Anda di halaman 1dari 38

IKTERUS NEONATORUM A.

PENGERTIAN Hiperbilirubinemia / Ikterus neonatorum) adalah keadaan


ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan
ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah,
1997). B. EPIDEMIOLOGI Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 %
bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. C.
KLASIFIKASI Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis ( Ngastiyah,1997). 1.
Ikterus Fisiologis Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ):  Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan
tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.  Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan.  Kecepatan peningkatan kadar
Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari  Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %  Ikterus hilang pada 10
hari pertama  Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu 2. Ikterus
Patologis/Hiperbilirubinemia Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik,
atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Karakteristik ikterus patologis
(Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut : - Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap
sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR. -
Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi
cukup bulan. - Bilirubin direk lebih dari 1mg%. - Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam. -
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis). Ada
juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila
kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%. D. ETIOLOGI 1. Penyebab Ikterus fisiologis  Kurang protein Y dan Z 
Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.  Pemberian ASI yang mengandung
pregnanediol atau asam lemak bebas yang akan menghambat kerja G-6-PD 2. Penyebab ikterus
patologis a. Peningkatan produksi :  Hemolisis, misalnya pada Inkompatibilitas yang terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.  Pendarahan
tertutup misalnya pada trauma kelahiran.  Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .  Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat
Dehidrogenase.  Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol
(steroid).  Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat
misalnya pada berat lahir rendah.  Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia
atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat,
gentamisisn,dll. c. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Sifilis, rubella,
meningitis,dll. d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik. e. Peningkatan sirkulasi
Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif, hirschsprung. E. PATOFISIOLOGI IKTERUS Untuk lebih
memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang metabolisme
bilirubin 1. Metabolisme Bilirubin Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah
Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi
dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat
ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya
sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin
tidak mencapai tingkat patologis. 2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia Peningkatan kadar Bilirubin tubuh
dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah
otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia (
AH, Markum,1991). F. TANDA DAN GEJALA Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia
dikelompokkan menjadi : 1) Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni. 2) Gejala kronik : tangisan yang melengking
(high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa
berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis) Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai
sekitar 40 µmol/l. G. KOMPLIKASI Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu
kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum,
Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
Gambaran klinik dari kern ikterus adalah : - Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-
putar - Letargi, lemas tidak mau menghisap. - Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
- Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang
disertai ketegangan otot. - Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental. H. DIAGNOSIS
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan
persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu
antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan,
kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian.
Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga,
sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan.
Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa
mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti
memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk)
dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan
apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk
adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis
kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat
hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis. a. Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar
bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan
kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai
puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6
mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7
kehidupan. b. Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang
tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada
bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar
yanglebihrendah(10–15mg/dl). I. DIAGNOSIS BANDING Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan
mungkin akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang
timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai
penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk
adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis
herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya. Ikterus yang persisten
selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile
syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis
dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit
hipotiroidisme atau stenosis pylorus. J. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya ikterus Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody
Rh + anti A dan anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya
sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus )  Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau
biopsi Hepar bila perlu. 2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.  Biasanya Ikterus fisiologis. 
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau
kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.  Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim
Eritrosit lain juga masih mungkin.  Polisetimia.  Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan
subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll). Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat
maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:  Pemeriksaan darah tepi.  Pemeriksaan darah Bilirubin
berkala.  Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.  Pemeriksaan lain bila perlu. 3. Ikterus yang timbul
sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.  Sepsis.  Dehidrasi dan Asidosis.  Defisiensi
Enzim G6PD.  Pengaruh obat-obat.  Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert. 4. Ikterus yang timbul
pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:  Karena ikterus obstruktif.  Hipotiroidisme  Breast milk
Jaundice.  Infeksi.  Hepatitis Neonatal.  Galaktosemia Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan:  Pemeriksaan Bilirubin berkala.  Pemeriksaan darah tepi.  Skrining Enzim G6PD.  Biakan
darah, biopsi Hepar bila ada indikasi. K. PENATALAKSANAAN MEDIS Berdasarkan pada penyebabnya,
maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi
efek dari Hiperbilirubinemia.Pengobatan mempunyai tujuan : - Menghilangkan Anemia - Menghilangkan
Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi - Meningkatkan Badan Serum Albumin - Menurunkan
Serum Bilirubin Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus
Albumin dan Therapi Obat, Menyusui Bayi dengan ASI, Terapi Sinar Matahari 1. Fototherapi ( terapi sinar
) Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi
dan Berat Badan Lahir Rendah. Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari
suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam
air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula
peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan
bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin akan menurun. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah : a. Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam. b.
Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan cek apakah lampu semuanya menyala.
Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan yang ke berapa pada bayi itu untuk mengetahui kapan
mencapai 500 jam penggunaan. c. Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi. d. Pada
saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran
berlangsung merata Komplikasi fototerapi : a. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan
cairan dapat meningkat 2-3kali lebih besar. b. Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya
bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus. c. Timbul kelainan kulit
sementara pada daerah yang terkena sinar ( berupa kulit kemerahan)tetapi akan hilang setelah terapi
selesai. d. Gangguan retina bila mata tidak ditutup. e. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini
terjadi sebagian lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstra minum. f. Komplikasi pada gonad yang diduga
menimbulkan kemandulan. 2. Tranfusi Pengganti Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya
faktor-faktor : - Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu. - Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir. -
Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama. - Tes Coombs Positif - Kadar
Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama. - Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg /
dl pada 48 jam pertama. - Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl. - Bayi dengan Hidrops saat lahir. - Bayi
pada resiko terjadi Kern Ikterus Transfusi Pengganti digunakan untuk : - Mengatasi Anemia sel darah
merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal. -
Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan) - Menghilangkan Serum Bilirubin -
Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin Pada Rh
Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood.
Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil. 3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika. 4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus
mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah
pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast
milk jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya.
Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga saat ini. Yang pasti, kejadian ini biasanya
muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya
untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh
disusui lagi. 5. Terapi Sinar Matahari Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.
Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah
jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat
jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas
jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang
membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di
sekeliling, keadaan udara harus bersih.
BAB I

