Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia merupakan salah satu keadaan yang paling sering
ditemukan pada neonatus, terjadi pada minggu pertama kehidupan. Sebagian
besar kejadian ikterus neonatorum bersifat fisiologis, namun harus tetap
diwaspadai karena dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu
nilai yang memiliki potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak
ditanggulangi dengan baik (Prawirahardjo, 2005).
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi
pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2-3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa. Hal ini dapat terjadi karena eritrosit pada neonatus
lebih banyak dan usianya lebih pendek yaitu 80 hari (berbeda dari usia
eritrosit orang dewasa yaitu 120 hari. Pergantian sel darah merah yang cepat
ini menghasilkan lebih banyak sampah metabolitakibat penghancuran sel
termasuk bilirubin, yang harus dimetabolisme. Muatan bilirubin yang
berlebihan ini menyebabkan icterus fisiologis yang terlihat pada bayi baru
lahir (Varney, 2004). Hiperbilirubinemia indirek dijumpai pada sekitar 60 %
bayi aterm dan 80 % bayi premature (Nelson, 2007). Angka kejadian
menunjukan bahwa lebih 50 % bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat
dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya.
Berdasarkan SDKI tahun 2012, semua angka kematian bayi dan anak hasil
SDKI 2012 lebih rendah dari hasil SDKI 2007. Untuk periode lima tahun
sebelum survei, angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian
per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau
Millenium Development Goal (MDG), kematian bayi ditetapkan pada angka
23 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil sementara SDKI 2012 memperlihatkan
bahwa AKB menurun menjadi 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup. AKA

1
mencakup Angka Kematian Bayi (AKB) di dalamnya. Ini berarti pada tahun
2015 diharapkan AKB dapat diturunkan menjadi 22 kematian per 1.000
kelahiran hidup. Diperkirakan pada tahun 2015 target AKA dan AKB akan
dapat dicapai.
Salah satu penyebab dari angka kematian bayi (AKB) adalah komplikasi
dari hiperbilirubinemia. Oleh karena itu, untuk menghindari masalah atau
komplikasi hiperbilirubinemia maka penting dilakukan asuhan pada bayi
yang mengalami hiperbilirubinemia.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Dapat mengetahui gambaran umum asuhan pada bayi dengan
hiperbilirubin di ruang Perinatologi RSUD Ciawi melalui pendekatan
manajemen kebidanan.
2. Tujuan Khusus
a. Diperoleh data subjektif pada By. Ny. I dengan hiperbilirubinemia di
ruang Perinatologi RSUD Ciawi.
b. Diperoleh data objektif pada By. Ny. I dengan hiperbilirubinemia di
ruang Perinatologi RSUD Ciawi.
c. Ditegakan analisa pada By. Ny. I dengan hiperbilirubinemia di ruang
Perinatologi RSUD Ciawi.
d. Dibuat rencana asuhan sesuai dengan manajemen kebidannan untuk
memenuhi kebutuhan klien dan melaksanakan tindakan-tindakan
kebidanan sesuai dengan rencana asuhan yang diberiakan serta
mengevaluasi hasil dari asuhan tersebut.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Hiperbilirubin


Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai
suatu nilai yang memiliki potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak
ditanggulangi dengan baik (Prawirahardjo, 2005). Hiperbilirubin adalah
istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium
yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal, biasanya terjadi pada bayi baru lahir. (Suriadi,
2001). Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1
0,4 mg/dl.
Hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir
selama minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin.
Pada neonatus produksi bilirubin 2-3 kali lebih tinggi dibanding orang
dewasa. Hal ini dapat terjadi karena eritrosit pada neonatus lebih banyak dan
usianya lebih pendek yaitu 80 hari (berbeda dari usia eritrosit orang dewasa
yaitu 120 hari. Pergantian sel darah merah yang cepat ini menghasilkan lebih
banyak sampah metabolitakibat penghancuran sel termasuk bilirubin, yang
harus dimetabolisme. Muatan bilirubin yang berlebihan ini menyebabkan
icterus fisiologis yang terlihat pada bayi baru lahir (Varney, 2004).
Pemecahan sel darah merah yang berlebihan pada hati dan limpa
meneyebabkan icterus pada bayi di minggu pertama kelahiran. Karena
kolonisasi bakteri di usus, yang mensintesis vitamin K terhambat sampai bayi
mendapatkan makanan, factor pembekuan darah selama minggu pertama
kelahiran (Myles, 2009).
Kuning/jaundice pada bayi baru lahir atau disebut dengan ikterus
neonatorum merupakan warna kuning pada kulit dan bagian putih dari mata
(sklera) pada beberapa hari setelah lahir yang disebabkan oleh penumpukan
bilirubin. Gejala ini dapat terjadi antara 25%-50% pada seluruh bayi cukup
bulan dan lebih tinggi lagi pada bayi prematur. Walaupun kuning pada bayi

