Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

HIPERBILLIRUBINEMIA

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase


Ilmu Kesehatan Anak

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Laily Babgei, Sp.A
Disusun Oleh :
Adillia Yurivka U.S.

H2A011001

Kepaniteraan Klinik

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA, MPH
2016

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


ILMU KESEHATAN ANAK

REFERAT
HIPERBILLIRUBINEMIA
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Dr.ADHYATMA, MPH

Disusun Oleh:
Adillia Yurivka U.S.

H2A011001

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Tanggal : ...........................................
Pembimbing Klinik
Ilmu Kesehatan Anak

dr. Laily Babgei, Sp.A

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan
referat ini, yang diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat mengikuti
ujian kepaniteraan klinik Stase Ilmu Kesehatan Anak.
Referat ini berjudul HIPERBILLIRUBINEMIA. Dengan selesainya Referat
ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasihkepada :
1. dr. Siti Moetmainah, Sp OG (K), MARS, selaku Dekan Fakultas beserta
jajaran di Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang.
2. dr. Laily Babgei, Sp.A; dr.Galuh Ramaningrum, Sp.A; dr. Agus Saptanto,
Sp.A dan dr. Noor Hidayati, Sp.A selaku pembimbing Stase Ilmu
Kesehatan Anak.
3. RSUD Dr.Adhyatma, MPH seluruh direksi dan karyawan.
4. Semua pihak dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesepurnaan
referat ini. Semoga referat ini berguna bagi kita semua.
Semarang, Mei 2016

Penulis

BAB 1
3

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin >5 mg/dL dan secara klinis tampak
pewarnaan kuning pada kulit dan membran mukosa yang disebut ikterus.(Kamilah
Budhi Rahardjani: Kadar Bilirubin Neonatus dengan dan Tanpa Defisiensi Glucose6-Phosphate Dehydrogenase yang Mengalami atau Tidak Mengalami Infeksi)..
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan yang kembali
dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini. (abdulrahman
sukadi, neonatologi IDAI). Angka kejadian hiperbilirubinemia lebih tinggi pada
neonatus kurang bulan. (Emil Azlin: Efektifitas fototerapi ganda dan fototerapi
tunggal dengan tirai pemantul sinar pada jaundice)
Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen. Pada
neonatus, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin
tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi didalam darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning
pada sklera dan kulit. (abdulrahman sukadi, neonatologi IDAI). Bilirubin dalam
darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk danbilirubin indirek. Bilirubin
direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melaluiurin. Sedangkan bilirubin indirek
tidak larut dalam air dan terikat pada albumin.Bilirubin total merupakan penjumlahan
bilirubin direk dan indirek. 4,9
Pada kebanyakan neonatus baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa neonatus, terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik
dan menyebabkan kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada
jangka panjang akan menimbulkan sekuele nerologis. Dengan demikian, setiap

neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi
merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai
kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat. (Kamilah Budhi
Rahardjani: Kadar Bilirubin Neonatus dengan dan Tanpa Defisiensi Glucose-6Phosphate Dehydrogenase yang Mengalami atau Tidak Mengalami Infeksi)
Tujuan

utama

dalam

penatalaksanaan

hiperbilirubinemia

adalah

untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang
dapatmenbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung dari hiperbilirubinemia pada neonatus. 1,4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5
mg/dL (86 mol/L). Hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus, yaitu warna
kuning pada kulit dan mukosa yang disebabkan karena deposisi produk akhir
katabolisme heme. Hiperbilirubinemia merupakan kejadian yang sering dijumpai
pada

minggu-minggu

pertama

setelah

lahir.

(Baginda

P.

Gangguan

Perkembangan Neurologis Pada Bayi dengan Riwayat Hiperbilirubinemia.


