Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / April 2021


** Pembimbing dr. Victor Eliezer, Sp.KJ

SKIZOFRENIA

Oleh:

Al As’ari, S.Ked G1A220031

Megawati, S.Ked G1A220004

Ni Nyoman Astrid Tri B, S.Ked G1A220075

Gita Safitri Amalia, S.Ked G1A117114

Bayu Aji Pamungkas , S.Ked G1A117116

Pembimbing:

dr. Victor Eliezer, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN


ILMU KESEHATAN JIWA RSJD JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

SKIZOFRENIA
Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa RSJD Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi 2021

Oleh:

Al As’ari, S.Ked G1A220031

Megawati, S.Ked G1A220004

Ni Nyoman Astrid Tri B, S.Ked G1A220075

Gita Safitri Amalia, S.Ked G1A117114

Bayu Aji Pamungkas , S.Ked G1A117116

Jambi, April 2021


Pembimbing,

dr. Victor Eliezer, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang berjudul
“Skizofrenia” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Victor Eliezer, Sp.KJ yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
laporan CRS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, April 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
BAB II STATUS PSIKIATRI............................................................2
2.1 Riwayat Psikiatri.............................................................................2
2.3 Identitas Pasien...............................................................................2
2.4 Riwayat Penyakit............................................................................2
2.4 Pemeriksaan Status Psikiatri..........................................................6
2.5 Pemeriksaan Fisik............................................................................6
2.6 Diagnosis Multiaksial.......................................................................8
2.7 Penatalaksanaan...............................................................................9
2.8 Diagnosis Banding...........................................................................9
2.9 Prognosis..........................................................................................9
2.10 BAB III TINJAUAN PUSTAKA...............................................12
3.1 Definisi Skizofrenia.........................................................................12
3.2 Epidemiologi Skizofrenia................................................................12
3.3 Etiologi Skizofrenia.........................................................................13
3.4 Patogenesis Skizofrenia...................................................................14
3.5 Perjalanan Penyakit Skizofrenia......................................................17
3.6 Gejala dan Diagnosis Skizofrenia....................................................20
3.7 Diagnosis Banding Skizofrenia.......................................................23
3.8 Tatalaksana Skizofrenia...................................................................23
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................29
BAB V KESIMPULAN.......................................................................38
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................39

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang berkaitan dengan isi dan proses
pikiran yang terganggu dan sedikitnya telah berlangsung selama 1 bulan. 1 Menurut
PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan
penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik dan sosial budaya.2
Faktor biopsikososio-spiritual dapat saling menguatkan dalam mencetuskan suatu
gejala skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan. Beberapa faktor tersebut
adalah (1) faktor genetik, peranan genetik pada timbulnya skizofrenia diketahui pada
penelitian keluarga. Skizofrenia memiliki risiko yang lebih tinggi pada kembar satu telur
dibandingkan dengan kembar dua telur yaitu sebesar 48%. (2) Faktor neurobiologis,
skizofrenia terjadi akibat ketidakseimbangan dari neurotransmitter didalam otak, yaitu
produksi dopamin yang tinggi. (3) Faktor lingkungan, faktor lingkungan dapat
mempengaruhi perkembangan otak individu, misalnya: infeksi virus selama kehamilan,
trauma persalinan, riwayat traumatik saat masa tumbuh kembang, dan riwayat
penyalahgunaan zat pada masa remaja.1
Berdasarkan data Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007, 2013 dan 2018
menunjukan di Indonesia gangguan jiwa dengan diagnosa skizofrenia memiliki
prevalensi yang fluktuatif. Dimana ditahun 2007 prevalensi gangguan jiwa di Indonesia
sebesar 4.1 per mil, ditahun 2013 mengalami penurunan menjadi 1.7 per mil dan rentang
tahun 2013 - 2018 mengalami peningkatan 4 kali lipat selama 5 tahun terakhir menjadi 7
per mil.6

1
BAB II

STATUS PSIKIATRI

2.1 RIWAYAT PSIKIATRI


Pemeriksaan dilakukan tanggal 13 April 2021 pukul 9.50 WIB di Poliklinik
Kejiwaan RSJD Jambi. Riwayat psikiatri diperoleh secara alloanamnesis dan
autoanamnesis oleh anak pasien.

2.2 IDENTITAS PASIEN


2.2.1.1 Nama : Nn. R
2.2.1.2 Tanggal Lahir/Umur : 27 Juni 1973/ 47 tahun
2.2.1.3 Jenis kelamin : Perempuan
2.2.1.4 Alamat : Kel. Tanjung Raden, Kec. Danau Teluk Sebrang
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx Kota, Jambi
2.2.1.5 Suku/Bangsa : Jambi/Indonesia
2.2.1.6 Agama : Islam
2.2.1.7 Status Perkawinan : Kawin
2.2.1.8 Pekerjaan : Tidak Bekerja
2.2.1.9 Pendidikan terakhir : SD
2.2.1.10 MRS tanggal : 13 April 2021

2.3 RIWAYAT PENYAKIT


A. Keluhan Utama :
OS datang ke Poliklinik Kejiwaan RSJD Provinsi Jambi bersama
keluarganya (anaknya) dengan keluhan halusinasi sejak 6 bulan yang lalu.

B. Riwayat Penyakit Sekarang:


OS datang ke Poliklinik Kejiwaan RSJD Provinsi Jambi bersama
anaknya dengan keluhan halusinasi sejak 6 bulan yang lalu. OS juga sering
mendengar suara dan melihat bayangan yang hanya bisa dilihat dan didengar
oleh OS sendiri. Keluagra OS juga mengeluh OS mudah lupa dan berbicara
sendiri. Namun, OS menyangkal bahwa ia sering berbicara sendiri. Menurut
keluarga OS, ia juga mudah marah dan mengalami kesulitan untuk tidur sejak 2
2
tahun yang lalu. Dan keluhan memberat sejak 2 bulan yang lalu.

OS juga mudah marah dan sering menyangkal penyakitnya. Menurut

3
keluarga OS, OS lebih mudah tersinggung dan menangis. OS juga sering
menuduh tetangganya datang ke rumah di siang hari untuk mencuri gelang OS.
Namun, keluarga tidak percaya keterangan OS karena gelang yang dimaksud
OS merupakan gelang mainan dan tidak ada saksi mata yang melihat tetangga
OS masuk ke rumah OS untuk mengambil gelang.

Saat ditanya mengenai keluhannya apa sehingga dibawa ke IGD RSJD,


OS tidak mengetahui kenapa dirinya dibawa ke RSJ. OS mengetahui
keberadaanya di RSJD Provinsi Jambi, namun OS tidak merasa dirinya sakit.

