Disusun Oleh
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini antara lain:
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem pencernaan?
2. Bagaimana konsep terjadinya hiperbilirubin?
3. Bagaimana konsep dari penyakit hiperbilirubin?
4. Bagaimana konsep dari pemeriksaan diagnostik pada bayi dengan
hiperbilirubin?
5. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada bayi dengan
hiperbilirubin?
C. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini tujuan penulisan dibagi menjadi 2 yaitu menjadi tujuan
umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum dalam pembuatan makalah ini yaitu setelah membaca
dan mempelajari makalah ini, diharapkan pembaca lebih mengerti
mengenai konsep penyakit hiperbilirubinemia pada sistem pencernaan.
2. Tujuan Khusus dalam pembuatan makalah ini antara lain;
a. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem pencernaan?
b. Bagaimana konsep terjadinya hiperbilirubin?
c. Bagaimana konsep dari penyakit hiperbilirubin?
d. Bagaimana konsep dari pemeriksaan diagnostik pada bayi dengan
hiperbilirubin?
e. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada bayi dengan
hiperbilirubin?
D. Metode Penulisan
Makalah ini di tulis dengan menggunakan metode:
1. Studi pustaka
Pengumpulan materi dengan cara membaca buku yang berkaitan
dengan masalah atau topik yang dibahas dalam makalah ini.
2. Diskusi kelompok
Pembahasan materi dengan anggota dalam kelompok.
E. Sistematika Penulisan
BAB I merupakan pendahuluan dalam penulisan atau penyusunan
makalah. BAB I ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
b. Fungsi Hati
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting ditubuh, organ
ini dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya
dalam sistem pencernaan adalah sekresi garam empedu, yang
membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Hati juga melakukan
berbagai fungsi yang tidak berkaitan dengan pencernaan, termasuk
yang berikut:
1) Proses metabolik kategori-kategori utama nutrien (karbohidrat,
protein dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna.
2) Mendoktifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta
obat dan senyawa asing lain.
3) Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan
untuk pembekuan darah yang menyangkut hormon streroid dan
tiroid serta kolesterol dalam darah.
4) Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5) Mengaktifkan vitamin D yang dilakukan hati bersama ginjal
6) Mengeluarkan bakteri sel darah merah tua. Berkat adanya makrofag
residen.
7) Mengeksresi kolesterol dan bilirubin. Bilirubin adalah produk
penguraian yang berasal dari dekstruksi sel darah merah tua.
c. Bilirubin
Bilirubin merupakan konstituen utama lainnya pada empedu, tidak
berperan dalam pencernaan tetapi merupakan produk sisa yang
diekskresikan di dalam empedu. Bilirubin adalah pigmen empedu
utama yang berasal dari penguraian sel darah merah usang. Rentang
usia tipikal sel darah merah di dalam sistem sirkulasi adalah 120 hari.
Sel darah merah yang telah usang dikeluarkan oleh tubuh oleh
makrofag yang melapisi bagian dalam sinosoid hati dan di tempat-
tempat lain di tubuh. Bilirubin adalah produk akhir penguraian bagian
hem (yang mengandung besi) hemoglobin yang terkandung di dalam
sel darah merah usang ini. Hepatosit mengambil bilirubin dari plasma,
sedikit memodifikasi pigmen tersebut untuk meningkatkan
kelarutannya, dan kemudian secara aktif mengeksresikannya ke
empedu.
Bilirubin adalah pigmen kuning yang menyebabkan empedu
berwarna kuning. Di dalam saluran cerna, pigmen ini dimodifikasi
oleh enzim-enzim bakteri, menghasilkan warna tinja yang coklat khas.
Jika tidak terjadi sekresi bilirubin, seperti ketika duktus biliaris
tersumbat total oleh batu empedu, tinja berwarna putih keabuan, dalam
keadaan normal, sejumlah kecil bilirubin di reabsorpsikan oleh usus
kembali ke darah, dan ketika akhirnya dieksresikan di urine, bilirubin
ini berperan besar menyebabkan warna urine menjadi kuning. Ginjal
tidak dapat mengeskresikan bilirubin hingga bahan ini telah
dimodifikasi ketika mengalir melalui hati dan usus. Jika bilirubin
dibentuk teralu cepat daripada laju eksresinya, bahan ini menumpuk di
tubuh dan menyebabkan ikterus.
d. Metabolisme Bilirubin
Produksi bilirubin sebagian besar merupakan akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran
hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua.
Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air.
Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan
albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta
sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas
albumin plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin
yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Di
dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin
tidak.
Dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi
bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin terdapat dalam bentuk
monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid,
yaitu uridin difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis
pembentukan bilirubin monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi
diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi
langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi
sesudah terapi sinar.
Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut
dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu kemudian ke usus. Di
dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk
dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut
siklus enterohepatik.
3. Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati
kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis
adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut
(Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats,
2005):
1) Timbul pada hari kedua - ketiga.
2) Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari.
4) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5) Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
7) Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut
(Surasmi, 2003) bila:
8) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
9) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
a) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus <
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
b) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
c) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
b. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila
kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg%
pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%..
4. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena
keadaan sebagai berikut (IDAI, 2011):
a. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)
b. Isoimmun Hemolytic Disease
c. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
d. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid,
kloramfenikol)
e. Hemolisis ekstravaskuler
f. Cephalhematoma
g. Ecchymosis
h. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroid jaundice ASI
i. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya
ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
6. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya
kan masuk sirkulasi, dimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin.
Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan
diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-
Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan
asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi
hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita
gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin
indirek.
Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada
keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf
pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada
derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20
mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek
akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan
BBLRhipoksia,dan hipoglikemia.(Sumber: IDAI,2011)
7. Komplikasi
a. Bilirubin encephahalopathi
b. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental,
hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang
melengking.
c. Asfiksia
d. Hipotermi
e. Hipoglikemi
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Visual Metode
Visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun masih
dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan
ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evidence base, pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh
digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus
segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. Panduan
WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang
hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih
parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak
terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2) Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
3) Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning.
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentu-kan perlunya
intervensi lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total
perlu dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang
dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.
c. Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan
prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
9. Pengobatan
a. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan
transfusi pengganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar
dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan
bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada
kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat
badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi
bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan
fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan
berat badan lahir rendah.
b. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktor imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat
menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar.
c. Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat
eritrosit yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal:
menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin
serum; serta meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan
meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin.
d. Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI
selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai
pengentian pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih
terdapat perbedaan pendapat. Terapi medikamentosa Phenobarbital
dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif
diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital post natal
masih menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi).
Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya
melalui urin sehingga dapat menurunkan kerja siklus enterohepatika.
10. Penatalaksanaan
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatkan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital: dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi: dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis
dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dikulit melalui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari billiverdin.
7. Trasnfusi tukar: dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
1. Pengkajian
a. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
1) Mungkin pucat, menandakan anemia
2) Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft
c. Eliminasi
1) Bising usus hipoaktif
2) Pasase mekonium mungkin lambat
3) Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin
4) Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze)
d. Makanan / Cairan
1) Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui
dari pada menyusu botol
2) Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar
e. Neurosensori
1) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran /
kelahiran ekstraksi vakum.
2) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin
ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
3) Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
4) Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel
menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f. Pernapasan
1) Riwayat asfiksia.
2) Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura, hemoragi
pulmonal)
g. Keamanan
1) Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
2) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra
cranial
3) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
1) Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan reterdasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar
untuk usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibudiabetes.
2) Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
3) Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan
komplikasi berkenaan phototerapi.
b. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Kaji Output 1. Output yang berlebihan
kekurangan tindakan keperawatan2. Pertahankan intake atau tidak seimbang
volume cairan selama 3x24 jam cairan dengan intake akan
b.d. pasien membaik 3. Jelaskan kepada menyebabkan gangguan
phototerapi dengan kriteria hasil: keluarga tentang keseimbangan cairan
1. Tidak ada tanda-tanda penting keseimbangan 2. Agar intake yang masuk
dehidrasi cairan tetap seimbang dengan
2. Turgor baik 4. Kolaborasi dengan intake yang keluar
3. Tidak terjadi dokter tentang 3. Agar keluarga paham
penurunan kesadaran pemberian cairan tentang kondisi pasien
4. Untuk mencegah
terjadinya dehidrasi
Setelah di lakukan 1. Monitor adanya 1. Deteksi dini kerusakan
Kerusakan intervensi kerusakan integritas integritas kulit
integritas kulit keperawatan selama kulit 2. Feses dan urine yang
b.d 3x24 jam pasien 2. Bersihkan kulit bayi bersifat asam dapat
phototherapi membaik dengan dari kotoran setelah mengiritasi kulit
kriteria hasil : BAB, BAK 3. Perubahan posisi
1. Tidak terjadi 3. Lakukan perubahan mempertahankan
kerusakan integritas posisi setiap 2 jam sirkulasi yang adekuat
kulit 4. Jelaskan keluarga dan mencegah penekanan
tentang pentingnya yang berlebihan pada
menjaga kelembaban satu sisi
kulit 4. Agar keluarga pahan
5. Kolaborasi dengan tentang pentingnya
dokter untuk pemberian menjaga kelembaban
salep kulit
5. Untuk mencegah
kerusakan kulit lebih
parah
Nutrisi kurang Setelah di lakukan 1. Monitor jumlah nutrisi 1. Untuk mengetahui intake
dari kebutuhan tindakan keperawatan dan kandungan kalori pasien
tubuh b.d selama 3x24 jam, 2. Berikan makanan 2. Agar tidak terjadi
ketidak pasien membaik terpilih penurunan BB dan gizi
mampuan dengan kriteria: 3. Berikan informasi tercukupi
menelan 1. Tidak terjadi kepada keluarga tentang3. Agar keluarga paham
penurunan BB kebutuhan nutrisi tentang jumlah nutrisi
2. Tidak terdapat tanda-4. Kolaborasi dengan yang di butuhkan pasien
tanda malnutrisi doktermaupun ahli gizi 4. Agar dapat menentukan
3. Terjadi peningkatan tentang gizi yang di makanan yang benar-
BB butuhkan benar sesuai dengan
kondisi pasien
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan