Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Reading

HUBUNGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI DENGAN


KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK-ANAK

Disusun Oleh:
Adiptya Cahya Mahendra G99151036/E-14
Bima Kusuma Jati

G99151038/E-16

Pembimbing:
Endang Dewi Lestari, dr., Sp.A(K), MPH
Leksmana Hidayatullah, dr.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

Hubungan Anemia Defisiensi Besi dengan Kejang


Demam Sederhana
pada Anak-Anak
Parsa

Yousefichaijan,

Aziz

Eghbali,

Mohammad

Rafeie,

Mojtaba

Sharafkhah, Mohaddeseh Zolfi, Mohammadreza Firouzifar

ABSTRAK
Latar Belakang: Kejang demam sederhana adalah penyakit sistem saraf
yang paling sering diemui pada anak-anak. Ada hipotesis bahwa
kekurangan zat besi dapat mempengaruhi kejang demam dan ambang
eksitasi neuron. Tujuan: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat
efek anemia defisiensi besi pada kejadian kejang demam sederhana.
Setting dan Desain: Penelitian dilakukan di Rumah Sakit AmirKabir Ilmu
Kedokteran Arak University, Arak, Iran. Penelitian ini merupakan penelitian
case-control. Bahan dan Metode: Pada penelitian ini, 382 anak-anak
yang dipilih sesuai dengan faktor inklusi dan eksklusi, dibagi menjadi dua
kelompok kasus (demam kejang) dan kontrol (faktor-faktor lain yang
menyebabkan demam) yang menjadi alasan rawat inap. Setelah demam
mereda, 5 ml sampel darah diambil dari masing-masing anak dan
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan profil besi. Analisis
statistik: Hasil diinterpretasikan menggunakan statistik deskriptif dan
independen t-test. Hasil: Prevalensi anemia pada kelompok dengan
kejang demam secara signifikan kurang dari kelompok kontrol: 22,5%
pada anak-anak dalam kelompok dengan kejang demam dan 34% pada
kelompok kontrol dengan anemia (P <0,001). Selain itu, kelompok dengan
kejang demam memiliki indeks darah lebih tinggi secara signifikan, seperti
Hb, Ht, MCV, MCH, dan MCHC, dibandingkan dengan kelompok kontrol (P
<0,001). Kesimpulan: Kekurangan zat besi dapat mencegah kejang
demam pada anak-anak dan mungkin meningkatkan ambang neuron
eksitasi pada demam.
Kata kunci: anak, kejang demam, defisiensi besi
PENDAHULUAN

Demam kejang merupakan gangguan sistem saraf yang paling


umum dalam anak-anak dan 2-5% dari jumlah total (atau 4,8 dari 1000)
anak-anak mengalami setiap tahun. Kejang demam didefinisikan sebagai
kejang akibat demam. Hal ini terjadi pada anak-anak dari 6 bulan sampai
6 tahun yang disertai dengan demam tinggi lebih dari 38 C, dan tidak
melibatkan gejala infeksi sistem saraf pusat atau latar belakang lainnya.
Faktor risiko gangguan ini meliputi riwayat kejang atau kejang demam
dalam keluarga, kepala cedera, ibu yang merokok atau mengkonsumsi
minuman beralkohol, dan demam tinggi. Karena kejang demam yang
berkelanjutan merupakan faktor risiko kejang dan epilepsi, berbagai
penelitian telah dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi faktor risiko
yang bisa diperbaiki untuk mengurangi prevalensi kejang demam dan
epilepsi dan kejang karenanya.
Kekurangan zat besi adalah kekurangan zat gizi mikro yang paling
umum

dan

dapat

menurunkan

produksi

hemoglobin

sehingga

menyebabkan anemia defisiensi besi (yang merupakan kondisi yang dapat


diperbaiki dan disembuhkan). Besi sangat penting untuk metabolisme
otak dan neurotransmitter, dan dalam produksi myelin yang diperlukan
untuk sel-sel saraf dan dapat mengubah amplitudo dan ambang eksitasi
neuron. Penelitian mengenai peran defisiensi zat besi pada kejang demam
telah

menunjukkan

hasil

yang

benar-benar

bertentangan.