Saat diajak berbicara, OS terlihat kurang fokus dan tidak nyambung,


sehingga keluarga OS harus membantu OS untuk berkomunikasi. Pada saat OS
diminta untuk mengulang kata-kata, OS masih bisa mengulang, namun
beberapa detik kemudian, OS lupa apa yang dikatakannya. Keluarga OS pun
merasa terbebani dengan OS yang terlalu sering mudah lupa. Namun, OS
mengingat semua kejadian di masa mudanya.

Keluarga OS pun sering melihat OS berbicara sendiri, dan pada saat


ditanya dengan siapa ia berbicara, OS berkata ia berbicara dengan anaknya.
Padahal, anaknya sedang tidak berada di rumah. Menurut keterangan OS, OS
sering dikunjungi oleh saudaranya tengah malam dan keluarga OS merasa
keterangan OS tidak masuk akal sama sekali, OS juga sering menyeduh kopi
untuk menantunya, namun ternyata menantunya tidak tinggal di rumah yang
sama dengan OS. Menurut keterangan keluarga OS, OS senang melipat ulang
baju yang sudah rapi, namun malah membuat baju semakin berantankan.
Kegiatan ini dilakukan OS berulang kali dalam sehari dan keluarga OS merasa
hal terserbut menyulitkan mereka.

OS juga sering tersinggung dan mudah marah terhadap hal-hal kecil.


OS juga sering menangis apabila merasa tersinggung dan mudah menangis
terhadap hal-hal kecil yang menurut keluarga pasien tidak sedih. OS juga
kesulitan untuk tidur dan mengalami penurunan berat badan drastis.

Sebelum perubahan perilaku, OS dikenal sebagai pribadi yang baik dan


jujur kepada keluarga. OS juga akrab dengan tetangga-tetangganya. OS
mempunyai hubungan yang baik dengan keluarganya dan sering mengadakan
pertemuan bersama keluarga besarnya.
3
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
1. Riwayat gangguan psikiatri
OS baru pertama kali berkunjung ke RSJD Provinsi Jambi. Riwayat gangguan
mental dan emosi tidak ada sebelumnya.
2. Riwayat Gangguan Psikosomatis
Tidak didapatkan adanya penyakit psikosomatis.
3. Riwayat kondisi medik
Pasien riwayat vertigo, gastritis, dan pernah operasi ginjal sekitar 3 tahun yang
lalu. Keluarga pasien merasa semenjak operasi batu ginjal, OS jadi sering mudah
lupa.

4. Riwayat penggunaan zat adiktif dan alkohol (-)


5. Riwayat gangguan neurologi
OS tidak memiliki riwayat demam, muntah-muntah, dan penglihatan ganda
sebelumnya.
6. Riwayat trauma
OS tidak memiliki riwayat trauma kepala, kejang maupun kehilangan kesadaran.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa tidak ada.

Tabel 2.1 Struktur Keluarga


No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1. Tn. T L Almarhum Ayah Pasien Tegas, penyayang

2. Ny. S P Almarhum Ibu Pasien Lembut, penyayang

3. Ny. A P 45 Tahun Adik Pasien Ramah, pemarah, tegas


4. Tn. G L 43 Tahun Adik Pasien Ramah, lembut, suka mengalah

5. Tn. S L 40 Tahun Adik Pasien Pemarah, penyayang, agak cuek


6. Tn. M L 38 Tahun Adik Pasien Tegas, agak cuek

7. Ny. A P 35 Tahun Adik Pasien Manja, penyayang, lembut, penyabar

4
E. Genogram

Gambar 1. Genogram

Keterangan :

: Pasien

: Laki-laki

: Perempuan

F. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Pranatal dan perinatal
Infomasi tidak dapat diperoleh
2. Masa Kanak-kanak awal (Lahir – usia 3 tahun)
Informasi tidak dapat diperoleh
3. Masa Kanak-kanak menengah (usia 3 tahun – 11 tahun)
Informasi tidak dapat diperoleh

5
4. Masa Kanak-kanak Akhir
a. Hubungan sosial
Menurut OS, OS merupakan pribadi yang mudah bergaul. OS memiki cukup
banyak teman.
b. Riwayat sekolah

Tabel 2.2 Riwayat Sekolah Pasien

Perihal SD

Umur 6-12 tahun


Prestasi Baik
Aktifitas Sekolah Baik
Sikap terhadap Teman Baik
Sikap terhadap Guru Baik

c. Perkembangan kognisi dan motorik


OS tidak memiliki masalah pada kognisi dan motorik.

d. Masalah emosi dan fisik

Masalah emosi dan fisik disangkal.


e. Riwayat psikoseksual
Informasi tidak dapat diperoleh
f. Latar belakang agama
OS beragama islam. OS mendapatkan agama yang cukup dari orang tua.
g. Aktivitas sosial
Hubungan OS dengan lingkungan dan tetangga sekitar baik, tidak pernah terlibat
permusuhan.
h. Riwayat pernikahan
OS hidup rukun dengan suami dan mempunyai 3 orang anak,
i. Riwayat hukum
OS tidak pernah melakukan pendidikan militer. Pasien tidak pernah terlibat
dengan masalah hukum dan kepolisian.

2.4 PEMERIKSAAN STATUS PSIKIATRI


Pemeriksaan dilakukan pada hari Senin, 13 April 2021 pukul 9.50 WIB di Poliklinik
Kejiwaan RSJD Jambi.
6
Keadaan Umum:
1 Penampilan Pasien dalam keadaaan stabil.
.
Penampilan tidak sesuai usianya, terlihat
sedikit lebih tua dibanding usianya.
Kondisi fisik terlihat sangat kurus dan
agak lemas, pakaian rapi dan bersih.
2 Kesadaran Compos mentis.
.
3 Orientasi W/T/O tidak baik/tidak baik/tidak baik
.
4 Sikap dan perilaku Kooperatif
.
5 Pembicaraan Kuantitas : Terjadi
.
peningkatan Kualitas :
Rambling
Ada hendaya bahasa

Gangguan Pikir
1. Bentuk pikir : Psikotik
2. Arus pikir : Rambling
3. Isi pikir : Miskin Isi

Perasaan
1. Mood : Eutimia
2. Afek : Eutimia

Persepsi
1. Halusinasi : Auditorik (+) Visual (+)
2. Ilusi : Tidak ada

Fungsi Intelektual
1. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi dan perhatian pasien terganggu.
2. Orientasi

7
Waktu : Terganggu
Tempat : Terganggu
Orang : Terganggu
3. Daya Ingat
jangka panjang : Baik
jangka menengah : Terganggu
jangka pendek : Terganggu
segera : Terganggu
4. Pikiran abstrak : Terganggu
5. Pengendalian impuls : Terganggu
6. Daya nilai : Terganggu
7. Tilikan : Derajat 1
8. Taraf dapat dipercaya : Tidak dapat dipercaya