3
baru lahir merupakan keadaan yang relatif tidak berbahaya, tetapi pada usia
ini kadar bilirubin yang tinggi dapat berbahaya terhadap sistem saraf pusat
bayi (Yenik, 2012). Klinik ikterus tampak bila kadar bilirubin dalam serum
adalah 5 mg/dl (85 mol/L), disebut hiperbilirubin adalah keadaan kadar
bilirubin serum >13 mgdl. (Hendrarto, 2005).

2.2 Macam-Macam Hiperbilirubin


Menurut prawirahardjo (2005), meliputi:
1. Hiperbilirubin fisiologis
a. Timbul pada hari kedua atau ketiga, kadar bilirubin indirek sesudah 2 x
24 jam tidak melewati 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan, dan 10
mg% pada neonatus kurang bulan
b. Hiperbilirubin menghilang pada 10 hari pertama
c. Kadar bilirubin direk tidak mlebihi 1 mg %
d. Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologik.
2. Hiperbilirubin patologis
a. Hiperbilirubin yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir apabila
kadar bilirubin meningkat melebihi 12,5 mg%
b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
c. Hiperbilirubin klinis yang menetap setelah bayi berusia 8 hari atau 14
hari
d. Hiperbilirubin yang disertai berat lahir kurang dari 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, infeksi.
e. Hiperbilirubin yang disertai proses hemolisis.

2.3 Metabolisme Bilirubin


Menurut Prawirohardjo (2005), metabolisme bilirubin mempunyai
tingkat berikut:
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat pemecahan
haemoglobin, tingkat penghancuran haemoglobin pada bayi baru lahir ini
lebih tinggi.
2. Transportasi

4
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin, di hepar dilakukan oleh
protein Y dan Z.
3. Konjugasi
Didalam hepar bilirubin ini mengalami proses konjugasi yang
membutuhkan energi dan enzim glukoronil transferase. Setelah mengalami
proses ini, bilirubin berubah menjadi bilirubin direk.
4. Ekskresi
Bilirubin direk kemudian diekskresi ke usus, sebagian dikeluarkan dalam
bentuk bilirubin dan sebagian lagi dalam bentuk sterkobilin. Bilirubin ini
kemudian diangkut ke hepar lagi untuk diproses.

2.4 Etiologi Hiperbilirubin


Hiperbilirubin pada bayi baru lahir sering timbul karena fungsi hati
masih belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah.
Hiperbilirubin juga bisa terjadi karena beberapa kondisi klinis, di antaranya
adalah:
a. Ikterus fisiologis merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi
baru lahir. Jenis bilirubin yang menimbulkan pewarnaan kuning pada
ikterus disebut bilirubin tidak terkonjugasi, merupakan jenis yang tidak
mudah dibuang dari tubuh bayi. Hati bayi akan mengubah bilirubin ini
menjadi bilirubin terkonjugasi yang lebih mudah dibuang oleh tubuh. Hati
bayi baru lahir masih belum matang sehingga masih belum mampu untuk
melakukan pengubahan ini dengan baik sehingga akan terjadi peningkatan
kadar bilirubin dalam darah yang ditandai sebagai pewarnaan kuning pada
kulit bayi. Bila kuning tersebut murni disebabkan oleh faktor ini maka
disebut sebagai ikterus fisiologis
b. Breastfeeding jaundice, dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu
(ASI) eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada
hari kedua atau ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak
memerlukan pengobatan.
c. Ikterus ASI (breastmilk jaundice), berhubungan dengan pemberian ASI
dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang
disusukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengubah
bilirubin indirek, asupan cairan yang kurang (termasuk pemberian ASI)

