Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

NEONATAL JAUNDICE

Dibuat oleh:
Regina Varani (2012-061-093)

Pembimbing: dr. Noor Widiastuti, SpA

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


RS Panti Rapih
Agustus 2014

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebanyak 228 per 100.000
kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati
bilirubin (kern ikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang
paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi
kualitas hidup.
Sekitar 60% neonatus normal mengalami ikterus dalam 1 minggu pertama kehidupan.
Hiperbilirubinemia indirek atau unconjugated ini terjadi akibat pembentukan bilirubin berlebih
dan karena hepar pada neonatus belum dapat mengeliminasi bilirubin dengan cepat dari darah.
Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Di Indonesia, data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan sebagai berikut:
-

Di RS Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama tahun


2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada

minggu pertama kehidupan.


RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL.
Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian
neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda.
Di RSCM, ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito
menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai
ikterus berdasarkan metode visual.
Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus
fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus nonfisiologis).
Namun sebagian bayi dengan ikterus neonatorum tetap membutuhkan pengawasan dan
ditatalaksana untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan organ. Data dari studi di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa 5-40 per 1000 bayi term dan late-preterm menjalani
fototerapi sebelum dipulangkan dari perawatan. Bahkan di beberapa negara lain frekuensi
penggunaan fototerapi lebih tinggi lagi.
I.2. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perbedaan dan penyebab ikterus patologis dan nonpatologis pada neonatus.
2. Mengetahui modalitas terapi yang digunakan untuk mengatasi hiperbilirubinemia.
3. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada hiperbilirubinemia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
peningkatan bilirubin. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13
mg/dL. (HTA)
Kadar bilirubin pada orang dewasa normalnya <1 mg/dL, sedangkan manifestasi ikterik muncul
pada kisaran >2 mg/dL. Pada neonatus ikterik baru muncul pada kadar >7 mg/dL. Sekitar 2550% neonatus term akan mengalami ikterik, angka ini bahkan lebih besar pada bayi prematur.
Sebanyak 6,1% neonatus term sehat memiliki kadar bilirubin >12,9 mg/dL, bahkan sebanyak 3%
dapat mencapai bilirubin >15 mg/dL.
II.2. Sumber Bilirubin
Bilirubin merupakan hasil pemecahan hemoglobin dan protein heme lainnya. Neonatus normal
memproduksi 6-10 mg bilirubin/kg/hari. Jumlah ini lebih besar daripada orang dewasa yaitu
hanya 3-4 mg/kg/hari.
Protein heme yang utama adalah hemoglobin. Hemoglobin yang dikeluarkan oleh eritrosit tua
merupakan 75% sumber produksi bilirubin. Satu gram hemoglobin memproduksi sebanyak 34
mg bilirubin. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pengeluaran hemoglobin dari eritrosit
yang lebih cepat seperti pada isoimunisasi (contohnya pada inkompatibilitas Rh dan ABO),
abnormalitas biokimia eritrosit (G6PD dan defisiensi piruvat kinase), abnormalitas morfologi
eritrosit, dan darah sekuester (lebam dan sefalhematom), dan polisitemia. Sedangkan 25%
produksi bilirubin lainnya didapat dari hemoglobin yang dihasilkan dari eritropoiesis di sumsum
tulang yang kurang efektif, atau dari protein heme lain di jaringan (mioglobin, sitokrom,
katalase, dan peroksidase), dan heme bebas.
II.3. Metabolisme bilirubin