2.5 PEMERIKSAAN FISIK


1. Pemeriksaan Tanda Vital
 Kesadaran :Compos mentis
 TD :126/80 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Suhu :36º C
 RR :18 x/menit
2. Status Gizi
 Tinggi Badan :152 cm
 Berat Badan :37 kg
 IMT : 16,01 kg/m2 (gizi buruk)
3. Status Generalisata
Kulit : Turgor baik
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor
(+/+).
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-) Telinga
: Serumen minimal, Nyeri tekan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea terletak ditengah

8
Thorax Paru
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
 Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)

Pemeriksaan Neurologis
 GCS :15 (E4 V5 M6)
Pemeriksaan Psikometrik :Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Laboratorium darah rutin : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.6 DIAGNOSIS BANDING


1. Skizofrenia Paranoid
2. Skizofrenia Tak Terinci
3. Demensia

2.7 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


I : Skizofrenia Paranoid
II : Emosional tidak stabil

II : Penyakit sistem genitourinaria


I
I : Tidak ada diagnosis
V
V : GAF Scale 60-51

2.8 PENATALAKSANAAN
i. Farmakologi
1. Aripriprazole
2. Lorazepam 0,5 mg 0-0-1
ii. Nonfarmakologi

9
1. Terapi Kejuruan
Dengan cara mengikuti kegiatan rehabilitasi yang rutin diadakan di
RSJD Jambi setiap 1 minggu sekali sehingga os dapat mengisi waktu luang
dengan kegiatan positif dan menyalurkan bakat serta membina hubungan
sosial antar sesama pasien dan pihak RSJD Jambi. Kegiatan yang dilakukan
pada umumnya adalah senam pagi, membereskan kamar, dan halaman
bangsal.

2. Terapi Psikoedukasi
Memberikan edukasi terkait penyakit yang sedang dialami oleh pasien
seperti tanda dan gejala kekambuhan yang mungkin timbul serta pentingnya
teratur dan disiplin dalam minum obat. Terkait hal ini perlu dilakukan edukasi
kepada keluarga pasien agar dapat mengontrol pasien dalam mengonsumsi
obat. Keluarga juga perlu diberikan pengetahuan terkait tidak dibutuhkannya
pengobatan alternatif saat pasien mengalami kekambuhan. Dan mengingatkan
bahwa kekambuhan terjadi diakibatkan tidak teraturnya pasien dalam minum
obat, dan jika kekambuhan terjadi tindakan tepat yang dapat dilakukan oleh
keluarga adalah membawa pasien ke IGD RSJ, bukan membawa pasien ke
pengobatan alternatif.

3. Psikoterapi Suportif
Pemberian terapi melalui beberapa teknik :
1. Ventilasi, yaitu memberi kesempatan kepada pasien agar pasien dapat
menceritakan isi hatinya seluas-luasnya mengenai permasalahan yang
menjadi stres utama, dokter menjadi pendengar yang baik, sehingga
pasien merasa lega serta keluhannya berkurang.

2. Persuasif, yaitu menerangkan secara masuk akal dan meyakinkan pasien


mengenai gejala penyakitnya dapat hilang/sembuh.
3. Sugestif, yaitu menanamkan kepercayaan pada pasien bahwa gejala
gangguannya akan hilang.
4. Reassurance, yaitu meyakinkan kembali kemampuan pasien bahwa ia
sanggup mengatasi masalah yang dihadapinya dengan cara menunjukkan
hasil-hasil yang telah dicapai pasien.
5. Bimbingan, yaitu memberi nasihat dengan penuh wibawa dan pengertian
mengenai hubungan antar manusia, cara berkomunikasi, bekerja dan
10
belajar yang baik.
6. Konseling, yaitu membantu pasien memahami dirinya sendiri secara lebih
baik agar pasien dapat mengatasi masalahnya sendiri dengan cara
menyampaikannya secara halus dan penuh kearifan.
7. Terapi kerja, yaitu memberikan kesibukan kepada pasien untuk
beraktivitas dan bekerja sesuai yang mampu dia kerjakan/lakukan agar dia
terampil dan dapat berguna untuk mencari nafkah baginya kelak.

4. Manipulasi Lingkungan
Dilakukan dengan cara mengedukasi pasien dan keluarga pasien
mengenai penyakit yang sedang dialami oleh pasien. Sehubungan dengan
keadaan putus obat yang selalu diulangi oleh pasien dan tidak terlalu
dikontrol oleh keluarganya, sehingga pemahaman tentang kekambuhan akibat
pengobatan yang tidak teratur dan disiplin dapat dicegah oleh keluarga pasien
selaku penanggung jawab selama pasien menjalani terapi. Edukasi ini juga
diperlukan agar saat pasien telah keluar dari RSJ, keluarga, lingkungan sosial
dan lingkungan pekerjaan dapat menerima keadaan pasien dengan baik dan
terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pasien. Peran keluarga juga
sangat diperlukan untuk membina pasien agar dapat hidup mandiri,
bertanggung jawab dan dapat beraktifitas seperti orang pada umumnya,
seperti dengan cara membina kegiatan keagamaan bersama.

2.9 PROGNOSIS
- Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
- Quo Ad Functionam : dubia ad malam
- Quo Ad Sanationam : dubia ad malam

11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Skizofrenia


Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang berkaitan dengan isi dan
proses pikiran yang terganggu dan sedikitnya telah berlangsung selama 1
bulan.1 Menurut PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi
penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.2
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni
subtipe paranoid, terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan
dan residual. Untuk istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah
gangguan deterioratif sederhana. Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-III skizofrenia
dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid, hebefrenik, tak terinci
(undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca skizofrenia.3

3.2 Epidemiologi Skizofrenia


Prevalensi skizofrenia adalah sebesar 1% dari populasi di dunia. Sebuah
tinjauan dari Holla dan Thirtalli mengenai perkembangan dan outcome
skizofrenia dari pada negara Asia tahun 2015 menunjukkan bahwa
perbandingan presentasi jenis kelamin dari pasien skizofrenia di Indonesia
adalah laki-laki (63%) dan perempuan (37%).1

Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen,


yang berarti bahwa kurang lebih I dari 100 orang akan mengalami skizofrenia
selama masa hidupnya. Studi Epidemiologic Cirtchment Area (ECA) yang
disponsori National Institute of Mental Health (NIMI-l) melaporkan prevalensi
seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR, insidensi
tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa
variasi geografik (contohnya insidens lebih tinggi pada orang yang lahir di
daerah perkotaan di negara maju). Skizofrenia ditemukan pada semua
masyarakat dan area geografis dan angka insidens serta prevalensinya secara
12
kasar merata di seluruh dunia. Di AS, kurang lebih 0,05 persen populasi total
menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun dan hanya sekitar
setengah dari semua pasien skizofrenia mendapatkan pengobatan, meskipun
penyakit ini termasuk berat.2

Penelitian mengenai insidensi skizofrenia masih relatif jarang dilakukan.


