SKIZOFRENIA
Oleh:
Pembimbing:
i
LEMBAR PENGESAHAN
SKIZOFRENIA
Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa RSJD Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi 2021
Oleh:
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang berjudul
“Skizofrenia” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Victor Eliezer, Sp.KJ yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
laporan CRS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
BAB II STATUS PSIKIATRI............................................................2
2.1 Riwayat Psikiatri.............................................................................2
2.3 Identitas Pasien...............................................................................2
2.4 Riwayat Penyakit............................................................................2
2.4 Pemeriksaan Status Psikiatri..........................................................6
2.5 Pemeriksaan Fisik............................................................................6
2.6 Diagnosis Multiaksial.......................................................................8
2.7 Penatalaksanaan...............................................................................9
2.8 Diagnosis Banding...........................................................................9
2.9 Prognosis..........................................................................................9
2.10 BAB III TINJAUAN PUSTAKA...............................................12
3.1 Definisi Skizofrenia.........................................................................12
3.2 Epidemiologi Skizofrenia................................................................12
3.3 Etiologi Skizofrenia.........................................................................13
3.4 Patogenesis Skizofrenia...................................................................14
3.5 Perjalanan Penyakit Skizofrenia......................................................17
3.6 Gejala dan Diagnosis Skizofrenia....................................................20
3.7 Diagnosis Banding Skizofrenia.......................................................23
3.8 Tatalaksana Skizofrenia...................................................................23
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................29
BAB V KESIMPULAN.......................................................................38
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................39
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang berkaitan dengan isi dan proses
pikiran yang terganggu dan sedikitnya telah berlangsung selama 1 bulan. 1 Menurut
PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan
penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik dan sosial budaya.2
Faktor biopsikososio-spiritual dapat saling menguatkan dalam mencetuskan suatu
gejala skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan. Beberapa faktor tersebut
adalah (1) faktor genetik, peranan genetik pada timbulnya skizofrenia diketahui pada
penelitian keluarga. Skizofrenia memiliki risiko yang lebih tinggi pada kembar satu telur
dibandingkan dengan kembar dua telur yaitu sebesar 48%. (2) Faktor neurobiologis,
skizofrenia terjadi akibat ketidakseimbangan dari neurotransmitter didalam otak, yaitu
produksi dopamin yang tinggi. (3) Faktor lingkungan, faktor lingkungan dapat
mempengaruhi perkembangan otak individu, misalnya: infeksi virus selama kehamilan,
trauma persalinan, riwayat traumatik saat masa tumbuh kembang, dan riwayat
penyalahgunaan zat pada masa remaja.1
Berdasarkan data Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007, 2013 dan 2018
menunjukan di Indonesia gangguan jiwa dengan diagnosa skizofrenia memiliki
prevalensi yang fluktuatif. Dimana ditahun 2007 prevalensi gangguan jiwa di Indonesia
sebesar 4.1 per mil, ditahun 2013 mengalami penurunan menjadi 1.7 per mil dan rentang
tahun 2013 - 2018 mengalami peningkatan 4 kali lipat selama 5 tahun terakhir menjadi 7
per mil.6
1
BAB II
STATUS PSIKIATRI
3
keluarga OS, OS lebih mudah tersinggung dan menangis. OS juga sering
menuduh tetangganya datang ke rumah di siang hari untuk mencuri gelang OS.
Namun, keluarga tidak percaya keterangan OS karena gelang yang dimaksud
OS merupakan gelang mainan dan tidak ada saksi mata yang melihat tetangga
OS masuk ke rumah OS untuk mengambil gelang.
4
E. Genogram
Gambar 1. Genogram
Keterangan :
: Pasien
: Laki-laki
: Perempuan
5
4. Masa Kanak-kanak Akhir
a. Hubungan sosial
Menurut OS, OS merupakan pribadi yang mudah bergaul. OS memiki cukup
banyak teman.
b. Riwayat sekolah
Perihal SD
Gangguan Pikir
1. Bentuk pikir : Psikotik
2. Arus pikir : Rambling
3. Isi pikir : Miskin Isi
Perasaan
1. Mood : Eutimia
2. Afek : Eutimia
Persepsi
1. Halusinasi : Auditorik (+) Visual (+)
2. Ilusi : Tidak ada
Fungsi Intelektual
1. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi dan perhatian pasien terganggu.