5
dapat menyebabkan kuning pada bayi. Ini biasanya tampak pada hari ke-3
sampai ke-5 dengan tanda penambahan berat badan yang minim dan urine
berwarna pekat. Ketika bayi mendapatkan sedikit ASI, buang air besar
cenderung menjadi sedikit dan jarang karena bilirubin yang berada di usus
bayi terserap kembali ke dalam darah dan bukannya dibuang saat buang
air besar.
d. Ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi pada kasus ketidakcocokan
golongan darah (inkompatibilitas ABO) dan rhesus (inkompatibilitas
rhesus) ibu dan janin. Tubuh ibu akan memproduksi antibodi yang akan
menyerang sel darah merah janin sehingga akan menyebabkan pecahnya
sel darah merah sehingga akan meningkatkan pelepasan bilirubin dari sel
darah merah.
e. Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan cephal hematom dapat
timbul dalam proses persalinan. Lebam terjadi karena penumpukan darah
beku di bawah kulit kepala. Secara alamiah tubuh akan menghancurkan
bekuan ini sehingga bilirubin juga akan keluar yang mungkin saja terlalu
banyak untuk dapat ditangani oleh hati sehingga timbul kuning
f. Ibu yang menderita diabetes dapat mengakibatkan bayi menjadi kuning.
Hal ini berarti lebih banyak bilirubin yang dihasilkan bada tubuh bayi
baru lahir. Jika bayi lahir prematur, atau stres karena proses kelahiran
yang sulit, atau bayi dari ibu yang menderita diabetes, atau jumlah sel
darah merah yang pecah lebih banyak dari biasanya (seperti yang bisa
terjadi pada golongan darah ibu dan bayi yang tidak sama), maka jumlah
bilirubin dalam darah dapat meningkat lebih dari yang seharusnya.

2.5 Komplikasi
1. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang
kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
(keadaannya disebut kern ikterus). Kern ikterus adalah suatu keadaan
dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi
kerusakan otak.

6
2. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental,
kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy),
tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.

2.6 Penilaian
Pengamatan hiperbilirubin paling baik dilakukan dalam cahaya matahari
dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna
karena pengaruh sirkulasi darah.
Untuk penilaian hiperbilirubin, kramer membagi tubuh bayi baru lahir
dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat
bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan
tangan kaki serta tangan termasuk telapak tangan (Sarwono, 2006).
Dibawah ini dapat dilihat gambar pembagian derajat dan dearah ikterus.

Rumus Kramer

7
2.7 Penanganan Hiperbilirubin
Menurut Varney (2007), penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir,
antara lain:
1. Memenuhi kebutuhan/nutrisi
a. Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum, berikan
berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok.
Jika tidak dapat habis berikan melalui sonde.
b. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika
bukan ASI) mungkin perlu ganti susu.
2. Mengenal gejala dini
a. Jika bayi mulai terlihat kuning, jemur dibawah matahari pagi (pukul
07.00-08.00.
b. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 12,5
mg/dl,ulangi pemeriksaan esok harinya.
c. Berikan minum (ASI/susu).
d. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segera
hubungi dokter, bayi perlu terapi.
3. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
a. Menjaga agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan.
b. Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya.
c. Mencegah terjadinya infeksi.

8
Bila kadar bilirubin serum bayi tinggi sehingga di duga akan terjadi
kern ikterik,maka perlu dilakukan penatalaksanaan khusus. Penanganan
terapi khusus tersebut antara lain:
1. Terapi sinar
Terapi sinar diberikan jika bilirubin indirek darah mencapai 15 mg%,
bayi ikterus yang diberi sinar matahari lebih dari penyinaran biasa,
ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan dengan bayi lain
yang tidak disinari. Denga penyinaran, bilirubin dipecah menjadi
dipyrole yang kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus
digestivus. Mekanisme utama terapi sinar adalah fotoisomer.
Penggunaan terapi sinar untuk mengobati hiperbilirubinemia harus
dilakukan dengan hati-hati, karena jenis pengobatan ini dapat
menyebabkan kerusakan retina, dapat meningkatkan kehilangan air
tidak terasa (insensible water losses), dan dapat mempengaruhi
pertumbuhan serta perkembangan bayi, sebaiknya dipilih sinar
dengan spectrum antara 420-480 nano meter. Sinar ultraviolet harus
dicegah dengan plexiglass dan bayi harus mendapat cairan yang
cukup.
Alat-alat untuk terapi sinar:
a. 10 lampu neon biru masing-masing berkekuatan 20 watt.
b. Susunan lampu dimasukan ke dalam bilik yang berisi ventilasi
disampingnya.
c. Dibawah susunan dipasang plexiglass setebal 1,5 cm untuk
mencegah sinar ultraviolet.
d. Alat terapi sinar diletakan 45 cm diatas permukaan bayi.
e. Terapi sinar diberikan selama 72 jam atau sampai kadar bilirubin
mencapai 12,5 mg %.
f. Mata bayi dan alat kelamin ditutupi dengan bahan yang dapat
memantulkan sinar.
g. Gunakan kain pada boks bayi atau incubator, dan letakan tirai
putih mengelilingi area sekeliling alat tersebut, untuk memantulkan
kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
( Prawirohardjo, 2005).
Pelaksanaan pemberian terapi sinar dan perlu diperhatikan (Ladewig,
2005) antara lain:

9
a. Letakan bayi tanpa mengenakan pakaian dibawah sinar fototerapi,
kecuali untuk menutupi alat kelamin, untuk memaksimalkan
pajanan terhadap sinar.
b. Tutup mata bayi saat disinar
c. Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam.
d. Pantau asupan dan keluaran setiap 8 jam
e. Berikan asupan cairan 25 % diatas kebutuhan cairan normal.
Untuk memenuhi peningkatan kehilangan cairan yang tidak
tampak mata serta pada feces.
f. Reposisi bayi sedikitnya setiap 2 jam.
g. Matikan sinar terapi saat orang tua berkunjung dan memberikan
ASI.
h. Pantau panjang gelombang sinar fototerapi menggunakan
bilimeter, setiap penggantian sorotan cahaya ke area mata yang
lain.
i. Pantau kadar bilirubin setiap 8 jam selama 1 hingga 2 hari
pertama atau setiap pemberian sesuai dengan protocol institusi
setelah penghentian fototerapi.
Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapat
terapi sinar (Asrining, dkk, 2003) antara lain:
a. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak tertukar (insensible
water loss).
b. Frekuensi defekasi meningkat, pemberian susu dengan kadar
laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c. Timbulnya kelainan kulit flea bite rash didaerah muka badan
dan ekstermitas, kelainan ini akan segera hilang setelah terapi
dihentikan.
d. Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar menunjukan
kanaikan suhu tubuh, disebabkan Karena suhu lingkungan yang
meningkat atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi.
e. Kadang ditemukan kelainan seperti, gangguan minum, letargi,
dan iritabilitas. Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang
dengan sendirinya.
f. Gangguan pada mata dan pertumbuhan.

10
2. Transfusi tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila terapi sinar gagal menurunkan
kadar bilirubin total. Transfusi tukar merupakan metode tercepat
untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dan mencegah efek
toksik bilirubin. Indikasi transfusi tukar dapat dilihat pada protokol
yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric 2004.
Transfusi tukar direkomendasikan bila Total Serum Bilirubin
cenderung naik walau sudah dilakukan fototerapi intensif. Transfusi
tukar harus segera dilakukan bila bayi menunjukkan tanda-tanda
ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, arching, retrokolis,
opistotonus, demam, high pitched cry) atau bila Total Serum
Bilirubin berada 5 mg/dL dari garis kurva. Faktor risiko yang
meningkatkan kebutuhan untuk dilakukan transfusi tukar adalah
penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis. Selain kadar bilirubun, indikasi
transfusi tukar juga dapat dilihat dengan rasio Bilirubin/Albumin.
Darah yang digunakan untuk transfusi tukar merupakan
modified whole blood ( RBC dan plasma) yang kompatibel dengan
bayi dan crossmatch dengan ibu.
Transfuse tukar akan dilakukan pada neonatus dengan kadar
bilirubin indirek sama dengan atau lebih tinggi dan 20 %, pada
neonatus dengan kadar bilirubin kurang dari 14 mg % dan comb test
langsung positif (Prawirohardjo, 2005). Tujuan transfusi tukar:
1. Menurunkan kadar bilirubin indirek
2. Mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis
3. Membuang antibody yang menyebabkan hemolisis
4. Mengoreksi anemia
Prosedur pelaksanaan transfusi tukar antara lain:
1. Bayi ditidurkan rata diatas meja dengan fiksasi longgar
2. Pasang monitor jantung, alarm jantung diatur diluar batas 100-
180 kali/menit.
3. Masukan kateter ke dalam vena umbilikalis
4. Melalui kateter, darah bayi dihisap sebanyak 20 cc dimasukan
kedalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi

11
diambil lagi sebanyak 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian
dimasukan darah pengganti dengan jumlah yang sama, demikian
siklus pengganti dengan jumlah yang sama, demikian siklus
pengganti tersebut diulang sampai selesai.
5. Kecepatan menghisap dan memasukan darah ke dalam tubuh bayi
diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi
tukar berkisar 140-180 cc/kg BB tergantung pada tinggi kadar
bilirubin sebelum transfusi tukar (Prawirohardjo, 2005).