Dalam

beberapa penelitian, kekurangan zat besi telah diidentifikasi sebagai


faktor risiko, sementara pendapat lain menyatakan bahwa kekurangan zat
besi meningkatkan ambang eksitasi neuron dan dengan demikian dapat
memainkan peran protektif terhadap kejang demam.
Mengingat hasil yang bertentangan, kami memutuskan untuk
mempelajari hubungan antara anemia defisiensi besi dan kejang demam
pada anak-anak yang dirawat di Rumah Sakit Amir Kabir di Arak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian case-control ini melibatkan 382 anak-anak usia 6 bulan
sampai 6 tahun, yang dirawat di bangsal anak dari Rumah Sakit Amir
Kabir Arak dari tahun 2011 hingga 2013. Mereka dibagi menjadi dua

kelompok dari 191 anak: kelompok kasus yang menderita kejang demam
sederhana dan kelompok kontrol menderita demam yang disebabkan oleh
faktor apapun dan tanpa kejang demam. Anak-anak yang memiliki
episode kejang demam sebelumnya, anak dengan didiagnosis kejang
dengan penyebab organik, kejadian kejang dengan bentuk gabungan,
atau

anak

neurologis,

yang

mengalami

infeksi

sistem

keterlambatan
saraf

pusat,

perkembangan,
Shigella

cacat

gastroenteritis

(berdasarkan pada sel darah putih dalam tinja atau riwayat diare
berdarah), dan anak yang memiliki orang tua yang tidak kooperatif,
dikeluarkandari

penelitian.

Saat

rawat

inap,

anak-anak

menjalani

pemeriksaan fisik dan saraf oleh asisten dan personil kedaruratan dari
bangsal anak, terutama berkenaan dengan gejala gangguan meningeal.
Suhu aksila dari anak-anak ini diukur saat rawat inap dan jika suhu ini
(ketika 0,5 derajat ditambahkan kepada mereka) melebihi 38C, mereka
dimasukkan dalam penelitian ini. Antipiretik acetaminophen 10-15 mg/kg
diberikan setiap 4-6 jam untuk anak-anak yang suhu tubuhnya melebihi
38C.
Kelompok kasus dan kelompok kontrol dicocokkan berkaitan dengan
usia, jenis kelamin, suhu tubuh, kurva pengembangan, dan sejarah
pengobatan dengan suplemen zat besi. Riwayat keluarga anak-anak
sehubungan dengan kejang demam dan anemia juga diperiksa dan
informasi yang terkait dicatat. Sebuah kejang disertai demam yang
berlangsung kurang dari 15 menit tanpa gejala lokal dan fokal dianggap
sebagai kejang demam sederhana.
Pada kasus di mana adanya kecurigaan meningitis, sampel dari
cairan serebrospinal akan diambil dan, jika terdiagnosis meningitis, anak
tersebut akan dikeluarkan dari penelitian. Setelah normalisasi suhu tubuh
dari semua anak, untuk menemukan kasus anemia defisiensi besi, 5 ml
darah

diambil

dari

masing-masing

anak

untuk

hitung

darah

lengkap/complete blood count (CBC) dan tingkat zat besi serum, ferritin
plasma, dan TIBC (total iron binding capacity). Pada Tabel 1, nilai normal
indeks darah dicantumkan. Anak-anak dengan indeks darah kurang dari
yang disajikan pada Tabel 1 dianggap menderita anemia defisiensi besi.

Anemia didiagnosis ketika tingkat hemoglobin turun lebih dari dua standar
deviasi di bawah tingkat normal dan terkait dengan kelompok usia dan
jenis kelamin. Menurut Tabel 1, jika tingkat hemoglobin anak lebih rendah
dari kisaran normal untuk kelompok usia terkait, anak dianggap menderita
anemia.
Untuk memisahkan anemia defisiensi besi dari penyebab umum
lainnya, kami menggunakan pemeriksaan hitung darah lengkap/complete
blood count (CBC), kadar besi serum, ferritin plasma, dan TIBC (total iron
binding capacity). Pada defisiensi besi, ferritin serum dan plasma ferritin
mengalami penurunan tapi TIBC meningkat. Konsentrasi besi serum
kurang dari 40 mg/dl pada anak di bawah usia 1 tahun dan lebih rendah
dari 50 mg/dl pada anak di atas usia 1 tahun, kadar feritin kurang dari 7
mg/l, dan TIBC lebih tinggi dari 430 g /dl menandakan adanya defisiensi
besi. Dengan kondisi tersebut, CBC juga akan menunjukkan penurunan
indeks sel darah merah (jumlah dan volume sel darah merah dan rata-rata
konsentrasi hemoglobin) dan anemia defisiensi besi lebih lanjut. Anakanak dengan anemia yang disebabkan dari penyebab lain (hemolisis,
perdarahan, thalassemia, dll) dikeluarkan dari penelitian. Komite Etik Ilmu
Kedokteran Universitas Arak menyetujui penelitian ini. Semua orang tua
atau wali dari anak-anak yang sakit memberi persetujuan tertulis mereka
untuk anak-anak mereka dalam ambil bagian pada studi ini; mereka bisa
menarik diri dari penelitian kapan saja mereka inginkan. Para peneliti
dalam studi ini berkomitmen untuk Deklarasi Helsinki pada semua tahap
penelitian. Hasil percobaan kelompok kasus dan kontrol secara terpisah
dimasukkan ke dalam SPSS-19. Tes deskriptif, distribusi, dan Chi-square
dilakukan untuk variabel kualitatif, dan T-test independent dilakukan
(mengingat bahwa distribusi normal digunakan dalam uji K-S) dengan nilai
P kurang dari 0,05 dianggap signifikan.
Tabel 1. Nilai Normal Indeks Darah pada Beberapa Kelompok Usia AnakAnak

