Anda di halaman 1dari 17

IDENTITAS PASIEN

Identitas pasien
Nama : Sdr. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 18 tahun
Agama : Islam
Status pernikahan : Belum menikah
Alamat : Madiun

Keluhan utama
Kejang

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit bersama keluarganya dengan keluhan kejang di
seluruh badan tadi malam, kejang berlangsung sekitar 3 menit. Dari
heteroanamnesis dengan salah satu keluarga mengatakan bahwa sebelumnya
pasien memiliki riwayat jatuh tahun 2010,dari itu pasien mulai mengalami kejang.
Kejang terjadi secara tiba-tiba, tidak disertai atau didahului dengan demam.
Sekarang pasien dalam pengobatan 2 tahun, selama pengobatan pasien tidak
pernah mengalami kejang namun, setahun terakhir ini keluhan kejang baru
dirasakan kembali, dalam semalam pasien kejang 2 x saat pasien sedang nonton tv
dan dalam keadaan tidur dengan durasi kurang lebih 3 menit dengan gejala kaku
seluruh tubuh dan mengeluarkan air liur. Setiap episode kejang pasien tidak
sadarkan diri.

Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat autis sejak lahir
 Riwayat trauma jatuh umur 12 tahun
 Riwayat mondok di Rumah Sakit karena kejang
 Riwayat pengobatan kejang selama 2 tahun
Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat penyakit yang serupa dalam anggota keluarga tidak ada
Riwayat kebiasaan
 Pasien jarang makan teratur
 Aktivitas di luar rumah jarang dilakukan dikarenakan kondisi pasien yang
bila mengalami kelelahan dapat memicu kejang.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD :130/80 mmhg
Nadi: 78x/menit
Rr : 18x/menit
Suhu: 36,6oC
Kepala : Normocephal, tidak terdapat bekas luka, tidak terdapat massa
Mata : Mata simetris, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
Hidung : Bentuk hidung normal, tidak ada deviasi septum, secret (-)
Mulut : Bibir tidak terdapat deviasi, lidah dan uvula dalam batas normal
Telinga : Bentuk simetris, tidak ada masa, tidak ada nyeri tekan, tidak
hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran kelenjar
getah bening (-), bruit -/-
Thoraks
Inspeksi : simetris tidak ada ketinggalan gerak
Palpasi : fremitus tactil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
Cor : bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara napas vesikular, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen
Inpeksi : perut tidak buncit, kelainan kulit tidak ada
Auskultasi: BU normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral dingin, tidak terdapat deformitas

STATUS NEUROLOGIS
GCS : E4 V5 M6
Tanda rangsang meningeal : KK (-) Brudzinski (-)
Pemeriksaan nervus kranialis : Normal
Pemeriksaan motoris:

Pemeriksaan kekuatan otot 5 5

5 5

Pemeriksaan reflex fisiologis


BPR + +
TPR + +
KPR + +
APR + +
Pemeriksaan reflex patologis : -|-
Pemeriksaan sensoris : Normal

Diagnosis banding : Meningitis dan ensefalitis

Diagnosis : Dari hasil alloanamnesis didapatkan keluhan kejang terjadi secara


tiba-tiba, tidak disertai atau didahului dengan demam. Pasien dalam pengobatan
kejang 2 tahun, dalam semalam pasien kejang 2 x saat pasien sedang nonton tv
dan dalam keadaan tidur dengan durasi kurang lebih 3 menit dengan gejala kaku
seluruh tubuh dan mengeluarkan air liur. Setiap episode kejang pasien tidak
sadarkan diri. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil tidak ada demam,
pemeriksaan reflex fisiologis dan patologis dalam batas normal, pemeriksaan
meningeal sign dalam batas normal. Kesimpulan diagnosis pasien ini adalah
epilepsi.

Rencana terapi :
 Medikamentosa
- Diazepam 20 mg/hari saat awal episode kejang 2x1
- Fenobarbital 120 mg/hari 2x1
 Non-Medikamentosa (Saat terjadi kejang)
- Longgarkan pakaian
- Lepas ikat pinggang bila memekai ikat pinggang
- Jauhkan dari benda-benda tajam
- Jvauhkan dari lokasi berbahaya seperti kolam, kompor dll
- Hindarkan dari factor-faktor yang memicu timbulnya kejang.
EPILEPSI

1. Definisi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang umum terjadi dan
mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi yang
ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Kejang berasal dari bahasa
Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil alih. Kejang adalah suatu kejadian
tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf
pusat yang abnormal dan berlebihan.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan
sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh
penyebab yang akut. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan
serupa yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi
di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti berkurangnya
perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi sensoris, atau
kejangnya seluruh tubuh. Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda
klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset,
jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas.

2. Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari
108 negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang
dengan epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata
orang dengan epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika
mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23
di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka
rata-rata sebanyak 9,97. Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi
membuktikan keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi
epilepsi di negara maju adalah 24-53 per 100.000 populasi. Terdapat beberapa
studi kejadian epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada yang cukup
prospektif. Studi menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi.
Tingkat insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap sebagai akibat
dari infeksi parasit terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas
perinatal sulit untuk ditafsirkan karena masalah metodologis, terutama kurangnya
penyesuaian usia, yang penting karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia.
Sedangkan di negara maju, insidensi di kalangan orang tua meningkat dan
menurun di kalangan anak-anak. Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko
penyakit serebrovaskular. Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan
pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat
insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita. Berapa banyak
pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum diketahui. Meskipun di
Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai
suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220 juta, maka diperkirakan
jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan dan
membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang.
3. Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1) Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6,
defisiensi biotinidase, fenilketonuria).
2) Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik, spasme infantil, Sindroma West.
3) Anak (6 bulan – 3 tahun)
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan
anoksia, infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal,
keracunan obatobatan.
4) Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi,
thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.
5) Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik,
epilepsi mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6) Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat
sedasi lainnya.
7) Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8) Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit
degeneratif, trauma.

Gambar 1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia

Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab


kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik
yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf
pusat adalah penyebab umum kejang.

4. Klasifikasi
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against
Epilepsi (1981):
A. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
- Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
- Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum
tonik-klonik
B. Bangkitan umum
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Tonik-klonik
- Atonik
C. Tak tergolongkan
Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989
Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy
b. Simtomatik (sekunder)
- Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom
Kojewnikow)
- Epilepsi lobus temporalis
- Epilepsi lobus frontalis
- Epilepsi lobus parietalis
- Epilepsi lobus oksipitalis
- Kriptogenik
A. Umum
a. Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik
- Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)
- Sindroma Lennox Gastaut
- Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik
- Epilepsi dengan absans mioklonik
c. Simtomatik
- Etiologi non spesifik - Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom
Ohtahara
- Etiologi atau sindroma spesifik - Malformasi serebral - Gangguan
metabolisme

B. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan


a. Serangan umum fokal
- Kejang neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
C. Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alcohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklamsi
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

5. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain. Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi
mekanisme yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga
mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang
mudah-kejang (epileptogenesis).
a) Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan
neuron. - Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,
jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbangligan; atau perubahan
biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+,
mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang. -
Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat
terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun
sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+. -
Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel
granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan
neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
b) Mekanisme epileptogenesis
Mekanisme nonsinaptik Perubahan konsentrasi ion terlihat selama
hipereksitasi, peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+
ekstrasel. Kegagalan pompa Na+ -K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui
menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl- -K+ , yang
mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA,
dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps
bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang
dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di
sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
Mekanisme sinaptik

Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi


GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
GABA

Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan


serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan
epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan
bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului
kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi
selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan
hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik
di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik.

6. Gejala Klinis
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang
berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua
hemisfer otak terlibat secara bersamaan.
7. Diagnosis
Penegakan diagnosa epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua
atau lebih kejang yang tidak dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika
kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan
dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang
paling utama. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan
yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
o Pola atau bentuk serangan
o Lama serangan
o Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
o Frekuensi serangan
o Faktor pencetus
o Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia saat serangan pertama
o Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
o Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda
meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisik harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk
mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan
sindrom epilepsy. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan
prediksi prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam
keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi
menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging)
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada
pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan
CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik.
Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography
(SPECT), Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan
lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika
pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu
menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan.

8. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai
beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai
berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan. Penatalaksanaan untuk semua
jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan obat antiepilepsi (OAE),
pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor penyebab dan faktor pencetus,
serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan
epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering
membutuhkan pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika
mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas
yang unggul dibandingkan politerapi. Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
b. Terapi bedah epilepsi
Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi
dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau
jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.

Anda mungkin juga menyukai