Keterangan:
Sebelum dan sesudah transfusi tukar seperti diberi sinar:
+ Bila tak berhasil lakukan transfusi tukar
Bila < 5 mg % selalu observasi
Bila > 5 gr % penyebab ikterus perlu diselidiki
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama tranbsfusi tukar:
a. Neonatus harus dipasang alat monitor kardio-respirasi
b. Neonatus dipuaskan bila perlu dipasang selang nasogastrik
c. Neonatus dipasang infus
d. Suhu tubuh dipantau dan dijaga dalam batas normal
e. Disediakan peralatan resusitasi (Surasmi, 2003).

12
Komplikasi fototerapi
1. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada
BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.
2. Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek
dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltic usus.
3. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar( berupa
kulit kemerahan) tetapi akan hilang setelah terapi selesai.
4. Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
5. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu
dimatikan, terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstraminum.
6. Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.

13
BAB III
TINJAUAN KASUS

Hari, Tanggal Masuk RS : Senin, 2 Maret 2015


Hari,Tanggal Pengkajian : Selasa, 3 Maret 2015
Waktu pengkajian : 09.00 WIB
Tempat pengkajian : Ruang Perinatologi RSUD Ciawi
Nama pengkaji : Arum Widianingsih

A. DATA SUBJEKTIF
1. Identitas Bayi
Nama bayi : By. Ny. I
Tanggal lahir : 27 Februari 2015
Jam lahir : 15.30 WIB
Jenis kelamin : Laki-laki
Proses persalinan : Spontan

2. Identitas Orang Tua


Istri Suami
Nama : Ny.I Tn. H
Usia : 22 tahun 32 tahun
Suku : Sunda Sunda
Agama : Islam Islam
Pendidikan : SD SMA
Pekerjaan : IRT Karyawan Swasta
Alamat : Kp. Cipaku Suka Damai RT 2 RW 17, Bogor
Golongan darah :A B
No. Rekam Medik : 49950915

14
3. Alasan Datang dan Keluhan Utama
Ibu datang dengan membawa bayinya ke poli kebidanan. Bayi tampak
kuning, sejak 2 hari lalu (01-03-2015), rewel dan malas untuk minum, sudah
dilakukan pemeriksaan pada tanggal 2 Maret 2015, dengan hasil lab.
golongan darah A Rh positif (+), kadar bilirubin total 15,5 mg/dl, kadar
bilirubin direk 0,64 mg/dl, terpasang fototheraphy hari ke-1 mulai pukul
09.30 WIB.

4. Riwayat Kesehatan Ibu dan Keluarga


Ibu dan keluarga tidak memiliki penyakit berat seperti diabetes, darah
tinggi, jantung, kencing manis, dan TBC.

5. Riwayat Perinatal
Bayi lahir spontan di bidan praktik mandiri, tidak langsung menangis,
warna kulit kemerahan, bergerak aktif, bayi sudah mendapatkan vit K dan
salep mata sudah dilakukan IMD. Berat badan lahir 3.000 gr, panjang badan
49 cm. Tidak ada trauma saat kelahiran.

6. Riwayat Neonatal
Bayi menyusu 6 kali sehari dengan susu formula (ASI keluar sedikit).
Buang air kecil (BAK) sehari 4-5 kali berwarna kuning, dan buang air besar
(BAB) 3-4 kali sehari berwarna coklat konsistesnsinya agak padat.

B. DATA OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sedang
2. Pemeriksaan umum
Tanda-tanda vital
a. Laju Nafas : 48x/menit, teratur
b. Laju jantung : 145x/menit, teratur
c. Suhu : 36,5oC
3. Antropometri
a. BB : 3.000 gram
b. PB : 49 cm
c. LK : 33 cm
d. LD : 34 cm

4. Pemeriksaan fisik
a. Kepala

15
Bentuk simetris, fontanela membuka, permukaan mendatar, konsistensi
lunak, kulit kepala bersih, rambut hitam.
b. Telinga
Simetris, sejajar dengan sudut mata, daun telinga lunak, elastisitas baik,
lubang telinga ada, tidak ada pengeluaran cairan abnormal.
c. Mata
Terpasang penutup mata.
d. Hidung
Bentuk simetris, septum nasal ditengah, tidak ada pernapasan cuping
hidung.
e. Mulut
Bibir dan gusi merah muda, lidah bersih, tidak ada labioskizis maupun
labiopalatoskizis.
f. Leher
Tidak ada pembengkakan dan benjolan.
g. Dada
Bentuk simetris, puting susu menonjol, areola berwarna gelap, tidak ada
tarikan dinding dada, tidak ada bunyi nafas dan bunyi jantung tambahan.
h. Perut
Konstitensi lembut, tidak ada perdarahan tali pusat, tidak ada penonjolan
sekitar tali pusat saat menangis, terdapat bising usus.

i. Genitalia
Kedua testis sudah berada dalam skrotum, letak lubang uretra di ujung
penis.
j. Anus
Terdapat lubang anus.
k. Punggung
Tidak ada pembengkakan, tidak ada spina bifida.
l. Kulit
Kuning dari kepala hingga tungkai (Derajat IV).
m. Ekstremitas
Ekstermitas atas dan bawah bentuk simetris, jumlah jari lengkap (10).
n. Sistem Syaraf (refleks)
Refleks Rooting : ada, bayi dapat mencari puting susu, saat
ujung bibir bayi disentuh.
Refleks Sucking : ada, bayi dapat menghisap puting susu,
terlihat saat bayi menyusu.
Refleks Swallowing : ada, bayi dapat menelan saat menyusu.

16
Refleks Grasping : ada, ketika jari pemeriksa diselipkan di
jari bayi, bayi akan menggenggam.
Refleks Babinski : ada, ketika jari kaki bayi mengembang
atau dorsofleksi saat diberi sentuhan di
telapak kaki.
Refleks Plantar : ada, jari kaki bayi menggenggam saat satu
jari diletakkan di ujung jari kaki bayi.
Refleks Tonick neck : ada, bayi menoleh saat diberi rangsangan.

C. ANALISA
By. Ny. I, usia 4 hari dengan hiperbilirubin.

D. PENATALAKSANAAN
1. Menjelaskan pada ibu mengenai hasil pemeriksaan.
2. Melanjutkan terapi sesuai advis dokter SpA, :
a. Terapi sinar dan diet ASI sesuai kebutuhan,dan menjadwalkan untuk
cek bilirubin total ulang besok.
3. Menjaga kebersihan bayi.
4. Konseling tentang ASI ekslusif.
5. Memantau keadaan umum, dan tanda-tanda vital.

CATATAN PERKEMBANGAN
Hari, Tanggal pengkajian : Rabu, 4 Maret 2015
Waktu pengkajian : 08.20 WIB

A. DATA SUBJEKTIF
Bayi masih rewel, ASI 8x : 30 cc. BAK 6-7 kali sehari, berwarna kuning dan
BAB 4-5 kali sehari berwarna coklat konsistensi lunak.

B. DATA OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Pemeriksaan umum
Tanda-tanda vital
a. Laju Nafas : 47x/menit, teratur
b. Laju jantung : 148x/menit, teratur
c. Suhu : 36,9o C

17
4. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Kulit kepala bersih.
b. Mata
Terpasang penutup mata.

c. Mulut
Bibir dan gusi merah muda, lidah bersih,
d. Perut
Konstitensi lembut, tali pusat basah, tidak ada perdarahan, tidak ada
penonjolan sekitar tali pusat saat menangis, terdapat bising usus.
e. Punggung
Tidak ada pembengkakan.
f. Kulit
Warna kulit kuning sampai pusat.
g. Ekstremitas
Gerakan ekstermitas atas dan bawah aktif.
h. Pemeriksaan penunjang
Bilirubin total 12,8 mg/dl, bilirubin direk 0,75 mg/dl bilirubin indirek,
12,05 mg/dl

C. ANALISA
By. Ny. I, usia 5 hari dengan hiperbilirubin.

D. PENATALAKSANAAN
1. Menjelaskan pada ibu mengenai hasil pemeriksaan.
2. Melanjutkan terapi sesuai advis dokter, yaitu terapi sinar dan diet ASI
sesuai kebutuhan,dan menjadwalkan untuk cek bilirubin total ulang besok.
3. Menjaga kebersihan bayi.
4. Konseling tentang ASI ekslusif.
5. Memantau keadaan umum, dan tanda-tanda vital.

CATATAN PERKEMBANGAN
Hari, Tanggal pengkajian : Kamis, 5 Maret 2015
Waktu pengkajian : 08.35 WIB

A. DATA SUBJEKTIF
Bayi minum ASI 8x : 30 cc. BAK 6-7 kali sehari berwarna kuning dan BAB
4-5 kali sehari berwarna coklat konsistensi lunak.