Universitas Diponogoro. Semarang. 2007.h.1-95.)
Hiperbilirubinemia neonatorum telah sejak lama dikenal. Penggunaan
istilah Kernikterus telah digunakan sejak awal tahun 1900 untuk menyebutkan
pewarnaan kuning pada basal ganglia neonatus yang meninggal akibat
hiperbilirubinemia berat. Sejak tahun 1950 hingga 1970, terjadi peningkatan
insiden penyakit Rhesus hemolitik dan kernikterus sehingga pediatrisian menjadi
lebih agresif dalam penatalaksanaan ikterus. Meskipun demikian, beberapa faktor
telah merubah manajemen penatalaksanaan ikterus.1

2.2 KLASIFIKASI
a. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru
lahir di minggu pertama kehidupannya, transiet, murni disebabkan oleh
peningkatan bilirubin tak terkonyugasi akibat proses fisiologis pada neonates.
Proses tersebut antara lain karena penurunan level glukoronil transferase,
tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek

(80-90 hari) , belum matangnya fungsi hepar. Jika ikterus fisiologis, maka
harus:7
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Total bilirubin serum yang naik harus < 5 mg/dL dengan puncak < 12,9
mg/dL pada hari ke 3 4 untuk bayi aterm dan < 15 mg/dL pada hari ke 5
7 untuk bayi prematur
3. Bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
4. Ikterus tidak menetap > 1 minggu pada bayi aterm dan > 2 minggu bagi
bayi prematur
b. Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut :6
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas
menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak
stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan
2.3 ETIOLOGI
1. Peningkatan produksi bilirubin

melebihi

kemampuan

bayi

untuk

mengeluarkannya :

Hemolisis yang meningkat misalnya inkompabilitas darah fetomaternal


(Rh dan ABO)

Peningkatan jumlah hemoglobin polistemia (twin to twin sindrom).

Defisiensi enzim kongenital (G6PD,piruvat kinase)

2. Gangguan konjugasi dan transportasi


7

Defisiensi albumin

malnutrisi, obat-obatan(aspirin, sulfadiazin), hipoksia menggangu ikatan


protein.

3.

Defisiensi UDPGt

Criggler-Najjar Syndrome

Hipotiroidisme, imaturitas hepar, hipoglikemia.

Defisiensi ligandin (protein Y, glutation S-transferase B)

anoksia/hipoksia.

Gangguan ekskresi

Obstruksi pada hepar. Misalnya, hepatitis, toksoplasmosis dan sifilis yang


menghasilkan toksin yang langsung menyerang hati, anomali kongenital.

Obstruksi pada saluran empedu. Misalnya, batu saluran empedu.

Peningkatan siklus enterohepatik

Penurunan

asupan

enteral,

stenosis

pilorik,

ileus

mekonium,

atresia/stenosis usus,

Hirschprung Disease

2.4 PATOFISIOLOGI
Metabolisme bilirubin
Bilirubin diproduksi dari

degradasi hemoglobin. Hemoglobin didegradasikan

oleh heme oxygenase, menghasilkan pelepasan besi dan pembentukan Carbon


Monoksida dan biliverdin. Biliverdin kemudian dikonversikan menjadi bilirubin
oleh bilirubin reduktase. Bilirubin yang terbentuk ini bersama albumin diangkut
ke hepar. Bilirubin ini disebut bilirubin indirek yang mempunyai sifat larut dalam
lemak, tidak larut dalam air, dapat melalui plasenta. Dalam bentuk bilirubin
8

indirek ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan ( karena sifatnya yag larut lemak )
dan bisa dengan mudah melewati sistem saraf pusat, toksik bagi saraf sehingga
bisa terjadi kernikterus.5
Pada saat komplek bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit albumin
terikat pada reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel
membrane yang berikatan dengan ligandin (protein Y) mungkin juga dengan
protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin indirek dikonjugasikan oleh Uridine
Diphophate Glucuronosyltransferase ( UDPGT ) dalam bentuk bilirubin direk.
Bilirubin direk tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air, non toxic dan
tidak dapat melewati sawar darah otak. Kemudian dikeluarkan dari hepar melalui
kanalikuli empedu ke dalam traktus digestivus kemudian keluar bersama dengan
feses atau direabsorpsi kembali. Akan tetapi, bilirubin direk tidak dapat langsung
direabsorpsi kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk indirek oleh
enzim b glukoronidase yang terdapat dalam usus. Reabsorpsi bilirubin dari
saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonyugasi kembali disebut sirkulasi
entero hepatic.5,6

Keterangan gambar :
Heme dilepaskan dari hemoglobin sel darah merah atau dari hemoproteins
lainnya yang terdegradasi oleh proses enzimatik yang melibatkan heme oxygenase,
yang membutuhkan NADPH dan oksigen, dan mengakibatkan pelepasan besi dan
pembentukan karbon monoksida dan biliverdin. Metalloporphyrins, analog sintetis
heme, secara kompetitif dapat menghambat heme oxygenase aktivitas (ditunjukkan
oleh X). Biliverdin yang kemudian dirubah menjadi bilirubin oleh reduktase
biliverdin enzim. Karbon monoksida dapat mengaktifkan guanylyl cyclase (GC) dan
mengarah pada pembentukan guanosin monofosfat siklik (cGMP). Bilirubin yang
terbentuk diambil oleh hati dan terkonjugasi dengan glucuronides untuk membentuk
bilirubin monoglucuronide atau diglucuronide (BMG dan BDG, masing-masing),
dalam reaksi dikatalisis oleh uridin difosfat dan monofosfat glucuronosyltransferase.
Para glucuronides bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam lumen usus tetapi dapat
deconjugated oleh bakteri sehingga bilirubin yang diserap ke dalam sirkulasi, seperti
yang ditunjukkan.

10

Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme
heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi
bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 minggu/kgBB/hari.
Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit
bayi lebih pendek ( 70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari),
peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat, dan reabsorbsi
bilirubin dari usus yang meningkat (sirkuasi enterohepatik).7

2.5 DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
5.

Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.4,5,7,9

Pemeriksaan Fisik
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl
atau 1000mikro mol/L (1mg/dl = 17,1 mikro mol/L).
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah

lahir atau

beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan
terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna
kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
11

dalam diagnosis

dan

penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus

mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut. 5,9


Klasifikasi hiperbilirubinemia
Usia

Ikterus terlihat pada

Derajat ikterus

Hari 1

Setiap ikterus yang terlihat

Ikterus berat

Hari 2

Lengan dan tungkai

Hari 3dst

Tangan dan kaki


Ikterus lutut/siku/lebih

Ikterus patologis

Ikterus segera setelah lahir


Ikterus pada hari pertama
Ikterus pada usia 14 hari
Ikterus usia 3-13 Bayi kurang bulan
hari

Tinja pucat

Ikterus fisiologis

Tanda patologis (-)

Peter Cooper, A. Suryono, Indarso F., Managing Newborn Problems : A Guide


for doctor, nurses and midwises, WHO, 2008)

Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 4 Evaluasi Laboratorium Hiperbilirubinemia Neonatal
Indication

Assessments

Jaundice in the first 24 hours

TSB or TcB level

12

Indication

Assessments

Jaundice excessive for infant's age

TSB or TcB level

Receiving phototherapy or TSB level Blood type and Coombs' test


increasing rapidly
CBC and peripheral blood smear
Conjugated bilirubin level
Consider reticulocyte count; G6PD and
end-tide carbon monoxide (corrected) levels
Repeat TSB measurement in four to 24
hours
TSB

level

approaching

exchange Reticulocyte count; G6PD, albumin, and

transfusion threshold or not responding end-tide carbon monoxide (corrected) levels


to phototherapy
Elevated conjugated bilirubin level

Urine culture, urinalysis


Consider sepsis evaluation

Prolonged jaundice (more than 3 weeks) TSB and conjugated bilirubin levels
or sick infant
Check results of newborn thyroid and
galactosemia screen

13

CBC = complete blood count; G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase; TcB =


transcutaneous bilirubin; TSB = total serum bilirubin.
Sumber: American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation [published correction appears
in Pediatrics. 2004;114(4):1138]. Pediatrics. 2004;114(1):300.