TINJAUAN TEORI

IKTERUS NEONATORUM

1.1 Tinjauan Medis

1.1.1 Pengertian

Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena adanya bilirubin pada jaringan
tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (Brooker, 2001).

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin.
Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah
terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan ( Markum,
A.H 1991).

Ikterus adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari ke 2-3 setelah lahir, yang tidak
mempunyai dasar patologis dan akan menghilang dengan sendirinya pada hari ke 10. ( Nursalam,2005).

1.1.2 Etiologi

Peningkatan produksi Billirubin dapat menyebabkan:

a) Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah
ibu dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.

b) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.

c) Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi
Hipoksia atau Asidosis .

d) Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.

e) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid).

f) Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya
pada berat lahir rendah.

g) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.

Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau
karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat
langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.

Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.

Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

1.1.3 Fisiologi

Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah bilirubin yang larut dalam lemak
menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung
dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan albumin (Albumin binding
site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan
Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

1.1.4 Patofisiologi

Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah merah /RBCs.
Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, dimana hemoglobin pecah menjadi heme dan
globin. Globin (protein ) digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan dirubah menjadi bilirubin
unkonjugata dan berikatan dengan albumin.

Didalam liver bilirubin berikatan dengan protein plasma dan dengan bantuan ensim glukoronil
transferase dirubah menjadi bilirubin konjugata yang akan dikeluarkan lewat saluran empedu ke saluran
intestinal. Di Intestinal dengan bantuan bakteri saluran intestinal akan ddirubah menjadi urobilinogen
dan starcobilin yang akan memberi warna pada faeces. Umumnya bilirubin akan diekskresi lewat
faeces dalam bentuk stakobilin dan sedikit melalui urine dalam bentuk urobilinogen.

Pada BBL bbilirubin direk dapat dirubah menjadi bilirubin indirek didalam usus karena terdapat beta –
glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan tersebut. Bilirubin inddirek diserap lagi oleh
usus kemudian masuk kembali ke hati .

Keadaan ikterus di pengaruhi oleh :

Faktor produksi yng berlebihan melampaui pengeluaran : hemolitik yang meningkat

Gangguan uptake dan konjugasi hepar karena imaturasi hepar.

Gangguan transportasi ikatan bilirubin + albumin menuju hepar , defiiensi albumin menyebabkan
semakin banyak bilirubin bebas ddalam darah yang mudah melewati sawar otak sehingga terjadi
kernicterus
Gangguan ekskresi akibat sumbatan ddalam hepar atau diluar hepar, karena kelainan bawaan/infeksi
atau kerusakan hepar karena penyakit lain.

Web of caution
1.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula
disertai dengan gejala-gejala:

1. Dehidrasi: Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)

2. Pucat : Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO,
rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.

3. Trauma lahir: Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.

4. Pletorik (penumpukan darah): Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong
tali pusat, bayi KMK

5. Letargik dan gejala sepsis lainnya

6. Petekiae (bintik merah di kulit) . Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau
eritroblastosis

7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) . Sering berkaitan dengan anemia hemolitik,
infeksi kongenital, penyakit hati

8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)

9. Omfalitis (peradangan umbilikus)

10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)

11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)

12. Feses dempul disertai urin warna coklat Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya
konsultasikan ke bagian hepatologi.

1.1.6 Klasifikasi

Ikterus pada neonatorum dapat dibagi dua :


1. Ikterus fisiologi

Ikterus muncul pada hari ke 2 atau ke 3, dan tampak jelas pada hari 5-6 dan menghilang hari ke 10. Bayi
tampak biasa , minum baik , BB naik biasa. Kadar bilirubin pada bayi aterm tidak lebih dari 12 mg /dl,
pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada hari ke-14. Penyebab ikterus fisiologis diantaranya karena
kekurang protein Y dan , enzim glukoronil transferase yang cukup jumlahnya.

