Anda di halaman 1dari 33

Referat

Gejala Nyeri Kepala pada Gangguan Depresi dan


Gangguan Cemas

Disusun Oleh:
Siti Azliyana Azura binti Adzhar
11.2016.191

Pembimbing:
dr. Andri, SpKJ, FAPM

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa


Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 3 April 2017 6 Mei 2017

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI halaman


BAB I
Pendahuluan 3
BAB II
2.1 Gangguan depresi dan gangguan cemas 4
2.1.1 Gangguan depresi 4
2.1.2 Gangguan cemas 6
2.2 Epidemiologi 8
2.3 Nyeri kepala 9
2.3.1 Nyeri kepala tipe tegang 10
2.3.2 Migrain 12
2.4 Manifestasi klinis 14
2.5 Diagnosis 17
2.6 Hubungan gangguan depresi dan gangguan cemas terhadap gejala nyeri 24
kepala
2.7 Penatalaksanaan 25
BAB III
Kesimpulan 30
Daftar Pustaka 31

2
BAB I

PENDAHULUAN

Gejala somatik sering terjadi di dalam komunitas kini dan studi epidemiologi
melaporkan 75% responden di dalam komunitas mengalami sekurangnya satu gejala somatik
dalam 30 hari sebelumnya. Studi tersebut melaporkan daripada keseluruhan gejala somatik
tersebut, terdapat 50% mengalami gejala kelelahan, 42% mengalami nyeri kepala, 35% nyeri
punggung dan 33% nyeri otot. 1Hanya sepertiga pasien dengan gejala somatik mendapatkan
konsultasi dari dokter bukan karena intensitas gejala somatik yang dialami, tetapi karena
kebimbangan terhadap gejala somatik tersebut.1 Gangguan jiwa seperti gangguan depresi dan
gangguan cemas didapatkan merupakan sebab tersering dari gejala somatik yang dialami
pasien. Umumnya, pasien datang berobat ke dokter dengan keluhan gejala somatik yang
dialami seperti nyeri kepala dan jarang menyatakan keluhan gangguan jiwa seperti depresi dan
gangguan cemas yang menyertainya kecuali ditanya oleh dokter dan digali lebih dalam
penyebab nyeri kepala tersebut.1 Di dalam salah satu penelitian di Canada, 76% pasien yang
teleh didiagnosis dengan gangguan depresi dan gangguan cemas telah mengemukakan gejala
somatik sebagai alasan pertama mereka berobat ke dokter.1

Hubungan antara nyeri kepala dengan gangguan jiwa seperti depresi dan cemas penting
untuk dikenalpasti karena banyak perkara. Pertamanya, depresi merupakan salah satu penyebab
utama hendaya di dalam kehidupan seseorang dan gangguan jiwa pada pasien dengan nyeri
kepala akan memberikan hambatan dalam terapi nyeri kepala. Seterusnya, pasien nyeri kepala
dengan gangguan jiwa sering lebih banyak menggunakan servis kesehatan karena gejala nyeri
kepala yang sering berulang dan sulit sembuh. Oleh itu, harus dikenalpasti faktor gangguan
jiwa seperti cemas dan depresi pada pasien dengan gejala nyeri kepala agar manajemen
terhadap nyeri kepala pasien dapat diperbaiki.2 Selain itu, sebuah penelitian melaporkan pasien
nyeri kepala yang disertai dengan gangguan jiwa menunjukkan kualitas hidup yang rendah
karena sulit bekerja secara maksimal dan kehilangan minat untuk beraktivitas.3

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan depresi dan gangguan cemas

2.1.1 Gangguan depresi

Depresi merupakan suatu gangguan mood yang merupakan suasana perasaan yang meresap
dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan
persepsinya terhadap dunia. Gangguan mood adalah suatu kelompok klinis yang ditandai oleh
hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Depresi
merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang
sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh
diri.4

Terdapat gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam perkembangan emosi jangka


pendek atau masalah-masalah perilaku, dimana dalam kasus ini, perasaan sedih yang
mendalam dan perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-sia, sebagai reaksi terhadap
stressor) dengan kondisi mood yang menurun.4

Patofisiologi

Patofisiologi depresi belum diketahui secara pasti, tetapi etiologi selalu diasumsikan oleh
banyak faktor sebagai diagnosis depresi dengan melihat beberapa sindrom yang ada dengan
gejala yang berhubungan. Faktor biologis, psikologis, dan sosial berkaitan dengan depresi,
tetapi penemuan terbaru menyatakan genetic, gambaran neurologis, dan biologi molekuler
sudah menjelaskan beberapa hubungan dengan tekanan yang besar ini, terutama pada modulasi
dari kehidupan pada proses genetic dan neurobiologi.4

1. Genetik

Studi keluarga menunjukkan risiko relatif bahwa setidaknya dua atau tiga kali lebih besar untuk
depresi dalam keluarga garis pertama dengan depresi, dengan onset umur dan depresi berulang
memberikan resiko yang lebih besar.

2. Neurobiologi

4
Monoamin

Hipotesis monoamina telah menjadi dasar teori neurobiologis depresi selama 50 tahun terakhir.
Berdasarkan pengamatan dari mekanisme kerja antidepresan, hipotesis ini menyatakan bahwa
depresi merupkan hasil dari defisit serotonin (5-HT) di otak atau neurotransmisi norepinefrin
pada sinaps. Antidepresan bertindak dengan menghalangi transpor serotonin (SERT), yang
meningkatkan ketersediaan neurotransmiter ke dalam celah sinaps. Namun, teori ini tidak
sesuai dengan penundaan onset efek terapi antidepresan karena kenaikan neurotransmiter
sinapsi terjadi segera penghambatan pengambilan kembali. Studi tryptophan deplesi dan
katekolamin juga belum menghasilkan bukti untuk defisit sederhana di tingkat neurotransmitter
atau fungsi pada depresi.4

3. Tidur

Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama dianggap sebagai fitur utama dari depresi
klinis sehingga tidak mengherankan bahwa studi biologi telah difokuskan pada disregulasi
tidur pada depresi. polysomnography digunakan untuk mendeteksi gangguan tidur di depresi,
dan memperlihatkan beberapa dari tanda-tanda biologis yang paling kuat di depresi. Masih ada
kontroversi tentang apakah depresi menyebabkan perubahan dalam tidur adalah penanda
karakteristik, mendahului onset depresi, dan memprediksi relaps pada pasien yang dilaporkan,
sehingga menunjukkan peran pathoogenetic untuk gangguan tidur didepresi.

4. Neuropsikologi

Kognitif dan Daya Ingat

Pasien depresi memperlihatkan gangguan pada fungsi kognitif dan daya ingat, terutama pada
perhatian-perhatian tertentu dan daya ingat yang tersamar. Sebagai tambahan, ada beberapa
defisit ingatan dalam jangka panjang dan pengambilan daya ingat yang diucapkan, dan fungsi
kognitif khusus seperti pemilihan strategi dan pemantauan performa.

Hipokampus adalah yang terpenting dalam proses daya ingat, sebagai jalur neuron dalam
memproses informasi dan membenntuk emosi dan menjabarkan ingatan. Volume hipokampus
menurun pada pasien depresi, terutama dengan episode yang berulang atau kronis atau trauma
masa lalu.4

5. Lingkungan dan kejadian kehidupan

5
Depresi selalu diikuti oleh stres psikososial yang berat, terutama pada episode depresi pertama
atau kedua. Pengalaman masa kanak yang berat seperti kekerasan pada anak, kehilangan orang
tua, dan dukungan sosial yang buruk adalah stres yang paling umum yang terjadi pada pasien
depresi. Peningkatan bukti yang menyatakan bahwa stres dan trauma dapat mengakibatkan
gangguan sistem biologik pada depresi.

2.1.2 Gangguan cemas

Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai
tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif. Kecemasan dan ketakutan
memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan.
Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui
sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau bahaya yang
sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar. Kecemasan dianggap patologis
bilamana mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan
yang wajar. Walaupun merupakan hal yang normal dialami namun kecemasan tidak boleh
dibiarkan karena lama kelamaan dapat menjadi neurosa cemas melalui mekanisme yang
diawali dengan kecemasan akut, yang berkembang menjadi kecemasan menahun akibat represi
dan konflik yang tak disadari. Adanya stres pencetus dapat menyebabkan penurunan daya tahan
dan mekanisme untuk mengatasinya sehingga mengakibatkan neurosa cemas.5

Etiologi

Teori Psikologis

Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang utama:

1. Teori psikoanalitik

Kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego yang memberitahukan adanya suatu dorongan yang
tidak dapat diterima dan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap
tekanan dari dalam tersebut. Idealnya, penggunaan represi sudah cukup untuk memulihkan
keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena represi yang efektif dapat
menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika represi tidak berhasil sebagai pertahanan,
mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan regresi) mungkin menyebabkan

6
pembentukan gejala dan menghasilkan gambaran gangguan neurotik yang klasik (seperti
histeria, fobia, neurosis obsesif-kompulsif).6

2. Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan spesifik.
Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat mendahului atau menyertai
perilaku maladaptif dan gangguan emosional. Penderita gangguan cemas cenderung menilai
lebih terhadap derajat bahaya dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya
untuk mengatasi ancaman.

3. Teori eksistensial

Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat stimulus yang
dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis.

Teori Biologis

Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai akibat dari
suatu konflik psikologis.

a) Sistem saraf otonom

Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut ini:
Ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem
limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian
kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom.
Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan
menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler
(contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya:
nafas cepat).

b) Neurotransmiter

Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah norepinefrin,


serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Norepinefrin Pasien yang menderita
gangguan kecemasan mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk.
Badan sel sistem noradrenergik terutama berlokasi di lokus sereleus di pons rostral dan
aksonnya keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis.
Percobaan pada primata menunjukkan bahwa stimulasi lokus sereleus menghasilkan suatu

7
respon ketakutan dan ablasi lokus sereleus menghambat kemampuan binatang untuk
membentuk respon ketakutan. Pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan
panik, memiliki kadar metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol
(MHPG) yang meninggi dalam cairan serebrospinalis dan urin. Serotonin Badan sel pada
sebagian besar neuron serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan
berjalan ke korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Beberapa laporan menyatakan
obat-obatan yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan
pada pasien dengan gangguan kecemasan. Gamma-aminobutyric acid (GABA) Peranan GABA
dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai salah satu
obat beberapa jenis gangguan kecemasan. Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan
aktivitas GABA pada reseptor GABAA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan
umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki
fungsi reseptor GABA yang abnormal.6

Faktor budaya juga merupakan salah satu penyebab kecemasan yang penting. Pekerjaan,
pendidikan, institusi agama, dan sosial budaya semuanya dapat menjadi konflik yang
menyebabkan kecemasan.

2.2 Epidemiologi

Depresi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering pada masa kini. Kira-kira
20% pasien di dalam pelayanan kesehatan pokok menunjukkan simptom depresi. Selain
depresi, gangguan cemas juga merupakan gangguan jiwa yang sangat umum pada masa kini.
Terdapat penelitian menunjukkan 67% daripada pasien dengan gangguan cemas menderita
migrain. Penelitian ini juga menunjukkan pasien dengan gangguan cemas lebih berpeluang
untuk menderita migrain sebanyak tiga kali lipat manakala pasien dengan migrain lebih
berpeluang menderita gangguan cemas sebanyak empat kali lipat.8

Terdapat beberapa kelompok yang sering melaporkan gejala somatik yang menyertai
gangguan depresi dan gangguan cemas mereka seperti kelompok ibu hamil, pasien usia lanjut,
kanak-kanak, pasien dengan pendapatan rendah, dan pasien di dalam penjara.7

Nyeri kepala yang paling sering dialami oleh individu adalah nyeri kepala tipe tegang
dan migrain dengan prevalensi kira-kira 31-90% nyeri kepala tipe tegang dan 10-18,6%
migrain yang dialami dalam masyarakat. Nyeri kepala sering sering dikaitkan dengan

8
gangguan jiwa seperti gangguan depresi dan gangguan cemas dengan persentase 17-47% untuk
gangguan depresi dan 18-58% untuk gangguan cemas.3

2.3 Nyeri kepala

Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan dan angka kejadiannya
terus meningkat naik sehingga menjadi masalah yang serius pada masyarakat. Nyeri kepala
adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di seluruh daerah kepala dengan batas bawah
dari dagu sampai ke belakang kepala. Nyeri kepala termasuk keluhan yang umum dan dapat
terjadi akibat banyak sebab.

Nyeri kepala yang paling sering dialami oleh individu adalah nyeri kepala tipe tegang
dan migrain dengan prevalensi kira-kira 31-90% nyeri kepala tipe tegang dan 10-18,6%
migrain yang dialami dalam masyarakat.3

Berdasarkan banyak penelitian mengenai jenis nyeri kepala dan melibatkan sekitar 100
orang ahli neurologi, maka International Headache Society mengembangkan klasifikasi
International Classification of Headache Disorders untuk nyeri kepala.9 Klasifikasi ini
secara garis besar membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu nyeri kepala primer dan nyeri
kepala sekunder. Nyeri kepala primer terjadi antara lain migrain, nyeri kepala klaster, nyeri
kepala tipe tegang dan nyeri kepala lain yang tidak berhubungan dengan lesi struktural.
Sedangkan nyeri kepala sekunder antara lain disebabkan oleh trauma kepala, gangguan
pembuluh darah, gangguan dalam tengkorak, pemakaian obat, infeksi, gangguan metabolik.
Nyeri di sekitar wajah juga bisa menyebabkan nyeri kepala sekunder. Nyeri jenis ini biasanya
terkait kelainan tengkorak, leher, telinga, hidung, sinus. Kerusakan saraf kepala juga termasuk
nyeri kepala sekunder.
1. Primary headache disorders :9

a. Migraine

b. Tension type headache

c. Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias

d. Other primary headaches

2. Secondary headache disorders:

a. Headache attributed to head and/or neck trauma

9
b. Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder

c. Headache attributed to non-vascular intracranial disorder

d. Headache attributed to a substance or its withdrawal

e. Headache attributed to infection

f. Headache attributed to disorder of homeoeostasis

g. Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck, eyes, ears, nose,
sinuses, teeth, mouth, or other facial or cranial structures.

h. Headache attributed to psychiatric disorder

i. Cranial Neuralgias and facial pains

j. Cranial neuralgias and central causes of facial pain

k. Other headache, cranial neuralgia central, or primary facial pain.

2.3.1 Nyeri Kepala Tipe Tegang (Tension Type Headache)

Definisi

Tension type headache (TTH) disebut juga nyeri kepala tegang, nyeri kepala kontraksi
otot, nyeri kepala psikomiogenik, nyeri stres, nyeri kepala esensial, nyeri kepala idiopatik,
nyeri kepala psikogenik. Tension type headache merupakan nyeri kepala berulang yang
berlangsung dalam hitungan menit sampai hari, dengan sifat nyeri yang biasanya berupa rasa
tertekan atau diikat, dari ringan sampai berat, dirasakan di seluruh kepala, tidak dipicu oleh
aktifitas fisik dan gejala penyerta nya tidak menonjol. Merupakan sensasi nyeri atau rasa tidak
nyaman didaerah kepala, kulit kepala atau leher yang biasanya berhubungan dengan
ketegangan otot.11

Klasifikasi

Menurut ICHD-3, tension type headache (TTH) diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Episode infrekuensi TTH


A. Episode infrekuensi TTH yang berhubungan dengan ketegangan sekitar kranial
B. Episode infrekuensi TTH yang tidak berhubungan dengan ketengan sekitar kranial
2. Episode frekuensi TTH

10
A. Episode frekuensi TTH yang berhubungan dengan ketegangan sekitar kranial
B. Episode frekuensi TTH yang tidak berhubungan dengan ketegangan sekitar kranial
3. TTH kronis
A. TTH kronis yang berhubungan dengan ketegangan sekitar kranial
B. TTH kronis yang tidak berhubungan dengan ketegangan sekitar kranial
4. Probable TTH
A. Probable infrequent episodic tension-type headache
B. Probable frequent episodic tension-type headache
C. Probable chronic tension-type headache

Etiologi

Tension type headache dihubungkan dengan faktor muskuler dan psikogenik seperti
stress, depresi, bekerja dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata,
kontraksi otot yang berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan
neurotransmitter seperti dopamin, serotonin, dan noerpinefrin.10

Patofisiologi

Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil
penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH sebagai
berikut:10

1. Disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer
dimana disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan
disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada CTTH.
2. Disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan permanen tanpa
disertai iskemia otot.
3. Transmisi nyeri TTH melalui nukleus trigemino servikalis pars kaudalis yang akan
mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis
(aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan
perikranial dan miofasial lalu akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan
meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal ini akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter pada jaringan miofasial.
4. Hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus dan
korteks serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap
nosiseptif. Nilai ambang deteksi nyeri (tekanan, elektrik dan termal) akan menurun

11
di sefalik dan ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal
decending pain inhibit activity.
5. Kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan kesalahan
interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri.
6. Terdapat hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan
hipotalamus dengan terjadinya TTH.
7. Faktor psikogenik (stres mental) dan keadaan non-physiological motor stress pada
TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan aktivasi
struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral.
8. Aktivasi NOS (Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis

2.3.2 Migrain

Definisi

Menurut International Headache Society (IHS), migrain adalah nyeri kepala dengan
serangan nyeri yang berlangsung selama 4-72 jam. Nyeri biasanya bersifat unilateral,
berdenyut, intensitasnya sedang sampai berat dan diperberat oleh aktivitas. Dapat disertai mual,
muntah, fotofobia maupun fonofobia yang dapat disertai dengan aura atau tidak. Aura ialah
hasil dari gelombang eksitasi atau depresi yang menunjukan gejala yang menyertai atau
mendahului migrain seperti aura visual, sensorik dan motorik.11

Klasifikasi

Berdasarkan International Headache Classification of Headache Disorder (ICHD)


edisi ke-3, migrain diklasifikasikan menjadi:11

a. migrain tanpa aura


b. migrain dengan aura
migrain dengan aura khas
migrain dengan basilaris
migrain dengan lumpuh separuh badan
migrain retinal
c. migrain kronis
d. migrain dengan komplikasi
Status migrainosus
Aura persisten tanpa infark

12
migrainous infark
Migraine auto-triggered seizure
e. Propable migraine
f. Sindroma episodik yang mungkin berhubungan dengan migrain