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang

mengalami ikterus.

4,5,9

Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat

digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil
sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL
(<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi
sinar. 5,11
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
4. Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.4,5,9
Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui
daerah letak kadar bilirubin serum total (gambar ..) besrta faktor risiko terjadinya
hiperbilirubinemia berat. (tabel)

14

Gambar 1. Normogram Bhutani (di kutip dari Rennie J.M and Roberton NRC.
Neonatal Jaundice In : A Manual of Neonatal Intensive Care 4thEd, Arnold, 2002 :
414-432)

Tabel Faktor risiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan 35 minggu


Faktor risiko mayor

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

15

daerah riiko tinggi

Ikterus yang muncu dalam 24 jam pertama kehidupan

Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit
hemolitik lainnya (defisiensi G6PD)

Umur kehamilan 35-36 minggu

Riwayat aak sebelumnya yang mendapat fototerapi

Sefalhematom atau memar yang bermakna

ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang
berlebihan

Ras Asia Timur

Faktor risiko minor

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah risiko sedang

Umur kehamilan 37-38 minggu

Sebelum pulang, bayi tampak kuning

Riwayat anak sebelumnya kuning

Bayi makrosomia dari ibu DM

Umur ibu 25 tahun

Laki-laki

Faktor risiko kurang (faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko ikterus yng
signfikan, besarnya risiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah risiko makin
rendah)

Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko
rendah

Umur kehamilan 41 minggu

16

Bayi mendapat susu formula penuh

Kulit hitam

Bayi dipulangkan setelah 72 jam


Sumber: Buku Ajar Neonatologi2
2.6 ALGORITME MANAJEMEN
Semua bayi baru lahir di klinik maupun di rumah sakit harus mengikuti alur
manajemen/tata laksana ikterus neonatorum untuk bayi baru lahir di ruang perawatan
bayi
1. Setiap neonatus dinilai adakah ikterus pada usia 8-12 jam setelah lahir.
2. Jika ada ikterus cukup berat secara visual sebelum usia 24 jam periksa serum
bilirubin total (TSB) atau bilirubin kutaneus total (TCB).
3. Ukur TSB/TCB dan evaluasi setiap jam.
4. Jika TSB/TCB di atas 90 persentil, penyebab ikterus; terapi, bila memenuhi
kriteria; ulang TSB setiap 24 jam
5. Jika tidak melebihi 95 persentil, evaluasi TSB, masa gestasi, usia dalam jam
postnatal, dan terapi jika memenuhi kriteria
6. Jika fasilitas laboratorium ada, lakukan pemeriksaan.
a. bilirubin total serum dan bilirubin direk
b. golongan darah ABO, Rhesus
c. uji antibodi direk (Coombs)
d. serum albumin
e. hitung eritrosit lengkap dengan hitung jenis, morfologi eritrosit, retikulosit.
f. enzim G6PD
g. bila mungkin ETCO, urin

17

18

Tata laksana
Tata laksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan
usia postnatal, obat obatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian albumin
sebelum dilakukan transfusi tukar.
Prevensi terhadap ensefalopati bilirubin.
Terapi terhadap ancaman ensefalopati bilirubin adalah fototerapi (intensif ), apabila
tidak memenuhi kriteria/indikasi fototerapi
Mekanisme kerja fototerapi
Baik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk
diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi
cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi
ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat
dibersihkan dari plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak
dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin
plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk
asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto
oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin.
Indikasi Fototerapi
Petunjuk fototerapi (menurut AAP, 2004) tertera pada Setiap neonatus yang tidak
memenuhi kriteria terapi sinar sebagai berikut: Perhatian: selama fototerapi (intensif )
ulang TSB
setiap 2-3 jam / 4-24 jam

19

1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB


diperlukan transfusi tukar.
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat
diperlukan transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5
1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan
intravena (kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar,
atau rasio TSB/albumin melebihi fig. 4 pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan
setelah pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian.

