Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Ikterus Neonatorum adalah iketrus yang mempunyai dasar patologis / kadar bilirubin yang

mencapai nilai yang disebut Hyperbilirubinemia (Purnawan Junaedi ;1995)

Berdasarkan hasil pendataan epidemiologi di Ruang Perawatan IV RS. Dustira

menunjukkan bahwa jumlah pasien anak dengan ikterus neonatorum satu tahun terakhir

sebanyak 78 anak dengan rata-rata 6 anak setiap bulannya.

Mahasiswa akademi perawat dalam melaksanakan praktek tentang Perawatan Kesehatan

Anak harus mampu menguasai tehnik perawatan dengan melakukan kompetensi sesuai dengan

tugasnya yaitu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif agar klien dapat

meningkatkan derajat kesehatan yang optimal.

B. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum

Agar mahasiswa mendapatkan pengalaman nyata dalam membuat dan melaksanakan

asuhan keperawatan.

b. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pasien.

2. Mahasiswa mampu menganalisis data dan membuat prioritas masalah

3. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan.

4. Mahasiswa mampu membuat perencanaan tindakan keperawatan

5. Mahasiswa mampu melaksanakan tindakan perawatan sesuai perencanaan.

6. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan.

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

1.Defenisi
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena adanya bilirubin
pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (Brooker, 2001).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak
dikendalikan ( Markum, A.H 1991).
Ikterus adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari ke 2-3 setelah lahir, yang
tidak mempunyai dasar patologis dan akan menghilang dengan sendirinya pada hari ke 10. (
Nursalam,2005).

2. Etiology
a. Peningkatan produksi Billirubin dapat menyebabkan:
1) Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah ibu dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
2) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
3) Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis
4) Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta),
diol (steroid).
6) Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
7) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
c. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang
dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.

2
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

3. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah bilirubin yang larut dalam
lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah
konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan
albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya
sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah
merah /RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, dimana hemoglobin
pecah menjadi heme dan globin. Globin (protein ) digunakan kembali oleh tubuh sedangkan
heme akan dirubah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Didalam liver bilirubin berikatan dengan protein plasma dan dengan bantuan ensim
glukoronil transferase dirubah menjadi bilirubin konjugata yang akan dikeluarkan lewat saluran
empedu ke saluran intestinal. Di Intestinal dengan bantuan bakteri saluran intestinal akan
ddirubah menjadi urobilinogen dan starcobilin yang akan memberi warna pada faeces. Umumnya
bilirubin akan diekskresi lewat faeces dalam bentuk stakobilin dan sedikit melalui urine dalam
bentuk urobilinogen.
Pada BBL bbilirubin direk dapat dirubah menjadi bilirubin indirek didalam usus karena
terdapat beta –glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan tersebut. Bilirubin
inddirek diserap lagi oleh usus kemudian masuk kembali ke hati .
Keadaan ikterus di pengaruhi oleh :
a. Faktor produksi yng berlebihan melampaui pengeluaran : hemolitik yang meningkat
b. Gangguan uptake dan konjugasi hepar karena imaturasi hepar.
c. Gangguan transportasi ikatan bilirubin + albumin menuju hepar , defiiensi albumin
menyebabkan semakin banyak bilirubin bebas ddalam darah yang mudah melewati sawar otak
sehingga terjadi kernicterus
d. Gangguan ekskresi akibat sumbatan ddalam hepar atau diluar hepar, karena kelainan
bawaan/infeksi atau kerusakan hepar karena penyakit lain.

3
4. Manifestasi klinik
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula
disertai dengan gejala-gejala:
a. Dehidrasi: Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
b. Pucat : Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah
ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
c. Trauma lahir: Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
d. Pletorik (penumpukan darah): Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan
memotong tali pusat, bayi KMK
e. Letargik dan gejala sepsis lainnya
f. Petekiae (bintik merah di kulit) . Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau
eritroblastosis
g. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) . Sering berkaitan dengan anemia
hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
h. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
i. Omfalitis (peradangan umbilikus)
j. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
k. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
l. Feses dempul disertai urin warna coklat Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya
konsultasikan ke bagian hepatologi.

5. Klasifikasi
Ikterus pada neonatorum dapat dibagi dua :
a. Ikterus fisiologi
Ikterus muncul pada hari ke 2 atau ke 3, dan tampak jelas pada hari 5-6 dan menghilang hari
ke 10. Bayi tampak biasa , minum baik , BB naik biasa. Kadar bilirubin pada bayi aterm tidak
lebih dari 12 mg /dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada hari ke-14. Penyebab ikterus
fisiologis diantaranya karena kekurang protein Y dan , enzim glukoronil transferase yang cukup
jumlahnya.
b. Ikterus Patologis
1) Ikterus yang muncul dalam 24 jam kehidupan ,, serum bilirubin total lebih dari 12

4
mg/dl.
2) Peningkatan bilirubin 5 mg persen atau lebih dalam 24 jam
3) Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi premature atau 12 mg/dl
pada bayi aterm.
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis
5) Bilirubin Direk lebih dari mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum mg/dl/jam atau 5
mg/dl/hari.
6) Ikterus menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm dan 14 hari pada BBLR.
Keadaan yang menyebabkan ikterus patologis adalah :
1) Penyakit hemolitik
2) Kelainan sel darah merah
3) Hemolisis : hematoma, Polisitemia, perdarahan karena trauma jalan lahir.
4) Infeksi
5) Kelainan metabolic : hipoglikemia, galaktosemia
6) Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti :
sulfonaamida, salisilat, sodium bensoat, gentamisin,
7) Pirai enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi, hirschsprung.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Kadar bilirubin serum (total)
b. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
c. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
d. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
e. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia.
f. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan
pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

5
7. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan
untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
a. Menghilangkan Anemia
b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
c. Meningkatkan Badan Serum Albumin
d. Menurunkan Serum Bilirubin

a) Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a
boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin
dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar
Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin
tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari
jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan
dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan
diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati
(Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin
dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl.
Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan
konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi
Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
b) Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.

6
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


a. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap Antibodi Maternal.
b. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
c. Menghilangkan Serum Bilirubin
d. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2
hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B
yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap
hari sampai stabil.
c) Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post
natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat
mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.
8. Komplikasi
Komplikasi Terjadi kernicterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak dengan gambaran klinik:
a. Letargi/lemas
b. Kejang
c. Tak mau menghisap

7
d. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
e. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang
f. Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental.
Konsep Inkubator
1. Pengertian Inkubator
Inkubator adalah lemari logam yang berdiri di atas roda. Inkubator dapat dimasuki dari
dua arah yang dilengkapi dengan kipas angin sederhana, sistem pemans dan panel pengontrol.
Dan juga dalam inkubator terdapat beberapa lubang pintu yang dapat dilalui bayi sehingga tidak
banyak mengakibatkan hilangnya panas dan zat asam. Di sekitar pintu terdapat lubang-lubang
kecil yang berfungsi sebagai jalan masuk pipa, kabel, alat pemantau di dalam inkubator (Barbara
Glover dan Christine Hodson, 1995; 63).
2. Cara Menggunakan Inkubator
Melakukan perawatan bayi dalam inkubator merupakan cara memberikan asuhan
keperawatan. Bayi dimasukkan ke dalam alat yang berfungsi membantu terciptanya suhu
lingkungan yang cukup dengan suhu normal. Dengan penatalaksanaan perawatan di dalam
inkubator terdapat dua cara yaitu dengan cara tertutup dan terbuka.
a. Inkubator Terbuka :
1) Pemberian inkubator terbuka dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian
perawatan pada bayi
2) Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan
kehangatan
3) Membungkus dengan selimut hangat
4) Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara
5) Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala
6) Pengaturan suhu inkubator disesuaikan dengan berat bahan bayi.
b. Inkubator Tertutup
1) Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka apabila dalam keadaan tertentu
seperti anpea dan apabila membuka inkubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan
oksigen selalu tersedia.
2) Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung
3) Bayi harus keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi

8
4) Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh
5) Pengaturan oksigen selalu diobservasi
6) Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27 o C.
3. Pengaturan Suhu Inkubator

Berat 0 – 24 jam 2 – 3 hari 4 – 7 hari 8 hari


Badan (0C) (0C) (0C) (0C)
Lahir
(gram)
1500 34 – 36 33 – 35 33 – 34 32 –
33
1501 – 2000 33 – 34 33 32 – 33 32
2001 – 2500 33 32 – 33 32 32
> 2500 32 – 33 32 31 – 32 32
Keterangan :
Apabila suhu kamar 28 – 29 derajat celcius hendaknya diturunkan 1 derajat celcius setiap
minggu dan apabila berat badan bayi sudah mencapai 2000 gram bayi boleh dirawat di luar
inkubator dengan suhu 27 derajat celcius.

9
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA BAYI DENGAN IKTERUS NEONATORUM

1. Pengkajian
a. Anamnese orang tua/keluarga : Ibu dengan rhesus ( - ) atau golongan darah O dan
anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya
erytrolastosisfetalis ( Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada sudara yang
menderita penyakit hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec spherochytosis
herediter kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu , ikterus kemungkinan kaena
pengaruh pregnanediol
 Riwayat kelahiran:
1) Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan merupakan
predisposisi terjadinya infeksi
2) Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas
(hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
3) Bayi dengan apgar score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin.
4) Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
2) Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput / mukosa pada mulut. Dapat juga
diidentifikasi ikterus dengan melakukan Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi
dengan kulit bersih ( kuning)
3) Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
4) Dada : Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan
frekuensi nafas.
5) Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan oleh
adanya infeksi
6) Perut : Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni
berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik tidak

10
diindikasikan photo terapi. Perut membuncit, muntah , mencret merupakan akibat gangguan
metabolisme bilirubun enterohepatik
c. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis bacterial,
tixoplasmosis, rubella
d. Urogenital : Urine kuning dan pekat, adanya faeces yang pucat / acholis / seperti
dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran empedu
e. Ekstremitas: Menunjukkan tonus otot yang lemah
f. Kulit : Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun,
perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
g. Pemeriksaan Neurologis adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain – lain
menunjukkan adanya tanda – tanda kern – icterus

2. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan :

Diagnosa I : Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan bilirubin


Tujuan Keperawatan : Pertukaran gas kembali adekuat setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
Kriteria Hasil :
a. bayi tidak sesak napas
b. Leukosit dalam batas normal.
c. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat.
Intervensi
a. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
b. Monitor kedalaman dan frekuensi pernapasan.
c. Observasi kulit dan membran mukosa
d. Atur posisi tidur semi fowler/ nyaman menurut pasien.
e. Kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian O2.

11
Diagnosa II : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan,
Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat.
Kriteria hasil :
a. Turgor kulit baik.
b. Mukosa lembab.
c. Mata tidak cekung
d. Tidak ada penurunan urine out put ( 1-3 cc/kg/BB/jam).
e. Penurunan BB dalam batas normal.
f. Tidak ada perubahan kadar elektrolit tubuh.
Intervensi
a. Pemberian cairan dan elektolit sesuai protokol.
b. Kaji status hidrasi, ubun-ubun, mata, turgor, membran mukosa
c. Kaji pemasukan dan pengeluaran cairan.
d. Monitor TTV.
e. Kaji hasil test elektrolit. ginjal dapat meluas mempengaruhi penyembuhan pasien.

12
Diagnosa Keperawatan III : Risiko tinggi hipotermia dan hipertermia berhubungan dengan
sistem pengaturan suhu tubuh yang belum matang
Tujuan keperawatan : Menjaga suhu tubuh dalam batas normal yaitu 36 – 37 5 o C
Kriteria hasil : Bayi akan :
a. Mempertahankan suhu tubuh normal 36 – 37 5 o C
b. Akral hangat
c. Tidak sianosis
d. Badan berwarna merah
Intervensi
a. Observasi suhu dengan sering, ulangi setiap 5 menit selama penghatan ulang
b. Perhatikan adanya takipnea atau apnea, cyanosis, umum, akrosianosi atau kulit belang,
bradikardia, menangis buruk, letargi, evaluasi derajat dan lokasi icterik.
c. Tempatkan bayi pada penghangat, isolette, incubator, tempat tidur terbuka dengan penyebar
hangat, atau tempat tidur bayi terbuka dengan pakaian tepat untuk bayi yang lebih besar atau
lebih tua
d. Gunakan lampu pemanas selama prosedur. Tutup penyebar hangat atau bayi dengan penutup
plastic atau kersta aluminum bila tepat. Objek panas berkontak dengan tubuh bayi seperti
stetoskop.
e. Ganti pakaian atau linen tempat tidur bila basah. Pertahankan kepala bayi tetap tertutup

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong. (1999). Nursing Care of Infants Children. Mosby Year Boodc Philadelphia.
2. Prof. Dr. Rustam Muchtar, MPH. Sinopsis Obstetric, Obstetric Fisiologi Obstetris
Patologi. Jilid I, Edisi 2. Editor Delilutan DSOG.
3. Perawatan Ibu di Pusat Kesehatan Masyarakat Surabaya
4. Markum, A.H (1991). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. JiliI. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. Jakarta.
5. Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Terjemahan
Tim PSIK Unpad. Jakarta: EGC.
6. Klaus and Forotaff. (1998). Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi. Edisi 4. Jakarta:
EGC.

14

Anda mungkin juga menyukai