2. Orientasi
7
Waktu : Terganggu
Tempat : Terganggu
Orang : Terganggu
3. Daya Ingat
jangka panjang : Baik
jangka menengah : Terganggu
jangka pendek : Terganggu
segera : Terganggu
4. Pikiran abstrak : Terganggu
5. Pengendalian impuls : Terganggu
6. Daya nilai : Terganggu
7. Tilikan : Derajat 1
8. Taraf dapat dipercaya : Tidak dapat dipercaya
8
Thorax Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)
Pemeriksaan Neurologis
GCS :15 (E4 V5 M6)
Pemeriksaan Psikometrik :Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Laboratorium darah rutin : Tidak dilakukan pemeriksaan
2.8 PENATALAKSANAAN
i. Farmakologi
1. Aripriprazole
2. Lorazepam 0,5 mg 0-0-1
ii. Nonfarmakologi
9
1. Terapi Kejuruan
Dengan cara mengikuti kegiatan rehabilitasi yang rutin diadakan di
RSJD Jambi setiap 1 minggu sekali sehingga os dapat mengisi waktu luang
dengan kegiatan positif dan menyalurkan bakat serta membina hubungan
sosial antar sesama pasien dan pihak RSJD Jambi. Kegiatan yang dilakukan
pada umumnya adalah senam pagi, membereskan kamar, dan halaman
bangsal.
2. Terapi Psikoedukasi
Memberikan edukasi terkait penyakit yang sedang dialami oleh pasien
seperti tanda dan gejala kekambuhan yang mungkin timbul serta pentingnya
teratur dan disiplin dalam minum obat. Terkait hal ini perlu dilakukan edukasi
kepada keluarga pasien agar dapat mengontrol pasien dalam mengonsumsi
obat. Keluarga juga perlu diberikan pengetahuan terkait tidak dibutuhkannya
pengobatan alternatif saat pasien mengalami kekambuhan. Dan mengingatkan
bahwa kekambuhan terjadi diakibatkan tidak teraturnya pasien dalam minum
obat, dan jika kekambuhan terjadi tindakan tepat yang dapat dilakukan oleh
keluarga adalah membawa pasien ke IGD RSJ, bukan membawa pasien ke
pengobatan alternatif.
3. Psikoterapi Suportif
Pemberian terapi melalui beberapa teknik :
1. Ventilasi, yaitu memberi kesempatan kepada pasien agar pasien dapat
menceritakan isi hatinya seluas-luasnya mengenai permasalahan yang
menjadi stres utama, dokter menjadi pendengar yang baik, sehingga
pasien merasa lega serta keluhannya berkurang.
4. Manipulasi Lingkungan
Dilakukan dengan cara mengedukasi pasien dan keluarga pasien
mengenai penyakit yang sedang dialami oleh pasien. Sehubungan dengan
keadaan putus obat yang selalu diulangi oleh pasien dan tidak terlalu
dikontrol oleh keluarganya, sehingga pemahaman tentang kekambuhan akibat
pengobatan yang tidak teratur dan disiplin dapat dicegah oleh keluarga pasien
selaku penanggung jawab selama pasien menjalani terapi. Edukasi ini juga
diperlukan agar saat pasien telah keluar dari RSJ, keluarga, lingkungan sosial
dan lingkungan pekerjaan dapat menerima keadaan pasien dengan baik dan
terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pasien. Peran keluarga juga
sangat diperlukan untuk membina pasien agar dapat hidup mandiri,
bertanggung jawab dan dapat beraktifitas seperti orang pada umumnya,
seperti dengan cara membina kegiatan keagamaan bersama.
2.9 PROGNOSIS
- Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
- Quo Ad Functionam : dubia ad malam
- Quo Ad Sanationam : dubia ad malam
11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan data Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007, 2013 dan
2018 menunjukan di Indonesia gangguan jiwa dengan diagnosa skizofrenia
memiliki prevalensi yang fluktuatif. Dimana ditahun 2007 prevalensi
gangguan jiwa di Indonesia sebesar 4.1 per mil, ditahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 1.7 per mil dan rentang tahun 2013 - 2018 mengalami
peningkatan 4 kali lipat selama 5 tahun terakhir menjadi 7 per mil. Provinsi
Bali sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki prevalensi
ganguan jiwa tinggi menunjukan bahwa ditahun 2018 memiliki prevalensi
sebesar 11 per mil atau lebih tinggi dari prevalensi nasional sebesar 4 per
mil.6
b. Faktor neurobiologis
c. Faktor lingkungan
14
karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya reseptor
dopamin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah
mengenai hipotesa ini, dimana hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas
untuk skizofrenia karena antagonis dopamin efektif dalam mengobati hampir
semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua, beberapa data
elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin
meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan
jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa
abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan
hipodopaminergik.1
15
pada batang otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini
merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal. Penurunan dopamin
di nigostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan gangguan
pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit parkinson yaitu
rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau peningkatan
dopamin di jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan
hiperkinetik seperti korea, diskinesia/tik.