Etiologi

Penyebab pasti migrain tidak diketahui, namun 70-80% penderita migrain memiliki
anggota keluarga dekat dengan riwayat migrain juga. Risiko terkena migrain meningkat 4 kali
lipat pada anggota keluarga para penderita migrain dengan aura. Namun, dalam migrain tanpa
aura tidak ada keterkaitan genetik yang mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan
hubungan antara riwayat migrain dari pihak ibu. Migrain juga meningkat frekuensinya pada
orang-orang dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy,
encephalopathy, lactic acidosis and stroke like episodes). Pada pasien dengan kelainan genetik
CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and
leukoencephalopathy) cenderung timbul migrain dengan aura.12

Patofisiologi

Ada beberapa teori yang menjelaskan terjadinya migrain, yaitu teori vaskular, teori
neurovaskular dan neurokimia serta teori cortical spreading depression (CSD). Pada teori
vaskular, vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migrain
dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut yang sama
dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak
akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh
darah ekstrakranial mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi
ini akan menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian,
vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator seperti
nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala. Teori vaskular berkembang menjadi teori
neurovaskular yang dianut oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migrain terjadi,
nervus trigeminus mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah
besar. Hal inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga
menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota keluarga
calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin. Patofisiologi migrain dengan
aura dikenal dengan teori cortical spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat
eksitasi neuron di substansia nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit.

13
Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga
membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD
ialah pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural
sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi. CSD pada episode aura akan
menstimulasi nervus trigeminalis nukleus kaudatus, memulai terjadinya migrain. Pada migrain
tanpa aura, kejadian kecil di neuron juga mungkin merangsang nukleus kaudalis kemudian
menginisiasi migrain. Nervus trigeminalis yang teraktivasi akan menstimulasi pembuluh
kranial untuk dilatasi. Hasilnya, senyawa-senyawa neurokimia seperti calcitonin gene-related
peptide (CGRP) dan substansi P akan dikeluarkan, terjadilah ekstravasasi plasma. Kejadian ini
akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang lebih hebat, terjadilah inflamasi steril neurogenik
pada kompleks trigeminovaskular.12

2.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis depresi

1. Mood yang rendah.

Selama orang depresi memperlihatkan suasana perasaannya dengan mood yang rendah,
pengalaman emosional yang buruk selama depresi berbeda secara kualitatif dengan orang yang
mengalami kesedihan dalam batas normal atau rasa kehilangan yang dialami oleh orang pada
umumnya.

2. Minat.

Kehilangan minat pada aktivitas atau interaksi sosial yang biasanya ada merupakan salah satu
tanda penting pada depresi. Anhedonia juga memperlihatkan sebagai pembedanya, dan tetap
ada walaupun penderita tidak memperlihatkan mood yang turun.4

3.Tidur.

Kebanyakan pasien depresi mengalami kesulitan tidur. Hal yang klasik adalah terbangun dari
tidur pada pagi buta dan tidak dapat tidur lagi (terminal insomnia), tetapi tidur dengan kelelahan
dan frekuensi terbangun pada tengah malam (insomnia pertengahan) juga umum terjadi.
Kesulitan tertidur pada malam hari (insomnia awal atau permulaan) biasanya terlihat saat
cemas menyertai. Tetapi, hipersomnia atau tidur yang berlebihan juga bisa menjadi gejala yang
umum terjadi pada pasien depresi.

14
4. Tenaga.

Kelelahan adalah keluhan yang sering disampaikan pada depresi, seperti sulit untuk memulai
suatu pekerjaan. Kelelahan dapat bersifat mental atau fisik, dan bisa berhubungan dengan
kurangnya tidur dan nafsu makan, pada kasus yang berat, aktivitas rutin seperti kebersihan
sehari-hari atau makan kemungkinan terganggu.

5. Rasa bersalah.

Perasaan tidak berguna dan merasa bersalah dapat menjadi hal yang umum dipikirkan oleh
pasien yang dalam episode depresi.

6. Konsentrasi.

Kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengambil keputusan adalah hal yang sering dialami oleh
pasien depresi. Keluhan tentang daya ingat biasanya menyebabkan permasalahan pada
perhatian. Pada pasien lanjut usia, keluhan kognitif bisa salah didiagnosis sebagai dementia
onset dini.

7. Nafsu makan/berat badan.

Kehilangan nafsu makan, rasa, dan nikmat dalam makan akan menyebabkan kehilangan berat
badan yang signifikan dan beberapa pasien harus memaksa dirinya sendiri untuk makan.

8. Aktivitas psikomotor.

Perubahan psikomotor, dimana terjadi perubahan pada fungsi motorik tanpa adanya kelainan
pada tes secara objektif, sering terlihat pada depresi. Kemunduran psikomotor meliputi sebuah
perlambatan (melambatnya gerakan badan, buruknya ekspresi wajah, respon pembicaraan yang
lama) dimana pada keadaan yang ekstrem dapat menjadi mutisme atau katatonik. Kecemasan
juga dapat bersamaan dengan agitasi psikomotorik (berbicara cepat, sangat berenergi, tidak
dapat duduk diam).

9. Bunuh diri.

15
Beberapa ide bunuh diri, dimulai dari pemikiran bahwa dengan bunuh diri diharapkan
semuanya akan selesai bersamaan dengan rencana bunuh diri tersebut, terjadi pada 2/3 orang
dengan depresi. Walaupun ide bunuh diri merupakan hal yang serius, pasien depresi sering
kekurangan tenaga dan motivasi untuk melaksanakan bunuh diri. Tetapi, bunuh diri merupakan
hal yang menjadi pusat perhatian karena 10-15% pasien yang dirawat inap adalah pasien yang
matinya karena bunuh diri. Waktu resiko tinggi untuk terjadinya bunuh diri adalah saat awalan
pengobatan, ketika tenaga dan motivasinya mulai berkembang baik selain gejala kognitif
(keputusasaan), membuat pasien depresi mungkin bertindak seperti apa yang mereka pikirkan
dan rencanakan untuk bunuh diri.4

Manifestasi klinis gejala cemas

Gejala psikologik:

Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati, takut gila,takut kehilangan
kontrol dan sebagainya.

Gejala fisik:

Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing, ketegangan otot, mual,
sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal, gangguan di lambung dan lain-lain.

Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti: rasa sesak nafas; rasa sakit
dada; kadang-kadang merasa harus menarik nafas dalam; ada sesuatu yang menekan dada;
jantung berdebar; mual; vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa kesemutan; kaki dan tangan
tidak dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus; kaki merasa lemah, sehingga
berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada gagap dan banyak lagi keluhan yang tidak
spesifik untuk penyakit tertentu. Keluhan yang dikemukakan disini tidak semua terdapat pada
pasien dengan gangguan anxietas kronik, melainkan seseorang dapat saja mengalami hanya
beberapa gejala 1 keluhan saja. Tetapi pengalaman penderitaan dan gejata ini oleh pasien yang
bersangkutan biasanya dirasakan cukup gawat.

Manifestasi klinis nyeri kepala tipe tegang

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dan hasil pemeriksaan neurologis yang
normal. Palpasi dapat dirasakan nyeri pada daerah otot servikal. Tegang otot pada daerah kulit

16
kepala atau leher yang berlangsung dalam hitungan menit sampai hari merupakan khas dari
tension type headache. Predileksi nyeri pada daerah frontal bilateral dan nucho-oksipital. Nyeri
bersifat konstan dan seperti diikat. Intensitas nyeri sampai sedang dan seringkali timbul saat
atau segera setelah bangun tidur.13

Manifestasi klinis migrain

Migrain tanpa aura

Serangan dimulai dengan nyeri kepala berdenyut di satu sisi dengan durasi serangan selama 4-
72 jam. Nyeri bertambah berat dengan aktivitas fisik dan diikuti dengan nausea dan atau
fotofobia dan fonofobia.14

Migrain dengan aura

Sekitar 10-30 menit sebelum sakit kepala dimulai (suatu periode yang disebut aura), gejala-
gejala depresi, mudah tersinggung, gelisah, mual atau hilangnya nafsu makan muncul pada
sekitar 20% penderita. Penderita yang lainnya mengalami hilangnya penglihatan pada daerah
tertentu (bintik buta atau skotoma) atau melihat cahaya yang berkelap-kelip. Ada
juga penderita yang mengalami perubahan gambaran, seperti sebuah benda tampak lebih
kecil atau lebih besar dari sesungguhnya. Beberapa penderita merasakan kesemutan atau
kelemahan pada lengan dan tungkainya.14 Biasanya gejala-gejala tersebut menghilang sesaat
sebelum sakit kepala dimulai, tetapi kadang timbul bersamaan dengan munculnya sakit kepala.
Nyeri karena migrain bisa dirasakan pada salah satu sisi kepala atau di seluruh kepala. Kadang
tangan dan kaki teraba dingin dan menjadi kebiru-biruan. Pada penderita yang memiliki aura,
pola dan lokasi sakit kepalanya pada setiap serangan migrain adalah sama. migrain bisa sering
terjadi selama waktu yang panjang tetapi kemudian menghilang selama beberapa minggu,
bulan bahkan tahun.

2.5 Diagnosis

Diagnosis gangguan depresi

Episode depresi berdasarkan ICD-10

Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu

17
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi kriteria untuk episode
hypomanic atau manik pada setiap saat dalam kehidupan individu
3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental organik
Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu, hadir untuk hampir
sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar tidak responsif terhadap keadaan, dan
bertahan selama minimal 2 minggu
2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan
3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat
Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan tidak tepat
3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri
4. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau berkonsentrasi, seperti
keraguan atau kebimbangan
5. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
6. Gangguan tidur
7. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan perubahan berat badan yang
sesuai

Pedoman diagnosis depresi menurut PPDGJ-III.

Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi :

Semua gejala utama depresi :

o afek depresif

o kehilangan minat dan kegembiraan

o berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.

Gejala lainnya:

o konsentrasi dan perhatian berkurang

o harga diri dan kepercayaan diri berkurang

o gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

18
o pandangan masa depan yang suram dan pesimis

o gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

o tidur terganggu

o nafsu makan berkurang

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.

Episode depresif ringan menurut PPDGJ III

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung
sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu

(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

Episode depresif sedang menurut PPDGJ III

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya

(3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu

(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan
rumah tangga.

Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :

(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat

19
(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien
mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam
hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat
dibenarkan.

(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2) tersebut
di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.

Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau
alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

Diagnosis gangguan cemas

Menurut ICD-10 gangguan cemas merupakan bentuk kecemasan yang sifatnya


menyeluruh dan menatap selama beberapa minggu atau bulan yang ditandai oleh adanya
kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan.

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III,


gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan
yang berkaitan dengan stress (F40-48).

F40F48 GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN GANGGUAN


YANG BERKAITAN DENGAN STRES

F40 Gangguan Anxieta Fobik

F40.0 Agorafobia

.00 Tanpa gangguan panik

.01 Dengan gangguan panik

F40.1 Fobia sosial

20
F40.2 Fobia khas (terisolasi)

F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya

F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT

F41 Gangguan Anxietas Lainnya

F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)

F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh

F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif

F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya

F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT

F41.9 Gangguan anxietas YTT

F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif

F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan

F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)

F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional

F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya

F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT

F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43.0-F43.9)

F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)

F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)

F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9)

Diagnosis nyeri kepala tipe tegang

Berdasarkan ICHD-3, berikut kriteria diagnosis pada TTH:9

1. Kriteria diagnosis episode infrekuensi TTH

21
A. Setidaknya terdapat 10 kali serangan nyeri kepala yang rata-rata terjadi
kurang dari 1 hari per bulan (kurang dari 12 hari per tahun) dan
memenuhi kriteria B-D.
B. Berlangsung selama 30 menit sampai 7 hari.
C. Setidaknya memenuhi 2 dari 4 karakteristik sebagai berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Nyeri seperti ditekan atau tegang (tidak berdenyut)
c. Intensitas nyeri yang ringan atau sedang
d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan atau naik
tangga
D. Memenuhi 2 kriteria:
a. Tidak mual atau muntah
b. Tanpa fotofobia atau fonofobia
E. Tidak berhubungan dengan penyakit lain

2. Kriteria diagnosis episode frekuensi TTH


A. Setidaknya terdapat 10 kali serangan nyeri kepala yang rata-rata terjadi
1 sampai 14 hari per bulan selama lebih dari 3 bulan (lebih dari sama
dengan 12 dan kurang dari 180 hari per tahun) dan memenuhi kriteria
B-D.
B. Berlangsung selama 30 menit sampai 7 hari.
C. Setidaknya memenuhi 2 dari 4 karakteristik sebagai berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Nyeri seperti ditekan atau tegang (tidak berdenyut)
c. Intensitas nyeri yang ringan atau sedang
d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan atau naik
tangga
D. Memenuhi 2 kriteria:
a. Tidak lebih dari satu gejala antara lain fotofobia, fonofobia
ataupun mual ringan
b. Tanpa mual sedang hingga berat maupun muntah
E. Tidak termasuk dalam diagnosis lainnya.