Hasil survei yang dilakukan oleh WHO di 10 negara, menunjukkan tingkat
insiden per tahun skizofrenia pada orang dewasa dalam rentang yang sempit
berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000 penduduk.4

Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan


onset dan perjalanan penyakit yang berbeda. Laki-laki mempunyai onset yang
lebih awal daripada perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15
sampai 25 tahun, sedangkan perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa
penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin daripada
wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan wanita lebih mungkin
memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya,
hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada hasil
akhir untuk pasien skizofrenia laki-laki. Pada studi yang dilakukan di Ciompi
menunjukan bahwa 50% pasien memiliki onset akut dan 50% lagi kronis atau
lama.5

Berdasarkan data Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007, 2013 dan
2018 menunjukan di Indonesia gangguan jiwa dengan diagnosa skizofrenia
memiliki prevalensi yang fluktuatif. Dimana ditahun 2007 prevalensi
gangguan jiwa di Indonesia sebesar 4.1 per mil, ditahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 1.7 per mil dan rentang tahun 2013 - 2018 mengalami
peningkatan 4 kali lipat selama 5 tahun terakhir menjadi 7 per mil. Provinsi
Bali sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki prevalensi
ganguan jiwa tinggi menunjukan bahwa ditahun 2018 memiliki prevalensi
sebesar 11 per mil atau lebih tinggi dari prevalensi nasional sebesar 4 per
mil.6

3.3 Etiologi Skizofrenia1

Faktor biopsikososio-spiritual dapat saling menguatkan dalam mencetuskan suatu gejala


skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan.
13
a. Faktor genetik

Peranan genetik pada timbulnya skizofrenia diketahui pada penelitian keluarga.


Skizofrenia memiliki risiko yang lebih tinggi pada kembar satu telur dibandingkan
dengan kembar dua telur yaitu sebesar 48%.

b. Faktor neurobiologis

Skizofrenia terjadi akibat ketidakseimbangan dari neurotransmitter didalam otak,


yaitu produksi dopamin yang tinggi.

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan otak individu, misalnya:


infeksi virus selama kehamilan, trauma persalinan, riwayat traumatik saat masa
tumbuh kembang, dan riwayat penyalahgunaan zat pada masa remaja.

3.4 Patogenesis Skizofrenia


Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan
glukosa, terutama di korteks prefrontalis (pada pasien dengan gejala positif)
dan juga terdapat penurunan jumlah neuron (penurunana jumlah substansi
grisea). Selain itu, migrasi neuron yang abnormal selama perkembangan
otak secara patofisiologis sangat bermakna.6
Makna patofisiologis yang khusus dikaitkan dengan dopamin;
avaibilitas dopamin atau agonis dopamine yang berlebihan dapat
menimbulkan gejala skizofrenia, dan penghambat reseptor dopamine-D2
telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia. Disisi lain,
penurunan reseptor D2 yang ditemukan di korteks prefrontalis (A1), dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negative skizofrenia,
seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi
akibat pelepasan dopamin meningkat dan hal ini tidak memiliki efek
patogenetik.6
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua
pengamatan. Pertama, kecuali untuk klozapin, khasiat dan potensi
antipsikotik berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai
antagonis reseptor dopaminergik tipe 2. Kedua, obat-obatan yang
meningkatkan aktivitas dopaminergik (seperti amfetamin) merupakan salah
satu psikotomimetik. Namun belum jelas apakah hiperaktivitas dopamin ini

14
karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya reseptor
dopamin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah
mengenai hipotesa ini, dimana hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas
untuk skizofrenia karena antagonis dopamin efektif dalam mengobati hampir
semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua, beberapa data
elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin
meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan
jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa
abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan
hipodopaminergik.1

Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur


dopamin yaitu1:
1. Mesolimbik dopamin pathways: merupakan hipotesis terjadinya gejala
positif pada penderita skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways
memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian ventral tegmentum
area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumbens di daerah
limbik. Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya
halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Antipsikotik
bekerja melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor dopamin
D2. Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamin pathways menyebabkan
gejala positif meningkat.
2. Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah VTA ke
daerah serebral korteks khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal
dopamin pathways adalah sebagai mediasi dari gejala negatif dan
kognitif pada penderita skizofrenia. Gejala negatif dan kognitif
disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama
pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan dopamin di
mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang
berlebihan pada jalur ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap
reseptor D2. Peningkatan dopamin pada mesokortikal dapat memperbaiki
gejala negatif atau mungkin gejala kognitif.
3. Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia nigra

15
pada batang otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini
merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal. Penurunan dopamin
di nigostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan gangguan
pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit parkinson yaitu
rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau peningkatan
dopamin di jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan
hiperkinetik seperti korea, diskinesia/tik.

4. Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah


hipotalamus ke hipofisis anterior. Dalam keadaan normal
tuberoinfundibular dopamin pathways mempengaruhi oleh inhibisi dan
penglepasan aktif prolaktin, dimana dopamin berfungsi melepaskan
inhibitor pelepasan prolaktin. Sehingga jika ada gangguan dari jalur ini
akibat lesi atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi
peningkatan prolaktin yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea,
amenorea atau disfungsi seksual.
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti
mengenai hubungannya dengan skizofrenia. Diantaranya adalah1 :
 Serotonin
Aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impulsif yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik.
 Norepinefrin
Sistem noradrenergik memodulasi sistem dopaminergik dengan cara
tertentu sehingga kelainan sistem noradrenergik predisposisi pasien untuk
relaps.
 Asam amino
Neurotransmiter asam amino inhibitor gamma-aminobutiric acid
(GABA) mengalami penurunan di hipokampus yang menyebabkan
hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.
Dan juga faktor genetika juga dilakukan penelitian untuk mencari
hubungan terjadinya skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang
yang menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita
skizofrenia dan kemungkinan penderita skizofrenia berhubungan dekat
dengan saudara tersebut (contoh: sanak saudara derajat pertama atau derajat

16
kedua). Petanda kromosom terletak pada lengan panjang kromosom 5, 11,
dan 18; lengan pendek kromosom 15 dan kromosom X adalah yang paling
sering dilaporkan.3

