik pada
hiperbilirubinemia terkonjugasi lebih kehijauan dibanding yang tidak terkonjugasi
dimana warna kulit lebih kuning
- Periksa adanya bintik-bintik atau petekie pada kulit untuk menyingkirkan adanya
koagulopati
- Pemeriksaan abdomen perlu diutamakan untuk melihat adanya distensi. Palpasi hepar dan
lien yang membesar untuk memeriksa adanya massa. Adanya massa pada bagian kanan
perlu dicurigai adanya kista koledokus. Splenomegali umumnya pada hepatitis neonatal
dan bisa menjadi tanda atresia biliar
- Perhatikan warna urin, dimana urin yang lebih gelap menunjukkan adanya
hiperbilirubinemia terkonjugasi dan feses berwarna dempul menunjukkan adanya
kolestasis
- Perlu diperhatikan tanda-tanda memar, sefalohematoma, atau perdarahan intrakranial
- Selain itu, pemeriksaan neurologis perlu dilakukan, dimana bisa terjadi bilirubin
ensefalopati. Perlu dicari tanda-tanda pemberian makan yang buruk, letargi, hipotonus,
atau kejang.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien untuk mencari etiologi
adalah sebagai berikut.
- Kadar bilirubin serum direk dan total
Pada neonatus kurang bulan atau sakit, periksa setiap 12-24 jam tergantung
peningkatannya sampai akhirnya stabil. Neonatus dengan bilirubin direk >50%
TSB perlu dilakukan evaluasi individual
- Pemeriksaan darah rutin
Apabila ada penyakit hemolitik, anemia, atau infeksi
- Golongan darah ibu dan anak dengan Rh
- Pemeriksaan Coombs langsung dan tidak langsung
- Untuk mendeteksi reaksi antigen antibodi pada anemia hemolitik
- Jumlah Retikulosit
- Jika neonatus mengalami anemia atau penyakit hemolitik
- Periksa adanya hipotiroidisme dan galaktosemia, dimana kedua kondisi tersebut perlu
tatalaksana cepat untuk mengurangi sekuele yang serius..
- Fungsi hepar (SGOT dan SGPT), pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan urin
- Pemeriksaan gula darah
- Pemeriksaan kadar hormone TSH dan tiroksin, dan lain-lain.

d. Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut.
- Pemeriksaan X-Ray
- USG hepar dan traktur bilier, apabila curiga adanya kolestasis
- MRI, apabila curiga bayi mengalami hemakromatosis neonatus dengan kadar besi yang
berlebihan
- MRCP dan ERCP
- Biopsi hepar perkutaneus8

2.7 Diagnosis Banding


a. Hiperbilirubinemia terkonjugasi
1. Atresia bilier, merupakan proses obliterasi yang melibatkan duktus biliaris dan
berakibat fatal apabila tidak ditatalaksana. Umumnya, bayi memiliki feses berwarna dempul
dan urin berwarna gelap. Atresia bilier merupakan penyebab yang umumnya terjadi.
2. Hepatitis neonatus idiopatik/hepatitis neonatus giant cell, biasanya terjadi pada bayu
prematur akibat traktus bilier yang imatur. Biasanya ada kesulitan makan dan hipoglikemia.
3. Kolestasis intahepatal genetik, salah satu penyebab yang umumnya terjadi
4. Hiperalimentasi (TPN-induced cholestasis), umum terjadi pada bayi dengan berat
lahir rendah, necrotizing enterocolitis, dan sepsis. Dapat ditemukan adanya hepatomegali dan
feses dempul
5. Infeksi, ikterik kolestasis dan abnormalitas enzim hepar dilaporkan pada neonatus
sepsis.
6. Parasit, seperti toxoplasma gondii, malaria
7. Penyakit hemolitik, akibat defisiensi vitamin K, inkompabilitas Rh atau ABO.
8. Kista koleidokus, bayi mengalami ikterik pada 1-3 minggu, feses berwarna dempul,
adanya hepatomegali, adanya massa di kuadran kanan atas saat palpasi, dan jarang muntah
dan demam
9. Defisiensi antitripsin alfa1, merupakan penyebab genetic yang umumnya terjadi pada
kolestasis
10. Galaktosemia, penyakit metabolik yang umumnya terjadi dengan adanya ikterik yang
berkepanjangan
11. Iskemia-hipoksia perinatal

b. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi


1. Breast-feeding/breast milk jaundice, ikterik ini disebabkan dehidrasi akibat kurangnya
konsumsi ASI. Kandungan di ASI yang menghambat eliminasi bilirubin kemungkinan
ditemukan.
2. Infeksi, ikterik sebagai satu-satunya tanda sepsis jarang ditemukan.
3. Penyakit hemolitik, seperti inkompabilitas ABO
4. Peningkatan bilirubin dari penghancuran eritrosit. Hematoma subdural, perdarahan
intraventrikular di bayi prematur, polisitemia, dan lain-lain
5. Bayi dengan ibu diabetes
6. Asfiksia/hipoksia
7. Sindrom distress pernapasan
8. Hipoglikemia
9. Isoimunisasi Rh
10. Defisiensi G6PD
11. Galaktosemia dini atau intoleransi fruktosa
12. Penggunaan obat-obatan saat hamil, seperti penisilin, oksitosin, sulfonamid,
naproxen, metildopa, dan lain-lain
13. Disseminated intravascular coagulopathy8

2.7 Tatalaksana
1. Farmakoterapi
a. Imunoglobulin
Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat dan
inkompabilitas ABO untuk menekan hemolysis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
ganti
b. Fenobarbital
Fenobarbital efektif dalam merangsang aktivitas dan konsentrasi UDGPT dan ligandin serta
dapat meningkatkan jumlah ikatan bilirubin. Penggunaannya setelah lahir masih
kontroversial dan dan secara umum tidak direkomendasikan.
c. Penggunaan metalloprotoporphyrin dalam pencegahan hiperbilirubinemia diteliti sebagai
analog sistensi heme. Protoporphyrin efektif sebagai inhibitor kompetitif heme oksigenase,
yang berfungsi untuk katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat tersebut, heme
dicegah dari katabolisme dan diekskresikan secara utuh di dalam empedu.
d. Pada penelitian, didapatkan penggunaan protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin
(Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Pemakaian obat ini masih dalam
percobaan dan pemakaiannya hanya untuk bayi dengan hiperbilirubinemia dengan risiko
tinggi disfungsi neurologis
e. Inhibitor beta-glukoronidase pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI dikatakan juga
dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan mengurangi ikterik.
2. Fototerapi
Fototerapi dilakukan dengan menyinarkan cahaya biru kehijauan pada neonatus
dengan panjang gelombang 400-520 nm. Terapi ini dianggap aman dan efisien untuk
mengurangi toksisitas dan meingkatkan eliminasi bilirubin. Fototerapi mendetoksifikasi
bilirubin dengan tiga mekanisme: isomerisasi structural ke lumirubin, fotoisomerisasi
terhadap isomer yang kurang toksik dan fotooksidasi terhadap molekul polar kecil. Proses-
proses ini terjadi di pembuluh darah atau di rongga intersisial kulit. Fototerapi dengan cahaya
biru merubah bilirubin menjadi lumirubin dengan isomerisasi ireversibel. Lumirubin, zat
yang lebih larut daripada bilirubin, diekskresikan tanpa adanya konjugasi ke empedu dan
urin.
Beberapa yang mempengaruhi pemberian terapi sinar adalah masa gestasi, berat lahir,
umur bayi, faktor risiko seperti hipoksia, asidosis, sepsis, kelainan hemolitik.

a. Panduan terapi sinar berdasarkan masa gestasi menurut American Academy of Pediatrics

Gambar 2.3 Panduan fototerapi pada usia gestasi ≥ 35 minggu


Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu, terapi sinar diberikan apabila bilirubin total
pada garis bayi risiko sedang, atau pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk
bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih
tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 minggu.

