Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK)

A. Pengertian

Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD)


mengartikan PPOK adalah suatu penyakit yang bisa dilakukan pencegahan dan
pengobatan. PPOK memiliki tanda gejala terdapatnya hambatan aliran udara
dalam saluran pernafasan yang bersifat progresif. PPOK juga terdapat
peradangan atau inflamasi pada saluran pernafasan dan paru-paru yang
diakibatkan oleh adanya partikel dan gas yang berbahaya (GOLD, 2013).
PPOK merupakan penyakit kronis ditandai dengan terhambatnya aliran udara
karena obstruksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh paparan yang lama
terhadap polusi dan asap rokok. PPOK merupakan istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama (Grace
et al, 2011 dalam Suprayitno, 2017).

PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang secara
umum ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus biasanya
progresif dan berhubungan dengan peradangan kronis, peningkatan respon
dalam saluran udara dan paru-paru dari partikel berbahaya atau gas. (Vestbo et
al, 2013 dalam Suprayitno, 2017).

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah sekelompok penyakit paru


yang menghambat aliran udara pada pernapasan saat menarik napas atau
menghembuskan napas. Beberapa penyakit yang lazim terjadi adalah emfisema,
bronkitis kronis, dan asma. Udara harus dapat masuk dan keluar dari paru-paru
untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Ketika aliran udara ke arah luar paru-paru
terhambat, udara akan terperangkap di dalam paru-paru. Hal ini akan
mempersulit paru-paru untuk mendapatkan oksigen yang cukup bagi bagian
tubuh lainnya. Emfisema dan bronkitis kronis menyebabkan proses inflamasi
yang berlebihan dan pada akhirnya menimbulkan kelainan di dalam struktur
paru-paru, sehingga aliran udara terhambat secara permanen (itulah sebabnya
disebut “obstruksi kronis“). Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa orang
dewasa penderita asma berpeluang 12 kali lebih besar untuk mengalami PPOK
daripada orang yang tidak mengalami kondisi tersebut. (Syamsudin & Sesilia
Andriani Keban, 2013).

Masalah yang paling sering dihubungkan dengan PPOK yaitu batuk, sesak
nafas, dada terasa sesak, mengi dan produksi sputum. Pada PPOK, gejala-gejala
ini secara khusus tersembunyi. Pada awalnya terjadi selama rentang waktu
berbulan-bulan, cukup stabil dan persisten, progresif lambat dan tidak pernah
kembali ke normal serta memburuk saat aktivitas (Francis C, 2011).

Pasien PPOK ditandai oleh adanya keluhan batuk berlebihan pada skala
lima atau enam, produksi sputum dan pernafasan yang memendek. Gejala telah
muncul selama 10 tahun atau lebih. Dyspnea muncul pada aktivitas berat, tetapi
apabila kondisinya memburuk dapat terjadi pada aktivitas ringan. Pada penyakit
yang berat, dyspnea dapat terjadi saat istirahat. Serangan penyakit biasa terjadi
berulang menyebabkan tidak dapat bekerja dan akhirnya cacat. Pneumonia,
hipertensi pulmonal, cor pulmonale dan kegagalan respirasi kronik merupakan
bentuk stadium lanjut PPOK. Kematian yang terjadi selama serangan penyakit
biasanya berhubungan dengan kegagalan respirasi. Hemoptisis sering terjadi
(Tierney et al, 2002).

B. Etiologi
Menurut Ikawati (2007), Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya
penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor
host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah:

1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko
30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan
merupakan penyebab 85-90% kasus PPOK, kurang lebih 15-20% perokok
akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya
rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang
terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita
PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak merokok juga mungkin
menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu baru, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, toluene diisosianat, dan abses mempunyai risiko yang lebih besar
daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap
dapur, asap pabrik, dll.