Heme diubah oleh heme-oksigenase menjadi biliverdin, besi, dan karbon monoksida (diekskresi
melalui paru). Biliverdin kemudian diubah oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin.
Selanjutnya bilirubin akan mengalami proses transport, uptake dan konjugasi.
II.3.1. Transport
Bilirubin bersifat nonpolar dan tidak larut dalam air, sehingga harus berikatan dengan albumin
untuk ditransport di plasma. Bilirubin ini disebut indirek, dan biasanya tidak dapat masuk ke
sistem saraf pusat. Obat-obatan tertentu dapat mengganggu ikatan bilirubin dengan albumin,
seperti sulfonamid.
II.3.2. Uptake
Bilirubin akan berdisosiasi dengan albumin dan diuptake oleh hepatosit dan berikatan dengan
ligandin sitoplasma (protein Y) untuk ditransport ke retikulum endoplasma halus. Fenobarbital
meningkatkan konsentrasi ligandin.
II.3.3. Konjugasi
Selanjutnya bilirubin indirek ini dikonversi menjadi bilirubin direk yang larut air di retikulum
endoplasma halus oleh enzim uridine diphosphate glucuronosyl transferase (UDPG-T), yang
mengkonjugasikan dengan asam glukoronat. Enzim UDPG-T dapat diinduksi oleh fenobarbital
dan mengkatalis pembentukan bilirubin monoglukoronida. Bilirubin terkonjugasi baik dalam
bentuk mono ataupun diglukoronida akan ditransport secara aktif ke empedu dan dieliminasi
melalui pengeluaran feses.
II.3.4. Ekskresi
Bilirubin terkonjugasi pada sistem bilier akan diekskresi bersama feses. Bilirubin terkonjugasi
normalnya tidak diserap kembali oleh tubuh, kecuali jika telah dikonversi kembali dalam bentuk
bilirubin tak terkonjugasi oleh enzim -glukoronidase. Proses resorpsi bilirubin ke hepar untuk
direkonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik. Berbagai keadaan patologis seperti penurunan
intake enteral, atresia usus, ileus mekonium, dan penyakit Hirschprung dapat meningkatkan
siklus enterohepatik.

Secara fisiologis terjadi peningkatan absorpsi bilirubin di usus sehingga neonatus lebih rentan
mengalami ikterus. Bilirubin terkonjugasi baik dalam bentuk mono atau diglukoronida, bersifat
tidak stabil dan mudah terhidrolisis menjadi bilirubin tak terkonjugasi, baik secara spontan
maupun enzimatik oleh -glukoronidase, yang dengan mudah direabsorpsi melalui mukosa usus.
Flora usus dapat memetabolisme bilirubin terkonjugasi menjadi urobilin dan sterkobilin yang
bersifat larut air dan mudah dieksresi. Namun flora usus pada neonatus masih sedikit, dan justru
mengandung -glukoronidase lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Faktor lain yang
meningkatkan dekonjugasi bilirubin glukoronidase pada usus neonatus adalah pH yang sedikit
alkali di usus proksimal yang mempermudah hidrolisis nonenzimatik, dan predominan
monoglukoronidase sebagai produk ekskresi bilirubin pada hari-hari awal kehidupan.
II.4. Hiperbilirubinemia Indirek dan Direk
II.4.1. Hiperbilirubinemia Indirek
II.4.1.1. Penyebab terjadinya hiperbilirubinemia indirek
A. Peningkatan kadar bilirubin hepatik
a. Penyakit Hemolitik Defek membran sel
Pada masa neonatal, gangguan hemolitik yang dapat menyebabkan manifestasi
klinis, antara lain sferositosis herediter, eliptositosis, stomatositosis, dan
piknositosis infantil.
b. Penyakit Hemolitik Abnormalitas enzim eritrosit
i. Defisiensi Glucose-6-phosphate-dehydrogenase (G6PD)
G6PD merupakan enzimopati terkait-X yang dapat mengenai laki-laki
hemizigos, perempuan homozigos, dan subset perempuan heterozigos
akibat inaktivasi kromosom X. G6PD berperan dalam proses reduksi
oksidasi metabolisme eritrosit, dan defisiensi enzim ini berhubungan
dengan hemolisis akut pada neonatus terutama setelah terpajan stres
oksidatif, dan menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia berat hingga
kern ikterus. Pencetus hemolisis pada G6PD lainnya adalah infeksi.
Gambaran klinis yang lebih dominan adalah ikterus berat dibandingkan
anemia.
ii. Defisiensi piruvat kinase