2. Ikterus Patologis

a. Ikterus yang muncul dalam 24 jam kehidupan ,, serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl.

b. Peningkatan bilirubin 5 mg persen atau lebih dalam 24 jam

c. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi premature atau 12 mg/dl pada bayi
aterm.

d. Ikterus yang disertai proses hemolisis

e. Bilirubin Direk lebih dari mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum mg/dl/jam atau 5 mg/dl/hari.

f. Ikterus menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm dan 14 hari pada BBLR.

Keadaan yang menyebabkan ikterus patologis adalah

Penyakit hemolitik

Kelainan sel darah merah

Hemolisis : hematoma, Polisitemia, perdarahan karena trauma jalan lahir.

Infeksi

Kelainan metabolic : hipoglikemia, galaktosemia

Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti : sulfonaamida, salisilat,
sodium bensoat, gentamisin,

Pirau enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi, hirschsprung.

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Kadar bilirubin serum (total)

Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi

Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi


Pemeriksaan kadar enzim G6PD

Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.

Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C
reaktif protein (CRP).

1.1.8 Penatalaksanaan

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :

1. Menghilangkan Anemia

2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi

3. Meningkatkan Badan Serum Albumin

4. Menurunkan Serum Bilirubin

1.1.8.1 Fototherapi

Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of
fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi
menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang
bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi
terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.

Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus
yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun
5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

1.1.8.2 Tranfusi Pengganti

Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :

1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.


2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.

3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.

4. Tes Coombs Positif

5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.

6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.

7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.

8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.

9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :

1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap Antibodi Maternal.

2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)

3. Menghilangkan Serum Bilirubin

4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif
whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8
jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

1.1.8.3 Therapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

1.1.9 Komplikasi

Komplikasi Terjadi kernicterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
dengan gambaran klinik:

Letargi/lemas

Kejang

Tak mau menghisap


Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus

Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang

Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental.

1.2 Konsep Inkubator

1.2.1 Pengertian Inkubator

Inkubator adalah lemari logam yang berdiri di atas roda. Inkubator dapat dimasuki dari dua arah yang
dilengkapi dengan kipas angin sederhana, sistem pemans dan panel pengontrol. Dan juga dalam
inkubator terdapat beberapa lubang pintu yang dapat dilalui bayi sehingga tidak banyak mengakibatkan
hilangnya panas dan zat asam. Di sekitar pintu terdapat lubang-lubang kecil yang berfungsi sebagai jalan
masuk pipa, kabel, alat pemantau di dalam inkubator (Barbara Glover dan Christine Hodson, 1995; 63).

1.2.2 Cara Menggunakan Inkubator

Melakukan perawatan bayi dalam inkubator merupakan cara memberikan asuhan keperawatan. Bayi
dimasukkan ke dalam alat yang berfungsi membantu terciptanya suhu lingkungan yang cukup dengan
suhu normal. Dengan penatalaksanaan perawatan di dalam inkubator terdapat dua cara yaitu dengan
cara tertutup dan terbuka.

1) Inkubator Terbuka :

(1) Pemberian inkubator terbuka dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian perawatan pada
bayi

(2) Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan kehangatan

(3) Membungkus dengan selimut hangat

(4) Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara

(5) Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala

(6) Pengaturan suhu inkubator disesuaikan dengan berat bahan bayi.


2) Inkubator Tertutup :

(1) Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka apabila dalam keadaan tertentu seperti anpea
dan apabila membuka inkubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan oksigen selalu tersedia.

(2) Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung

(3) Bayi harus keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi

(4) Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh

(5) Pengaturan oksigen selalu diobservasi

(6) Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27 o C.

1.2.3 Pengaturan Suhu Inkubator

0 – 24 jam 2 – 3 hari 4 – 7 hari 8 hari


Berat Badan
Lahir (gram) (0C) (0C) (0C) (0C)

1500 34 – 36 33 – 35 33 – 34 32 – 33

1501 – 2000 33 – 34 33 32 – 33 32

2001 – 2500 33 32 – 33 32 32

> 2500 32 – 33 32 31 – 32 32

Keterangan :

Apabila suhu kamar 28 – 29 derajat celcius hendaknya diturunkan 1 derajat celcius setiap minggu dan
apabila berat badan bayi sudah mencapai 2000 gram bayi boleh dirawat di luar inkubator dengan suhu
27 derajat celcius.
IKTERUS NEONATORUM
A. Definisi
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya ikterus yang
bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumukan
bilirubin, sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalika (Mansjoer : 2000).
Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah(SDM)
dan resopbsi lanjut dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil. Koondisi mungkin tidak
berbahaya atau membuat neonates beresiko terhadap komplikasi multiple atau efek-efek yang
tidak diharapkan (Doenges : 1996).
Ikterus sering dijumpai pada neonatus. frekuensi menurut kepustakaan pada bayi cukup
bulan adalaha 50 %, pada bayi premature 80 % dalam hari pertama kehidupan. Terdapat 10 %
neonatus dengan kadar bilirubin diatas 10 mg %.

B. Macam – Macam Ikterus Neonatorum


1. ikterus fisiologik
a. Dijumpai pada bayi dengan BBLR.
b. Timbul pada hari kedua lalu menghilang pada hari kesepuluh atau akhir minggu ke dua.