HASIL
Pada kelompok kasus dan kontrol, frekuensi tertinggi yang berkaitan
dengan usia adalah anak-anak usia 12 sampai 36 bulan (58,6% dari
kelompok kasus dan 40,3% dari kelompok kontrol). Rasio jumlah anak lakilaki dengan perempuan di kedua kelompok adalah sama (tidak berbeda
secara signifikan dari satu sama lain) [Tabel 2]. Rerata indeks darah dari
kelompok

kejang

demam

dibandingkan

dengan

kelompok

kontrol

tercantum pada Tabel 3. Seperti yang dapat dilihat pada tabel ini, nilai Hb,
Ht, MCV, MCH, dan MCHC di kelompok kejang demam secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Nilai Fe, TIBC, dan
feritin pada kelompok kejang demam juga lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol, tetapi perbedaan ini tidak signifikan. Nilai RBC
pada

kelompok

kejang

demam

lebih

tinggi

dibandingkan

dengan

kelompok kontrol, namun perbedaan ini tidak signifikan. Hitung WBC dan
platelet

pada

kelompok

demam

secara

signifikan

lebih

rendah

dibandingkan pada kelompok kontrol. Empat puluh tiga pasien dalam


kelompok kejang demam dan 65 pasien dalam kelompok kontrol
menderita anemia defisiensi besi (dan ini adalah perbedaan yang
signifikan pada P <0,001).
Pada kelompok kejang demam, episode kejang lebih pada keluarga
positif lebih sering pada di kelompok kontrol (P <0,001), tetapi tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok sehubungan dengan
kejadian anemia pada keluarga (P = 0.476).

Tabel 2. Frekuensi Distribusi Usia dan Jenis Kelamin


dalam Penelitian (Kelompok Kasus dan Kontrol)

Tabel 3. Perbandingan Rerata Indeks Darah, Besim Ferritin, dan TIBC


pada Kelompok Kejang Demam dan Kelompok Kontrol

DISKUSI
Mengingat efek anemia, terutama anemia defisiensi besi yang
merupakan jenis yang paling umum, hal tersebut memungkinkan bahwa
anemia mempengaruhi kejadian kejang pada pasien ini. Kebiasaan dan
pola makan anak-anak memainkan peran penting dalam penyerapan dan
penyimpanan besi dan mencegah anemia defisiensi besi. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam kondisi ekonomi keluarga dari dua
kelompok anak-anak dalam penelitian ini. Pasien yang berpartisipasi
dalam penelitian ini semua disusui atau diberi susu bubuk sampai mereka
berusia 6 bulan, dan menerima makanan padat seperti sereal, kacangkacangan, wortel dan sup sayuran, kuning telur, dan jus buah setelah usia
tersebut. Sebagian besar anak-anak secara alami menyesuaikan diri

dengan program tiga kali makan dalam sehari pada saat mereka berusia 1
tahun. Selain itu, perbedaan antara kedua kelompok mengenai suplemen
zat besi tidak signifikan. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya,
dapat dikatakan bahwa ada perbedaan pendapat yang cukup besar
mengenai hubungan anemia (khususnya anemia defisiensi besi) dan
kejang demam pada anak-anak. Hasil penelitian kami menunjukkan
bahwa prevalensi anemia pada kelompok kejang demam lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol sehingga 22,5% dari anak-anak
dalam kelompok kejang demam menderita anemia, sedangkan 34,0% dari
anak-anak pada kelompok kontrol yang menderita anemia (P <0,001).
Ada perbedaan yang signifikan antara hasil lab darah kelompok
kejang demam dan kelompok kontrol seperti Hb, Ht, MCV, MCH, dan
MCHC. Semua indeks tersebut lebih tinggi pada kelompok kejang demam
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rerata besi serum dan serum
feritin pada kelompok kejang demam lebih tinggi dari rerata pada
kelompok kontrol, namun perbedaan ini tidak signifikan. Hasil penelitian
kami mengkonfirmasi yang diperoleh Kobrinski et al. Talebian et al. dan
Derakhshanfar et al.. Kobrinski et al. melakukan studi case-control pada
tahun 1995 di mana ada 25 anak dalam kelompok kejang demam
(sebagai kelompok kasus) dan 26 anak demam (yang tidak menderita
kejang) pada kelompok kontrol. Mereka menemukan bahwa anemia
defisiensi besi pada 25,1% kelompok kasus dan 26,6% dari kelompok
kontrol, dan menyimpulkan bahwa anemia defisiensi besi meningkatkan
ambang kejang demam pertama (dan bahkan dapat melindungi terhadap
kejang demam). Hal pertama dalam penelitian mereka yang menarik
perhatian adalah jumlah pasien yang sedikit. Tentu saja, mereka mencoba
untuk memecahkan masalah ini dengan mencocokkan faktor yang
mempengaruhi seperti usia, jenis kelamin, riwayat kejang dalam keluarga,
suhu tubuh, jumlah sel darah putih, jumlah trombosit, dll. Kami juga
mencoba untuk memilih sampel yang cocok dan sesuai faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi hasil.
Talebian et al. melakukan studi case-control di Kashan pada tahun
2006 pada 120 anak kurang dari 5 tahun. Mereka melaporkan bahwa

probabilitas terjadinya kejang pada anak-anak yang menderita anemia


tidak hanya tidak meningkatkan tetapi tampaknya menurun secara
signifikan, dan anemia mungkin memiliki peran protektif terhadap
terjadinya kejang demam. Volume sampel dalam penelitian mereka
tampaknya

cukup

untuk

studi

case-control,

meskipun

mereka

memberikan beberapa rincian tentang pencocokan kelompok penelitian.


Seperti kita ketahui, ferritin adalah reaktor fase akut yang secara tidak
spesifik meningkat pada respons terhadap penyakit demam.
Mengingat bahwa sampel darah diambil untuk mengukur kadar Fe,
TIBC, dan feritin setelah suhu tubuh pasien telah dibawa ke tingkat
normal, perbedaan kadar feritin antara kedua kelompok tidak dapat
dikaitkan dengan demam. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada
sampel yang cukup besar yang terdiri dari 1.000 anak-anak (500 pada
kelompok kasus dan 500 pada kelompok kontrol), Derakhshanfar et al.
mempelajari hubungan antara anemia defisiensi besi dan kejang demam.
Mereka menemukan bahwa tingkat kekurangan zat besi dan anemia
defisiensi besi pada kelompok kontrol secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok kasus, dan menyimpulkan bahwa risiko
kejang demam pada anak-anak yang menderita kekurangan zat besi lebih
rendah dari pada anak-anak lainnya. Dalam studi mereka, kriteria eksklusi
dari penelitian ini hanya epilepsi, gangguan perkembangan saraf, jenis
anemia yang lainnya, dan pengobatan saat ini dengan suplemen zat besi.
Kami juga memikirkan faktor penyebab demam karena faktor-faktor ini
dapat mempengaruhi profil sel darah.
Hasil penelitian kami, dibandingkan dengan dua studi pertama,
penelitian kami dicapai dengan menggunakan faktor-faktor risiko yang
lebih cocok dan standarisasi, dan ukuran sampel yang lebih besar juga.
Selain itu, hasil penelitian kami, dibandingkan dengan yang diperoleh oleh
Derakhshanfar et al. lebih dapat diberikan standarisasi yang lebih cocok
dan kami lebih batasi untuk kriteria inklusi dan eksklusi partisipan. Dalam
studi yang dilakukan oleh Derakhshanfar et al. mereka mengutarakan
alasan