16
kedua). Petanda kromosom terletak pada lengan panjang kromosom 5, 11,
dan 18; lengan pendek kromosom 15 dan kromosom X adalah yang paling
sering dilaporkan.3
17
1. Fase premorbid
Pasien dengan skizofrenia menunjukkan berbagai perkembangan perilaku, emosional
dan masalah kognitif, disertai dengan gangguan premorbid di fungsi akademik dan
sosial. Abnormalitas termasuk keterlambatan perkembangan motorik, disfungsi
perhatian, defisit masuk bahasa reseptif, prestasi akademis yang buruk, isolasi sosial,
dan pelepasan emosional. Ini telah dibuktikan dalam kasus retrospektif- kontrol studi
tindak lanjut (Walker et al. 1994; Schmael et al.,L 2007), studi kohort populasi (Done et
al. 1994; Jones et al. 1994; Cannon et al., 2002), dan studi prospektif orang berisiko
tinggi (Fish et al., 1992; Cornblatt et al., 1999; Keshavan et al., 2005). Di antara pasien
dengan skizofrenia, fungsi premorbid yang buruk dikaitkan dengan usia dini onset
psikosis dan keparahan negatif yang lebih besar dan gejala kognitif selama sakit.
Meskipun karakteristik dari periode premorbid ini dapat menjelaskan patofisiologi
kerentanan laten awal terhadap skizophrenia, karakteristik ini tidak hadir secara
universal atau spesifik pada orang yang skizofrenia.7
2. Fase prodromal
Periode waktu sebelum timbulnya psikosis pertama telah dijelaskan sebagai
"prodrome" dan ditandai dengan gejala psikotik subthreshold, serta konstelasi tanda
klinis lainnya termasuk defisit kognitif, gejala negatif, gejala suasana hati, dan
penurunan fungsi. Periode prodromal awalnya ditandai melalui studi retrospektif
pasien episode pertama (Chapman, 1966; Varsamis dan Adamson, 1971). Baru-baru
ini, informasi tentang fase ini telah diperoleh secara prospektif melalui studi jangka
panjang individu yang berisiko tinggi untuk berkembang skizofrenia baik karena
riwayat keluarga yang positif skizofrenia atau karena menunjukkan tanda-tanda yang
dilemahkan gangguan. Prodrome bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun, dengan rata-rata 5 tahun. Kognitif, gejala negatif, dan gejala depresi rata-rata
muncul sekitar lima tahun sebelum kontak klinis pertama dan kecacatan sosial muncul
kira-kira 1–3 tahun kemudian. Gejala positif menumpuk selama sekitar satu tahun
sebelum kontak klinis awal. Antara individu yang mencari pengobatan yang
memenuhi kriteria risiko tinggi berkembangnya skizofrenia (dengan psikotik yang
dilemahkan gejala sugestif skizofrenia prodrom), sekitar seperenam hingga
setengahnya terus berkembang menjadi skizofrenia tergantung pada populasi yang
diteliti dan kriteria yang digunakan. Gejala positif yang lebih parah dan derajat yang
lebih besar dari gangguan sosial diprediksikan menjadi risiko yang lebih tinggi untuk
18
"beralih" ke skizofrenia.7
3. Fase Psikotik
Mendefinisikan onset penyakit skizofrenia bisa jadi sulit karena variasi dalam definisi
onset (tanda pertama gangguan mental, gejala positif pertama, bukti pertama disfungsi
sosial, kontak klinis pertama, atau rawat inap pertama) dan biasanya proses evolusi
penyakit yang berkelanjutan dari prodrome ke psikosis terbuka. Untuk tujuan praktis,
pengembangan gejala psikotik menandai onset formal episode pertama skizofrenia,
sesuai dengan Kriteria di DSM- IV-TR, yang merinci halusinasi, delusi, bicara tidak
teratur atau perilaku tidak teratur, dan gejala negatif. Untuk memenuhi kriteria ini,
individu harus mengalami dua dari lima gejala ini selama satu bulan (atau kurang jika
dirawat dengan tepat). Awal skizofrenia biasanya terjadi antara usia 15 hingga 45
tahun meskipun jarang bisa dimulai sebelum pubertas atau setelah usia 50 tahun.
