Anda di halaman 1dari 3

Pendahuluan

Sindrom dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa.1 Sindrom dispepsia juga didefinisikan sebagai keluhan nyeri
atau rasa tidak nyaman di perut bagian atas yang sifatnya berulang atau kronik. 2 Para
ahli berpendapat bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami sindrom dispepsia.1
Sebesar 25% dari populasi Amerika Serikat mengalami sindrom dispepsia setiap
tahun dan sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Hal
serupa juga terjadi di Inggris dengan prevalensi sindrom dispepsia sekitar 21% dan
hanya 2% yang berkonsultasi ke dokter pelayanan primer dengan episode baru atau
pertama sindrom dispepsia setiap tahun dan sindrom dispepsia menyumbang 40% dari
semua konsul ke bagian gastroenterologi.3 Penelitian terhadap dispepsia fungsional di
beberapa negara di Asia juga menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu Cina
sebanyak 69% dari 782 pasien, di Hongkong 43% dari 1.353 pasien, di Korea 70%
dari 476 pasien dan Malaysia 62% dari 210 pasien.4 Di Indonesia diperkirakan hampir
30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologis merupakan
kasus sindrom dispepsia.1 Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom
dispepsia cukup tinggi. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2011,
sindrom dispepsia berada di urutan keenam dari 10 penyakit terbanyak pada pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan jumlah kasus sebanyak 33.500.5

Sindrom dispepsia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah


sekresi cairan asam lambung, psikologi (stres), serta faktor diet dan lingkungan.1
Selain jenis makanan yang dikonsumsi, ketidakteraturan makan seperti kebiasaan
makan yang buruk, tergesa-gesa, dan jadwal tidak teratur dapat menyebabkan sindrom
dispepsia.6 Kebiasaan makan pedas di Asia, misalnya, dapat memicu terjadinya
sindrom dispepsia. Salah satu penelitian di Thailand menunjukkan bahwa kejadian
nyeri atau rasa terbakar di abdomen meningkat setelah mengonsumsi makanan pedas.4

Stres adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial, baik berupa
tekanan mental ataupun beban kehidupan. Stres dapat memiliki konsekuensi fisik,
emosi, intelektual, sosial, dan spiritual.7 Stres akut dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat.1
World Health Organization (WHO), menyatakan bahwa masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO
(2007), memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Stres merupakan suatu gangguan jiwa yang sering ditemui oleh
seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dialami dalam berbagai situasi yang
berbeda. Stres dapat terjadi karena adanya tuntutan kehidupan. Kebanyakan pekerjaan
dengan waktu sangat sempit ditambah lagi dengan tuntutan harus serba cepat dan
tepat membuat orang hidup dalam ketegangan/stres. Stres dalam kehidupan dapat
menimbulkan reaksi pada tubuh. Menurut Hawari (2001), setiap permasalahan
kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (stressor psikososial) dapat
mengakibatkan gangguan fungsi/faal organ tubuh.8 Stres akut dapat mempengaruhi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat.1
Data yang diperoleh di klinik Perum Peruri pada bulan Oktober 2012 – Juli 2013
didapatkan pasien dengan dispepsia sebanyak 108 orang, dengan umur 25 - 45 tahun.
Walaupun dari hasil penelitian sudah banyak mengemukakan tentang hubungan
kecemasan dengan dispepsia fungsional tetapi masih adanya kontroversial terhadap
dispepsia fungsional dikarenakan tidak didapatkan karakteristik dispepsia fungsional
pada gangguan psikologis.1

1. Djojoningrat D. 2014. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I,


Simadirata M, Setiyohadi B, Syam AF, Editor. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm 1805-10.

2. Mapel D, Roberts M, Overhiser A, & Mason, A. 2013. The Epidemiology,


Diagnosis, and Cost of Dyspepsia and Helicobater pylori Gastritis: A CaseControl
Analysis in the Southwestern United States. Helicobacter. 18(1): 54– 65. Tersedia
dari : http://doi.org/10.1111/j.1523-5378.2012.00988.

3. Hu WHC, Wong WM, , Lam CLK, Lam KF, Hui WM, Lai KC, et al. 2002.
Anxiety but not depression determines health care-seeking behaviour in Chinese
patients with dypepsia and irritable bowel syndrome: a populationbased study.
AP&T.16(12): 2081–2088.
4. Ghoshal UC, Singh R, Chang FY, Hou X, Wong BCY, & Kachingtorn U. 2011.
Epidemiology of Uninvestigated and Functional Dyspepsia in Asia: Facts and Fiction.
JNM. 17(3): 235-44.

5. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Profil
Kesehatan Indonesia. Tersedia dari:http://doi.org/10.1073/pnas.0703993104

6. Ade M. 2014. Hubungan Antara Keteraturan Makan, Dispepsia, dan Konsentrasi


Belajar pada Siswa Farmasi [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

7. Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. hlm. 213-9. Tersedia
dari: https://books.google.co.id/books?id=6GzU18bHfuAC&pg=PA219&dq=psiko
logi+stres&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=psikologi%20stres&f= false

8. . Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:


UI Press

Anda mungkin juga menyukai