Anda di halaman 1dari 23

Clinical Science Session

Infeksi TORCH dalam Kehamilan

Oleh :
Ulfa Syukrina
1840312752

Preseptor :
dr.Pasca Al Fajra, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD PARIAMAN
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Infeksi pada Kehamilan”.
Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian kandungan dan kebidanan RSUD Padang Pariaman Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Pasca Al Fajra, Sp.OG selaku
pembimbing dan juga kepada rekan-rekan dokter muda.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu dengan penulis menerima setiap kritik dan saran dari
semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya di
bidang ilmu kedokteran. Aamiin.

Padang, 21 Februari 2020

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi yang terjadi selama kehamilan bisa didapatkan saat sebelum kehamilan

terjadi atau didapatkan saat kehamilan. Besarnya pengaruh infeksi tergantung dari

virulensi agen penyebab infeksi, umur kehamilan serta imunitas ibu. Ibu hamil dengan

janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular.

Meskipun terkadang tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak

pada janin diantaranya abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam

kandungan, serta cacat bawaan. Salah satu penyakit infeksi menyebabkan dampak

yang berbahaya pada janin yaitu penyakit TORCH; merupakan singkatan dari T =

Toksoplasmosis; R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes

simpleks, yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa atau parasit darah dan

virus .1,2,3

Infeksi Torch cara penularannya kepada manusia melalui dua cara yaitu aktif

(didapat) dan pasif (bawaan). Secara aktif bila menelan oosista dan sista, sedangkan

pasif terjadi melalui plasenta dari ibu ke anak. Penularan secara aktif antara lain ,

makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi (mengandung

sista) misalnya daging sapi, daging domba, kerbau, babi, dan lainnya. Kemungkinan

terbesar penularan TORCH ke manusia melalui jalur ini.1 Prevalensi wanita hamil

yang mengidap TORCH pada awal kehamilan sekitar 40%, janin yang dilahitrkan

akan terinfeksi dan 15% mengalami keguguran atau kelahiran dini. Sebanyak 17%

janin terinfeksi pada trimester pertama, 24% pada trimester kedua 62% pada trimester

ketiga. Hasil lain juga mengatakan bahwa 90% bayi terinfeksi dapat lahir dengan

normal, walupun 80-90% bayi tersebut mengalami gangguan penglihatan sampai buta
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah lahir dan 10% dapat mengalami gangguan

pendengaran.4

Infeksi TORCH yang didapat pada masa perinatal dapat berakibat sangat berat

pada janin maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian sehingga diperlukan

diagnosa yang cepat dan tindakan pengobatan serta pencegahan baik yang dapat

dilakukan oleh wanita hamil, suami, keluarganya, maupun dari pemerintah sehingga

diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.2

1.2. Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, etiologi, gambaran klinik, diagnosis,

pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan Infeksi TORCH dalam Kehamilan.

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

mengenai Infeksi TORCH dalam Kehamilan.

1.4. Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk

dari berbagai literatur.

1.5. Manfaat Penulisan

Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan

pengetahuan mengenai Infeksi TORCH dalam Kehamilan.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TOKSOPLASMOSIS

2.1.1 Definisi

Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit

Toxoplasma gondii. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi pada bayi baru lahir

yang berasal dari ibu yang terinfeksi. Bayi tersebut biasanya asimptomatik, namun

manifestasi selanjutnya bisa menjadi korioretinitis, strabismus, epilepsi, dan retardasi

psikomotor.4

2.1.2 Etiologi

Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa obligat intraseluler yang

menginfeksi burung dan beberapa jenis mamalia terutama kucing di seluruh dunia. 4

Jika parasit ini menginfeksi wanita yang sedang hamil, maka parasit akan menginfeksi

janin melalui plasenta yang akan menyebabkan gangguan pada mata, otak dan

jaringan si janin.5

Gambar 2.1. Toxoplasma gondii


2.1.3 Patogenesis

Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (hospes definitif). Dalam

sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual

(gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan melalui tinja.