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah:
1. Usia
Semakin bertambah usia, semakin besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang di diagnosa PPOK sebelum 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun
kejadian ini hanya dialami < 1% pasien PPOK.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih beresiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah
wanita yang merokok.
3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin)
atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis.
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi
paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya
normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk
di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena
lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami PPOK.
4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi α, antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema,
yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru
secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik
dan faktor protektif. Pada peristiwa inflamasi, makrofag dan neutrofil
melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase yang dapat merusak jaringan di
paru. Pada individu normal, faktor protektif AAT akan menghambat enzim
proteolitik sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, individu yang
mengalami defisiensi AAT akan lebih rentan terhadap kerusakan paru
akibat berkurangnya faktor proteksi ini. AAT akan diproduksi oleh gen
inhibitor protease (M), satu dari 2500 orang adalah homozigot untuk gen
resesif (Z), yang menyebabkan kadar AAT dalam darah rendah dan
berakibat emfisema yang timbul lebih cepat. Orang yang heterozigot
(mempunyai gen MZ) juga berisiko menderita emfisema, yang makin
meningkat kemungkinannya dengan merokok karena asap rokok juga dapat
menginaktivasi AAT. Wanita mempunyai kemungkinan perlindungan oleh
estrogen yang akan menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti AAT.
Karenanya, faktor risiko pada wanita lebih rendah daripada pria.

C. Penentuan Klasifikasi PPOK

Klasifikasi keparahan penyakit PPOK menurut Syamsudin & Sesilia (2013):

a. Ringan: Napas pendek akibat PPOK ketika tergesa-gesa di atas permukaan

datar atau mendaki sebuah bukit yang rendah. FEV1/FVC ≥ 0,7 dan atau

FEV1 ≥ 80% dari yang diprediksi.

b. Sedang: Napas pendek yang menyebabkan penderita berjalan lebih pelan

daripada orang yang berusia sama di permukaan datar, atau berhenti setelah

berjalan sejauh 100 meter (atau setelah beberapa menit) di permukaan

datar, FEV1/FVC < 0,7 dan atau FEV1 < 80% dari yang diprediksi.

c. Berat: Napas pendek yang membuat pasien terlalu sulit bernapas saat

meninggalkan rumah, atau tidak bisa bernapas setelah memakai/membuka

pakaian atau adanya gagal pernapasan kronis atau tanda-tanda klinis gagal
jantung. FEV1/FVC < 0,7 dan atau FEV1 < 50% dari yang diprediksi.

d. Sangat Berat: FEV1/FVC < 0,7 dan atau FEV1 < 30% dari yang diprediksi.

D. Patofisiologi

Menurut Syamsudin & Sesilia Andriani Keban (2013), obstruksi jalan

napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam bergantung pada

penyakit bronkhitis kronis dan bronkhiolitis, terjadi penumpukan lendir dan

sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema,

obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan

dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru.

Pada asma, jalan napas bronkhial menyempit dan membatasi jumlah udara yang

mengalir ke dalam paru. Protokol pengobatan tertentu digunakan dalam semua

kelainan ini, meski patofisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan

pendekatan spesifik.

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi

genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja

(terhadap batubara, kapas dan padi-padian) merupakan faktor risiko penting

yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang

lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak

mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru

oleh enzim tertentu.

PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan

waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan (onset) gejala klinisnya

seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi simptomatik selama tahun-

tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia.
Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan

volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan peningkatan usia.

PPOK dapat memperburuk perubahan fisiologi yang berkaitan dengan penuaan

dan mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronkhitis serta

kehilangan daya pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema.

Oleh karena itu, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi

pada klien lansia dengan PPOK.


Sumber: (Angelina Wijaya, 2014)
E. Manifestasi Klinis
Emfisema merupakan penyebab utama dari COPD dan bila hal ini terjadi
maka faal paru akan semakin memburuk. Secara fisiologi dan pemeriksaan faal
paru, emfisema dapat ditandai dengan:
1. Volume paru yang menunjukkan adanya hiperinflasi sehingga menyebabkan
RV/TLC menjadi meningkat.

2. Terdapatnya obstruksi pada saat ekspirasi, dimana hal ini tidak terjadi pada
saat inspirasi.
3. Obstruksi yang terjadi pada saat ekspirasi ini tidak memberikan reaksi
dengan obat-obatan.
4. Elastic recoil dari paru akan menurun dan compliance dari paru akan
bertambah.
Terjadi gangguan pada difusi gas walaupun dalam keadaan istirahat difusi
gas masih dalam keadaan stabil. Gangguan ini terutama terjadi pada difusi gas
CO2. Pada COPD yang disebabkan oleh bronkitis kronik, pria lebih sering
terkena daripada wanita dan lebih sering pada pria yang berusia lebih dari 40
tahun dimana penyebab utamanya adalah merokok. Baik emfisema maupun
bronkitis kronik, keduanya merupakan penyebab utama terjadinya COPD.
Secara patofisiologi antara tipe A dan tipe B sebenarnya tidaklah banyak
berbeda kecuali dalam hal prognosisnya. Pada tipe A penyakit biasanya
berlangsung secara kronik progresif yang disertai dengan hilangnya elastisitas
dari paru-paru dan berhubungan dengan terjadinya kesulitan pada waktu
ekspirasi. Kegagalan pernapasan yang akut jarang terjadi kecuali bila memang
terdapat destruksi alveoli yang luas. Pada tipe B pasien biasanya hidup normal
kecuali pada saat terjadi eksaserbasi dimana terjadi hipoksemia ringan yang
dihubungkan dengan V/Q mismatch. Pada saat eksaserbasi dapat terjadi
bronkospasme yang luas, edema mukosal, hipersekresi bronkus, V/Q mismatch,
dan hipoksemia, walaupun PaCO2 masih dalam batas-batas normal.

Keadaan hipoksemia yang berat dapat menyebabkan terjadinya hiperkapnia


lanjut. Pada tipe B walaupun prognosisnya lebih buruk akan tetapi bila ditangani
dengan baik pada saat eksaserbasi, maka mempunyai kemungkinan tertolong
yang lebih besar dibandingkan dengan tipe A yang perjalanan selalu progresif.

F. Komplikasi
Komplikasi menurut PDPI (2016), yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
1. Gagal nafas
a. Gagal nafas kronik
Hasil analisis gas darah PO2< 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH
normal. Penatalaksanaan:
1) Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
2) Bronkodilator adekuat
3) Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu tidur
4) Antioksidan
b. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:
1) Sesak nafas dengan atau tanda sianosis
2) Sputum bertambah dan purulen
3) Demam
4) Kesadaran menurun
2. Infeksi Berulang
Pada pasien PPOK, produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuknya koloni kuman. Hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang.
Pada kondisi kronik ini, imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limfosit darah.
3. Kor Pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG. Hematokrit > 50% dapat disertai
gagal jantung kanan (Andani, 2018).

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Somantri (2008), pemeriksaan penunjang pada pasien PPOK meliputi:

1. Chest X-ray: dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,


peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vascular/bullae
(emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronkhitis), dan normal
ditemukan saat periode remisi (asma).
2. Pemeriksaan Fungsi Paru-paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dispnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal: bronkodilator.
3. TLC (Total Lung Capacity): meningkat pada bronkhitis berat dan biasanya
pada asma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema.
5. FEV1/FVC: untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspirasi (FEV)
terhadap tekanan kapasitas vital (FVC), rasio menjadi menurun pada
bronkhitis dan asma.
6. ABGs: menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali P𝑂2 normal atau
meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada asma
dengan PH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
7. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronkhus saat inspirasi, kolaps
bronkhial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar
mukus (bronkhitis).
8. Darah Komplit: dapat menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin
(emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma).
9. Kimia Darah: menganalisis keadaan alpha 1-antitrypsin yang
kemungkinannya berkurang pada emfisema primer.
10. Sputum Kultur: untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan
atau alergi.
11. Electro Cardio Graph: deviasi aksis kanan; gelombang P tinggi (pada
pasien dengan asma berat dan atrial disritmia/bronkhitis); gelombang P pada
Leads II, III, AVF panjang dan tinggi (bronkhitis dan emfisema), dan axis
QRS vertikal (emfisema).
12. Pemeriksaan ECG setelah olahraga dan stress test: membantu dalam
mengkaji tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat
bronkodilator, dan merencanakan/evaluasi program.
H. Penatalaksanaan
Secara umum, tata laksana PPOK adalah sebagai berikut (Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik):
a. Pengobatan Farmakologis (obat-obatan)
1) Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi, kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.
2) Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednisone. Untuk
penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid
positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
3) Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat.
4) Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simptomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental.
5) Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat menganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
b. Pengobatan Non Farmakologis (Penunjang)
1) Rehabilitasi