Transfusi Tukar

20

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien


yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama
yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried,
1982). Pada pasien hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah
ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada
bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat
lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah
neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki kondisi anemianya.

Indikasi transfusi tukar

Gagal dengan intensif fototerapi.

Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang


ditandai gejala hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis
melengking.
21

Darah donor untuk transfusi tukar


1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.
3. Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan
harus golongan O dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika
darah dipersiapkan setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross
match dengan bayinya.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau
Rhesus yang sama dengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan
bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa
tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di-cross match terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah
donor terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160
ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan
transfusi tukar sekitar 87%.
2.7 KOMPLIKASI HIPERBILIRUBINEMIA
KERNIKTERUS
Kernikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya
bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Bayi yang mempunyai kadar

22

bilirubin lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi
prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. 1, 2, 3, 4
Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari
pembuluh darah kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas
yang berfungsi membatasi serta mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP.
Pada kondisi sawar darah otak normal yang dapat menembus barier ini adalah
bilirubin indirek bebas (yang tidak terikat albumin). Pada kondisi abnormal adanya
brain injury (trauma serebral) diperberat keadaan hipoksemia, acidemia, hiperkapnia,
hipoalbumin, bilirubin yang terikat pun dapat melewati/menembus sawar darah otak.

Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan mekanisme
masuknya bilirubin menembus sawar darah otak ke dalam sel syaraf.
Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek bebas yang
bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuron otak,
selanjutnya terjadi presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan asidosis,

23

hipoalbulminemia akan meningkatkan jumlah bilirubin bebas ke dalam jaringan otak.


Bilirubin indirek dalam plasma berikatan dengan albumin. Suasana asam bilirubin
indirek cenderung membentuk mono-anion (bilirubin acid) serta menyebabkan
penurunan

afinitas

albumin-bilirubin

indirek.

Pada

bentuk

tersebut

akan

meningkatkan presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak. Pglikoprotein (P-gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang dapat
membatasi masuknya bilirubin ke dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak, zat tersebut
mengalami penurunan sehingga bilirubin indirek bebas dapat menembus sawar otak
yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di dalam SSP.
Berdasarkan temuan histologi dan biofisika penelitian Madan (2005)
mekanisme toksisitas bilirubin terhadap sel syaraf adalah sebagai berikut.
Bilirubin masuk ke dalam sel-sel neuron sehingga menyebabkan,
- pertukaran Na K berkurang.
- akumulasi cairan sel syaraf meningkat.
- pembengkakan akson syaraf.
- menurunkan potensial membran dan potensial aksi.
- mengurangi aktifitas auditory brain stem responses
- mengurangi fosforilasi protein kinase dan synapstosis.
- mengurangi tyrosin uptake sintesis dopamin.
- mengurangi uptake methionine dan thymidine.
- merusak mitokondria.

24

- pada penelitian memakai isotop 31p secara invitro maupun invivo bilirubin dapat
menyebabkan perubahan metabolisme energi sel syaraf.
Gangguan neurotransmisi merupakan tahap awal dan toksisitas bilirubin yang
bersifat reversibel pada aktifitas auditory brain stem responses.

Patogenesis kernikterus
Mekanisme penting terhadap toksisitas bilirubin adalah menghambat enzim
fosforilase sinapsis 1 dan reseptor non channel N-methyl-D-aspartate
yang berfungsi untuk pelepasan neurotransmiter. Penumpukan bilirubin akan
menimbulkan perubahan potensial membran dan potensial aksi yang akan
mempengaruhi transmisi neuro- transmiter sinaps. Hal yang esensial pada

25

patogenesis ensefalopati bilirubin dan ireversibel adalah kerusakan mitokondria


sebagai akibat dari presipitasi bilirubin acid dalam membran fosfolipid, sehingga
menyebabkan disfungsi mitokondria.