22
3. Kriteria diagnosis TTH kronis
A. Setidaknya terdapat 10 kali serangan nyeri kepala yang rata-rata terjadi
lebih dari 15 hari per bulan selama lebih dari 3 bulan (lebih dari 180 hari
per tahun) dan memenuhi kriteria B-D.
B. Berlangsung selama 30 menit sampai 7 hari.
C. Setidaknya memenuhi 2 dari 4 karakteristik sebagai berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Nyeri seperti ditekan atau tegang (tidak berdenyut)
c. Intensitas nyeri yang ringan atau sedang
d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan atau naik
tangga
D. Memenuhi 2 kriteria:
a. Tidak mual atau muntah
b. Tanpa fotofobia atau fonofobia
E. Tidak berhubungan dengan penyakit lain.

Diagnosis migrain

1. Kriteria migrain tanpa aura14


A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D.
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak
berhasil diobati).
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut:
Lokasi unilateral
Kualitas berdenyut
Intensitas nyeri sedang-berat
Keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau di luar kebiasaan rutin
seperti berjalan atau naik tangga
D. Selama nyeri kepala disertai satu dari gejala berikut:
Mual dan/atau muntah
Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain
23
2. Kriteria migrain dengan aura
A. Sekurang-kurangnya terdapat 2 serangan yang memenuhi kriteria B dan C.
B. Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini tetapi tidak
dijumpai kelemahan motorik:
Gangguan visual yang reversibel seperti: positif (cahaya yang
berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-garis) dan negatif
(hilangnya penglihatan).
Gangguan sensoris yang reversibel termasuk positif (pins and
needles), dan/atau negatif (hilang rasa/baal).
Gangguan bicara disfasia yang reversibel
C. Paling sedikit dua dari dibawah ini:
Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral.
Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual >5 menit dan
/atau jenis aura yang lainnya >5 menit.
Masing-masing gejala berlangsung >5 menit dan <60 menit.
D. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.

2.6 Hubungan gangguan depresi dan gangguan cemas terhadap gejala nyeri kepala

Terdapat hubungan yang jelas antara gangguan jiwa seperti depresi dan cemas terhadap
nyeri kepala sehingga International Headache Society memasukkan klasifikasi spesifik untuk
nyeri kepala ini di dalam International Classification of Headache Disorders (ICHD). Di
dalam ICHD-III, nyeri kepala yang diakibatkan oleh gangguan jiwa digolongkan sebagai nyeri
kepala sekunder. Banyak penemuan telah ditemukan bahawa gangguan jiwa memperberat
gejala nyeri kepala primer seperti nyeri kepala tipe tegang dan migrain dengan menambahkan
frekuensi dan memperberat gejala nyeri kepala serta menyebabkan pengobatan kurang
berkesan.9

Di dalam sebuah penelitian di Korea, daripada 570 responden yang mengalami nyeri
kepala tipe tegang, 9,5% daripada mereka memiliki gangguan cemas dan 4,2 % memiliki
gangguan depresi. Penelitian ini juga menunjukkan prevalensi gangguan cemas meningkat
pada kelompok responden yang mengalami nyeri kepala yang berulang.11

24
Di dalam sebuah penelitian di beberapa buah negara Eropah, didapatkan gangguan jiwa
seperti gangguan depresi (5,6%) dan terutama gangguan cemas (14,3%) berpengaruh pada
gejala nyeri kepala terutama tipe migrain.15

Terdapat penelitian lain menunjukkan 67% daripada pasien dengan gangguan cemas
menderita migrain. Penelitian ini juga menunjukkan pasien dengan gangguan cemas lebih
berpeluang untuk menderita migrain sebanyak tiga kali lipat manakala pasien dengan migrain
lebih berpeluang menderita gangguan cemas sebanyak empat kali lipat.8

Di dalam sebuah penelitian berhubungan gangguan depresi dan cemas pada gejala
migrain di Korea, didapatkan 19% responden dengan migrain memiliki gangguan cemas, 6,1%
memiliki gangguan depresi, dan 11,6% memiliki campuran depresi dan cemas.16

2.7 Penatalaksanaan

Para dokter harus dilatih untuk berfikir di luar dimensi somatik untuk pasien dengan gejala
nyeri kepala dengan melakukan skrining gangguan depresi dan gangguan cemas, berkolaborasi
dengan psikiater untuk mengedukasi pasien dalam gaya hidup, terapi psikologi dan terapi
tingkah laku disamping farmakoterapi. Penatalaksanaan ini telah dilakukan di beberapa buah
negara dimana pasien dengan gejala nyeri kepala langsung dirujuk ke psikiater.17

Pengobatan harus ditujukan pada penyakit yang mendasari yaitu gangguan depresi dan
gangguan cemas dengan pemberian obat anticemas dan obat anti depresi disamping pengobatan
nyeri kepalanya. Hal ini penting agar gejala nyeri kepala tidak sulit sembuh dan lama terapi
dapat dipersingkat. Selain itu, hal ini juga menitik berat bahwa pemberian obat antinyeri dalam
jangka waktu yang lama dapat menghilangkan efek terapinya.

Penatalaksanaan gangguan depresi

Farmakoterapi anti depresi.4

- Golongan Trisiklik : Amytriptyline, Imipramine, Clomipramine, Tianeptine


- Golongan Tetrasiklik : Maprotiline, Mianserin, Amoxapine.
- Golongan MAOI_Reversible ( REVERSIBLE INHIBITOR OF MONOAMIN
OXYDASE-A-(RIMA) : Moclobemide

25
- Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) : Sertraline, Paroxentine,
Fluvoxamine, Fluoxetine, Duloxetine, citalopram.
- Golongan Atipical : Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine.

Penatalaksanaan gangguan cemas


Farmakoterapi antiansietas

Obat-obat antianxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan
terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.

Obat antiansietas dibagi dalam dua golongan :

Obat antiansietas disebut anxiolitika yaitu obat yang dapat mengurang antiansietas dan
patologik, ketegangan dan agitasi obat-obat ini tidak berpengaruh pada proses kognitif dan persepsi,
efek otonomik dan ekstra piramidal tetapi menurunkan ambang kejang dan berpotensi untuk
ketergantungan obat.

Ada dua golongan obat antiansietas :

1. Benzodiazepin : diazepam, oxazolam, lorazepam, clobazam

2. Non Benzodiazepin : buspiron dan sulpirit

Benzodiazepin merupakan obat pilihan untuk kecemasan dan ketegangan jika pasien mengalami
ansietas yang intensif. Benzodiazepin dengan paruh waktu yang lebih panjang mungkin dapat diterima.

Mekanisme kerja : syndrome Acietas disebabkan oleh hiperaktifitas dari system limbik SSP yang
terdiri dari dopaminergik, noradrenergik, serotoniergik neurons yang dikendalikan oleh GABA
ergic neurons.

Ada beberapa efek samping obat dari golongan ini adalah :

Sedasi : mengantuk, kewaspadaan kurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif


melemah.

Relaksasi otot : rasa lemah, cepat lelah dll.

Potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari narkotik, potensi menimbulkan


ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat dipertahankan setelah dosis akhir
berlangsung sangat singkat.

Penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus obat : pasien menjadi irirtable,
bingung, gelisah, imsonia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi dll. Hal ini berkaitan dengan
penurunan kadar Benzodiasepin dalam plasma.

26
Ketergantungan lebih sering pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalahgunaan
obat, atau unstable personalities oleh kerena itu obat Benzodiasepin tidak dianjurkan kepada pasien
pasien tersebut.

Golongan Benzodiasepin sebagai obat anti-ancietas yang mempunyai ratio terapeutik yang lebih
tinggi dan kurang menimbulkan efek adiksi, toksisitas rendah. Golongan ini merupakan drug of choice
dari semua obat yang mempunyai efek anti-ancietas.

Lama pemberian :

Pada syndrome ancietas yang disebabkan factor situasi eksternal, pemberian obat tidak lebih dari
1 3 bulan.

Pemberian sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila syndrome anxietas dapat diramlakan waktu
datangnya dan hanya pada situasi tertentu, serta terjadinya tidak sering.

Penghentian selalu secara bertahap agar tidak menimbulkan gejala lepas obat.

Psikoterapi

Psikoterapi adalah jenis pengobatan yang dilakukan oleh seorang terapis yang terlatih khusus
pada seorang pasien dengan memakai cara profesional yang dilandasi hubungan therapist-pasien yang
khas, sehingga keluhan pasien tersebut dapat dialihkan, diringankan, atau disembuhkan,
mengembangkan pertumbuhan secara positif.

Beberapa bentuk dasar dari psikoterapi :

b. Psikoterapi bentuk sugesti (supportive)

c. Psikoterapi jenis analisa (insight oriented)

d. Psikoterapi jenis prilaku (behaviour therapy)

Tatalaksana nyeri kepala tipe tegang


1. Terapi non-medikamentosa

Disamping mengkonsumsi obat, terapi non farmakologis yang dapat dilakukan untuk
meringankan nyeri tension type headache antara lain:13

a. Kompres hangat atau dingin pada dahi


b. Mandi air hangat
c. Tidur dan istirahat

27
2. Terapi medikamentosa
A. Terapi abortif
Terapi ini digunakan untuk menghentikan atau mengurangi intensitas serangan. Terapi abortif
tersebut antara lain: aspirin 1000mg per hari, acetaminophen 1000mg per hari, NSAID
(Naproxen 660-750mg per hari, ketoprofen 25-50mg per hari, tolfenamic 200-400mg per hari,
ibuprofen 800mg per hari, diklofenak 50-100mg per hari).

B. Terapi preventif
Terapi preventif tersebut antara lain: Amitriptilin (dosis 10-50mg sebelum tidur) dan
nortriptilin (dosis 25-75mg sebelum tidur) yang merupakan antidepresan golongan trisiklik
yang paling sering dipakai.selain itu juga, selective serotonin uptake inhibitor (SSRI) sering
digunakan seperti fluoksetin, paroksetin, sertralin.

Tatalaksana migrain

1. Terapi non-medikamentosa14
A. Abortif
Para penderita migrain pada umumnya mencari tempat yang tenang dan gelap pada saat
serangan migrain terjadi karena fotofobia dan fonofobia yang dialaminya. Serangan juga akan
sangat berkurang jika pada saat serangan penderita istirahat atau tidur.
B. Profilaktif
Pasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migrain yang dialami, seperti kurang tidur,
setelah memakan makanan tertentu misalnya kopi, keju, coklat, MSG, akibat stress, perubahan
suhu ruangan dan cuaca, kepekaan terhadap cahaya terang, kelap kelip, perubahan cuaca, dan
lain-lain. Selanjutnya, pasien diharapkan dapat menghindari faktor-faktor pencetus timbulnya
serangan migrain. Disamping itu, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur untuk
memperlancar aliran darah. Olahraga yang dipilih adalah yang membawa ketenangan
dan relaksasi seperti yoga dan senam. Olahraga yang berat seperti lari, tenis, basket dan sepak
bola justru dapat menyebabkan migrain.

2. Terapi medikamentosa

28
Pada serangan ringan sampai sedang, dapat diberikan obat-obatan over the counter seperti
NSAID. Antara lain:14
Parasetamol 100-600mg tiap 6-8 jam
Aspirin 500-1000mg tiap 4-6 jam, dosis maksimal 4g/hari
Ibuprofen 400-800mg tiap 6 jam, dosis maksimal 2,4g/hari
Sodium naproxen 27,5-550mg tiap 2-6 jam, dosis maksimal 1,5g/hari
Steroid seperti deksametason atau metilprednisolon ialah obat yang
digunakan untuk status migrainosus

Pada serangan yang berat, dapat diberikan obat spesifik untuk meredakan nyeri kepala. Antara
lain:

Golongan agonis 5HT seperti Sumtriptan 6mg subkutan atau 50-100mg per
oral
Ergotamin 1-2mg yang dapat diberikan secara per oral, subkutan maupun
per rektal