Gambar 3.1. Patogenesis Skizofrenia

3.5 Perjalanan Penyakit Skizofrenia

Gambar 3.2 Perjalanan Penyakit Skizofrenia7

17
1. Fase premorbid
Pasien dengan skizofrenia menunjukkan berbagai perkembangan perilaku, emosional
dan masalah kognitif, disertai dengan gangguan premorbid di fungsi akademik dan
sosial. Abnormalitas termasuk keterlambatan perkembangan motorik, disfungsi
perhatian, defisit masuk bahasa reseptif, prestasi akademis yang buruk, isolasi sosial,
dan pelepasan emosional. Ini telah dibuktikan dalam kasus retrospektif- kontrol studi
tindak lanjut (Walker et al. 1994; Schmael et al.,L 2007), studi kohort populasi (Done et
al. 1994; Jones et al. 1994; Cannon et al., 2002), dan studi prospektif orang berisiko
tinggi (Fish et al., 1992; Cornblatt et al., 1999; Keshavan et al., 2005). Di antara pasien
dengan skizofrenia, fungsi premorbid yang buruk dikaitkan dengan usia dini onset
psikosis dan keparahan negatif yang lebih besar dan gejala kognitif selama sakit.
Meskipun karakteristik dari periode premorbid ini dapat menjelaskan patofisiologi
kerentanan laten awal terhadap skizophrenia, karakteristik ini tidak hadir secara
universal atau spesifik pada orang yang skizofrenia.7
2. Fase prodromal
Periode waktu sebelum timbulnya psikosis pertama telah dijelaskan sebagai
"prodrome" dan ditandai dengan gejala psikotik subthreshold, serta konstelasi tanda
klinis lainnya termasuk defisit kognitif, gejala negatif, gejala suasana hati, dan
penurunan fungsi. Periode prodromal awalnya ditandai melalui studi retrospektif
pasien episode pertama (Chapman, 1966; Varsamis dan Adamson, 1971). Baru-baru
ini, informasi tentang fase ini telah diperoleh secara prospektif melalui studi jangka
panjang individu yang berisiko tinggi untuk berkembang skizofrenia baik karena
riwayat keluarga yang positif skizofrenia atau karena menunjukkan tanda-tanda yang
dilemahkan gangguan. Prodrome bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun, dengan rata-rata 5 tahun. Kognitif, gejala negatif, dan gejala depresi rata-rata
muncul sekitar lima tahun sebelum kontak klinis pertama dan kecacatan sosial muncul
kira-kira 1–3 tahun kemudian. Gejala positif menumpuk selama sekitar satu tahun
sebelum kontak klinis awal. Antara individu yang mencari pengobatan yang
memenuhi kriteria risiko tinggi berkembangnya skizofrenia (dengan psikotik yang
dilemahkan gejala sugestif skizofrenia prodrom), sekitar seperenam hingga
setengahnya terus berkembang menjadi skizofrenia tergantung pada populasi yang
diteliti dan kriteria yang digunakan. Gejala positif yang lebih parah dan derajat yang
lebih besar dari gangguan sosial diprediksikan menjadi risiko yang lebih tinggi untuk

18
"beralih" ke skizofrenia.7
3. Fase Psikotik
Mendefinisikan onset penyakit skizofrenia bisa jadi sulit karena variasi dalam definisi
onset (tanda pertama gangguan mental, gejala positif pertama, bukti pertama disfungsi
sosial, kontak klinis pertama, atau rawat inap pertama) dan biasanya proses evolusi
penyakit yang berkelanjutan dari prodrome ke psikosis terbuka. Untuk tujuan praktis,
pengembangan gejala psikotik menandai onset formal episode pertama skizofrenia,
sesuai dengan Kriteria di DSM- IV-TR, yang merinci halusinasi, delusi, bicara tidak
teratur atau perilaku tidak teratur, dan gejala negatif. Untuk memenuhi kriteria ini,
individu harus mengalami dua dari lima gejala ini selama satu bulan (atau kurang jika
dirawat dengan tepat). Awal skizofrenia biasanya terjadi antara usia 15 hingga 45
tahun meskipun jarang bisa dimulai sebelum pubertas atau setelah usia 50 tahun.
Dibandingkan dengan usia yang lebih tua saat onset skizofrenia, individu dengan onset
usia dini (kurang dari 20 tahun) dan onset yang sangat dini ( kurang dari 13 tahun)
menunjukkan gejala fungsi premorbid yang lebih buruk, gejala negatif dan
disorganisasi yang lebih parah, defisit kognitif yang lebih besar, dan prognosis
keseluruhan yang lebih rendah.7

4. Fase Stabil
Setelah istirahat psikotik pertama, perjalanan skizofrenia bervariasi secara
substansial di seluruh pasien. Secara klasik, perjalanan ini ditandai dengan eksaserbasi
dan remisi, dengan gejala psikotik memutuskan untuk tingkat yang bervariasi antara
episode ini di seluruh pasien dan melalui perjalanan penyakit. Eksaserbasi psikotik
dapat dipicu oleh stres (misalnya, paparan emosi yang diekspresikan tinggi),
ketidakpatuhan terhadap pengobatan, atau penyalahgunaan zat. Gejala positif
cenderung menjadi gejala kurang parah dan negatif lebih menonjol pada penyakit
jangka panjang. Gejala kognitifnya umumnya stabil selama penyakit dan suasana hati
gejala bervariasi dalam tingkat keparahan dalam kaitannya dengan sebagian gejala
psikotik. Berbeda dengan Kraepelinian perspektif, kemunduran progresif yang tak
terelakkan, perkiraan sekitar seperempat pasien menunjukkan remisi penuh
psikopatologis dan sekitar setengahnya menunjukkan remisi sosial. Derajat penurunan
fungsional yang substansial terlihat di waktu permulaan. Tampaknya ada tambahan
kerusakan pada banyak pasien selama tahap awal penyakit, dengan banyak
perkembangan klinis yang terjadi dalam waktu 3–5 tahun setelah onset gejala. Tingkat
kerusakan tampaknya terkait, sebagian, dengan durasi psikosis yang tidak diobati
19
menunjukkan psikosis yang tidak diobati mungkin berbahaya secara biologis. Setelah
kerentanan di tahun-tahun awal, stabilisasi sering dicapai, ditandai dengan remisi atau
kronisitas. Berikut ini, penyakit menjadi stabil dan, meskipun mungkin ada eksaserbasi
berikutnya, umumnya tidak lebih lanjut penurunan fungsi dan peningkatan yang
disebabkan penyakit secara konsisten dalam gejala sisa. Hanya pada subkelompok
kecil pasien saja penurunan lebih lanjut diamati selama penuaan.7

3.6 Gejala dan Diagnosis Skizofrenia

Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum


diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetic, fisik dan social budaya. Pada umumnya
ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran
dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) or tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu
dapat berkembang kemudian.8

Pedoman Diagnostik
1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
2 gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

a) - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau


bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau

- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar


masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang


lain atau umum mengetahuinya;
b) - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau

20
-“delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau

- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan


pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara

jelas merujuk ke pergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran,


tindakan, atau pengideraan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
c) Halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan atau politik tertentu, atau kekuatan di atas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain.

2) Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :

a) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai


baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;

b) arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan


(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
21
c) perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posis
tubuh tertentu (poturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, dan
stupor;

d) gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang


dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan
menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut
tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

3) adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal);

4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara social.8

22
Gambar 3.2 Skema langkah-langkah diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDGJ
III/ICD-10 9

3.7 Diagnosis Banding Skizofrenia

23
Gambar 3.3 Silsilah Diagnosis Banding Gangguan Psikotik8

3.8 Tatalaksana Skizofrenia

Terapi biologik skizofrenia mengalami kemajuan pesat terutama setelah


ditemukan obat antipsikotika generasi kedua (APG-II). Obat APG-II mempunyai
kelebihan dan keterbasan. Orang dengan skizofrenia (ODS) lebih nyaman dengan
APG-II karena kurangnya efek samping ekstrapiramidal, misalnya distonia,
parkinsonisme, dan akatisia. Manfaatnya lebih terasa pada penggunaan jangka
panjang karena jarangnya terjadi tardive diskinesia. Luaran (outcome) jangka
panjangnya lebih baik sehingga ia dapat memfasilitasi keberhasilan terapi
psikososial dan rehabilitasi. Di samping kelebihannya, APG-II mempunyai

24
keterbatasan yaitu risiko efek samping penambahan berat badan, diabetes dan
gangguan kardiovaskuler.
Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut,
stabilisasi dan stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang
membutuhkan penatalaksanaan segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode
pertama atau ketika terjadinya kekambuhan skizofrenia. Fokus terapi pada fase
akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase akut biasanya berlangsung
selama 4-8 minggu.
Setelah fase akut terkontrol, ODS memasuki fase stabilisasi. Risiko
kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS
terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi
pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut.
Fase ini berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnyai gejala akut.
Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini
dalam keadaan remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah
kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi. (Marder SR and Kane JM, 2005).2

Tabel 3.1 Obat Antipsikotik yang Sering Digunakan

25
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman ODS
sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika,
profil efek samping (misalnya, disforia), kenyamanan ODS terhadap obat tertentu
terkait cara pemberiannya. Obat antipsikotika generasi kedua harus
dipertimbangkan sebagai obat lini pertama untuk fase akut skizofrenia terutama
karena rendahnya efek samping ekstrapiramidal dan tardive diskinesia (82-85).
Untuk ODS yang sebelumnya sudah berhasil diobati dengan APG-I atau ODS
lebih memilih APG-I dan secara klinis obat tersebut memang bermanfaat, maka
untuk ODS tersebut obat APG-I dapat dijadikan pilihan pertama.9
Kecuali klozapin yang efektif untuk ODS yang sudah resisten dengan
terapi, untuk mengobati gejala positif skizofrenia, semua antipsikotika, secara
umum efikasinya sama. Untuk mengobati psikopatologi global, gejala kognitif,
negatif dan mood, APG-II lebih baik daripada APG-I. Meskipun demikian, tidak

semua setuju dengan pendapat ini. Tidak ada bukti suatu APG-II lebih baik
daripada APG-II lainnya. Ternyata terdapat perbedaan respons individual.
Riwayat efek samping dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan
antipsikotika. Tabel 2. di bawah ini adalah efek samping terkait dengan
antipsikotika.9

Tabel 3.2 Pilihan Obat untuk Fase Akut Skizofrenia

26
Penatalaksanaan Efek Samping
Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal, misalnya distonia
akut, akathisia atau parkinsonisme, terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis.
Bila tidak dapat ditanggulangi, diberikan obat-obat antikolinergik, misalnya
triheksifenidil, benztropin, sulfas atropin, atau difenhidramin injeksi IM atau IV.
Obat yang paling sering digunakan adalah triheksifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg
per hari. Bila tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut disarankan
untuk mengganti jenis antipsikotika yang digunakan ke golongan APG-II yang

lebih sedikit kemungkinannya mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal.


Tabel 3 di bawah ini adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi efek
samping ekstrapiramidal.9
Obat-obat antikolinergik tersebut tidak perlu diberikan secara rutin atau
untuk tujuan pencegahan efek samping ekstrapiramidal, karena munculnya efek
samping bersifat individual. Obat antikolinergik perlu diberikan hanya bila terjadi
efek samping ekstrapiramidal.9

Tabel 3.3 Efek Samping Obat Antipsikotik yang sering digunakan

27
Tabel 3.4 Obat untuk Efek Samping Ekstrapiramidal

28
Gambar 3.4 Pedoman Pengobatan Skizofrenia

29
30
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini pasien dengan skizofrenia paranoid ditegakkan berdasarkan


anamnesis dan status psikiatri. Pada kasus ini dilaporkan Ny. R, usia 47 tahun
datang ke Poliklinik Jiwa RSJD Provinsi Jambi bersama anaknya dengan keluhan
halusinasi semenjak 6 bulan.
OS datang dalam keadaaan stabil, penampilan tidak sesuai usianya, dan
terlihat sedikit lebih tua. Kondisi fisik OS terlihat sehat, pakaian rapi dan bersih.
Selama autoanamnesis, OS kurang kooperatif namun tetap dapat menjawab
beberapa pertanyaan walaupun harus dibantu dengan keluarga dan OS berbicara
melantur. Keluarga OS mengatakan bahwa OS sering berbicara sendirian. OS
merasa marah apabila orang lain tidak percaya dengan apa yang dialaminya. OS
juga lebih sensitif, lebih mudah menangis. OS juga menuduh tetangga OS
mencuri gelang dan masuk ke rumah OS.
Menurut keluarga pasien, OS juga susah untuk masuk tidur di malam hari.
OS juga sangat mudah lupa. Saat daya ingat OS diuji, OS memiliki daya ingat
jangka pendek dan menengah yang tidak baik. Daya konsentrasi OS pun tidak
baik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan mood eutimia
dengan eutimia, bentuk pikir psikotik, arus pikir rambling, isi pikir miskin isi
pikir, serta persepsi halusinasi visual dan auditorik positif. Orientasi waktu tidak
baik, orientasi tempat tidak baik, dan orientasi orang juga tidak baik. OS
memiliki daya konsentrasi, daya ingat, daya nilai, serta pikiran abstrak yang
buruk. OS juga menyangkal dirinya sakit. Hal ini sesuai dengan teori yang telah
telah dijelaskan dan memenuhi kriteria diagnosis Skizofrenia menurut PPDGJ-
III:7
Maka dari itu berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik, gejala yang
dialami OS memenuhi kriteria diagnosa skizofrenia paranoid berdasarkan PPDGJ-
III, yaitu harus ada sedikitnya satu gejala umum skizofrenia yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas) dan sebagai tambahan untuk skizofrenia paranaoid adanya halusinasi
dan/atau waham harus menonjol dan gangguan afektif, dorongan kehendak dan
29
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol.
Adanya gejala-gejala khas tersebut telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih. Kemudian harus ada suatu perubahan perilaku yang
konsisten dan bermakan dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku
pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.8
Adapun perbedaan dari masing-masing diagnosis banding adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Perbedaan Diagnosis Banding8
Penyakit Geja
la
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat
jelas (dan biasanya 2 gejala atau lebih bila gejala-gejala
itu kurang tajam atau kurang jelas) :
- “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang
berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras),
Skizofrenia
dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama, namun
Paranoid
kualitasnya berbeda; atau
(F20.0)
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang
asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion)
atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya
(withdrawal); dan