B. DATA OBJEKTIF

18
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Pemeriksaan umum
Tanda-tanda vital
a. Laju Nafas : 46x/menit, teratur
b. Laju jantung : 138x/menit, teratur
c. Suhu : 36,7oC
4. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Kulit kepala bersih.
b. Mata
Konjungtiva merah muda, sklera putih.
c. Mulut
Bibir dan gusi merah muda, lidah bersih
d. Perut
Konstitensi lembut, tali pusat kering, tidak ada perdarahan, tidak ada
penonjolan sekitar tali pusat saat menangis, terdapat bising usus.
e. Punggung
Tidak ada pembengkakan.

f. Kulit
Warna kulit kemerahan.
g. Ekstremitas
Gerakan ekstermitas atas dan bawah aktif.
h. Pemeriksaan penunjang
Bilirubin total 10,2 mg/dl, bilirubin direk 0,4 mg/dl bilirubin indirek 9,8
mg/dl

C. ANALISA
By. Ny. I, usia 6 hari, dengan riwayat hiperbilirubin.

D. PENATALAKSANAAN
1. Menjelaskan pada ibu mengenai hasil pemeriksaan bahwa keadaan bayi
sudah baik. Ibu mengerti.
2. Menganjurkan ibu untuk menjaga kehangatan bayi. Ibu mengerti.
3. Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya setiap 2-3 jam. Ibu mengerti
dan akan melakukannya.
4. Kolaborasi dengan dokter Sp.A, advis : bayi boleh pulang.
5. Konseling tentang :
- ASI ekslusif.
- Perawatan tai pusat.
- Tanda bahaya bayi baru lahir.
- Imunisasi.

19
6. Menjadwalkan kunjungan ulang 1 minggu kemudian tanggal 12 Maret
2015, untuk imunisasi ke tenaga kesehatan. Ibu mengerti.

20
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 DATA SUBJEKTIF


By. Ny. I, lahir tanggal 27 Februari 2015, pada pukul 15.30 WIB, jenis
kelamin laki-laki. Pada hari ke 2, bayi tampak kuning, rewel dan malas
minum. Kuning/jaundice pada bayi baru lahir atau disebut dengan ikterus
neonatorum merupakan warna kuning pada kulit dan bagian putih dari mata
(sklera) pada beberapa hari setelah lahir yang disebabkan oleh penumpukan
bilirubin. Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang memiliki potensi menimbulkan kern ikterik bila
tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirahardjo, 2005).
Kuning pada By. Ny. I timbul pada usia bayi 2 hari. Menurut
Prawirahardjo (2005), kriteria hiperbilirubin patologis yaitu, peningkatan
kadar bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam. Bayi menyusu 6 kali sehari
dengan susu formula, dengan alasan ASI keluar sedikit. Menyusui bayi lebih
sering akan mempercepat pembuangan isi usus sehingga mengurangi
penyerapan kembali bilirubin dari dalam usus dan menurunkan kadar
bilirubin dalam darah. Pada hari ke 1-3, cairan yang payudara produksi saat
ini adalah kolostrum. Dalam sekali penyusuan akan dikeluarkan sekitar 5 10
mL kolostrum. Jumlah kolostrum yang dihasilkan dalam 24 jam pertama
sekitar 25 56 mL dan hari kedua sekitar 100 mL (113 185 mL). Kapasitas
lambung bayi antara 30-90 ml. BAK (buang air kecil) sehari 4-5 kali
berwarna kuning dan BAB (buang air besar) 3-4 kali sehari berwarna coklat
konsistensinya agak padat.

4.2 DATA OBJEKTIF


Dari hasil pemeriksaan di dapatkan sclera tampak kuning dan kulit
tampak kuning sampai tungkai, kadar biliubin total 14,5 mg/dl, kadar
bilirubin direk 1,04 mg/dl dan kadar bilirubin indirek 13,46 mg/dl. Hasil lab
golongan darah bayi A Rh positif (+), ibu A Rh positif (+), ayah A Rh positif

21
(+). Menurut Prawirohardjo (2005), ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi
pada kasus ketidakcocokan golongan darah (inkompatibilitas ABO) dan
rhesus (inkompatibilitas rhesus) ibu dan janin. Inkompatibilitas pada
golongan darah ABO terjadi jika Ibu golongan darah O mengandung janin
golongan darah A atau B. Penyakit jarang terjadi bila ibu golongan darah A
dan bayi golongan darah B. Tubuh ibu akan memproduksi antibodi yang akan
menyerang sel darah merah janin sehingga akan menyebabkan pecahnya sel
darah merah sehingga akan meningkatkan pelepasan bilirubin dari sel darah
merah. Sehingga penyebab terjadinya ikterus bukan disebabkan oleh
incomptabilitas ABO.
Berdasarkan penilaian Kramer, kuning pada By. Ny. I tampak dari kepala
hingga tungkai (Derajat IV). Penilaian hiperbilirubin, kramer membagi tubuh
bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada
sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan
bahu pergelangan tangan kaki serta tangan masuk telapak tangan (Sarwono,
2006).