2. ikterus patologik
a. Ikterus timbul segera dalam 24 jam dan menetap pada minggu pertama.
b. Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % perhari, kadarnya diatas 10 mg % pada bayi matur
dan 15 mg % pada bayi premature.
c. Berhubungan dengan penyakit hemolitik, infeksi dan sepsis.
d. Memerlukan penanganan dan perawatan khusus.

3. kern ikterus
Kern Ikterus adalah ikterus berat dengan disertai gumpalan bilirubin pada ganglia basalis
a. Kadar bilirubin lebih dari 20 mg % pada bayi cukup bulan.
b. Kadar bilirubin lebih dari 18 mg % pada bayi premature.
c. Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan ensefalopati.
d. Pada bayi dengan hipoksia, asidosis dan hipoglikemia kern ikterus dapat timbul walaupun kadar
bilirubin dibawah 16 mg %.
e. Pengobatannay dengan tranfusi tukar darah.

Gambaran Klinik :
a. Mata berputar – putar
b. Tertidur – kesadaran menurun
c. Sukar menghisap
d. Tonus otot meninggi
e. Leher kaku
f. Akhirnya kaku seluruhnya
g. Pada kehidupan lebih lanjut terjadi spasme otot dan kekekuan otot
h. Kejang – kejang
i. Tuli
j. Kemunduran mental

4. ikterus hemolitik
a. Disebabkan inkompatibilitas rhesus, golongan darah ABO, golongan darah lain kelainan eritrosit
congenital.
b. Atau defisiensi enzim G-6-PD.

5. ikterus obstruktif
a. Dikarenakan sumbatan penyaluran empedu baik dalam hati maupun diluiar hati. Akibatnya
kadar bilirubin direk atau indirek meningkat.
b. Kadar bilirubin direk diatas 1 mg % harus curiga adanya obstruksi penyaluran empedu.
c. Penanganannay adalah tindakan operatif.

C. Etiologi
1. Produksi bilirubin berlebih
2. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit
3. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar
4. Gangguan dalam ekskresi
5. Peningkatan reabsorpsi dari saluran cerna (siklus enterohepatik)

D. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang
sering ditemukan adalah apabila tedapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi bila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang menimbulkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonates yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin idirek yang bersifat sukar larut dalam air tetapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak, yang
diebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung
pada keadaan neonates. Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), hipoksia, dan hipolikemia.

PATHWAY

E.Metabolism bilirubin
Sebagian besar (70-80%) produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang rusak. Heme
dikonversi menjadi bilirubin indirek (tak terkonjugasi) kemudian berikatan dengan albumin
dibawah ke hepar. Di dalam hepar, dikonjugasikan oleh asam glukuronat pada reaksi yang
dikatalisasioleh glukuronil transferase. Bilirubin direk (terkonjugasi) di sekresikan ke traktus
bilier untuk diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya
bebas dari bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi. Sebagai gantinya, usus bayi banyak
mengandung beta glukuronidase yang menghidrolisis bilirubin glukoronid menjadi bilirubin
indirek dan akan direabsorpsi kembali melaui sirkulasi enterohepatik ke aliran darah.

F. Manifestasi klinis
Pengamata ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir
(BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl atau 100 mikro mol/L
(1mg/dl=17.1 mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis,
sederhana, dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada,
lutut, dan lain-lain. Tempat yang tertekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar
bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan table yang telah diperkirakan
kadar bilirubinnya.
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirudin indirek pada otak terutama pada korpos striatum, thalamus, nucleus
subtalamus hipokampus, nucleus merah dan nucleus didasar ventrikel IV. Secara klinis pada
awalnya tidak jelas, dapat serupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas
minun. Tonus otot meningkat, leher kaku dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme
otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai kejang otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada
tinggi, gangguan bicara, dan reterdasimental.

Ta
bel 2.1 Zona Bagian tubuh yang kuning Rata-rata serum bilirubin indirek (umol/l)
Derajat 1 Kepala dan leher 100
ikterus 2 Pusat-leher 150
neonates 3 Pusat-paha 200
menurut 4 Lengan + tungkai 250
5 Tangan + kaki >250
Kramer
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah
letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus
(bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah:
a. Warna kuning (ikterik) pada kulit
b. Membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai
sekitar 40 µmol/l.

G. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengendalian kadar bilirubin serum adalah sebagai berikut:
1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin dengan mempergunakan fenobarbitat. Obat ini bekerjanya
lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterusyang terjadi
bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan barang yang kurang pada proses metabolism bilirubin (misalnya menambahkan
glukosa pada keadaan hipoglikemia), atau menambahkan bahan untuk memperbaiki transportasi
bilirubin (misalnya albumin). Pemberian albumin boleh dilakukan walau tidak terdapat
hipoalbuminemia. Terapi perlu diingat adanya zat-zat yang merupakan competitor albumin yang
juga dapat mengikat bilirubin (misalnya sulfonamide atau obat-obatan lainnya). Penambahan
albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan kedalam plasma. Hal ini
dapat mengakibatkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetepi tidak berbahaya kerena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan albumin, albumin diberikan dalam dosis tidak melebihi 1g/kgBB,
sebelum maupun sesudah tindakan transfuse tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
4. Memberikan terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan
mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfuse tukar.

Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi: foto terapi, transfuse pengganti, infuse albumin
dan terapi obat.
1. Foto terapi
Fototerapidapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Memaparkan neonates pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (a
bound of fluorenscent light bulbs or bulbs in the blue light spectrum) akan menurunkan bilirubin
dalam kulit. Foto terapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan
kepembulu darah melalui mekanisme difusi. Dalam darah, fotobilirubin berikatan dengan
albumin dan dikirim kehati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan diekskresikan
kedalam duodenum untuk dibuan bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil
fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urin.
Fototerapi mempunyai peranan dalam mencegah peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar biliruben indirek 4-5 mg/dl. Neonates
yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan konsentrasi
bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis pada
24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir redah

a. Cara kerja
1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air
untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.
2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.
3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan
cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.
4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia.
5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan
secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu
6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa
proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.

b. Komplikasi terapi sinar:


1. Terjadi karena pengaruh sinar lampu dan mengkibatkan peningkatan inservesibel water loss
(penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.
2. Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan
empedu dan meningkatnya peristaltic usus.
3. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berubah kulit kemerahan) tetapi
akan hilang jika terapi selesai.
4. Gangguan retina jika tidak tertutup.
5. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi, sebagian lampu dimatikan tetapi tetap
diteruskan. Jika suhu terus naik, lampu dimatikan sementara. Bayi dikompres dingin dan
diberikan aktra minum.
6. Komplikasi pada gonad yang menurut dugaan dapat menimbulkan kelainan (kemandulan) tetapi
belum ada bukti.

c. Hal yang harus diperhatikan dalam pemberian terapi sinar


1. Pasang lebel kapan terapi mulai dan kapan terapi selesai. Hitung 100 jam sampai tanggal berapa.
Sebelum digunakan cek lampu, apakah semua lampu menyala. Tempelkan pada alat terapi sinar.
2. Bayi kurang bulan
 Mulai terapi sinar bila kadar bilirubin indirek > 10 mg%
 Setelah 24 jam terapi sinar:
a. Bila kadara bilirubin indirek > 12 mg% terapi diteruskan sampai kadar bilirubin < 10 mg%.
b. Bila kadar bilirubin indirek < 10 mg% terapi sinar dihentikan selama 12 jam dan mulai lagi
terapi sinar.
c. Terapi sinar dihentikan bila kadar bilirubin indirek tetap kurang dari 12 mg% bai bayi premature
setelah umur 5 hari
3. Bayi cukup bulan
 Mulai terapi sinar bila kadar bilirubi indirek > 15 mg% bagi bayi yang berumur < 96 jam (4
hari) atau bila kadar bilirubin indirek lebih dari 18 mg% bagi bayi umur lebih dari 96 jam.
 Setelah 24 jam terapi sinar:
a. Bila kadara bilirubin indirek > 18 mg% terapi diteruskan sampai kadar bilirubin < 15 mg%.
b. Bila kadar bilirubin indirek < 18 mg% terapi sinar dihentikan selama 12 jam dan mulai lagi
terapi sinar bila kadar bilirubin indirek naik > 18 mg% pada bayi sampai umur 5 hari.
c. Terapi sinar dihentikan bila kadar bilirubin indirek tetap kurang dari 15 mg% bai bayi premature
setelah umur 5 hari

d. Monitor
1. Berat badan
2. Turgor kulit
3. Tanggal dan lamanya terapi sinar
4. Suhu tubuh
5. Feses dan urine

e. Kriteria alat
1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.
3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya
biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .

f. Prosedur pemberian fototerapi


Persiapan Unit Terapi sinar
1. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah
lampu antara 38° C sampai 30° C.
2. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
3. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):
a. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
b. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa
berfungsi.
4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit
terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi

Pemberian Terapi sinar


1. Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.
a. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet.
Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
b. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
2. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan
tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
3. Balikkan bayi setiap 3 jam
4. Pastikan bayi diberi makan:
5. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:
a. Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata.
b. Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti
ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
c. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume
cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar .
d. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar
terapi sinar .
6. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan
berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
7. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
a. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa dilakukan
di dalam unit terapi sinar.
b. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk mengetahui
apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)
8. Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih dari
37,5° C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar
sampai suhu bayi antara 36,5° C - 37,5° C.
9. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus.
10. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
11. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan kepindahan
bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar.
Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
12. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
13. Setelah terapi sinar dihentikan:
a. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan, atau
perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.
b. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk memulai terapi
sinar, ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap penghentian
terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis
berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.
c. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah
lain selama perawatan, pulangkan bayi.
d. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi
bertambah kuning.