30
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
- “delusion of control” = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
pengideraan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
2. Halusinasi auditorik :
a. suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien atau
b. mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
c. jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian
3. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan atau politik
tertentu, atau kekuatan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi
dengan makhluk asing dari dunia lain.
4. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus
selalu ada secara jelas :
a. halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja,
apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-
ide

31
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang
mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan,
atau neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), posis tubuh tertentu (poturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, dan stupor;
d. gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis,
bicara yang jarang dan respons emosional yang
menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social
dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
5. adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih
(tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
6. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa
aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri
sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
7. Sebagai tambahan:
a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien
atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa,
atau

32
bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh;
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi
waham dikendalikan, dipengaruhi, atau
“passivity” , dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas
b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif
tidak
nyata/ tidak menonjol
1. Gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif
sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau
dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam
satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai
konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi
kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau
depresif.
Gangguan
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan
Skizoafektif tipe
gejala skizofrenia dan gangguan afektif tetapi dalam
Manik
episode penyakit yang berbeda.
(F25.0)
3. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada
peningkatan afek yang tak begitu menonjol
dikombinasikan dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
4. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya
satu,
atau lebih baik lagi dua, gejala skizofrenia yang khas.
1. Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1
minggu, dan sangat berat sampai mengacaukan seluruh
Mania dengan atau hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang
Gejala biasa dilakukan.
Psikotik 2. Perubahan afek harus disertai energy yang bertambah

(F30.2) sehingga terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan


kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang berkurang,
dan

ide-ide perihal kebesaran dan terlalu optimistik.

33
3. Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesarn
dapat berkembang menjadi waham kebesaran, iritabilitas
dan kecurigaan menjadi waham kejar. Waham dan
hakusinasi
“sesuai” dengan keadaan afek tersebut (mood congruent).

Evaluasi Diagnosis Multiaksial


1. Diagnosis Axis 1
Keluhan yang dimiliki Ny.R memenuhi kriteria skizofrenia paranoid
pada PPDGJ-III, pertama yaitu Ny.R terdapat halusinasi yang menetap dari
panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus; arus pikiran yang terputus (break) atau yang
mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme ; Ny. R juga memiliki
halusinasi auditorik dan visual. Kejadian kejadian tersebut sudah dialami oleh
Ny. R semenjak 6 bulan yang lalu dan mengakibatkan menurunnya fungsi
sosial Ny. R sehari-hari. Nn.G memiliki bentuk pikir yang psikotik.
2. Diagnosis Axis 2
Menurut kriteria diagnosis PPDGJ-III, Ny. R mempunyai gangguan
kepripadian emosional tidak stabil dengan pedoman diagnostik : terdapat
kecenderungan yang mencolok untuk bertindak secara impulsif tanpa
mempertimbangkan konsekuensinya, bersamaan dengan ketidakstabilan
emosional ; Dua varian yang khas adalah berkaitan dengan impulsivitas dan
kekurangan pengendalian diri.
3. Diagnosis Axis 3
Saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada Ny. R memiliki
masalah genitournaria

4. Diagnosis Axis 4

Tidak ada diagnosis


5. Diagnosis Axis 5

34
1) Dari sisi gejala, pada pasien terdapat gejala sedang (moderate) dan disabilitas
sedang. Maka aksis V pasien termasuk GAF Scale 60-51.
2) Pasien tidak pernah dilakukan pemeriksaan GAF Scale sebelumnya. Namun
keluarga mengatakan selama ±1 tahun terakhir , Ny. R masih dapat beraktivitas
dengan normal, ada gejala mudah lupa dan mudah marah. Maka pada aksis V
GAF Scale tertinggi ±1 tahun terakhir adalah 70-61. Terdapat beberapa gejala
ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik

Penatalaksanaan
Untuk terapi farmakologi pasien diberikan :
1. Aripiprazole 10-30 mg/hari
Obat ini merupakan golongan obat anti-psikosis atipikal yang
berfungsi untuk meredakan gejala skizofrenia baik akibat fungsional
maupun organik sehingga membuat pasien lebih tenang. Dengan
mekanisme kerja sebagai berikut obat anti-psikosis atipikal akan
memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak,
Khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2
resector antagonis), sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat
anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2
Receptors” juga terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-

dopamine antagonists), sehingga efektif juga untuk gejala negatif. Obat


golongan ini memiliki efek samping minimal, termasuk efek samping
ekstrapiramidal dan hiperprolaktinemia yang rendah dan efek sedatif yang
tidak terlalu tinggi. Obat ini aman digunakan bagi remaja dengan usia di
atas 13 tahun.9
2. Lorazepam 1x0,5 mg/hari
Obat ini merupakan golongan obat psikotropika jenis
benzodiazepine yang berfungsi untuk mengatasi gangguan kecemasan dan
mengatasi insomnia yang terkait dengan kecemasan. Lorazepam bekerja
dengan cara meningkatkan unsur kimia tertentu di dalam otak dan
memberikan efek menenangkan di berbagai bagian otak dan sistem saraf.9

Terapi Non Farmakologi pasien:


35
Salah satu terapi non-farmakologi untuk penderita skizofrenia adalah
pendekatan psikososial. Peningkatan kualitas hidup dan kesembuhan pasien
skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non-farmakologi disamping
terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu memberikan manfaat yang
banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan untuk memberikan
dukungan emosional kepada pasien sehingga pasien mampu meningkatkan fungsi
sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik.
Selain itu perlu psikoedukasi untuk pasien demgan skizofrenia. Penting
untuk memberi edukasi terkait penyakit yang sedang dialami oleh pasien seperti
tanda dan gejala kekambuhan yang mungkin timbul, serta penting untuk teratur
dan disiplin dalam minum obat. Terkait hal ini perlu dilakukan edukasi kepada
keluarga selaku orang terdekat pasien agar dapat mengontrol pasien dalam
mengonsumsi obat dan mengingatkan bahwa kekambuhan terjadi diakibatkan
tidak teraturnya pasien dalam minum obat.
Selain itu, penting bagi keluarga untuk memberikan dukungan kepada
pasien selama masa sakitnya. Keluarga perlu memberikan perhatian dan tidak
menunjukkan emosi (marah) yang berlebihan serta tetap memberikan kasih
sayang kepada pasien. Keluarga juga perlu memperlakukan pasien seperti orang

normal pada umumnya dan tidak menganggap seperti orang yang sakit. Sehingga
akan memberikan semangat hidup yang tinggi dan perasaan yang dihargai.
Keluarga juga diminta untuk memberikan kebebasan kepada pasien dalam
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar selama tidak membahayakan atau
menyakiti orang lain sehingga tidak terlihat terlalu mengekang pasien setelah
keluar dari rumah sakit jiwa.14

Prognosis
Prognosis quo ad vitam pasien adalah dubia ad bonam karena pasien tidak
memiliki riwayat gangguan organ vital yang dapat mengancam kehidupan pasien,
untuk quo ad fungsionam pasien dubia ad malam karena walaupun setelah
diberikan terapi antipsikotik dan diharapkan pasien dapat patuh dalam minum
obat sehingga mencapai derajat recovery lebih dini dan menjalankan fungsi
kehidupan serta melakukan tugasnya seperti normal, pasien sudah mulai pikun,
yang diduga irreversible. untuk quo ad sanationam adalah dubia ad malam karena
36
berdasarkan perbandingan GAF scale saat ini (60-51) “gejala sedang (moderate),
disabilitas sedang” dan GAF scale tertinggi ±1 tahun terakhir (70-61) “beberapa
gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih
baik”, selain itu keluarga yang mendapatkan edukasi lebih dini terhadap penyakit
dan pengobatan pasien dapat mengarahkan pada prognosis baik dan kesembuhan
pada pasien, sehingga pasien dapat beraktivitas seperti biasa. Dan dicurigai
mengalami perburukan dikarenakan ODS beresiko tinggi tidak memiliki
pekerjaan, tidak memiliki pendidikan yang tinggi.15
Faktor yang memberikan pengaruh baik, ialah:
a) Penyakit sudah dikenali dan diberikan terapi sedari dini.16
b) Tidak ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya.
c) Gejala yang timbul merupakan gejala positif.
d) Keluarga mendukung dan yakin atas kesembuhan pasien.
e) Kepatuhan pasien dalam minum obat.
Faktor yang memberikan pengaruh buruk adalah isi pikir yaitu preokupasi
(isi pikiran pasien terfokus pada masalah dendam terhadap temannya).

37
38
BAB V
KESIMPULA
N

Menurut PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi


penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya. Menurut
DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni subtipe paranoid,
terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual.
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) di Indonesia yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu
katatonik, paranoid, hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual
dan depresi pasca skizofreniaPenegakan diagnosis skizofrenia berdasarkan
PPDGJ-III. Terapi pada skizofrenia berupa terapi farmakologi dan
nonfarmakologi.
Bila terjadi efek samping obat seperti sindroma ekstrapiramidal, misalnya
dystonia akut, akathisia atau parkinsonisme, terlebih dahulu dilakukan penurunan
dosis. Bila tidak dapat ditanggulangi, diberikan obat-obat antikolinergik, misalnya
triheksifenidil, benztropin, sulfas atropim, atau difenhidramin injeksi IM atau IV.

38
Daftar Pustaka

1. Dewi SY, Noor IM, Nurhidayat AW. Buku Panduan Psikiatri Bagi Dokter
Umum. Bekasi : Talenta Center;2019. Hal. 51-58.
2. Sadock B, Sadock V A. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis,
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2015. Hal 147-168.
3. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III. Jakarta : PT.Nuh Raya; 2001. hal. 46-51.
4. Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta; 2007. hal
26-34.
5. Messias Erick,et al. Epidemiology of schizofrenia : review of findings and
myths. The Psychiatric clinics of North America. Amerika; 2007.
6. Darsana IW, Suariyani NLP. Trend Karakteristik Demografi Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (2013-2018). Arc Com
Health. 2020; 7(1):41-51.
7. Maramis, F willy Dkk. Skizofrenia dalam catatan ilmu kedokteran jiwa.
Edisi : II. Jakarta 2009. Airlangga University Press.hal : 259 – 281
8. Tandon R, Nasrallah HA, Keshavan MS. Schizophrenia, “just the facts” 4.
Clinical features and conceptualization. Elsevier;2009.
9. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III DSM-5 ICD-11. Jakarta : PT.Nuh Raya; 2019.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran jiwa Indonesia (PDSKJI).
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta; 2011.
11. Atluri S, Sarathi V, Goel A, Boppana R, Shivaprasad C. Etiological profile
of galactorrhoea. Indian J Endocrinol Metab. 2018 Jul 1;22(4):489.
12. Pitale DL. Effectiveness of Cabergoline therapy in hyperprolactinemic
infertility. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2019 May
28;8(6):2389.
13. Molitch ME. ENDOCRINOLOGY IN PREGNANCY: Management of the
pregnant patient with a prolactinoma. Eur J Endocrinol. 2015 May
1;172(5):R205–13.
14. Amelia DR, Anwar Z. Relaps pada Pasien Skizofrenia. J Psikologi
Terapan. 2013; Vol.(1): 52-64
15. Hakulinen C, McGrath JJ, Timmerman A, Skipper N, Mortensen PB,
Pedersen CB, et al. The association between early-onset schizophrenia
with employment, income, education, and cohabition status: nationwide
study with 35 years of follow up. Social Pyschiatry and Psychiatric
Epidemiology. 2019;54:1343-51.
16.Lieberman JA, Small SA, Girgis RR. Early detection and preventive
intervention in schizophrenia: from fantasy to reality. AM J Psychiatry.
2019 October;176(10): 794-810

39

Anda mungkin juga menyukai