Bila ookiosta tertelan oleh hospes perantara maka pada berbagai jaringan akan terjadi

pembelahan cepat menjadi takizoit → bereplikasi pada seluruh sel kecuali di eritrosit

→ bradizoit (masa infeksi laten) → stadium istirahat (kista jaringan).4,5

Bila kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung

sporozoit terlelan oleh hospes, parasit akan bebas dari kista → didalam eritrosit,

parasit transformasi, peningkatan invasive takizoit → parasit menyebar ke jaringan

limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan SSP → terjadi infeksi →

replikasi → invasi sel sekitar → kematian sel dan nekrosis fokal + inflamasi akut.4,5

Pada hospes imunokompromais atau pada janin, faktor-faktor imun yang

dbutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah. Akibatnya

takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung dan terjadi kegagalan

organ.6

Cara penularan dapat terjadi melalui beberapa jalur :

1. Transmisi kongenital

Infeksi pada plasenta dipengaruhi saat terjadinya infeksi pada neonatus. Namun

hanya 30% infeksi terjadi pada bayi dari ibu yang terinfeksi saat kehamilan.

Transmisi infeksi kongenital sebagian besar (65%) terjadi pada trimester ketiga

dan makin muda usia kehamilan, makin besar resiko terjadi kelainan yang berat

bahkan kadang-kadang berakhir dengan abortus.3 Seorang ibu sering kali tidak

mengetahui mendapat infeksi toxoplasma pada saat kehamilan, walaupun kadang-


kadang masih dapat ditemukan pembesaran kelenjar servikal pada saat

melahirkan.7

2. Transmisi melalui makanan

Transmisi kemungkinan besar melalui daging yang mengandung kista. Transmisi

melalui daging yang tidak atau kurang matang bukan merupakan jalur penularan

yang penting dibandingkan dengan penularan melalui makanan yang tercemar

kista dari tinja kucing.3,7

3. Melalui transfusi darah

Toxoplasma dapat ditemukan dalam darah donor yang asimtomatik dan parasit ini

dapat hidup dalam darah lengkap dengan sitrat pada suhu 30º C selama 50 hari.

Penularan lain juga dapat terjadi melalui petugas laboratorium yang bertgas

memelihara binatang, dan alat suntik yang terkontaminasi.3,7

Berikut adalah rute infeksi janin oleh Toxoplasma gondii:

Gambar 2.2. Infeksi janin oleh Toxoplasma gondii 6

2.1.4 Manifestasi Klinis Toksoplasmosis

Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri otot, dan

kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi subklinis. Infeksi

toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ

yang mendapatkan obat penekan respon imun).4

Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah

abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita

toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah

dewasa, misalnya kelainan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan

ensefalitis.1,2,3 Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan, bayi

bisa lahir dalam keadaan hidrosefalus, berat bayi lahir rendah, hepatospleenomegali,

ikterus dan anemia. Gejala defisit neurologis seperti kejang-kejang, kalsifikasi

intrakranial, retardasi mental, dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Pada kedua

kelompok biasanya terjadi korioretinitis.5,6

• First half of pregnancy: dapat menyebabkan malformation pada CNS,

microcephali, hydrocephalus dan perinatal mortality.

• Second half of pregnancy: Ringan/asymtomatic, demam (flu like syndrome),

limfadenopati servikal ataupun aksila, namun tidak sakit.

• Gejala‐gejala ini beberapa minggu sampai bulan. Anemia, leukopenia, kadang

leukositosis. Dapat terjadi chorioretinitis, dan kelainan pada CNS setelah

beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.

• Congenital Toxoplasmosis: Anak hidup dengan kemunduran mental yang parah,

kejang, strabismus dan kebutaan.

2.1.5 Diagnosis Prenatal Toksoplasmosis

Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14 – 27 minggu.

Aktivitas diagnosis meliputi:4

1. Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun

amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi.


2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast,

ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan diikuti isolasi parasit.

Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi adanya DNA Toksoplasma gondii

pada darah janin ataupun cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA

pada darah janin guna mendeteksi antibody IgM janin spesifik

(antitoksoplasma).

2.1.6 Penatalaksanaan

Pengobatan pada pasien hamil:

 Spiramycin 1 g per oral, dibagi dalam 3 dosis per hari.


 Bila pada pemeriksaan cairan amnion didapatkan hasil yang positif untuk T.

gondii, diberi pyrimethamine (50 mg/hari per oral) dan sulfadiazine (3 g/hari

per oral, dibagi dalam 2-3 dosis) dilanjutkan dengan 3 minggu pemberian

spiramycin 1 g tiga kali sehari untuk pengobatan maternal atau,


 Pyrimethamine (25 mg/hari per oral) dan sulfadiazine (4 g/hari per oral) dibagi

dalam 2-4 kali per hari sampai saatnya kelahiran (dapat menyebabkan

penekanan pada sumsum tulang dan pansitopenia) dan,


 Asam folinic (10-25 mg/hari per oral) untuk mencegah penekanan pada

sumsum tulang.