Dibandingkan dengan usia yang lebih tua saat onset skizofrenia, individu dengan onset
usia dini (kurang dari 20 tahun) dan onset yang sangat dini ( kurang dari 13 tahun)
menunjukkan gejala fungsi premorbid yang lebih buruk, gejala negatif dan
disorganisasi yang lebih parah, defisit kognitif yang lebih besar, dan prognosis
keseluruhan yang lebih rendah.7
4. Fase Stabil
Setelah istirahat psikotik pertama, perjalanan skizofrenia bervariasi secara
substansial di seluruh pasien. Secara klasik, perjalanan ini ditandai dengan eksaserbasi
dan remisi, dengan gejala psikotik memutuskan untuk tingkat yang bervariasi antara
episode ini di seluruh pasien dan melalui perjalanan penyakit. Eksaserbasi psikotik
dapat dipicu oleh stres (misalnya, paparan emosi yang diekspresikan tinggi),
ketidakpatuhan terhadap pengobatan, atau penyalahgunaan zat. Gejala positif
cenderung menjadi gejala kurang parah dan negatif lebih menonjol pada penyakit
jangka panjang. Gejala kognitifnya umumnya stabil selama penyakit dan suasana hati
gejala bervariasi dalam tingkat keparahan dalam kaitannya dengan sebagian gejala
psikotik. Berbeda dengan Kraepelinian perspektif, kemunduran progresif yang tak
terelakkan, perkiraan sekitar seperempat pasien menunjukkan remisi penuh
psikopatologis dan sekitar setengahnya menunjukkan remisi sosial. Derajat penurunan
fungsional yang substansial terlihat di waktu permulaan. Tampaknya ada tambahan
kerusakan pada banyak pasien selama tahap awal penyakit, dengan banyak
perkembangan klinis yang terjadi dalam waktu 3–5 tahun setelah onset gejala. Tingkat
kerusakan tampaknya terkait, sebagian, dengan durasi psikosis yang tidak diobati
19
menunjukkan psikosis yang tidak diobati mungkin berbahaya secara biologis. Setelah
kerentanan di tahun-tahun awal, stabilisasi sering dicapai, ditandai dengan remisi atau
kronisitas. Berikut ini, penyakit menjadi stabil dan, meskipun mungkin ada eksaserbasi
berikutnya, umumnya tidak lebih lanjut penurunan fungsi dan peningkatan yang
disebabkan penyakit secara konsisten dalam gejala sisa. Hanya pada subkelompok
kecil pasien saja penurunan lebih lanjut diamati selama penuaan.7
Pedoman Diagnostik
1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
2 gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
20
-“delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau
2) Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara social.8
22
Gambar 3.2 Skema langkah-langkah diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDGJ
III/ICD-10 9
23
Gambar 3.3 Silsilah Diagnosis Banding Gangguan Psikotik8
24
keterbatasan yaitu risiko efek samping penambahan berat badan, diabetes dan
gangguan kardiovaskuler.
Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut,
stabilisasi dan stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang
membutuhkan penatalaksanaan segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode
pertama atau ketika terjadinya kekambuhan skizofrenia. Fokus terapi pada fase
akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase akut biasanya berlangsung
selama 4-8 minggu.
Setelah fase akut terkontrol, ODS memasuki fase stabilisasi. Risiko
kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS
terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi
pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut.
Fase ini berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnyai gejala akut.
Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini
dalam keadaan remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah
kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi. (Marder SR and Kane JM, 2005).2
25
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman ODS
sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika,
profil efek samping (misalnya, disforia), kenyamanan ODS terhadap obat tertentu
terkait cara pemberiannya. Obat antipsikotika generasi kedua harus
dipertimbangkan sebagai obat lini pertama untuk fase akut skizofrenia terutama
karena rendahnya efek samping ekstrapiramidal dan tardive diskinesia (82-85).