2. Transfuse tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin
dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,
transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal
dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.

a. Teknik Transfusi Tukar


1. SIMPLE DOUBLE VOLUME.
Push-Pull tehnique: jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis / vena saphena
magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
2. ISOVOLUMETRIC.
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
3. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION.
Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

b. Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:


1. Emboli (emboli, bekuan darah), thrombosis
2. Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
3. Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
4. Perforasi pembuluh darah

c. Komplikasi tranfusi tukar


1. Vaskular: emboli udara atau trombus, thrombosis
2. Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
3. Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
4. Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
5. Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
6. Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

d. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar


1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank
Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan
juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,
untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi
dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap plasma
dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160 mL/kgBB,
sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O rhesus
positif.

e. Pelaksanaan tranfusi tukar:


1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan, pelaksanaan
dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap
b. Lampu pemanas dan alat monitor
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
d. Masker, tutup kepala dan gaun steril
e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
f. Set tranfusi 2 buah
g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan
j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis
k. Meja tindakan
4. Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari orang
tua penderita.
b. Bayi jangan diberi minum 3–4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi
lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya.
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan NaCl
fisiologis.
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin < 2,5
gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-bilirubin di dalam darah meningkat sebelum tranfusi
tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada kontra indikasi atau tranfusi tukar harus
segera dilakukan.
e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb,
hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah, rhesus, uji
coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah.
f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar.
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah).
 Jumlah Darah Donor yang Dipakai
 Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150 mL/kgBB dan
200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah sebagai berikut: 45%, 70%,
85-85% dan 90%.

5. Pelaksanaan Tranfusi Tukar


a. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL atau tergantung berat badan bayi, jangan
melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi.
b. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock. Jika
ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum bercampur dengan
darah donor.
c. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan menghisap
dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit.
d. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi.
e. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar
selesai.
f. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi transfusi
tukar.
g. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap tranfusi
100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan. Pemberian tersebut
terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadarnya di atas normal maka
kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian larutan kalsium glukonas harus dilakukan
secara perlahan-lahan karena bila terlalu cepat dapat mengakibatkan timbulnya bradikardi /
cardiac arest. Beberapa peneliti menganjurkan untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada
pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-tanda hipokalsemia.
h. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal monitoring.
i. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi tukar.
j. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, lakukan jahitan silk purse string atau ikatan kantung
melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter dicabut jahitan yang mengelilingi tali pusat
dikencangkan.

f. Pada situasi penyakit hemolitik, pertimbangan dilakukan transfuse tukar dini adalah:
1. Kadar bilirubin tali pusat melebihi 4.5 mg/dl, kadar Hb tali pusat < 11 g/dl.
2. Kecepatan kenaikan kadar bilirubin melebihi 1 mg/dl/jam walaupun telah dilakukan terapi sinar.
3. Kada hemoglobin antara 10-13 g/dl dan kenaikan kadar bilirubin melebihi 0.5 mg/dl/jam
walaupun telah dilakukan terapi sinar.
4. Kadar bilirubin 20 mg/dl; atau terlihat akan mencapai 20 mg/dl dengan kecepatan kenaikan
seperti yang sedang berlangsung.
5. Tetap terjadi anemia yang bertambah berat walaupun telah dilakukan tindakan mengatasi
kenaikan bilirubin dengan cara lain. (misalnya terapi sinar).

g. Indikasi transfuse tukar dini:


1. Hidrops
2. Adanya riwayat penyakit berat
3. Adanya riwayat sensitisasi

h. Tujuannya adalah:
1. Mengkoreksi anemia
2. Menghentikan hemolisis
3. Mencegah peningkatan bilirubin

i. Tindakan transfuse tukar lanjut dilakukan apabila kadar bilirubin diduga dapat berubah menjadi
toksik. Pengulangan transfuse tukar dapat terjadi apabila:
1. Setelah transfuse tukar yang pertama selesai, kadar bilirubin juga masih menunjukkan kecepatan
kenaikan lebih dari 1 mg/dl/jam
2. Terdapat anemia hemolitik berat yang menetap.
Apabila kadar awal bilirubin melebihi 25 mg/dl, mungkin biasanya kadar kadar bilirubin
setelah transfuse tukar yang pertama akan masih tinggi dan perlu dilakukan transfuse tukar ulang
dalam 8-12 jam berikutnya.
Terhadap perbedaan tatalaksana ikterus pada neonates cukup bulan dan neonates kurang
bulan.

Tabel 2.2 Tata laksana ikterus pada neonates sehat cukup bulan berdasarkan kadar bilirubin
indirek (mg/dl)
Usia Pertimbangkan Terapi Transfusi Tukar Bila Transfuse Tukar dan
(jam) Terhadap Sinar Sinar Terapi SinarIntensif Gagal Terapi Sinar Intensif
< 24 ... … … …
25-48 >11.8 >15.3 >20 >25.3
49-72 >15.3 >18.2 >25.3 >30
>72 >17 >20 >25.3 >30
Keterangan:
Pada keadaan ikterus patologis, angka-angka diatas harus dimodifikasi dan pada umumnya
tatalaksana bersifat lebih agresif. Yang dimaksud ikterus patologis adalah ikterus klinis yang
terjadi pada bayi usia kurang dari 24 jam, dengan/atau peningkadatan kadar bilirubin lebih
besar dari 5 mg/dl/hari, dengan/atau hemolisis.