Pencegahan terutama untuk ibu hamil, yaitu dengan cara:

 Mencegah terjadinya infeksi primer pada ibu-ibu hamil

- Memasak daging sampai 60º C

- Jangan menyentuh mukosa mulut bila sedang memegang daging

mentah

- Mencuci buah atau sayur sebelum dimakan

- Kebersihan dapur

- Cegah kontak dengan kotoran kucing


- Siram bekas piring makanan kucing dengan air panas

 Mencegah infeksi terhadap janin dengan jalan :

- Seleksi wanita hamil dengan tes serologis

- Pengobatan adekwat bila ada infeksi selama hamil

- Tindakan abortus terapeutik pada trimester I/II

- Vaksinasi pada kucing dengan tujuan untuk mencegah sporulasi

dan pelepasan ookista ke lingkungan, dapat menurunkan secara drastis

angka infeksi toxoplasma pada binatang dan manusia.

2.2. RUBELA

2.2.1 Definisi

Infeksi ini juga dikenal dengan campak Jerman dan sering diderita anak-anak.

Rubela yang dialami pada trimester pertama kehamilan 90 persennya menyebabkan

kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran. Ibu

hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang sedang sakit campak

Jerman.8

2.2.2. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang

menyelimuti dan memiliki genom RNA beruntai tunggal. 3,4,5 Virus ini ditularkan

melalui rute pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah bening.

Virus ini dapat ditemukan dalam darah 5 – 7 hari setelah infeksi dan menyebar ke

seluruh tubuh. Virus memiliki sifat teratogenik dan mampu menyeberangi plasenta

dan menginfeksi janin di mana sel-sel berhenti dari berkembang atau menghancurkan

mereka.8,9

2.2.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis rubella adalah:9

1. Gejala yang ditimbulkan adalah demam, ruam pada kulit, batuk, nyeri sendi,

nyeri kepala, limfadenopati post auricular and suboccipital.

2. Gejala klinis biasanya ringan dan 50-75% kasus, gejala tidak tampak.

Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi janin.

Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap janin. Infeksi

fetal dapat berupa: 10

1. Tidak berdampak terhadap bayi dan janin dilahirkan dalam keadaan normal

2. Abortus spontan

3. Sindroma Rubella kongenital

Secara spesifik, infeksi pada trimester I berdampak terjadinya sindroma

rubella kongenital sebesar 25% (50% resiko terjadi pada 4 minggu pertama), resiko

sindroma rubella kongenital turun menjadi 1% bila infeksi terjadi pada trimester II

dan III.

Dampak-dampak Sindroma Rubela Kongenital:

a. Intra uterine growth retardation simetrik, gangguan pendengaran, kelainan

jantung: PDA (Patent Ductus Arteriosus) dan hiplasia arteri pulmonalis


b. Gangguan Mata: Katarak, Retinopati, Mikroptalmia
c. Hepatosplenomegali, gangguan sistem saraf pusat, mikrosepalus,

panensepalus, kalsifikasi otak, retardasi psikomotor, hepatitis, trombositopenik

purpura.
Infeksi rubella tidak merupakan kontra indikasi pemberian ASI.

2.2.4 Diagnosis

Diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan

pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi

pemeriksaan Anti-Rubella IgG dan IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat


digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata

belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella

IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan

<18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.8,9

Deteksi IgM mencapai puncak pada 7 – 10 hari setelah onset dan perlahan-

lahan menurun selama 4-8 minggu. Infeksi janin dapat dideteksi dengan memeriksa

IgM dalam darah janin setelah usia kehamilan 22 minggu.9,10

Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa pasca

persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh karena 20%

yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya respon

pembentukan antibodi dengan baik.

2.2.5 Penatalaksanaan

Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis.

Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam

menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk

mengobati anak yang sedang menderita rubela kongenital dengan obat ini tidak

berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat

terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.

Apabila wanita hamil terkena infeksi rubella dan ingin mempertahankan

kehamilannya, maka disarankan untuk mendapatkan antibody yaitu hyperimmune

globulin yang dapat melawan infeksi tersebut. Hal ini dapat mengurangi gejala namun

tidak menghilangkan kemungkinan bayi akan terkena infeksi rubella kongenital.

Tindakan pencegahan untuk infeksi rubella adalah dengan vaksinasi. Vaksin

rubella adalah virus yang dilemahkan. Dosis tunggal vaksin ini dapat memberikan

lebih dari 95% imunitas jangka panjang. Vaksin rubella tersedia dalam formula
monovalent atau kombinasi dengan vaksin lain seperti measles (MR), measles dan

mumps (MMR), atau measles, mumps, dan varicella (MMVR).