Untuk ODS yang sebelumnya sudah berhasil diobati dengan APG-I atau ODS
lebih memilih APG-I dan secara klinis obat tersebut memang bermanfaat, maka
untuk ODS tersebut obat APG-I dapat dijadikan pilihan pertama.9
Kecuali klozapin yang efektif untuk ODS yang sudah resisten dengan
terapi, untuk mengobati gejala positif skizofrenia, semua antipsikotika, secara
umum efikasinya sama. Untuk mengobati psikopatologi global, gejala kognitif,
negatif dan mood, APG-II lebih baik daripada APG-I. Meskipun demikian, tidak
semua setuju dengan pendapat ini. Tidak ada bukti suatu APG-II lebih baik
daripada APG-II lainnya. Ternyata terdapat perbedaan respons individual.
Riwayat efek samping dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan
antipsikotika. Tabel 2. di bawah ini adalah efek samping terkait dengan
antipsikotika.9
26
Penatalaksanaan Efek Samping
Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal, misalnya distonia
akut, akathisia atau parkinsonisme, terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis.
Bila tidak dapat ditanggulangi, diberikan obat-obat antikolinergik, misalnya
triheksifenidil, benztropin, sulfas atropin, atau difenhidramin injeksi IM atau IV.
Obat yang paling sering digunakan adalah triheksifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg
per hari. Bila tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut disarankan
untuk mengganti jenis antipsikotika yang digunakan ke golongan APG-II yang
27
Tabel 3.4 Obat untuk Efek Samping Ekstrapiramidal
28
Gambar 3.4 Pedoman Pengobatan Skizofrenia
29
30
BAB IV
ANALISIS KASUS
30
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
- “delusion of control” = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
pengideraan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
2. Halusinasi auditorik :
a. suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien atau
b. mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
c. jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian
3. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan atau politik
tertentu, atau kekuatan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi
dengan makhluk asing dari dunia lain.
4. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus
selalu ada secara jelas :
a. halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja,
apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-
ide
31
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang
mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan,
atau neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), posis tubuh tertentu (poturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, dan stupor;
d. gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis,
bicara yang jarang dan respons emosional yang
menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social
dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
5. adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih
(tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
6. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa
aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri
sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
7. Sebagai tambahan:
a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien
atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa,
atau
32
bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh;
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi
waham dikendalikan, dipengaruhi, atau
“passivity” , dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas
b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif
tidak
nyata/ tidak menonjol
1. Gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif
sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau
dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam
satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai
konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi
kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau
depresif.
Gangguan
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan
Skizoafektif tipe
gejala skizofrenia dan gangguan afektif tetapi dalam
Manik
episode penyakit yang berbeda.
(F25.0)
3. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada
peningkatan afek yang tak begitu menonjol
dikombinasikan dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
4. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya
satu,
atau lebih baik lagi dua, gejala skizofrenia yang khas.
1. Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1
minggu, dan sangat berat sampai mengacaukan seluruh
Mania dengan atau hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang
Gejala biasa dilakukan.
Psikotik 2. Perubahan afek harus disertai energy yang bertambah
33
3. Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesarn
dapat berkembang menjadi waham kebesaran, iritabilitas
dan kecurigaan menjadi waham kejar. Waham dan
hakusinasi
“sesuai” dengan keadaan afek tersebut (mood congruent).
4. Diagnosis Axis 4
34
1) Dari sisi gejala, pada pasien terdapat gejala sedang (moderate) dan disabilitas
sedang. Maka aksis V pasien termasuk GAF Scale 60-51.
2) Pasien tidak pernah dilakukan pemeriksaan GAF Scale sebelumnya. Namun
keluarga mengatakan selama ±1 tahun terakhir , Ny. R masih dapat beraktivitas
dengan normal, ada gejala mudah lupa dan mudah marah. Maka pada aksis V
GAF Scale tertinggi ±1 tahun terakhir adalah 70-61. Terdapat beberapa gejala
ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik
Penatalaksanaan
Untuk terapi farmakologi pasien diberikan :
1. Aripiprazole 10-30 mg/hari
Obat ini merupakan golongan obat anti-psikosis atipikal yang
berfungsi untuk meredakan gejala skizofrenia baik akibat fungsional
maupun organik sehingga membuat pasien lebih tenang. Dengan
mekanisme kerja sebagai berikut obat anti-psikosis atipikal akan
memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak,
Khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2
resector antagonis), sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat
anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2
Receptors” juga terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-
normal pada umumnya dan tidak menganggap seperti orang yang sakit. Sehingga
akan memberikan semangat hidup yang tinggi dan perasaan yang dihargai.