4.3 ANALISA
Berdasarkan data subjektif dan objektif yang ada maka dapat disimpulkan
bahwa By. Ny. I, usia 4 hari, neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan
dengan hiperbilirubin. Usia kehamilan ibu saat melahirkan yaitu 39 minggu,
dengan berat badan saat lahir 3.000 gram. Sesuai dengan teori Suriadi, bahwa
nilai normal : bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4
mg/dl. Didapatkan hasil pemeriksaan kadar biliubin total 15,5 mg/dl, kadar
bilirubin direk 0,64 mg/dl, sehingga termasuk dalam hiperbilirubin.

4.4 PENATALAKSANAAN
Dari hasil pengkajian data subjektif dan objektif yang di dapat serta analisa
yang dibuat, maka disusunlah penatalaksanaan atau rencana asuhan yang
dibutuhkan. Penatalaksanaan yang pertama yaitu menjelaskan hasil
pemeriksaan bahwa bayi Ny.I mengalami hiperbilirubin dan harus dilakukan
rawat inap untuk dilakukan fototerapi dan diet ASI. Sesuai dengan teori

22
menurut Hellen Varney (2007) penanganan hiperbilirubin yaitu dengan
memenuhi kebutuhan atau nutrisi, bila kadar bilirubin serum bayi tinggi
sehingga di duga akan terjadi kern ikterik, maka perlu dilakukan
penatalaksanaan khusus yaitu fototerapi. Sesuai dengan protap
penatalaksanaan hiperbilirubin di RSUD Ciawi dan menurut Prawirohardjo
(2005) yaitu pemasangan fototerapi, terapi sinar dengan panjang gelombang
cahaya 450-460 nm, dilakukan jika kadar bilirubin indirek > 10 mg/dl untuk
BBLR, bilirubin indirek >12 mg/dl untuk bayi cukup bulan. Pemberhentian
pemberian terapi sinar jika kadar bilirubin serum sudah dalam batas normal.

4.5 Faktor Pendukung dan Penghambat


1. Faktor Pendukung
a. Keluarga sangat kooperatif dan adanya respon positif terhadap asuhan
yang diberikan pada bayinya.
b. Adanya kerjasama dengan petugas kesehatan yang baik, di ruang
perinatologi RSUD Ciawi, sehingga penulis dapat melaksanakan asuhan
kepada By. Ny. I secara optimal.

2. Faktor Penghambat.
Selama melaksanakan asuhan penulis tidak mengalami
hambatan karena adanya kerjasama yang baik dari pihak petugas
kesehatan, serta sikap kooperatif dari pihak keluarga.

23
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan kasus pada BAB IV, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Data subjektif yang didapat dari By. Ny. I yaitu, kulit kuning,
rewel, malas menyusu sesuai dengan teori yang menunjukan kasus tanda
hiperbilirubin.
2. Pemeriksaan data objektif pada By. Ny. I sudah sesuai dengan teori
dan pemeriksaan yang dilakukan antara teori dengan kenyataan dilahan
praktik dan tidak ada kesenjangan.
3. Diagnosa ditegakkan dari data subjektif dan data objektif yaitu By.
Ny. I usia 4 hari, neonates cukup bulan sesuai masa kehamilan dengan
hiperbilirubin.
4. Penatalaksanaan yang diberikan sesuai dengan teori penatalaksaan
bayi dengan hiperbilirubin.

5.2 Saran
1. Bagi Lahan Praktek
Agar mempertahankan dan meningkatkan mutu layanan terhadap pasien,
dengan tenaga yang professional dalam memberikan pelayanan dan dapat
memberikan tambahan informasi mengenai asuhan kebidanan dengan
hiperbilirubin untuk mempercepat penanganan guna mencegah komplikasi
yang kemungkinan terjadi.
2. Bagi Klien
Memberi pengetahuan kepada klien dan keluarga mengenai hiperbilirubin,
sehingga klien dan keluarga dapat mengetahui penyebab terjadinya
hiperbilirubin, sehinggga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
komplikasi yang lebih berat.

24

Anda mungkin juga menyukai