2.3 Cytomegalovirus (CMV)

2.3.1 Definisi

Cytomegalovirus (infeksi sitomegalovirus) adalah penyakit yang disebabkan

oleh sitomegalovirus. Virus ini termasuk dalam keluarga besar virus herpes. Penyakit

ini termasuk penyakit yang mewabah di seluruh negara dan menular melalui kontak

manusia. Hampir 4 dari 5 orang yang berumur 35 tahun pernah terinfensi CMV.10

2.3.2 Etiologi

Sitomegalovirus termasuk virus asam deokisiribunokleat dan sensitif –eter.10

2.3.3 Manifestasi Klinis

Umumnya > 90% infeksi CMV pada ibu hamil asimpomatik, tidak terdeteksi

secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik, yaitu: demam, lesu, sakit kepala, sakit

otot dan nyeri tenggorok. Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan menyalurkan pada

bayi yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya akan mendapatkan

kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil dapat mengalami keguguran akibat

infeksi CMV.1

Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi pada

umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius. Infeksi

CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogen maupun endogen. Infeksi

eksogen dapat bersifat primer yaitu terjadi apabila ibu hamil dalam pola imunologik

seronegatif, dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif. Infeksi

endogenous adalah hasil dari reaktivasi virus yang sebelumnya dalam keadaan paten.
Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh lebih buruk pada

janin dibandingkan infeksi rekurens.11

Pemeriksaan laboratorium dapat ditegakkan baik dengan metode serologik

atau dengan virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal primer

dapat ditujukkan degan adanya perubahan dari seronegative menjadoi seropositif

(tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai pemeriksaan hasil serial dengan

interval kira-kira 3minggu. Dalam metode serologik infeksi primer bisa juga

ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgG menunjukan fungsional

aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama 20 minggu setelah infeksi primer.

Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan

uji imuno floresens. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigen

Pp 65, suatu protein polipetida dengan berat molekul 65 kilo dalton dari CMV di

dalam sel leukosit ibu.10

2.3.5 Diagnosis Pranatal CMV.

Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi karena

pengobatan dengan antivirus (ganciclovir) tidak efektif dan memuaskan. Diagnosis

pranatal dilakukan dengan metode PCR dan isolasi virus pada cairan ketuban yang

diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis pada hubungan ini paling baik

dikerjakan pada usia kehamilan 21 – 23 minggu.

2.3.6 Penatalaksanaan

Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan

valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan

cidofovir. Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik antara profilaksis dengan
terapi preemptif yang lebih baik untuk pencegahan infeksi CMV pada penerima organ

transplan solid.12

Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil apabila secara laboratorik

dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu yang menderita

infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui infeksi kongenital.

2.4 Herpes Simplex

2.4.1 Defnisi

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes

simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya vesikel

yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan

infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.13

Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit orofacial,

sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan infeksi perigenital.

Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan genital.

2.4.2 Epidemiologi

Herpes Simplek Virus (HSV) dapat menginfeksi janin dan menyebabkan

kelainan. Seorang ibu yang terinfeksi HSV dapat menularkan virus tersebut saat baru

lahir selama persalinan vagina, terutama jika ibu memiliki infeksi aktif pada saat

persalinan. Namun, 60 - 80% dari infeksi HSV didapat oleh bayi yang baru lahir

terjadi pada wanita yang tidak memiliki gejala infeksi HSV atau riwayat infeksi HSV

genital.13

2.4.3 Patogenesis
Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu virus

Herpes simpleks-I (HSV-1) dan virus Herpes simpleks II (HSV-2). Virus ini

merupakan kelompok virus DNA rantai ganda. Infeksi terjadi melalui kontak kulit

secara langsung dengan orang yang terinfeksi virus tersebut. Transmisi tidak hanya

terjadi pada saat gejala manifestasi HSV muncul, akan tetapi dapat juga berasal dari

virus shedding dari kulit dalam keadaan asimptomatis.

Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks, HSV 1, dan HSV-2

bertahan di ganglia saraf sensoris. Virus kemudian akan mengalami masa laten,

dimana pada masa ini virus Herpes simpleks ini tidak menghasilkan protein virus,

oleh karena itu virus tidak dapat terdeteksi oleh mekanisme pertahanan tubuh host.