Defisiensi piruvat kinase merupakan gangguan autosomal resesif, dan


prevalensi nya lebih rendah daripada defisiensi G6PD. Manifestasi klinis
antara lain ikterus, anemia, dan retikulositosis.
c. Penyakit Hemolitik Hemoglobinopati
Hemoglobinopati merupakan gangguan yang jarang menunjukkan manifestasi
klinis pada periode neonatal. Alpha-thalassemia paling mungkin memberi klinis
pada neonatus. Sel diploid manusia memiliki 4 salinan gen alpha-globin, sehingga
terdapat 4 sindroma alpha-thalassemia tergantung dari gen yang terkena defek.
Jika hanya terdapat 1 rantai alpha yang defek maka asimtomatik dan disebut
silent

carrier. Alpha-thalassemia

homozigos

(ke-4

rantai

absen

total)

menyebabkan hemolisis berat, anemia, hidrops fetalis, dan hampir selalu


meninggal dalam kandungan atau segera setelah dilahirkan. Beta thalassemia
murni tidak bermanifestasi pada masa neonatal. Sedangkan gamma thalassemia,
jika dalam bentuk homozigos menyebabkan inkompatibilitas total, jika hanya 1
atau 2 gen, menyebabkan anemia ringan atau sedang dan akan teratasi saat
sintesis rantai beta dimulai.
d. Penyakit Hemolitik immune-mediated (Tes direct Coombs positif)
i. Rh isoimmunization
Isoimunisasi Rh biasanya terjadi karena antigen Rh D. Bayi dengan Rhpositif dari ibu Rh-negatif yang tersensitisasi biasanya mengalami
hiperbilirubinemia yang signifikan yang membutuhkan transfusi tukar,
selain juga fototerapi intensif.
ii. Inkompatibilitas ABO
Hal ini biasanya terjadi pada bayi dengan golongan darah A atau B yang
lahir dari ibu golongan darah O. Dari hasil penelitian oleh Ozolek et al,
hanya sepertiga bayi tipe A atau B dari ibu golongan darah O yang
memiliki tes direct Coombs positif, dan hanya 15% nya yang memiliki
kadar serum bilirubin 12,8 mg/dL. Namun penyakit hemolitik ABO
dapat terjadi walaupun hasil Coombs negatif. Hal ini dikarenakan antigen
A dan B pada neonatus masih belum sempurna, serta absorpsi serum
antibodi oleh epitop antigen A dan B di jaringan dan cairan tubuh.
Diagnosis penyakit hemolitik ABO simtomatis harus dijadikan
pertimbangan pada bayi yang mengalami ikterus berat, dengan
inkompatibilitas ABO, tes direct Coombs positif, dan gambaran

mikrosferositosis pada morfologi darah tepi. Hiperbilirubinemia pada


penyakit hemolitik ABO simtomatis biasanya muncul dalam 12-24 jam
pertama kehidupan dan biasanya dapat diatasi hanya dengan fototerapi.
Namun serum bilirubin total tetap harus diawasi selama fototerapi untuk
memastikan bahwa serum bilirubin total tidak mengalami peningkatan
mencapai kadar transfusi tukar.
iii. Inkompatibilitas golongan darah minor
Isoimunisasi sekunder terhadap antigen golongan darah minor seperti
Kell, Duffy, dan Kidd, juga dapat menyebabkan hemolisis in utero dan
hiperbilirubinemia postnatal, namun antigen-antigen ini jauh lebih tidak
poten dalam menginduksi antibodi dibandingkan Rh D.
e. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
i. Obstruksi intestinal, stenosis pylorus
ii. Ileus, meconium plug, kistik fibrosis
iii. Breast milk feeding
f. Peningkatan load eritrosit
i. Darah ekstravaskuler (memar, sefalhematoma, perdarahan intrakranial)
ii. Polisitemia akibat massa eritrosit yang lebih besar pada neonatus
iii. Bayi dari ibu diabetes, memiliki kadar eritropoietin yang tinggi yang
menyebabkan eritropoiesis, sehingga terjadi polisitemia
B. Penurunan pengeluaran bilirubin hepatik
a. Prematuritas, termasuk late-preterm
b. Defisiensi hormone
Pada hipotiroidisme, dapat terjadi penurunan aktivitas UDPG-T sehingga dapat
terjadi hiperbilirubinemia early onset pada 10% bayi dengan hipotiroid.
c. Uptake bilirubin hepar yang terganggu
Terjadi pada pasien dengan patent ductus venosus atau SLCO1B1 gene
polimorfisme
d. Gangguan konjugasi bilirubin
i. Crigler-Najjar syndrome type 1
CNS tipe 1, merupakan penyakit autosomal resesif, disebabkan karena
aktivitas UDPG-T hampir absen total. TSB kebanyakan >20 mg/dL.
ii. Crigler-Najjar syndrome type 2
CNS tipe 2, disebut juga penyakit Arias, terjadi lebih sering dari CNS-1
dan kebanyakan ringan. Disebabkan karena mutasi pasangan basa tunggal,
sehingga terjadi penurunan aktivitas enzim, tetapi tidak sepenuhnya absen.
iii. Gilbert disease
Merupakan hiperbilirubinemia indirek ringan, terjadi seumur hidup, tanpa
adanya hemolisis atau penyakit hati. Disebabkan karena penurunan

aktivitas glukuronidase hati sehingga lebih banyak monoglukuronidase


yang dihasilkan. Ikterus pada masa neonatal lebih cepat naik dan lebih
lama. (Gomella)
e. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Dapat terjadi karena obstruksi intestinal, stenosis pylorus, ileus, meconium plug,
kistik fibrosis, dan breast milk feeding
II.4.1.2. Hiperbilirubinemia Indirek Fisiologis
Serum bilirubin tak terkonjugasi (indirek) pada minggu pertama kehidupan neonatus biasanya
meningkat >2 mg/dL. Kadar ini meningkat hingga mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari dan
kemudian menurun. Batas peningkatan yang masih dipertimbangkan sebagai fisiologis adalah 12
mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai
contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.
Setelah usia 1 bulan, kadar bilirubin baru turun <2 mg/dL baik pada bayi term maupun prematur.
Faktor-faktor yang menyebabkan ikterus neonatorum fisiologis antara lain:
1. Peningkatan produksi bilirubin
a. Peningkatan volume eritrosit per kilogram dan penurunan survival eritrosit pada
neonatus (90 hari).
b. Peningkatan eritropoiesis yang inefektif dan peningkatan turnover protein heme
nonhemoglobin.
2. Peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat tingginya kadar -glukoronidase, predominan
monoglukoronidase, jumlah bakteri usus sedikit, dan penurunan motilitas usus dengan
evakuasi mekonium yang sedikit.
3. Defek uptake dimana uptake bilirubin plasma oleh ligandin yang masih sedikit dan
pengikatan ligandin dengan anion lain.
4. Defek konjugasi akibat aktivitas UDPG-T rendah.
5. Ekskresi bilirubin hepar rendah.
II.4.1.3. Hiperbilirubinemia Nonfisiologis

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecurigaan patologis
perlu dipikirkan jika terjadi hal di bawah ini:

Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan


TSB melebihi persentil 95th untuk umur per jam, berdasarkan nomogram
Terdapat peningkatan serum bilirubin yang membutuhkan fototerapi
Peningkatan bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam
Tanda-tanda penyakit yang mendasari, seperti ada muntah, letargis, intake oral sulit,

penurunan berat badan berlebih, apnea, takipnea, atau instabilitas suhu


Ikterus persisten (>8 hari pada bayi term, atau >14 hari pada bayi prematur)

Selain itu apabila dari riwayat atau anamnesis, ditemukan hal sbb:

Riwayat keluarga dengan ikterus, anemia, spelektomi, atau penyakit kandung empedu
dini, yang merujuk adanya anemia hemolitik herediter (contoh: sferositosis, defisiensi

G6PD)
Riwayat keluarga dengan penyakit hati, yang merujuk kemungkinan galaktosemia,

Gilbert disease, sindroma CN tipe 1 atau 2, dsb


Etnis atau asal geografis yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia (Asia Timur,

Yunani, Indian Amerika)


Saudara dengan ikterus atau anemia yang merujuk kemungkinan inkompatibilitas

golongan darah, breast-milk jaundice, atau sindrom Lucey-Driscoll


Penyakit maternal selama kehamilan yang merujuk kemungkinan infeksi viral atau
tokoplasmosis congenital. Bayi dari ibu diabetes juga cenderung mengalami

hiperbilirubinemia.
Obat-obatan yang dikonsumsi ibu, dapat mengganggu ikatan bilirubin dengan albumin,
menyebabkan terjadinya toksisitas bilirubin pada kadar bilirubin relatif rendah
(sulfonamid), atau menyebabkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD

(sulfonamide, nitrofurantoin, anti malaria)


Riwayat melahirkan dapat memberi petunjuk trauma yang menyebabkan ekstravasasi
darah dan hemolisis. Oksitosin dapat berhubungan dengan hiperbilirubinemia
neonatorum, tetapi masih Kontroversial. Bayi asfiksia dapat mengalami peningkatan
kadar bilirubin akibat ketidakmampuan hepar untuk memproses bilirubin atau akibat
perdarahan intracranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat berhubungan dengan
polisitemia dan peningkatan load bilirubin.

Riwayat bayi dapat memberi petunjuk keterlambatan pasase feses, yang dapat disebabkan
oleh intake kalori rendah atau obstruksi intestinal, yang dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin. Intake kalori rendah dapat juga menurunkan uptake bilirubin oleh

hepar. Muntah dapat disebabkan oleh sepsis, stenosis pylorus, atau galaktosemia.
Breast-feeding
o Breast-milk jaundice
Hiperbilirubinemia indirek berkepanjangan, melebihi minggu ke-2 atau ke-3
kehidupan, dapat mencapai usia 3 bulan. Mencapai 10-30% bayi yang
mengkonsumsi ASI saja. Terjadi karena enzim -glukuronidase pada ASI
meningkatkan penyerapan bilirubin di usus. Walaupun beberapa klinisi
menganggap breast-milk jaundice hanya lanjutan dari ikterus fisiologis, namun
ternyata ada kejadian kern ikterus yang dilaporkan pada bayi term dan latepreterm sehat, sehingga tidak dapat dianggap sepenuhnya tidak berbahaya.
o Breast-feeding jaundice.
Breast-feeding jaundice disebabkan karena kekurangan kalori seperti kelaparan,
akibat cara pemberian ASI yang salah atau kurang, sehingga menyebabkan pasase
mekonium terlambat dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

II.4.1.4. Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)


-

Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup

bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.


Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan
rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila

memungkinkan.
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis congenital

II.4.2. Hiperbilirubinemia Direk


Hiperbilirubinemia direk (unconjugated) terjadi pada kadar bilirubin direk >1,0 mg/dL saat TSB
5,0 mg/dL, atau lebih dari 20% TSB. Keadaan ini merupakan tanda adanya kolestasis, atau
disfungsi hepatobilier. Insidensinya adalah 1 pada 2500 bayi, jauh di bawah kejadian
hiperbilirubinemia indirek. Perlu diingat tidak ada keadaan fisiologis pada hiperbilirubinemia
direk.

II.4.2.1. Patofisiologi
Produksi empedu normal meliputi 2 proses: uptake asam empedu oleh hepatosit dari darah, dan
sekresi empedu ke kanalikuli empedu. Uptake empedu dari darah merupakan proses aktif yang
difasilitasi oleh 2 reseptor utama pada membran basolateral. Sedangkan sekresi empedu terjadi
karena pompa garam empedu. Pada neonatus sehat, proses seluler untuk mengatur aliran empedu
masih belum matang, dan tidak berfungsi sebaik pada dewasa sehingga lebih rentan terhadap
kejadian kolestasis.
II.4.2.2. Faktor Resiko
Faktor resikonya antara lain infeksi congenital, sepsis, hepatitis neonatal, inkompatibilitas ABO,
trisomi 21, dan penggunaan TPN (Total Parenteral Nutrition).
II.4.2.3. Manifestasi Klinis
Biasanya berupa ikterus berkepanjangan, disertai feses pucat berwarna seperti dempul, dan urin
yang berwarna gelap. Diferensial diagnosis kolestasis sangat luas, baik berdasarkan lokasi
anatomisnya yaitu ekstrahepatik atau intrahepatik, atau berdasarkan etiologi seperti infeksi,
familial, metabolik, toksik, kromosomal, vascular, atau kelainan duktus bilier. Penanganan pada
hiperbilirubinemia direk dilakukan secara medikamentosa maupun surgikal tergantung
penyebabnya.
II.5. Penegakan Diagnosis Ikterus
II.5.1. Pemeriksaan fisik
Ikterus terjadi dengan arah sefalokaudal, namun metode visual hanya dilakukan jika terdapat
keterbatasan alat dan bertujuan untuk skrining. Bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk
diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
Penilaian jaundice secara visual dapat dinilai melalui staging Kramer:

Panduan WHO untuk menentukan ikterus secara visual adalah sebagai berikut:
-

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (dengan cahaya matahari)


karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa

tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.


Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan

jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat
pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus
sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .

Pemeriksaan fisik pada bayi dengan ikterus:


1. Prematuritas
2. Kecil masa kehamilan (small for gestational age/SGA), dapat berhubungan dengan
3.
4.
5.
6.
7.

polisitemia dan infeksi in utero


Mikrosefali, berhubungan dengan infeksi in utero
Memar, sefalhematom, atau perdarahan tertutup lainnya
Pucat/pallor, berhubungan dengan anemia hemolitik atau perdarahan
Petechiae, berhubungan dengan infeksi congenital, sepsis, atau eritroblastosis
Hepatosplenomegali, berhubungan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit

hepar
8. Omphalitis
9. Chorioretinitis, berhubungan dengan infeksi congenital
10. Tanda hipotiroidisme
II.5.2. Pemeriksaan Penunjang

1. Serum bilirubin total


Pemeriksaan bilirubin serum merupakan gold standard penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin
direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu. Sampel serum
harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).

2. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm.
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang
diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength
spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan
dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Briscoe dkk. (2002) untuk mengetahui akurasi
pemeriksaan bilirubin transkutan dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum pada
303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu, menunjukkan bahwa pemeriksaan
TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun karena interval prediksi cukup besar, TcB tidak dapat digunakan untuk
mengukur TSB.
3. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang
rendah. Salah satu metode yand dapat digunakan untuk mengukur kadar bilirubin bebas
adalah metode oksidase-peroksidase. Prinsip metode ini berdasarkan kecepatan reaksi
oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin yang membentuk substansi tidak berwarna.
Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Selain itu pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang
ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan
melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin. (HTA)
4. Golongan darah, Rh, dan tes direct Coombs pada neonatus untuk tes penyakit hemolitik.
Bayi dari ibu yang Rh-negative harus diperiksa golongan darah, Rh, dan tes Coombs saat
lahir. Pemeriksaan rutin pada bayi dari ibu golongan darah O Rh-positive tidak
diperlukan, kecuali terdapat indikasi.
5. Golongan darah, Rh, dan skrining antibody pada ibu, dilakukan saat kehamilan, dan
skrining antibody diulang saat melahirkan.
6. Morfologi darah tepi eritrosit dan hitung retikulosit untuk mendeteksi penyebab penyakit
hemolitik Coombs-negative.
7. Hematokrit, untuk mendeteksi polisitemia, atau melihat kemungkinan perdarahan occult.
8. Identifikasi antibody pada eritrosit (jika hasil direct Coombs +)
9. Bilirubin direk perlu diperiksa jika ikterus berlangsung lebih dari 2 minggu, atau jika
terdapat tanda kolestasis (feses warna dempul dan bilirubin di urin). Jika terjadi
peningkatan, perlu dilakukan urinalisis dan kultur urin. Lakukan skrining neonatus untuk
hipotiroid dan galaktosemia
10. Pada ikterus berkepanjangan, periksa fungsi hepar, infeksi congenital, sepsis, defek
metabolic, atau hipotiroidisme. Total parenteral nutrition (TPN) merupakan salah satu
penyebab yang sering pada hiperbilirubinemia direk berkepanjangan.
11. Skrining G6PD dapat dilakukan pada jenis kelamin laki-laki, khususnya keturunan ras
Afrika, Asia, Eropa Selatan, dan Asia Timur.
II.5.3. Alur Diagnosis Neonatal Hiperbilirubinemia

II.6. Toksisitas Bilirubin


Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke
jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit
bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut
terdiri atas 3 tahap:
-

Early phase/tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang;
Intermediate phase/tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking,

hipertonia, epistotonus;
Advanced phase/tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni.

Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama
didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.

II.7. Manajemen Hiperbilirubinemia Indirek


II.7.1. Manajemen Hiperbilirubinemia Indirek Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum
kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kern ikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
-

Minum ASI dini dan sering


Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih
cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama >4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini
kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup
besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO):
-

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat pada tabel 1.
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum

usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis


Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
o Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
o Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
o Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan skrining

G6PD bila memungkinkan


Tentukan diagnosis banding

II.7.1.1. Pada bayi term dan late-preterm sehat


Terdapat beberapa parameter praktik yang dikeluarkan oleh AAP dalam manajemen
hiperbilirubinemia indirek pada bayi sehat usia gestasi 35 minggu.
1. Pengukuran TSB atau TcB pada neonatus, dengan nomogram untuk mengidentifikasi
bayi yang berisiko mengalami hiperbilirubinemia signifikan.

2. Kebanyakan bayi sehat term dan late-preterm dipulangkan dalam usia 24-48 jam,
sehingga orangtua harus diberi informasi mengenai ikterus neonatorum sebelum pulang
dari rumah sakit. Follow-up harus dapat dilakukan dalam 1-2 hari, terutama untuk bayi
dengan usia gestasi <38 minggu, merupakan anak pertama, mengkonsumsi ASI, atau
memiliki faktor risiko hiperbilirubinemia.
3. Diagnosis sesuai alur diagnosis oleh AAP
4. Pada bayi yang minum ASI dengan hiperbilirubinemia, pencegahan hiperbilirubinemia
dilakukan dengan mendorong ibu memberi ASI dengan sering (minimum setiap 3 jam),
dan jika perlu berikan ASI tambahan atau formula (bukan dengan air atau dextrose)
5. Guideline fototerapi dan transfusi tukar sama baik pada bayi dengan ASI maupun susu
formula, tetapi pada bayi dengan ASI seringkali ibu menghentikan pemberian ASI.
Menurut penelitian, ASI tidak perlu dihentikan sepenuhnya, tetapi ditambahkan dengan
formula, justru memberi hasil terapeutik yang lebih baik.
II.7.1.2. Bayi Prematur
Panduan terapi ikterus pada prematur belum disepakati secara pasti, tetapi menurut Cloherty,
adalah sebagai berikut:
-

Bayi <1000 gram = fototerapi dalam 24 jam, transfusi tukar dilakukan jika kadar 10-12

mg/dL
Bayi 1000-1500 gram = fototerapi jika bilirubin 7-9 mg/dL, transfusi tukar jika kadar 12-

15 mg/dL
Bayi 1500-2000 gram = fototerapi jika bilirubin 10-12 mg/dL, transfusi tukar jika kadar

15-18 mg/dL
Bayi 2000-2500 gram = fototerapi jika bilirubin 13-15 mg/dL, transfusi tukar jika kadar
18-20 mg/dL

II.7.2. Manajemen Hiperbilirubinemia Indirek karena Hemolitik


Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara
bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi.
Pada penyakit Rh, fototerapi intensif dilakukan secepatnya. Sedangkan transfuse tukar dilakukan
jika kadar bilirubin diprediksi mencapai 20 mg/dL. Pada penyakit hemolitik karena ABO,
fototerapi dimulai jika kadar bilirubin melebih 10 mg/dL pada usia 12 jam, 12 mg/dL pada usia
18 jam, 14 mg/dL pada usia 24 jam, atau 15 mg/dL saat usia berapapun. Jika kadar >20 mg/dL,
lakukan transfusi tukar. Pada penyakit hemolitik oleh sebab lain, terapi dilakukan seperti pada
penyakit Rh.

Sedangkan menurut WHO, tata laksana untuk hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
hemolitik, apapun penyebabnya, adalah:
-

Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan

terapi sinar.
Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
o Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar (tabel 4),
kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera
rujuk bayi.
o Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan
hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
o Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
Persiapkan transfer
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas

transfusi tukar
Kirim contoh darah ibu dan bayi
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa

perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.


Nasihati ibu:
o Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan
informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan
berikutnya.
o Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari
terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan sulfa,

aspirin, kamper/mothballs, favebeans)


Bila hemoglobin <10 g/dL (hematokrit <30%), berikan transfusi darah.
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu
lebih lama pada bayi kecil (berat lahir <2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu),

terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).


Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4
minggu. Bila hemoglobin <8 g/dL (hematokrit <24%), berikan transfusi darah.

II.8. Fototerapi

Tujuan fototerapi adalah untuk menurunkan kadar bilirubin atau mencegah terjadinya
peningkatan. Energi cahaya pada fototerapi mengubah bentuk dan struktur bilirubin menjadi
molekul yang dapat diekskresikan saat konjugasi normal masih kurang.

II.8.1. Mekanisme kerja


Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin
mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi
ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari
plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi
sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya
menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan
bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto
oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.

II.8.2. Terapi sinar konvensional


Bilirubin mengabsorpsi cahaya pada spectrum sekitar 460 nm (warna biru). Pembentukan produk
foto bilirubin sangat bergantung pada intensitas dan panjang gelombang cahaya yang digunakan.
Hanya panjang gelombang yang dapat menembus jaringan dan diabsorpsi bilirubin yang
memberi efek fototerapeutik. Oleh karena itu, lampu dengan output 460-490 nm pada regio
warna biru kemungkinan besar yang paling efektif dalam mengatasi hiperbilirubinemia.
Terapi sinar biasanya menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang
biasa digunakan adalah 6-12 watt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas
bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12),
cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.
Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada
bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini,
digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua
tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.
II.8.3. Teknik terapi sinar
II.8.3.1. Persiapan Unit Terapi sinar

Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di
bawah lampu antara 38C sampai 30C.
Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):
o Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
o Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung
masih bisa berfungsi.
Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar
daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin
kepada bayi.

II.8.3.2. Pemberian Terapi sinar


-

Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.


o Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada
basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
o Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup.
Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
Balikkan bayi setiap 3 jam
Pastikan bayi diberi makan:
o Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang
setiap 3 jam:
Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan

penutup mata
Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain

(contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
o Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah),
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel 3)
selama bayi masih diterapi sinar .
o Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan
-

bayi dari sinar terapi sinar.


Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih
lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
o Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak
bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar.

o Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk
-

mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)
Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi
lebih dari 37,5C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit

terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5C -37,5C.


Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
o Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
o Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (tabel 4),
persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit

tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
Setelah terapi sinar dihentikan:
o Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.
o Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk
memulai terapi sinar, ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi
langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil
pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk
memulai terapi sinar.

Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah
lain selama perawatan, pulangkan bayi.
Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi
bertambah kuning.
II.8.4. Komplikasi Terapi Sinar
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.

Anda mungkin juga menyukai