Untuk mencegah terjadinya serangan, dapat diberikan obat-obatan dengan mempertimbangkan


jika terjadi dua atau lebih serangan setiap bulan dengan disabilitas yang signifikan dan
berlangsung selama 3 hari atau lebih, penggunaan obat yang gagal lebih dari dua kali seminggu
serta adanya kontraindikasi dengan obat-obatan simptomatik. Obat yang dapat diberikan antara
lain:
Sodium valproat 400-1000mg/hari per oral
Metoprolol 47,5-200mg/hari per oral
Propanolol 120-240mg/hari per oral
Timolol 10-15ml 2 kali/hari per oral

29
BAB III

KESIMPULAN

Di dalam unit pelayanan kesehatan pokok, dokter harus menguasai teknik konsultasi
agar mereka dapat mendiagnosis pasien yang menunjukkan simptom depresi dan simptom
ansietas. Simptom depresi adalah seperti suasana jiwa yang murung, kehilangan minat, sulit
konsentrasi, ansietas dan simptom somatik seperti nafsu makan yang berubah, energi menurun,
tidur terganggu, dan nyeri manakala simptom cemas meliputi simptom somatik dan simptom
psikiatri seperti tegang otot, gangguan tidur dan kelelahan. Bagaimanapun, kira-kira dua
pertiga pasien dengan gangguan depresi dan cemas menunjukkan gejala somatik seperti energi
yang berkurang dan nyeri. Maka, dokter sulit mengemukakan diagnosis dan melakukan
investigasi yang lama untuk mencari penyakit organik dan tidak mengambil kira gangguan
depresi dan gangguan cemas sebagai salah satu diagnosis.

Dari keseluruhan gejala somatik, ditemukan 50% mengalami gejala kelelahan, 42%
mengalami nyeri kepala, 35% nyeri punggung dan 33% nyeri otot. 1Nyeri kepala sering
dikaitkan dengan gangguan jiwa seperti gangguan depresi dan gangguan cemas dengan
persentase 17-47% untuk gangguan depresi dan 18-58% untuk gangguan cemas.3 Nyeri kepala
yang paling sering adalah nyeri kepala tipe tegang dan migrain. Hanya sepertiga pasien dengan
gejala somatik mendapatkan konsultasi dari dokter bukan karena intensitas gejala somatik yang
dialami, tetapi karena kebimbangan terhadap gejala somatik tersebut.1 Hubungan antara
nyeri kepala dengan gangguan jiwa seperti depresi dan cemas penting untuk dikenalpasti
karena banyak perkara. Pertamanya, depresi merupakan salah satu penyebab utama hendaya di
dalam kehidupan seseorang dan gangguan jiwa pada pasien dengan nyeri kepala akan
memberikan hambatan dalam terapi nyeri kepala. Seterusnya, pasien nyeri kepala dengan
gangguan jiwa sering lebih banyak menggunakan servis kesehatan karena gejala nyeri kepala
yang sering berulang dan sulit sembuh. Oleh itu, harus dikenalpasti faktor gangguan jiwa
seperti cemas dan depresi pada pasien dengan gejala nyeri kepala agar manajemen terhadap
nyeri kepala pasien dapat diperbaiki.2 Selain itu, sebuah penelitian melaporkan pasien nyeri

30
kepala yang disertai dengan gangguan jiwa menunjukkan kualitas hidup yang rendah karena
sulit bekerja secara maksimal dan kehilangan minat untuk beraktivitas.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Haug TT, Mykletun A. The Association Between Anxiety, Depression, and Somatic
Symptoms in a Large Population: The HUNT-II Study. Psychosomatic Medicine 2004;
66:845851.

2. Blaauw BA, Dyb G, Hagen K, Holmen TL, Linde M, Wentzel-larsen T, et al. Anxiety,
depression and behavioral problems among adolescents with recurrent headache: the Young-
HUNT study. The Journal of Headache and Pain 2014 06;15:1-38.

3. Zebenholzer K, Lechner A, Broessner G, Lampl C, Luthringshausen G, Wuschitz A, et al.


Impact of depression and anxiety on burden and management of episodic and chronic
headaches - a cross-sectional multicentre study in eight Austrian headache centres. The
Journal of Headache and Pain 2016 02;17:1-10

4. Anonim. Major Depressive Disorder. [online]. Update 0n 2012. Cited on [21 April 2017]:
Available from : http://www.All About Depression.com.

5. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press, pp:38, 107, 252-254

6. Mudjaddid, E. 2006. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan Ansietas dan


Depresi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Ed 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p:913.

7. Tylee A, Gandee P. The Importance of Somatic Symptoms in Depression in Primary Care.


Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2005; 7 (4).

8. Lucchetti G, Mario F, Alessandra L, et al. Generalized anxiety disorder, subthreshold


anxiety and anxiety symptoms in primary headache. Psychiatry and Clinical Neurosciences
2013; 67: 4149.

9. International Headache Classification 3rd ed. Diunduh dari https://www.ichd-3.org/12-


headache-attributed-to-psychiatric-disorder/ pada tanggal 21 April 2017.

31
10. Arifputera A, Anindhita T. Tension Type Headache. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA, editors. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. p.
981-2.

11. Song T, Cho S, Kim W, Yang KI, Yun C, Chu MK. Anxiety and Depression in Tension-
Type Headache: A Population-Based Study. PLoS One 2016 10;11(10).

12. Cephalgia an international journal of headache, the international classification of


headache disorder 2nd edition. International Headache Society 2004, vol 24, sup 1. United
Kingdom: Blackwell Publishing 2004.

13. Blanda M, Sargeant LK. Tension Headache. In: Dyne L, Talavera F, Huff JS, editors.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/792384-overview pada tanggal 21 April
2017.

14. Chawla J. Migraine Headache: Differential Diagnoses & Workup. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1142556-diagnosis pada tanggal 22 April 2017.

15. Lampl C, Thomas H, Tassorelli C, Katsarava Z, Lanez JM, Lantri-minet M, et al.


Headache, depression and anxiety: associations in the Eurolight project. The Journal of
Headache and Pain 2016 06;17:1-9.

16. Oh K, Cho S, Chung YK, Kim J, Chu MK. Combination of anxiety and depression is
associated with an increased headache frequency in migraineurs: a population-based study.
BMC Neurology 2014;14.

17. Risal A, Manandhar K, Holen A, Steiner TJ, Linde M. Comorbidities of psychiatric and
headache disorders in Nepal: implications from a nationwide population-based study. The
Journal of Headache and Pain 2016 04;17:1-9.

32
33

Anda mungkin juga menyukai