Setelah masa laten, virus bereplikasi di sepanjang serabut saraf perifer dan dapat

menyebabkan infeksi berulang pada kulit atau mukosa.

Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret kelenjar dan sekret

genital dari individu yang asimptomatik, terutama di bulan-bulan setelah episode

pertama penyakit, meskipun jumlah dari lesi aktif 100-1000 kali lebih besar.Virus

Herpes simplex sangat menular dan disebarkan langsung oleh kontak dengan individu

yang terinfeksi virus tersebut. Virus Herpes simpleks ini dapat menembus epidermis

atau mukosa dan bereplikasi di dalam sel epitel.

Virus Herpes simpleks 1 (HSV-1) biasanya menyerang daerah wajah (non

genitalia) dan virus Herpes simpleks 2 (HSV-2) biasanya menyerang alat kelamin.

perubahan patologis sel epidermis merupakan hasil invasi virus herpes dalam vesikel

intraepidermal dan multinukleat sel raksasa. Sel yang terinfeksi mungkin

menunjukkan inklusi intranuklear.

2.4.4 Manifestasi Klinis


Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang

serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat

menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatus mempunyai

angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologik atau

kelainan pada mata.

Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivis,

atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli

kandungan mengambil sikap partus secara Seksio Caesaria, bila pada saat melahirkan

sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketubah

pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban pecah.

Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus; sedangkan

bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat

intrapartum.

Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin didapat selama dalam kandungan,

selama persalinan atau setelah lahir. Ibu merupakan sumber infeksi tersering pada

semua kasus. Herpes neonatus diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari 5.000

kelahiran setiap tahun. Bayi baru lahir tampaknya tidak mampu membatasi replikasi

dan penyebaran HSV sehingga cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat.

Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama pelahiran

melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi,

dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada perempuan hamil yang memilik

herpes genital. Namun lebih banyak terjadi infeksi HSV neonatal dari pada kasus

herpes genital rekuren meskipun virus ditemukan pada bayi cukup bulan.

Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap HSV-1

maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan petugas rumah sakit
yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes neonatal disebabkan oleh HSV-

2. Tidak tampak adanya perbedaan antara sifat dan derajat berat herpes neonatus pada

bayi prematur atau cukup bulan, pada infeksi yang disebabkan oleh HSV-1 atau HSV-

2, atau pada penyakit ketika virus didapatkan selama persalinan atau pasca persalinan.

Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik. Angka mortalitas

keseluruhan pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan herpes

neonatus terdiri dari tiga katagori penyakit: (1) lesi setempat di kulit, mata dan mulut;

(2) ensefalitis dengan atau tanpa terkenanya kulit setempat; (3) penyakit diseminata

yang mengenai banyak organ, termasuk sistem saraf pusat. Prognosis terburuk (angka

mortalitas sekitar 80%) terdapat pada bayi dengan infeksi diseminata; banyak

diantaranya mengalami ensefalitis. Penyebab kematian bayi dengan penyakit

diseminata biasanya pneumonitis virus atau koagulopati intravaskular. Banyak yang

selamat dari infeksi berat dapat hidup dengan gangguan neurologi menetap.

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan sitologik
Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes virus tidak

sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan pemeriksaan Tzank (lesi

genital) dan apusan serviks Papanicolaou dan tidak dapat diandalkan untuk

diagnosis konklusif infeksi herpes simpleks. Jenis yang lebih tua dari

pengujian virologi, tes Pap Tzanck, mengorek dari lesi herpes kemudian

menggunakan pewarnaan Wright dan Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan

sel raksasa khusus dengan banyak nukleus atau partikel khusus yang

membawa virus (inklusi) mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi

akurat 50-70% dari waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus

atau antara herpes simpleks dan herpes zoster.


 Tes kultur virus
Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan dari luka sedini

mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika ada, akan

bereproduksi dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung selama 1 - 10

hari untuk melakukannya. Jika infeksi parah, pengujian teknologi dapat

mempersingkat periode ini sampai 24 jam, tapi mempercepat jangka waktu

selama tes ini mungkin membuat hasil yang kurang akurat. Kultur virus sangat

akurat jika lesi masih dalam tahap blister jelas, tetapi tidak bekerja dengan

baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang, atau latensi. Pada tahap ini virus

mungkin tidak cukup aktif.


 Tes PCR
Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC

merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan serebrospinal

ketika mendiagnosa herpes ensefalitis. PCR dapat membuat banyak salinan

DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil DNA dalam sampel dapat

dideteksi.
 Tes serologi
Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk virus dan

jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes Simpleks 2 (HSV-

2). Ketika herpes virus menginfeksi seseorang, sistem kekebalan tubuh

tersebut menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan infeksi. Pemeriksaan

serologi yang paling akurat bila diberikan 12-16 minggu setelah terpapar

virus. Pemeriksaan serologi dapata berupa ELISA (immunosorbent assay

enzim-link), Biokit HSV-2, dan Western Blot Test.

2.4.6 Diagnosis

Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilan

klinis lesi. Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika beberapa karakteristik
lesi vesikuler pada dasar eritema dan bersifat rekuren. Namun, ulserasi herpes dapat

menyerupai ulserasi kulit dengan etiologi lainnya. Infeksi mukosa HSV juga dapat

hadir sebagai uretritis atau faringitis tanpa lesi kulit. Tanda-tanda dan simptom yang

berhubungan dengan HSV-II dapat sangat berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan

kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan inspeksi visual jika

perjangkitannya khas, dan dengan mengambil sampel dari luka kemudian

mengetesnya di laboratorium. Tes darah untuk mendeteksi infeksi HSV-I atau HSV-II,

meskipun hasil-hasilnya tidak selalu jelas. Kultur dikerjakan dengan kerokan untuk

memperoleh material yang akan dipelajari dari luka yang dicurigai sebagai herpes.

2.4.7 Penatalaksanaan

 Edukasi
Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari hubungan

seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan

menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral supressi dapat

menjadi pilihan untuk individu yang peduli transmisi pada pasangannya.

 Agen Antiviral
Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri, dan ketidak

nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat

mempercepat waktu penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-akhir ini diresepkan,

yaitu Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga obat ini mencegah multiplikasi

virus dan memperpendek lama erupsi. Pengobatan peroral, dan pada kasus berat

secara intravena adalah lebih efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi

perjangkitan.
Penatalaksanaan pada wanita hamil yang terinfeksi virus herpes simplex, baik

yang first episode ataupun yang sudah pernah terinfeksi dan terjangkit lagi harus

diterapi sesuai dengan obat dan dosis sesuai dengan tabel berikut ini.13
 Topikal

Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5 kali

sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah munculnya gejala,

meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan masih efektif dalam

mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.


BAB 3
KESIMPULAN

TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Others (HIV,

Sifilis), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang

terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak

klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus

Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).

Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan

keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit

mendapatkan kehamilan. Infeksi TORCH bersama dengan paparan radiasi dan obat-

obatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan pada embrio. Beberapa kecacatan

janin yang bisa timbul akibat TORCH yang menyerang wanita hamil antara lain

kelainan pada saraf, mata, kelainan pada otak, paru-paru, mata, telinga, terganggunya

fungsi motorik, hidrosefalus, dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

1. S.van der Weiden et al. Is routine TORCH screening and urine CMV culture
warranted in small for gestational age neonates?.Early Human Development 87
(2011) 103–107.
2. Sarah Logan & Laura Price. Infectious disease in pregnancy. Obstetrics,
Gynaecology And Reproductive Medicine 21:12. 2011.
3. Catherine O'Keefe et al.Viral Infections in the Neonate. Division of Pediatric
Infectious Diseases and School of Nursing, Creighton University, Omaha, 2010.
4. Calvin Tjong. Infeksi TORCH (artikel). Pondok indah health care group. 2010.
5. Sylvia MD. TOXOPLASMOSIS. 2001. Elsevier Science Inc., all rights
reserved.
6. Alyson K.Toxoplasmosis: Diagnosis, Treatment, and Prevention in Congenitally
Exposed Infants. National Association of Pediatric Nurse Practitioners.
Published by Elsevier Inc. 2011.
7. Jennifer M.Rubella. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine (2007) 12,
182e192. Elseiver Journal.
8. American Academy of Pediatrics: Reviewed article of Rubella. 2006
9. Gail J. Congenital cytomegalovirus: Public health action towards
awareness,prevention, and treatment. Journal of Clinical Virology 46S (2009)
S1–S5.
10. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINEGuidelines for the management of
herpes simplex virus in pregnancy.No. 208, June 2008.
11. Helen Varney. Dkk. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC
12. Sauerbrei A, Wutzler P: Herpes simplex and varicella-zoster virus infections
during pregnancy: current concepts of prevention, diagnosis and therapy. Part 1:
herpes simplex virus infections. Med Microbiol Immunol 2007, 196:89-9

Anda mungkin juga menyukai