kemungkinan

peran

pelindung

dari

defisiensi

besi

untuk

memainkan peran dalam aktivitas neurotransmiter yang penting seperti

monoamine oxidase dan aldehida oksidase. Mereka menambahkan bahwa


kekurangan zat besi menyebabkan penurunan kekuatan eksitasi neuron
dan penurunan probabilitas eksitasi dan kejang pada anemia defisiensi
besi,

meskipun

hasil

mereka

bertentangan

yang

diperoleh

dalam

penelitian lain.
Pada tahun 1996, Pisacane et al. melakukan penelitian case-control
pada 156 anak-anak yang berasal dari 6 sampai 24 bulan usia di Naples di
Italia dan menemukan bahwa 30% dari pasien dalam kelompok kejang
demam dan 14% pada kelompok kontrol menderita anemia. Mereka
menyimpulkan bahwa demam dapat memperburuk efek negatif dari
anemia pada otak dan, karenanya, dapat menyebabkan kejang. Studi
mereka berbeda dari kami sehubungan dengan kelompok usia pasien dan
kelompok kontrol. Kelompok kontrol peneliatan terdahulu terdiri dari
pasien dengan penyakit demam sistem pernapasan dan pencernaan,
sementara kami telah mengeksklusikan anak-anak yang demam karena
masalah pencernaan karena diare dan muntah yang terjadi pada anakanak tersebut. Selain itu, jika seseorang menderita diare berdarah
(dihasilkan oleh, misalnya, shigellosis), ia dapat berkembang menjadi
anemia karena kehilangan darah. Oleh karena itu, penyakit demam dari
sistem pencernaan dapat mengubah hasil yang diperoleh.
Dalam studi case-control yang dilakukan oleh Daoud et al. di
Yordania untuk menyelidiki peran anemia defisiensi zat besi pada
terjadinya kejang demam pertama, ada 75 anak dalam kelompok kejang
demam dan 75 anak-anak dalam kelompok tanpa kejang. Mereka
menemukan bahwa nilai rata-rata Hb dan Ht, dan tingkat rata-rata feritin,
secara

signifikan

lebih

rendah

pada

kelompok

kejang

demam

dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan ini dikaitkan


dengan peran kemungkinan adanya peran kekurangan zat besi dalam
terjadinya kejang demam. Hasil ini telah berulang dalam penelitian lain
seperti yang dilakukan oleh Kumari et al. Momen et al. dan Naveed alRahman dan Billoo.

Perbedaan antara

penelitian tersebut dengan

penelitian kami dapat disebabkan karena kenyataan bahwa para peneliti


ini menggunakan ukuran sampel yang berbeda dan kelompok usia pasien;

penelitian

sebelumnya

bisa

juga

karena

standarisasi

dan

kurang

mempertimbangkan faktor-faktor intervensi yang mempengaruhi seperti


faktor penyebab demam. Tentu saja, kenyataan bahwa kami hanya
mempelajari pasien dirawat di rumah sakit bisa menjadi salah satu
keterbatasan penelitian ini. Dalam merancang pertanyaan yang diajukan
dalam kuesioner kami, kami membagi usia anak-anak menjadi empat
kelas. Hal ini membatasi kemampuan kami dalam memperoleh sarana
kelompok usia yang berbeda dan mejjadi masalah dalam menemukan
tingkat normal hemoglobin pada kelompok usia kurang dari 1 tahun.
Namun demikian, nilai-nilai normal pada kelompok usia ini cocok pada
kelompok

kasus

dan

kontrol

kelompok.

Oleh

karena

itu,

kami

menyarankan pada penelitian selanjutnya indikator numerik ditentukan


lebih akurat sehingga tidak ada data yang hilang (dengan kata lain, data
harus didistribusikan secara sempurna).
Pada hasil penelitian kami, terlihat bahwa anemia defisiensi besi
dapat mencegah kejang demam mungkin melalui peningkatan ambang
kejang pada pasien dengan defisiensi besi. Jika keterbatasan yang
ditentukan dalam penelitian kami dieliminasi, kami dapat membuat
keputusan yang lebih akurat karena memutuskan apakah ya atau tidak
untuk memperbaiki anemia pada anak-anak usia 6 bulan sampai 6 tahun
yang dihadapkan dengan risiko kejang demam harus didasarkan pada
kondisi klinis mereka dan pada manfaat dan bahaya tidak mengoreksi
anemia.

Anda mungkin juga menyukai