a) Edukasi
b) Berhenti merokok
c) Latihan fisik dan respirasi
Latihan fisik bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat
yaitu di rumah dan di rumah sakit. Latihan dirumah meliputi latihan
dinamik dan menggunakan otot secara ritmis, misal: jalan, jogging,
sepeda. Kemudian, jika latihan dilakukan di rumah sakit maka tipe
latihan diubah setiap hari. Program latihan setiap harinya 15-30 menit
selama 4-7 hari per minggu. Latihan respirasi/pernafasan bertujuan
untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks serta
berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot
ekstremitas (PDPI, 2003).
Teknik pernapasan dapat membantu dalam mengatasi kecemasan
eksaserbasi akut. Hal ini melibatkan bernapas melalui hidung
sehingga udara dibasahi, dibersihkan dan hangat oleh sinus, dan
kemudian bernapas melalui mulut dengan bibir mengerucut (pursed
lips breathing exercise) untuk membantu mengoptimalkan fungsi
paru-paru (Dufton 2012 dalam Widiyani and Cita, 2015).
Menurut Berman A et al (2009), Pernapasan pursed lips ini
menimbulkan suatu tahanan terhadap udara yang keluar dari paru,
yang kemudian meningkatkan tekanan pada bronkus (jalan utama
udara), dan selanjutnya meminimalkan kolapsnya jalan napas yang
lebih sempit, yang merupakan masalah utama pada penderita PPOK.
(Meiliya, E dkk, 2009)
d) Nutrisi
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak
rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein
dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen consumption dan
respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK
dengan gagal napas, kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan
kelelahan (PDPI, 2003).
2) Terapi Oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka
panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati dapat
menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
3) Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat.
Ventilasi mekanik non invasif digunakan di ruang rawat atau di rumah
sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
4) Operasi Paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi
paru (masih dalam proses penelitian di negara maju).
5) Vaksinasi Influensa
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil.
Vaksinasi influensa diberikan pada:
a) Usia diatas 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat
6) Mengatur posisi tidur untuk meningkatkan ventilasi paru
Menurut Black & Hawks (2005), terdapat beberapa posisi yang dapat
memfasilitasi ventilasi pasien PPOK. Duduk tegak dan duduk dengan
sedikit menelungkupkan badan dapat mempermudah diafragma untuk
terangkat, sehingga mempermudah pengaliran udara. Mengatur posisi
pasien untuk duduk tegak (high fowler’s position) memungkinkan paru-
paru berkembang maksimal sehingga dapat meningkatkan pertukaran gas
(Ritianingsih N, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Albar, M 2017, ‘Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien PPOK dengan
Kombinasi Intervensi Inovasi Pemberian Posisi High Fowler dan Orthopneic
untuk Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru di Ruang IGD RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda’, karya ilmiah akhir ners, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Samarinda, Samarinda

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2013).Global


strategy for the diagnosis, management, and Prevention of chronic obstructive
pulmonary disease (updated 2013). June 20, 2013. Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, Inc. www.goldcopd.org.

Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD), (2011), Inc. Pocket
Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention.
http://www.goldcopd.com.

GOLD. 2010. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Desease, Global
Strategi for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Desease.

Hartono 2015, Peningkatan Kapasitas Vital Paru pada Pasien PPOK Menggunakan
Metode Pernafasan Pursed Lips, Vol 4, no.1, hal. 59-63, diakses 01 Desember
2020,
<http://jurnal.poltekkes-solo.ac.id/index.php/Int/article/view/122>

Ikawati, Z. 2007. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan. Yogyakarta:


Pustaka Adipura

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1022/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Mathers, C. D. and Loncar, D. (2006) ‘Projections of Global Mortality and Burden


of Disease from 2002 to 2030’, PLoS Medicine. Edited by J. Samet, 3(11), p.
e442. doi: 10.1371/journal.pmed.0030442.

PDPI 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Jakarta.

Rab, T. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.

Somantri, I. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Tierney (et al) 2002, Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam), Salemba
Medika, Jakarta

WHO. 2016. Cronic Obstructive Pulmonary Disease.


http://www.who.int/topics/chronic-obstructive-pulmonary disease/en/2016.
Diakses pada 01 Desember 2020, pukul 20.55 WIB

World Health Organization. 2017. Chronic Obstructive Pulmonal Desease.


(https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-
pulmonary-disease-(copd))
Diakses pada tanggal 01 Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai