2. KLASIFIKASI
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis
(Ngastiyah,1997).
1.Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus”
dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin. Ikterus pada neonatus
tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan
(Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia
dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) :
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus <
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila
kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg%
pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus
subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar
ventrikulus IV. Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya
ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin
lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada
autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara
klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
3. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor : (Ika FKUI)
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1) Produksi yang berlebihan
2) Gangguan dalam proses ‘uptake’ dan konjungasi hepar
3) Gangguan transportasi
4) Gangguan dalam ekskresi
Prahepatik
Kelainan hemolitik, seperti sferositosis, malaria tropika berat, anemia pernisiosa,
atau transfuse darah yang tidak kompatibel.
Hepatic
Hepatitis A, B, C, D atau E, leptospirosis, mononucleosis.
Sirosis hepatis
Kolestasis karena obat (klorpromazin)
Zat yang meracuni hati seperti fosfor, kloroform, anestetik lain, karbontetrakloid
Tumor hati multiple (kadang)
Pascahepatik
Obstruksi saluran empedu didalam hepar
Sirosis hepatis
Abses hati
Hepatokolangitis
Tumor maligna primer atau sekunder
Obstruksi didalam lumen saluran empedu
Batu, askaris
Kelainan didinding saluran empedu
Atresia bawaan
Striktur traumatic
Tumor saluran empedu
Kempaan saluran empedu dari luar
Tumor kaput pancreas
Tumor ampula vater
Pancreatitis
Metastasis kekelenjar limf dilagamentum hepatoduodenale
Sumber : Ilmu Bedah Wim De Jong hal. 198
Daerah Luas Ikterus/bagian tubuh yang kuning Kadar Bilirubin Rata-rata serum bilirubin
indirek (umol/L)
1 Kepala dan Leher 5 mg% 100
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg% 150
3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg% 200
4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12 mg% 250
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg% >250
4. Patofisiologi Ikterus
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih
dahulu akan diuraikan tentang metabolisme bilirubin
1. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah
Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut
dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung
dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat
ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan
sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan
Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus
yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran
empedu.
Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang
terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia (
AH, Markum,1991).
5. MANIFESTASI KLINIS
Pengamatan dan penilaian RSCM Jakarta (Monitja dkk, 1981)
menunjukkan bahwa dianggap hiperbilirubinemia jika : (IKA FKUI)
1) Ikterus terjadi 24 jam pertama.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonates
kurang bulan dan 12,5 mg% pada neonates cukup bulan.
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G-6-PD dan sepsis)
5) Ikterus yang disertai keadaan sebagai berikut : Berat lahir < 2000
gram, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom
gangguan pernafasan, infeksi, trauma lahir pada kepala,
hipoglikemia, hiperkarbia, hiperosmolalitas darah.
Pemeriksaan fisik :
6. KOMPLIKASI
Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu
kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama
pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,
Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV. Gambaran klinik
dari kern ikterus adalah :
Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar
Letargi, lemas tidak mau menghisap.
Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
Adapun komplikasi hiperbilirubin adalah :
1. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, hiperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengking.
7. DIAGNOSIS
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi.
Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu
faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah
kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin,
malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian
bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga,
sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna
kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan
ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia
kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup
berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup
penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek)
hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan
apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan
apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik.
Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis kistis dan
sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal,
maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau
patologis.
a) Ikterus fisiologis.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah 1– 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5
mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3,
biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl
untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7
kehidupan.
b) Hiperbilirubin patologis.
Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang
tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20
mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan
memperlihatkan kernikterus pada kadar yang lebih rendah (10–15mg/dl).
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG.
9. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia.Pengobatan mempunyai tujuan :
- Menghilangkan Anemia
- Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
- Meningkatkan Badan Serum Albumin
- Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi :
1. Fototherapi ( terapi sinar )
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari
10 mg%.Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan
Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi
dan Berat Badan Lahir Rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin
dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi
senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt
dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar
ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan
empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran
cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan
bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin
akan menurun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah :
a) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
b) Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan
cek apakah lampu semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi
sinar ,penggunaan yang ke berapa pada bayi itu untuk mengetahui
kapan mencapai 500 jam penggunaan.
c) Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi.
d) Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-
ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung
merata
Komplikasi fototerapi :
a) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan).
Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3kali lebih besar.
b) Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin
indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus.
c) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar
( berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang setelah terapi selesai.
d) Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
e) Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian
lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu
semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan
ekstra minum.
f) Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi
(kepekaan).
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dengan Bilirubin
3. Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan
enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya.
Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari
sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek
sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan
feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti
diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian
ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa
kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk
jaundice).
Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat
mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen
tersebut belum diketahui hingga saat ini. Yang pasti, kejadian ini
biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan
akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak
boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru
boleh disusui lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi
tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah
sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang
berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya,
seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00
sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi
kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup
efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu
tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat
bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.
Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
1. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang
sama, apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu
tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada
riwayat kontak denagn penderiata sakit kuning, adakah rwayat operasi
empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah.
Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi,
hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran
pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.
2. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang
tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan,
kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia.
5. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
- Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
- Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat,
Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine
gelap pekat, hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
- Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih
mungkin disusui dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat
menunjukkan perbesaran limfa,hepar.
- Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
- Pernafasan : Riwayat afiksia
- Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik
pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit
hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
- Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik,
riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakit
hepar, distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-
PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal: salisilat),
inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang intrapartum, misal:
persalinan pratern.
f. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus
terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema
palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk
pemeriksaan organ hati (tentang ukuran, tepian permukaan); ditemukan
adanya pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu,
dan masa abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine
pekat warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah,
peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking
g. Pemeriksaan Diagnostik
Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi
inkompatibilitas ABO.
Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL
kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24
jam, atau tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15
mg/dL pada bayi pratern.
Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang
memerlukan penentuan bilirubin serum.
2. Pengelompokan Data
a. Data Subjektif
Riwayat afiksia
Riwayat trauma lahir
b. Data Objektif
Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh.
Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
Hepatosplenomegali.
Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang
Urine gelap pekat
Bilirubin total:
- Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL
- Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL
pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
Protein serum total: < 3,0 g/dL
Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul :
1. Hipertermi berhubungan dengan efek fototerap
2. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
3. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
4. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara
36,5-370C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a. Observasi suhu tubuh (aksilla) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin)
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan
kompres dingin serta ekstra minum
(R : mengurangi pajanan sinar sementara)
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
(R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari
hipertermi).
2. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
(Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi)
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
(R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
tidak terjadi decubitus
Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di
daerah tersebut).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
(R : mencegah lecet)
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang
tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan
kooperatif dalam perawatan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam merawat
bayi)
D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien
yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011).
E. EVALUASI
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu :
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter
Pratama. Jakarta.