Keluarga juga diminta untuk memberikan kebebasan kepada pasien dalam
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar selama tidak membahayakan atau
menyakiti orang lain sehingga tidak terlihat terlalu mengekang pasien setelah
keluar dari rumah sakit jiwa.14
Prognosis
Prognosis quo ad vitam pasien adalah dubia ad bonam karena pasien tidak
memiliki riwayat gangguan organ vital yang dapat mengancam kehidupan pasien,
untuk quo ad fungsionam pasien dubia ad malam karena walaupun setelah
diberikan terapi antipsikotik dan diharapkan pasien dapat patuh dalam minum
obat sehingga mencapai derajat recovery lebih dini dan menjalankan fungsi
kehidupan serta melakukan tugasnya seperti normal, pasien sudah mulai pikun,
yang diduga irreversible. untuk quo ad sanationam adalah dubia ad malam karena
36
berdasarkan perbandingan GAF scale saat ini (60-51) “gejala sedang (moderate),
disabilitas sedang” dan GAF scale tertinggi ±1 tahun terakhir (70-61) “beberapa
gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih
baik”, selain itu keluarga yang mendapatkan edukasi lebih dini terhadap penyakit
dan pengobatan pasien dapat mengarahkan pada prognosis baik dan kesembuhan
pada pasien, sehingga pasien dapat beraktivitas seperti biasa. Dan dicurigai
mengalami perburukan dikarenakan ODS beresiko tinggi tidak memiliki
pekerjaan, tidak memiliki pendidikan yang tinggi.15
Faktor yang memberikan pengaruh baik, ialah:
a) Penyakit sudah dikenali dan diberikan terapi sedari dini.16
b) Tidak ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya.
c) Gejala yang timbul merupakan gejala positif.
d) Keluarga mendukung dan yakin atas kesembuhan pasien.
e) Kepatuhan pasien dalam minum obat.
Faktor yang memberikan pengaruh buruk adalah isi pikir yaitu preokupasi
(isi pikiran pasien terfokus pada masalah dendam terhadap temannya).
37
38
BAB V
KESIMPULA
N
38
Daftar Pustaka
1. Dewi SY, Noor IM, Nurhidayat AW. Buku Panduan Psikiatri Bagi Dokter
Umum. Bekasi : Talenta Center;2019. Hal. 51-58.
2. Sadock B, Sadock V A. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis,
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2015. Hal 147-168.
3. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III. Jakarta : PT.Nuh Raya; 2001. hal. 46-51.
4. Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta; 2007. hal
26-34.
5. Messias Erick,et al. Epidemiology of schizofrenia : review of findings and
myths. The Psychiatric clinics of North America. Amerika; 2007.
6. Darsana IW, Suariyani NLP. Trend Karakteristik Demografi Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (2013-2018). Arc Com
Health. 2020; 7(1):41-51.
7. Maramis, F willy Dkk. Skizofrenia dalam catatan ilmu kedokteran jiwa.
Edisi : II. Jakarta 2009. Airlangga University Press.hal : 259 – 281
8. Tandon R, Nasrallah HA, Keshavan MS. Schizophrenia, “just the facts” 4.
Clinical features and conceptualization. Elsevier;2009.
9. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III DSM-5 ICD-11. Jakarta : PT.Nuh Raya; 2019.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran jiwa Indonesia (PDSKJI).
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta; 2011.
11. Atluri S, Sarathi V, Goel A, Boppana R, Shivaprasad C. Etiological profile
of galactorrhoea. Indian J Endocrinol Metab. 2018 Jul 1;22(4):489.
12. Pitale DL. Effectiveness of Cabergoline therapy in hyperprolactinemic
infertility. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2019 May
28;8(6):2389.
13. Molitch ME. ENDOCRINOLOGY IN PREGNANCY: Management of the
pregnant patient with a prolactinoma. Eur J Endocrinol. 2015 May
1;172(5):R205–13.
14. Amelia DR, Anwar Z. Relaps pada Pasien Skizofrenia. J Psikologi
Terapan. 2013; Vol.(1): 52-64
15. Hakulinen C, McGrath JJ, Timmerman A, Skipper N, Mortensen PB,
Pedersen CB, et al. The association between early-onset schizophrenia
with employment, income, education, and cohabition status: nationwide
study with 35 years of follow up. Social Pyschiatry and Psychiatric
Epidemiology. 2019;54:1343-51.
16.Lieberman JA, Small SA, Girgis RR. Early detection and preventive
intervention in schizophrenia: from fantasy to reality. AM J Psychiatry.
2019 October;176(10): 794-810
39