Table 1 : Patofisiologi kernikterus (saripediatri IDAI)

Tabel 2 : Manifestasi klinis kernikterus (New England Journal Of Medicine) 5

26

Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses
perjalanan penyakit. fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis
yaitu ensefalopati bilirubin kronis yang disebut juga kern ikterus.
1. Ensefalopati bilirubin akut.
a. Fase awal (early phase) Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL
tampak ikterus berat (lebih dari Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi,
mengisap lemah dan hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis
lebih baik.
b. Fase intermediate (intermediate phase) Merupakan lanjutan dari fase awal,
tindakan terapi transfusi tukar emergensi dapat mengembalikan perubahan
susunan syaraf pusat dengan cepat. Fase ini ditandai stupor yang moderat/sedang,
ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot leher serta opistotonus otot-otot
punggung, panas, tangis melengking (high-pitched cry) yang berlanjut berubah
menjadi mengantuk dan hipotonia.
c.

Fase lanjut (advanced phase) Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu
kehidupan yang ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih berat,
tangisnya melengking, tak mau minum/ menetek, apnea, panas, stupor dalam
sampai koma,

kadang-kadang kejang dan meninggal. Dalam fase ini

kemungkinan kerusakan SSP ireversibel/menetap.4


2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus)
Ensefalopati bilirubin kronis disebut juga kernikterus. Perjalanan penyakit
berlangsung lamban setelah bentuk akut terjadi awal tahun pertama kehidupan.
Secara klinis dibedakan dalam 2 fase.
Fase awal, terjadi dalam tahun pertama kehidupan dengan gejala klinis hipotonia,
hiperefleksi, keterlambatan perkembangan motorik milestone dan timbulnya
refleks tonik leher.
Fase setelah tahun pertama kehidupan. Gejala klinis refleks tonik leher (tonicneck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan
27

ekstrapiramidal, gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan


terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi.

Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang


nampak. Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah.
Keadaan tersebut disebab- kan adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana
merupakan gambaran klasik/khas dari ensefalopati bilirubin kronis.

Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze.
Kelainan tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di
batang otak.

Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap


dan paling berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik
derajat ringan sampai berat. Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus
kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius yang sangat peka terhadap
toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatif rendah. Tampak
secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan
fungsi pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi
terhadap ensefalopati bilirubin kronis. Pada anak dengan gangguan ini sering
diberikan alat bantu dengar atau implant koklea dan memberikan hasil yang baik.

Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia
bayi bulan ke-9.

Gangguan/defek kognitif, pada kernikterus tidak mencolok atetosis atau korea


dengan defek pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari
gangguan mental (mental retardasi).4,5,6
Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah

lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur. Tandatanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia,
hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi

28

neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tandatanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya
disertai refleks tendo negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan
fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking
bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme,
kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta
tangannya menggenggam.2

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus
Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 64-84.
2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicterus. Textbook of Pediatrics. New
Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.
3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 97-103
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu penyakit
dalam. Ed 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. Vol III.
5. Snell, Richard. Anatomi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran.Jakarta. 2006
6. Ereschenko, V. Atlas Histologi di Fiore. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta . 2003.
7. Arthur C, Guyton, Hall JE. Bukun ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta:
EGC; 2007.
8. James E. Colleti;2007 An emergency medicine approach to neonatal
hyperbilirubinemia dalam Emergency Medicine Clinic of North America,
Elsevier Saunder :2007.
9. Clohety JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Manual of Neonatal Care,
Edisi ke 3. Boston: Little Brown Company;1991:289-99.
10. Abdulrahman S. Hiperbilirubinemia. Dalam: Sholeh M, Ari Y, Rizalya Dewi,
Gatot IS, Ali U, penyunting. Neonatologi. Jakarta:IDAI;2008.h.147-169.

30

31

Anda mungkin juga menyukai