Tabel 2.1 Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan
berdasarkan American Academy of Pediatrics
Kadar bilirubin total serum (mg/dL (µmol/L)
Usia (jam) Pertimbangkan Fototerapi Transfusi tukar Transfusi tukar
fototerapi jika fototerapi & fototerapi
intensif gagal intensif
25-48 ≥ 12 (170) ≥ 15 (260) ≥ 20 (340) ≥ 25 (430)
49-72 ≥ 15 (260) ≥ 18 (310) ≥ 25 (430) ≥ 30 (510)
>72 ≥ 17 (290) ≥ 20 (340) ≥ 25 (430) ≥ 30 (510)

b. Panduan terapi sinar berdasarkan berat bayi


Tabel 2.2 Petunjuk penatalaksanaan berdasarkan berat badan dan bayi baru lahir yang
relatif sehat
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dl)
sehat Sakit
Berat Badan Fototerapi Transfusi tukar Fototerapi Transfusi tukar
Kurang bulan 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
< 1000 g
1001-1500 g 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 g 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001- 2500 g 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan 15-18 20-25 12-15 18-20
> 2500 g
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Bila kadar bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat
fototerapi intensif, kemungkinan terjadi proses hemolisis
- Kebutuhan cairan meningkat selama pemberian terapi sinar
- Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, minimal setiap 3 jam, tidak perlu mengganti
ASI dengan air, dekstrosa, atau formula
- Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara
alternative pemberian minum. Selama terapi sinar, kebutuhan meningkat 25 ml/kgBB
- Bila bayi mendapat cairan IV, kebutuhan meningkat 10-20%
- Bila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum melalui pipa lambung, bayi tidak perlu
dipindahkan dari lampu terapi sinar
- Selama dilakukan terapi sinar, feses bisa menjadi cair dan berwarna kuning dan tidak perlu
diterapi.
- Bayi dipindahkan dati alat terapi sinar apabila ada tindakan yang tidak bisa dikerjakan di
bawah lampu terapi sinar.
- Bila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi untuk memeriksa
adanya sianosis sentral.
- Warna kulit tidak dapat digunakan untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi
dilakukan terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

3. Transfusi tukar
Transfusi tukar bertujuan menghilangkan komponen darah dan toksin yang berada di
sirkulasi dengan mempertahankan volume darah yang sirkulasi secara adekuat. Tindakan ini
dilakukan untuk menghilangkan antibodi dan bilirubin berlebihan. Merupakan manajemen
prenatal penyakit hemolitik aloimun dan hiperbilirubinmia neonatal. Pada hiperbilirubinemia,
transfuse tukar digunakan apabila kadar bilirubin berisiko untuk menyebabkan gangguan di
susunan saraf pusat (kern ikterik). Transfusi tukar yang dilakukan adalah double volume
exchange selama 50-70 menit. Penurunan bilirubin semakin efisien jika transfusi tukar
dilakukan perlahan, sehingga ada kesempatan untuk bilirubin ekstra dan intravaskuler
mencapai keseimbangan.
Gambar 2.4 Panduan transfusi tukar

Berikut panduan transfusi tukar berdasarkan AAP (American Academy of Pediatrics):


- Garis putus-putus dalam 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa ketentuan pasti
dikarenakan ada pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terapi
- Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau kadar bilirubin total
≥ 5 mg/dL diatas garis ketentuan
- Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
sis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis
- Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total/albumin
- Bilirubin total sebagai ketentuan
- Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (risiko sedang), transfusi tukar dapat
dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usianya9
Tabel 2.3 Rasio bilirubin total/albumin sebagai penunjang untuk memutuskan untuk transfusi
tukar
Kategori Risiko Rasio B/A saat Transfusi tukar
Harus Dipertimbangkan
Bil Tot (mg/dL) / Bil Tot (µmol/L) /
Alb, g/dl Alb,µmol/L
Bayi ≥ 38 0/7 mg 8 0,94
Bayi 35 0/7 mg – 36 6/7 mg dan sehat 7,2 0,84
atau ≥ 38 0/7 mg jika risiko tinggi
atau isoimmune hemolytic disease
atau defisiensi G6PD
Bayi 35 0/7 – 37 6/7 jika risiko tinggi 6,8 0,8
atau isoimmune hemolytic diseas atau
defisiensi G6PD

Tabel 2.4 Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan
berdasarkan American Academy of Pediatrics
Kadar bilirubin total serum (mg/dL (µmol/L)
Usia (jam) Pertimbangkan Fototerapi Transfusi tukar Transfusi tukar
fototerapi jika fototerapi & fototerapi
intensif gagal intensif
25-48 ≥ 12 (170) ≥ 15 (260) ≥ 20 (340) ≥ 25 (430)
49-72 ≥ 15 (260) ≥ 18 (310) ≥ 25 (430) ≥ 30 (510)
>72 ≥ 17 (290) ≥ 20 (340) ≥ 25 (430) ≥ 30 (510)

2.6 Komplikasi
Risiko tertinggi yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia indirek adalah disfungsi
neurologis akibat tingginya kadar bilirubin indirek. Kern ikterik (ensefalopati bilirubin)
tergantung dari kadar bilirubin indirek, durasi paparan terhadap peningkatan bilirubin,
penyebab ikterus, dan keadaan bayinya itu sendiri. Gangguan neurologis sepetri kern ikterus
bisa terjadi pada kadar bilirubin rendah pada bayi kurang bulan, bayi dengan asfiksia,
perdarah itraventrikular, hemolisis, atau obat-obtan yang melepas ikatan bilirubin dan
albumin.7
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny . F
Tanggal lahir/Umur : 17 oktober 2019 / 20 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Taruko IV tunggul hitam
Tanggal masuk : 06 November 2019

ANAMNESIS
Keluhan Utama: Kuning yang semakin bertambah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Tampak kuning sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, awalnya kuning pada wajah dan
semakin bertambah sejak 1 minggu yang lalu hingga sekarang tampak kuning sampai tungkai
 Demam tidak ada.
 Sesak nafas tidak ada. Kebiruan tidak ada.
 Muntah tidak ada.
 Anak menyusu kuat pada ibu tiap 3 jam lebih kurang selama 30 menit atau ASI pompa lebih
kurang 80cc/ 3 jam
 Kejang tidak ada.
 BAK ada, jumlah dan warna biasa.
 BAB ada, warna dan konsistensi biasa.
 Riwayat ibu mengalami demam saat hamil tidak ada
 Riwayat ibu mengalami nyeri saat buang air kecil tidak ada.
 Riwayat ibu keputihan ada saat kehamilan tidak ada.
 Riwayat pengobatan selama kehamilan tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat dirawat saat lahir sampai usia 5 hari di NICU RSUP M.Djamil padang dengan
pneumonia neonatal mendapat terapi dengan CPAP. Diagnosa saat dirawat pneumonia
neonatal, shock hipotermi, neonatal jaundice ec unspecified. Telah dilakukan coomb test
dengan hasil negatif dan kultur darah hasilnya negatif
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada riwayat penyakit kuning dalam keluarga

Riwayat Persalinan :
 NBBLC 2800 gr , gravid aterm 37-38 minggu, Panjang Badan Lahir 46 cm, lahir SC atas
indikasi KPD letak sungsang dan oligohidramnion, A/S 5/7, tidak langsung menangis, sudah
mendapatkan injeksi vit.K
Riwayat Antenatal :
 Kontrol ke bidan, teratur
 HPHT : lupa

Riwayat Sosial Ekonomi

Riwayat Keluarga Ayah Ibu


Nama
Umur 26 Thn 27 Thn
Pendidikan D3 D3
Pekerjaan Swasta Swasta
Peghasilan 5.000.000/bln 5.000.000/bln
Perkawinan I I
Penyakit yang diderita Tidak ada Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : cukup aktif
Frekuensi Jantung : 132x/menit
Frekuensi Nafas : 48x/menit
Suhu : 36,6o C
Panjang Badan : 48 cm
Berat Badan : 3200 gram
Kulit : teraba hangat, ikterik sampai tungkai (grade III-IV)
KGB : tidak teraba pembesaran getah bening
Kepala : bulat, simetris, lingkar kepala 38 cm (Normal Standar Nellhauss)
ubun-ubun besar belum menutup, tidak menonjol
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+
pupil isokor, diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya +/+ normal
Telinga : low set ear tidak ada
Hidung : nafas cuping hidung tidak ada
Tenggorokan : tonsil dan faring sulit dinilai
Gigi dan mulut : mukosa bibir dan mulut basah, sianosis sirkum oral tidak ada
Leher : JVP sukar dinilai
Paru
Inspeksi : normochest, retraksi tidak ada
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : SN bronkovesikuler rhonki tidak ada , wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC IV
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : S1 S2 reguler , murmur tidak ada, gallop tidak ada

Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : Supel , Hepar ¼ - ¼, lien tidak teraba
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : BU (+) normal
Umbilikus : tidak ada kelainan
Genitalia : eritem vulva (+) A1M1P1
Ekstremitas : atas : tidak ditemukan kelainan, teraba hangat, perfusi baik
bawah : tidak ditemukan kelainan, teraba hangat, perfusi baik
Anus : ada, tidak ada kelainan.
Tulang : intak
Refleks Moro :+ Isap :+
Rooting :+ Pegang : +

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 6 november 2019 : Tanggal 6 november 2019
Hb : 13,5 gr % Total bilirubin : 12,9 g/dL
Leukosit : 11860 /mm3 Bilirubin direk : 0,2 mg/dL
Ht : 39 vol % Bilirubin indirek : 12,7 vmg/dL
Trombosit : 306.000/mm3

Hasil Coomb test


Kesan : Coomb Test negatif.

DIAGNOSA KERJA
 Prolonged jaundice ec susp. ISK

DIAGNOSA BANDING
TERAPI
1. Umum
 ASI OD
2. Khusus
 Ampicilin sulbactam 3 x 160 mg iv
 Gentamicin 1 x 16 mg iv
RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA
 Kultur urin
 Urinalisa
 Bilirubin total, Bilirubin direk dan indirek
 Bilirubin urin

FOLLOW UP
Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi dan Rencana
7-11-2013 S/ - bayi rawatan dibawah infant warmer  Ampicilin sulbactam
Hari rawatan - masih tampak kuning sampai tungkai 3 x 160 mg iv
ke-1 - demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada  Gentamicin 1 x 16
- BAK dan BAB biasa mg iv
VS/ Keadaan : sakit sedang, cukup aktif
HR : 148x/mnt
RR : 48/mnt
Suhu : 36,70 C
Kulit : ikterik sampai tungkai (grade III-IV)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik
Thorax : pulmo : bronkhovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak
ada
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), hepar 1/4 – 1/4, lien tidak
teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

Kesan : ikterik berkurang dari hari sebelumnya


P/ Prolonged jaundice
8-11-2019 S/ - bayi rawatan dibawah infant warmer  Ampicilin sulbactam
Hari rawatan - masih tampak kuning sampai tungkai 3 x 160 mg iv
ke-2 - demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada  Gentamicin 1 x 16
- BAK dan BAB biasa mg iv

VS/ Keadaan : sakit sedang, cukup aktif


HR : 139x/mnt
RR : 45x/mnt
Suhu : 36,30 C
Kulit : ikterik sampai tungkai (grade III-IV)
Mata: konjuntiva tak anemis, sklera ikterik
Thorax : pulmo : bronkhovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), hepar 1/4 – 1/4, lien tidak
teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

P/ Prolonged jaundice
BAB 1V
DISKUSI

Seorang pasien perempuan, berusia 20 hari, cukup bulan, dengan keluhan


utama bayi tampak kuning sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Dari anamnesis, didapatkan pasien tampak kuning sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit yang tidak hilang semenjak hari rawatan pertama setelah lahir,
meliputi hampir seluruh tubuh. Ikterik yang muncul pada kurang dari 24 jam dimana
hal ini masuk ke dalam kriteria ikterik patologis. Ikterik yang muncul pertama kali
pada hari ke pertama lahir terjadi pada penyakit hemolitik dan hematoma. Infeksi juga
dapat menimbulkan ikterik pada hari pertama kelahiran.

Gambar 2.5 Faktor risiko perkembangan hiperbilirubinemia berat


Gambar 2.6 Kemungkinan diagnosis ikterus neonatorum7

Pada saat kehamilan, ibu pasien tidak pernah mengalami demam pada awal
hingga menjelang persalinan. Nyeri berkemih selama kehamilan tidak diketahui.
Keputihan selama kehamilan atau menjelang kelahiran tidak diketahui. Anak
sebelumnya sudah dirawat saat lahir sampai usia 5 hari di NICU RSUP Dr. M. Djamil
Padang, dengan diagnosa saat dirawat pneumonia neonatal, shock hipotermi, neonatal
jaundice ec unspecified. Telah dilakukan coomb test dengan hasil negatif dan kultur
darah hasilnya negatif.
Pada riwayat kehamilan ibu sekarang, tidak ada riwayat demam berulang dan
didapatkan kehamilan cukup bulan. Pemeriksaan tanda-tanda vital saat kehamilan
ditemukan normal. Pasien lahir dengan sectio cesarea dengan indikasi KPD letak
sungsang dan oligohidramnion.
Bayi dilahirkan tanggal 17 oktober 2019 gravid aterm 37-38 minggu dengan
berat badan lahir 2800 gram dan panjang badan 46 cm. APGAR pasien didapatkan
5/7. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada bayi, ditemukan ikterik.
Pemeriksaan fisik lainnya ditemukan normal.
Telah dilakukan pemeriksaan Coomb Test pada rawatan pertama, dengan hasil
negatif. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi yang
menyerang eritrosit individu, yaitu pada anemia hemolitik, inkompabilitas darah ibu
terhadap janin (ABO,Rh). Anemia hemolitik dan inkompabilitas darah dapat
disingkirkan sebagai penyebab ikterik pada pasien. Pada pasien dengan riwayat
infeksi sebelumnya dicurigai penyebab kuningknya berasal dai infeksi pada anak
sehingga dilakukan pemeriksaan urinalisa dengan hasil proteinuria tanpa ditemukan
adanya bakteri
Tatalaksana yang diberikan adalah fototerapi yang merupakan dilakukan
dengan menyinarkan cahaya biru kehijauan pada neonatus dengan panjang gelombang
400-520 nm. Bekerja mendetoksifikasi bilirubin dengan tiga mekanisme: isomerisasi
structural ke lumirubin, fotoisomerisasi terhadap isomer yang kurang toksik dan
fotooksidasi terhadap molekul polar kecil. Pasien ini diberikan ampisilin karena
dicurigai adanya infeksi berdasarkan riwayat rawatan pada bayi sebelumnya.
Kombinasi antibiotika gentamisin dan ampisilin digunakan sebagai antibiotik lini
pertama untuk pasien anak. Hal ini disebabkan gentamisin yang dikombinasikan
dengan penisilin atau vancomisin menghasilkan efek bakterisid yang kuat, yang
sebagian disebabkan oleh peningkatan ambilan obat yang timbul
karena penghambatan sintesis dinding sel. Penisilin mengubah struktur dinding sel
sehingga memudahkan penetrasi gentamisin kedalam kuman.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson. 2015,.Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit, Edisi 6. EGC : Jakarta. Hal 481-485
2. Hanneke Brits, dkk.2018. The prevalence of neonatal jaundice and risk factors in
healthy term neonates at National District Hospital in Bloemfontein. African Journal
of Primary Health Care & Family Medicine.
3. M. Sholeh kosim , dkk.2008.Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta .hal147-168.
4. Ndaru Puspita. 2015. Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Ikterus
Neonatorum Di Sidoarjo. Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga : Surabaya.
5. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. 2013.Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal
Biomedik. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado.
6. Maulida, L. F. 2014. Ikterus neonatorum. Media Publikasi Penelitian, hal 39–43
7. Kliegman, Stanton, dkk. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics. Canada: Elsevier
8. Gomella, Cunningham, Eyal. 2013. Neonatology Management, Procedures, On-Call
Problems, Diseases, and Drugs. New York: McGraw-Hill
9. Kosik, Yunanto, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia
10. Wirahmi, dkk. 2011. Analisa Penggunaan Kombinasi Gentamisin dan Ampisilin pada
Pasien Pediatri di Bangsal Anak RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Fakultas Farmasi Univeristas
Andalas.

Anda mungkin juga menyukai