Table 2.3 Tata laksana pada neonates kuang bulan, berdasarkan pada kadar bilirubin indirek
(mg/dl), dengan terapi sinar atau terapi tukar.
Usia BL <1.500 g kadar BL 1.500-2.000 g kadar BL >2.000 g kadar
(jam) bilirubin (mg/dl) bilirubin (mg/dl) bilirubin (mg/dl)
< 24 R.T.:>4.1 R.T.:>4.1 >5
25-48 >5 >7 >8.2
49-72 >7 >9.1 >11.8
>72 >8.2 >10 >14.1

Keterangan:
BL = berat lahir,
RT = bayi premature resiko tinggi, dipakai patokan batas paling rendah dari BL dan kadar
bilirubin, batas paling rendah berikutnya dari BL, dan batas peling rendah berikutnya.

Table 2.4 Tata laksana ikterus pada neonates kurang bulan, berdasarkan kadar bilirubin indirek
(mg/dl), dengan terapi sinar atau trasfusi tukar (lanjutan)
Usia BL <1.500 g kadar BL 1.500-2.000 g kadar BL >2.000 g kadar
(jam) bilirubin (mg/dl) bilirubin (mg/dl) bilirubin (mg/dl)
< 24 >10-15 >15 >15.9-18.2
25-48 >10-15 >15 >15.9-18.2
49-72 >10-15 >15,9 >17.0-18.8
>72 >15 >17 >18.2-20.0

3. Terapi obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik seberikan pada ibu hamil
untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital
pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat
mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urin sehingga menurunkan siklus
enterohepatika.
LAPORAN PENDAHULUAN: HIPERBILIRUBIN PADA NEONATUS

I. DEFINISI
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana produksi bilirurin
yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013), Hiperbilirubinemia merupakan salah satu
fenomena klinis tersering ditemukan pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau
patologis, atau kombinasi keduanya.
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin serum
total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya ikterus yang bersifat patologis
(Alimun,H,A : 2005). Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hiperbilirubin
merupakan suatu kondisi di mana kadar bilirubin yang berlebihan dalam darah yang biasa terjadi pada
neonatus baik secara fisologis, patologis maupun keduanya.

II. DERAJAT HIPERBILIRUBIN MENURUT KRAMER


RATA-RATA SERUM INDIREK
ZONA BAGIANs TUBUH
(Umol/L)
1 Kepala sampai leher 100
2 Kepala, leher, sampai umbilikus 150
3 Kepala, leher, pusar sampai paha 200
4 Lengan + tungkai 250
5 Kepala sampai ke tumit kaki >250
(Sumber : Pengantar Ilmu Kesehatan Anak I, 2005)
III. KLASIFIKASI
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai
dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang
mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.

Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki
karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam
(Schwats, 2005):
a) Timbul pada hari kedua - ketiga.

b) Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg%

pada kurang bulan.


c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.

d) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.

e) Ikterus hilang pada 10 hari pertama.

f) Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
tertentu.
g) Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai
berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila:
 Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.

 Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.

 Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus
cukup bulan.
 Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis).

 Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg%
pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

(Sumber: Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I, 2005)


IV. ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut;

1. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)

2. Isoimmun Hemolytic Disease

3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah

4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)

5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma

7. Ecchymosis

8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia biliari), infeksi,
masalah metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan albumin; lahir prematur,
asidosis.
(Sumber: IDAI, 2011)
V. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;

1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.

2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir,

sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.


3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada hari ke tiga sampai

hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning terang

atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau
keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul

6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati

7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar

8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap

9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental

10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang

disertai ketegangan otot.


(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)

VI. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah
merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah
menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah
menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.

Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada
streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin
dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh
anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan
konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi,
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.

Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas
ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada
sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.

Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan
mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan
Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.

Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan
saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah
otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia.

(Sumber: IDAI,2011)
VII. PATHWAY

(Sumber: Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I, 2005)


VIII. KOMPLIKASI
1. Bilirubin encephahalopathi
2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada
koordinat otot dan tangisan yang melengking.
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemi
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
IX. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)

a) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup
bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
b) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c) Protein serum total.

2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.

3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan atresia billiari.

(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)


X. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).

2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa furokolin.

3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.

4. Fenobarbital

Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan
sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance
hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.

6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan
billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.

Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
(Sumber: IDAI, 2011)
XI. ASUHAN KEPERAWATAN (Sumber: NANDA NOC NIC, 2012)
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.

2. Sirkulasi
a. Mungkin pucat, menandakan anemia

b. Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft

3. Eliminasi
a. Bising usus hipoaktif

b. Pasase mekonium mungkin lambat

c. Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin

d. Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze)

4. Makanan / Cairan
a. Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada menyusu botol

b. Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar

5. Neurosensori
a. Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan
trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.

b. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.

c. Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.

d. Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang
(tahap krisis).

6. Pernapasan
a. Riwayat asfiksia.

b. Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura, hemoragi pulmonal)

7. Keamanan
a. Riwayat positif infeksi/sepsis neonates.

b. Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra cranial


c. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping fototerapi.

8. Seksualitas
a. Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan reterdasi pertumbuhan intrauterus
(IUGR), atau bayi besar untuk usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibudiabetes.

b. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia,
hipoproteinemia.

c. Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.

B. DIAGNOSA
1. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi.
2. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi
3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan

C. NURSING CARE PLAN


DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL

Resiko tinggi Setelah di lakukan 1. Kaji BBL terhadap adanya


1. BBL sangat rentan
cedera b.d. tindakan keperawatan hiperbilirubinemia setia terhadap
meningkatny selama 3x24 jam klien 2-4 jam lima hari pertama hiperbilirubinemia
a kadar membaik dengan kehidupan
bilirubin kriteria 2. phototerapi berfungsi
toksik dan 2. Berikan phototerapi mendekomposisikan
komplikasi 1. Klien tidak menunjukan bilirubin dengan
berkenaan gejala sisa neurologis 3. Jelaskan fungsi photoisomernya. Selama
dan berlanjutnya fototherapy phototerapi perlu
phototerapi.
komplikasi phototerapi4. Kolaborasi pemberian diperhatikan adanya
transfusi tukar komplikasi seperti:
hipertermi, Konjungtivitis,
dehidrasi

3. agar keluarga pahan


tentang prosdeur yang
akan di lakukan

4. Transfusi tukar dilakukan


bila terjadi
hiperbilirubinemia
pathologis karena
terjadinya proses
hemoliitik berlebihan yang
disebabkan oleh ABO
antagonis

Resiko tinggi Setelah dilakukan


1. Kaji Output 1. Output yang berlebihan
kekurangan tindakan keperawatan atau tidak seimbang
volume selama 3x24 jam pasien 2. Pertahankan intake dengan intake akan
cairan b.d. membaik dengan cairan menyebabkan gangguan
phototerapi kriteria hasil: 3. Jelaskan kepada keluarga keseimbangan cairan

1. Tidak ada tanda-tanda tentang penting


2.Agar intake yang masuk
dehidrasi keseimbangan cairan tetap seimbang dengan
4. Kolaborasi dengan dokter intake yang keluar
2. Turgor baik
tentang pemberian cairan
3. Agar keluarga paham
3. Tidak terjadi penurunan
tentang kondisi pasien
kesadaran
4. Untuk mencegah terjadinya
dehidrasi

Setelah di lakukan 1. Monitor adanya


1. Deteksi dini kerusakan
intervensi keperawatan kerusakan integritas kulit integritas kulit
Kerusakan selama 3x24 jam pasien
integritas membaik dengan 2. Bersihkan kulit bayi dari
2. Feses dan urine yang
kulit b.d kriteria hasil : kotoran setelah BAB, BAK bersifat asam dapat
phototherapi mengiritasi kulit
1. Tidak terjadi kerusakan3. Lakukan perubahan posisi
integritas kulit setiap 2 jam 3. Perubahan posisi
mempertahankan sirkulasi
4. Jelaskan keluarga tentang yang adekuat dan
pentingnya menjaga mencegah penekanan yang
kelembaban kulit berlebihan pada satu sisi
5. Kolaborasi dengan dokter
4. Agar keluarga pahan
untuk pemberian salep tentang pentingnya
menjaga kelembaban kulit

5. Untuk mencegah
kerusakan kulit lebih parah

Nutrisi Setelah di lakukan


1. Monitor jumlah nutrisi1. Untuk mengetahui intake
kurang dari tindakan keperawatan dan kandungan kalori pasien
kebutuhan selama 3x24 jam, pasien
tubuh b.d membaik 2. Berikan makanan terpilih 2.
dengan Agar tidak terjadi
ketidak penurunan BB dan gizi
kriteria: 3. Berikan informasi kepada
mampuan tercukupi
menelan 1. Tidak terjadi penurunan keluarga tentang
BB kebutuhan nutrisi 3.
Agar keluarga paham
tentang jumlah nutrisi yang
2. Tidak terdapat tanda- 4. Kolaborasi dengan di butuhkan pasien
doktermaupun ahli gizi
tanda malnutrisi
tentang gizi yang di4. Agar dapat menentukan
3. Terjadi peningkatan BB butuhkan makanan yang benar-benar
sesuai dengan kondisi
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika.

Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012.Nursing Interventions Classification
(NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. EGC. Jakarta

Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis ,Missouri ; Mosby.

NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014. Jakarta : EGC

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Pedoman Praktek Klinik: Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011)

Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktis
Volume 2. EGC :Jakarta

Slusher, et all (2013). Treatment Of Neonatal Jaundice With Filtered Sunlight In Nigerian Neonates: Study
Protocol Of A Non-Inferiority, Randomized Controlled Trial.
http://www.trialsjournal.com/content/14/1/446: TRIALS

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama. Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI
& Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai