Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Bayi baru lahir (Neonatus) adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran
dengan rentang usia 0-28 hari. Neonatus memerlukan penyesuaian fisiologis berupa
maturasi yaitu pematangan pada setiap organ agar neonatus dapat menyesuaikan diri
dari kehidupan intra uterin ke kehidupan ekstrauterin. Mengingat begitu besar
perubahan yang terjadi maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan
yang timbul karena hal tersebut. Diantaranya adalah perubahan patologis yang
memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi. Salah
satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih dikenal dengan bayi kuning. Ikterus
neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam
jaringan tubuh sehingga kulit, mukosa, dan sklera berubah warna menjadi kuning.
Ikterus banyak terjadi pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur dan BBLR
(Bayi Berat Lahir Rendah). Hal ini disebabkan karena organ hati yang berfungsi
sebagai pemecah bilirubin belum terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna
layaknya bayi cukup bulan (Richard E., et al. 2017).
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Padasebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap
tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di
Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan,
diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir tahun 2003 sebesar
58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL
pada minggu pertama kehidupan (Richard., et al, 2017 ; Wong., et al, 2017).
Ikterus neonatorum dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kernikterus)
yaitu manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf
pusat di ganglia basalis dan beberapa nuklei batang otak. Ensefalopati bilirubin
merupakan

1
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas
yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada
tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Saat
ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun,
dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus
neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6% ( David, 2015).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan
lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena peningkatan kadar
bilirubin dalam sirkulasi darah dan jaringan. Dalam keadaan normal kadar
bilirubin dalam darah tidak melebihi 1 mg/dL (17 µmol/L) dan bila kadar
bilirubin dalam darah melebihi 1.8 mg/dL (30 µmol/L) akan menimbulkan
ikterus ( Mansjoer, 2014 ; Richard E., et al, 2017).
2.2 Klasifikasi
Ikterus dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut : ( Mansjoer, 2014 ;
PPM, 2010; Wong., et al, 2017).
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke dua dan hari ke
tiga yang tidak mempunyai dasar patologik. Adapun ciri-ciri ikterus fisiologis
diantaranya :
 Ikterus yang timbul pada hari ke 2 dan ke-3
 Tidak mempunyai dasar patologis
 Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak
mempunyai potensi menjadi kern ikterus
 Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
 Ikterus tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6 dan menghilang pada hari ke-
10
Ikterus fisiologis ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup
bulan yang mendapatkan susu formula kadar bilirubin akan mencapai

3
puncaknya sekitar 8 mg/dL pada hari ke tiga kehidupan dan kemudian akan
menurun secara cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat
sebesar 1 mg/dL selama satu sampai dua minggu. Sedangkan pada bayi cukup
bulan yang diberikan air susu ibu (ASI) kadar bilirubin puncak akan mencapai
kadar yang lebih tinggi yaitu 7-14 mg/dL dan penurunan akan lebih lambat.
Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu, bahkan sampai 6 minggu.
b. Ikterus patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus
yang kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai
hiperbilirubinemia adalah :
a) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
b) Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg atau lebih setiap 24 jam
c) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah,
defisiensi G6PD, atau sepsis)
d) Ikterus yang disertai oleh:
 Berat lahir < 2000 gram
 Masa gestasi 36 minggu
 Asifiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN)
 Infeksi
 Trauma lahir pada kepala
 Hipoglikemia
 Hiperosmolaritas darah
2.3 Faktor Resiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum : ( Behrman., et al,
2017 ; Hansen, 2017 ; Wong, 2017 ).
a) Faktor maternal
 Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native American, Yunani)

4
 Komplikasi kehamilan ( DM, inkompabilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik
 ASI yang kurang
b) Faktor perinatal
 Trauma lahir ( cephal hematom, ekimosis
c) Faktor neonatus
 Prematuritas
 Faktor genetik
 Polisitemia
 Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemia
2.4 Etiologi
Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar dapat dibagi sebagai
berikut : ( Mansjoer, 2014 ; Richard E., et al, 2017 ; Sudigdo, 2017).
1. Peningkatan produksi bilirubin
Pada peningkatan produksi bilirubin secara berlebih dan lebih banyak
daripada kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya hemolisis
yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar dapat disebabkan oleh
imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan
fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukorinil transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain

5
adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
uptake bilirubin ke sel-sel helper.
3. Gangguan transportasi bilirubin
Gangguan dalam transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian diangkut ke hepar, ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat, sulfatfurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan sekresi bilirubin
Gangguan dalam sekresi dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar. Obstruksi dapat terjadi akibat infeksi atau kerusakan hepar
oleh penyebab lain.
5. Obstruksi saluran pencernaan
Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat
mengakibatkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi akibat penmabahan
dari bilirubin yang berasal dari sirkulasi enterohepatik
6. ASI (Air Susu Ibu)
Ikterus akibat air susu ibu (ASI) merupakan hiperbilirubinemi tidak
terkonjugasi yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang
hari ke 6-14). Dapat dibedakan dari penyebab lain dengan reduksi kadar
bilirubin yang cepat bila disubtitusi dengan susu formula selama 1-2 hari.
Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI (beta
glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam
lemak sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan kemudian diresorbsi
oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi yang
mendapatkan susu formula, mempunyai kadar bilrubin yang lebih tinggi
berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa hari pertama
kehidupan.

6
Pengobatannya bukan dengan menghentikan pemberian ASI melainkan
dengan meningkatkan frekuensi pemberian.
2.5 Patofisiologi
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan
harus dikeluarkan dari tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropesis
yang tidak efektif. Heme dengan bantuan enzim heme oksigenase ( enzim
yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan organ lain) membentuk
biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa oleh enzim bilverdin reduktase. Berbeda
dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik (sulit larut dalam air tetapi larut
dalam lemak), karenanya sulit dieksresi dan mudah melalui membran
biologikseperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut
kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Didalam hepar
bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam hati.
Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin
(protein-Y), protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum
endoplasma hati, tempat terjadinya konjugasi ( Armando., et al, 2021 ;
Mansjoer, 2014 ; Richard., et al, 2017)
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukonil transferase yang
kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut
dalam air dan pada kadar tertentu dapat dieksresikan melalui ginjal. Sebagian
besar bilirubin yang terkonjugasi dieksresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan
tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh
mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik ( Armando., et
al, 2021).

7
Gambar 1. Metabolisme bilirubin ( Armando., et al, 2021).
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek
pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses
fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya
kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari)
dan belum sempurnanya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin terjadi pada
hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan
menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin tidak melebih 10 mg/dl
pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada
keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal karena disebut
ikterus fisiologis. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin terlalu
berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terakumulasi di dalam
darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh, misal kerusakan otak yang akan mengakibatkan gejala
sisa dikemudian hari ( Richard., et al, 2017).

8
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
Y berkurang atau pada keadaan protein Y dan protein Z terikat oleh anion
lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan hipoksia. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil tranferase) atau bayi
yang menderita gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra atau ekstrahepatik ( Sudigdo, 2017).
Pada derajat tertentu, bilirubin akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak yang dapat menyebabkan kelainan pada
otak yang disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris ( Wong, 2017).
2.5 Diagnosis
Pengamatan ikterus terkadang sulit dalam cahaya buatan dan paling
baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari . WHO dalam panduannya
menerangkan cara menentukan ikterus secara visual yang dapat digunakan
sebagai diagnosis ikterus yaitu sebagai berikut : ( Hansen, 2017 ; Behrman., et
al, 2017; PPM, 2010).
 Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup ( di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
 Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
 Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning

9
Daerah kulit bayi yang berwarna kuning ditentukan menggunakan
rumus kremer seperti dibawah ini :

Gambar 2. Pembagian ikterus menurut Kramer ( Mansjoer, 2014 ; Richard E., et al,
2017 ; Sudigdo, 2017)
Selain itu, apabila fasilitas laboratorium tersedia dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang diantaranya : ( Behrman., et al, 2017).
 Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih
lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan
pemeriksaan bilirubin serum yakni tindakannya bersifat invasif yang
dianggap dapat dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa studi menyarakan pemeriksaan
bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/ dl atau usia bayi> 2
minggu.

 Golongan darah dan faktor Rh

10
Penentuan golongan darah dan faktor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang
berasal dari ibu dengan Rh negatif harus dilakukan pemeriksaan golongan
darah, faktor Rh, uji coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin
dan bilirubin tali pusat juga diperiksa ( normal bila Hb> 14 mg/ dl dan
bilirubin tali pusat < 4 mg/ dl.
 Pemeriksaan kadar enzim G6PD
 Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati ( dapat dilanjutkan dengan
USG Hati, sintigrafi sistem hepatobilier), uji fungsi tiroid, uji urine
terhadap galaktosemia
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan cern ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Pada bayi baru lahir yang ditandai dengan warna
kuning pada kulit dan sklera mata tanpa adanya hepatomegali, perdarahan
kulit dan kejang- kejang. Tatalaksana dapat dibedakan menjadi : ( Richard E.,
et al, 2017 ; Wong, 2017).
1. Ikterus Fisiologis
 Ikterus fisiologis dengan warna kuning di daerah 1 dan 2
Ikterus fisiologis dengan warna kuning di daerah 1 dan 2 ( menurut
rumus kremer), dan timbul pada hari ke-3 atau lebih serta memiliki
kadar bilirubin sebesar 5-9 mg maka penanganan yang dapat dilakukan
yaitu bayi dijemur dibawah sinar matahari pagi sekitar pukul 07.00-
09.00 pagi selama 10 menit dengan keadaan bayi telanjang dan mata
ditutup. Kemudian bayi tetap diberiksan ASI lebih sering dari
biasanya.
 Ikterus fisiologis dengan warna kuning di daerah 1 sampai 4
Ikterus fisiologi dengan warna kuning di daerah 1 sampai 4
( berdasarkan rumus kremer) yang timbulnya pada hari ke-3 atau lebih

11
dan memiliki kadar bilirubin 11-15 mg, maka penanganan yang dapat
dilakukan bila di puskesma yaitu menjemur bayi dengan cara telanjang
dan mata ditutup dibawah sinar matahari sekitar jam 07.00- 09.00 pagi
selama 10 menit , memberikan ASI lebih sering dibandingkan
biasanya. Bila dirawat di rumah sakit maka penanganan yang dapat
dilakukan yaitu terapi sinar, melakukan pemeriksaan golongan
darahibu dan bayi serta melakukan pemeriksaan kadar bilirubin.
2. Ikterus Patologis
 Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
dengan kadar bilirubin > 5 – 20 mg
Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
yang timbulnya pada hari ke-3 atau lebih dan kadar bilirubin > 5 – 20
mg maka penanganan yang tepat dapat dilakukan bila di puskesmas
yaitu menjemur bayi dengan cara telanjang dan mata ditutup di bawah
sinar matahari sekitar jam 07.00-09.00 pagi selama 10 menit,
memberikan asi lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di
rumah sakit maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu terapi sinar,
melakukan pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi serta melakukan
pemeriksaan kadar bilirubin, coomb’s test.
 Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
yang timbulnya pada hari ke-3 atau lebih dan kadar bilirubin > 20 mg
maka penanganan yang tepat dapat dilakukan bila di puskesmas yaitu
rujuk ke rumah sakit dan anjurkan untuk tetap memberikan ASI lebih
sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di rumah sakit maka
penanganan yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan
golongan darah ibu dan bayi serta melakukan pemeriksaan kadar
bilirubin dan tukar darah.

12
2.8 Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus
atau ensefalopati bilirubin adalah ikterus neonatorum yang berat
dengan sindrom neurologis yang disebabkan oleh terikatnya bilirubin
bebas dengan lipid dinding sel neuron ganglia basal, batang otak dan
serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis,
hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan sawar darah otak.
Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa
masuk ke dalam cairan ekstraseluler. Sejauh ini hubungan antara
peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah
diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik
bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia
yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau
kerusakan neurologik yang disebabkannya ( Richard., et al, 2017).
2.9 Prognosis
Prognosis baik pada ikterus neonatorum tanpa komplikasi
sedangkan pada ikterus dengan disertai sindrom neurologis prognosis
cenderung jelek ( 75% bayi meninggal dan 25 % bertahan hidup
dengan retradarsi mental, tuli, kuadriplegia) ( David, 2015 ; Behrman.,
et al, 2017).
Selain itu, dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga
bayi ( semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak
diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/ dl, akan mengalami
kernikterus ( David, 2015 ; Behrman., et al, 2017 ).

13
2.2 BBLR
2.2.1 Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir yang
kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat
bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi
kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan ( intrauterine growth
restriction / IUGR) (PPM, 2010).
2.2.2 Epidemiologi
Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia,
karena menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada masa
neonatal. Prevalensi BBLR masih cukup tinggi terutama di negara-negara
dengan sosio-ekonomi rendah. Secara statistik di seluruh dunia, 15,5% dari
seluruh kelahiran adalah BBLR, 90% kejadian BBLR didapatkan di negara
berkembang dan angka kematiannya 20-35 kali lebih tinggi dibanding pada
bayi dengan berat lahir > 2500 gram. Angka kejadian di Indonesia sangat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yang berkisar antara 9%-
30% (PPM, 2010).
2.2.3 Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur.
Faktor ibu adalah umur ( < 20 tahun atau > 40 tahun), paritas, dan lain-lain.
Faktor plasenta seperti penyakit vaskular, kehamilan ganda, dan lain-lain,
serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (PPM, 2010).
2.2.4 Faktor Risiko
BBLR disebabkan oleh dua faktor utama yaitu kelahiran prematur
(usia gestasi < 37 minggu), intrauterine growth restriction (IUGR), atau
kombinasi keduanya. Berikut adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan
Bayi Berat Lahir Rendah secara umum yaitu : ( Behrman., et al, 2017;
Cunningham., et al, 2014 ; Manuaba, 2014)

14
1. Faktor obstetrik
a. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan baik hidup maupun
mati. Resiko terjadinya BBLR pada ibu yang pernah melahirkan anak
empat kali atau lebih akan meningkat.
b. Riwayat obstetri buruk
Riwayat obstetrik buruk yaitu riwayat abortus, riwayat persalinan
prematur, riwayat BBLR, bayi lahir mati, preeklamsia atau eklamsia juga
berpengaruh terhadap kejadian BBLR.
2. Sosio demografi
a. Usia ibu
Usia ibu adalah waktu hidup ibu bersalin sejak lahir sampai hamil.
Saat terbaik untuk seorang wanita hamil adalah saat usia 20-35 tahun,
karena pada usia itu seorang wanita sudah mengalami kematangan organ-
organ reproduksi dan secara psikologi sudah dewasa. Berdasarkan studi
ditemukan bahwa angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi
yang dilahirkan oleh ibu dengan usia < 20 tahun.
b. Gizi hamil
Status gizi hamil selama kehamilan adalah salah satu faktor penting
dalam menentukan pertumbuhan janin. Status gizi ibu hamil akan
berdampak pada berat badan lahir, angka kematian perinatal, keadaan
kesehatan perinatal, dan pertumbuhan bayi setelah kelahiran. Situasi status
gizi ibu hamil sering digambarkan melalui prevalensi anemia dan kurang
energi kronis (KEK) pada ibu hamil.
c. Status sosial ekonomi
Keluarga bayi dengan status ekonomi rendah dan tinggal di pedesaan
cenderung mengalami kejadian BBLR lebih tinggi dibandingkan dengan
keluarga status ekonomi tinggi dan tinggal di perkotaan. Keluarga bayi

15
dengan status ekonomi rendah mempunyai resiko BBLR sebesar 2 kali
dibandingkan keluarga dengan status ekonomi tinggi karena berhubungan
dengan kurangnya pemenuhan nutrisi ibu dan pemantauan kehamilan.
d. Status pernikahan
Remaja yang hamil diluar nikah menghadapi berbagai masalah psikologis
yaitu rasa takut, kecewa, menyesal, dan rendah diri terhadap kehamilan
sehingga terjadi usaha untuk menghilangkan dan menggugurkan
kandungannya atau tidak memperhatikan kehamilannya ( kurang
memperhatikan dari segi nutrisi) yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya BBLR. Ibu dengan kehamilan diluar nikah berpeluang 2 kali
berisiko memiliki bayi berat lahir rendah.
e. Pendidikan
Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
seseorang berprilaku. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang
mendasari dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi pendidikan ibu
akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan
selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan
janinnya termasuk mencegah kejadian BBLR. Tingkat pendidikan juga
sering dihubungkan dengan tingkat sosial ekonomi dalam konteks
kesehatan, dimana tingkat pendidikan yang rendah dapat membatasi
pekerjaan.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : BNW II
Umur : 0 bulan 5 hari
Tempat, tanggal lahir : Bangli, 15 Desember 2022
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pinggan, Kintamani
Tanggal MRS : 15 Desember 2022
Tanggal pemeriksaan : 20 Desember 2022

II. Heteroanamnesis
Keluhan Utama : Kuning pada bayi
Pasien merupakan bayi laki-laki berusia 0 bulan 5 hari yang dilahiran
secara sectio caesarea dengan indikasi hamil kembar. Ibu pasien
mengatakan satu hari sebelum masuk RSU Bangli (14/12/2022) ibu pasien
mengeluh sakit perut yang hebat. Sakit perut dirasakan setiap sekitar 5
menit sekali. Ibu pasien mengatakan pasien lahir tanggal 15 Desember
2022 pada pukul 10.10 WITA pagi, dengan usia kehamilan 37-38 minggu
bayi dikatakan segera menangis. Bergerak kurang aktif dan berwarna
merah. Bayi merupakan bayi kembar. Pasien saat dilahirkan dengan berat
1795 gram dengan panjang badan 45 cm. saat dilakukan inisiasi menyusui
dini bayi dikatakan tidak mau minum ASI dengan baik. Pada tanggal 19
Desember 2022 saat bayi berumur 5 hari ibu pasien mengatakan
menemukan pada atas kaki pasien berwarna kuning. pasien dikatakan
sudah BAB dalam 24 jam dengan frekuensi 1 kali dengan BAB
kecoklatan

17
konsistensi lunak dan BAK berwarna kuning jernih. Saat pemeriksaan
pasien tampak tenang. Pasien tidak tampak pucat, tidak tampak kulit
kebiruan. Pasien sudah mendapatkan vitamin K.

Riwayat intranatal
Hari pertama haid terakhir dikatakan ibu pada tanggal 09 Maret 2022
dengan taksiran persalinan pada tanggal 16 Desember 2022. Ibu pasien
datang tanggal 15 Desember 2022 ke RSU Bangli dengan keluhan nyeri
perut hebat. Berat badan lahir bayi yakni 1795 gram dengan panjang 45
cm. skor total AFGAR menit I = 7, menit ke 5 = 8. Bayi merupakan bayi
kembar. Dilakukan secara sectio caesaria lahir pada pukul 10.10 WITA,
dikatakan segera menangis, bergerak sedikit aktif dan berwarna
kemerahan. Bayi lahir cukup bulan 37-38 minggu. Pemeriksaan tanda-
tanda vital ibu sebelum Sectio caesaria dikatakan normal. Selama
persalinan observasi denyut jantung ibu dinyatakan normal.

Riwayat antenatal
Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 saudara. Selama kehamilan ibu
pasien dikatakan rutin melakukan ANC di posyandu sebanyak 4 kali. Ibu
pasien melakukan USG sebanyak 1 kali. Hamil diketahui pada usia 6
minggu karena ibu pasien menyadari belum haid dan sering merasa mual
tanpa muntah kemudian dilakukan pemeriksaan testpack dengan hasil
positif. Mual hanya dirasakan pada trimester awal. Ibu pasien dikatakan
memiliki nafsu makan yang baik. Riwayat pada ibu seperti kejang,
demam, hipertensi, diabetes, asma, keputihan, dan jantung disangkal.
Riwayat vaksin TT sudah diberikan saat kehamilan anak pertama dan
riwayat

18
pemeriksaan TORCH disangkal. Saat kehamilan. Ibu pasien rutin
mengkonsumsi tablet penambah darah dan vitamin.

Riwayat penyakit ibu


Riwayat sakit pada ibu berupa hipertensi, asma, keputihan, ISK,
hepatitis B, kejang, penyakit jantung disangkal. Keluhan selama
kehamilan disangkal.

Riwayat persalinan dan kehamilan


Pasien merupakan anak ke 3 dari kehamilan kedua dengan berat lahir
1795 gram panjang badan lahir 45 cm, lingkar kepala 35 cm dan lingkar
dada 28 cm dilahirkan secara Sectio Caesaria dengan indikasi gemeli
saudara kembar pasien memiliki berat bayi lahir 2500 gram pada usia
kelahiran yang sama dengan pasien.

Riwayat pengobatan
Pasien sudah menerima injeksi vitamin K

Riwayat pribadi/ sosial/ lingkungan


Ibu pasien merupakan seorang petani yang bekerja diladang dengan
pendidikan tidak sekolah. Ayah pasien merupakan seorang petani juga.
Ayah pasien merupakan perokok aktif. Riwayat merokok pada ibu
disangkal.

Riwayat nutrisi
Pasien mendapatkan ASI 10-15 cc setiap 2 jam.

19
III. Pemeriksaan fisik
Status present
Keadaan umum : Kesan tenang
Kesadaran : Compos mentis
Aktivitas, tonus, rekleks : Cukup
Tangis : Kuat
Denyut jantung : 140x/menit
Laju nafas : 40x/menit
Suhu aksila : 36,5°c
Saturasi O2 : 98% room air
Berat badan lahir : 1795 gram
Panjang badan lahir : 45 cm

Status antropometri
Berat badan : 1795 gram (20 Desember 2022)
Panjang badan : 45 cm
Lingkar kepala : 35 cm
Lingkar dada : 28 cm

Pemeriksaan Generalis
Kepala : Rambut berwarna kehitaman kokoh jelas setiap helai.
Ukuran lingkar kepala 35 cm, tidak teraba massa, ubun
besar terbuka datar, ubun-ubun kecil terbuka datar,
tidak ditemukan molding.
Mata : Konjungtiva pucat tidak ada, sekret tidak ada, pupil
ukuran 3mm/3mm isokor ada, bentuk bulat edema
palpebra tidak ada, mata cowong tidak ada, sklera
ditemukan ikterik.

20
THT : Napas cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada,
deviasi septum hidung tidak ada, hiperemi tidak
ada.
Mulut : Sianosis bibir tidak ada, makroglossia tidak ada,
palatoskisis tidak ada, hiperemi tidak ada
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak
ada. Thoraks
Cor
Inspeksi : Pericardial bulging (-)
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V midclavikula line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallops (-)

Pulmo
Inspeksi : Gerak dinding dada saat bernafas simetris, tidak
terdapat retraksi
Palpasi : Gerak dinding dada simetris, massa tidak ada
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Bronkovesikuler pada kedua lapang paru, wheezing
tidak ada, rhonki tidak ada.
Abdomen
Inspeksi : Tali pusat segar, distensi tidak ada, pernapasan
abdomen tampak
Auskultasi : Bising usus positif normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, massa (-), nyeri
tekan (-)

Genetalia eksterna : Laki-laki


Anus : Ada

21
Ekstremitas : Hangat pada Ke empat ekstremitas, CRT < 2 detik,
promar crease memenuhi seluruh telapak.
Kulit : Tidak ditemukan pucat, sianosis tidak ditemukan,
ikterus ditemukan pada bagian wajah sampai dibawah
umbilikus serta paha bagian atas ketika ditekan (kremer
3)
Kuku : Mencapai ujung jari
Kelainan bawaan : Tidak ditemukan

Skor APGAR

Menit ke-1 total APGAR 7 Menit ke-5 total APGAR 8

22
Kurva Lubchenco

Berat Badan : di bawah pwesentil 10


kesan Kecil masa kehamilan (KMK)

23
New Balad Score

Total Skor 37

IV. Resume
Pasien bayi laki-laki usia 0 bulan 5 hari ,merupakan bayi
kembar,lahir pada tanggal 15 desember 2022 lahir secara sectio caesaria,
cukup bulan,lahir cukup bulan usia 37-38 minggu,pasien saat lahir
dikatakan bayi normal kurang yakni 1795,Panjang badan lahir 45

24
cm,pasien dikatakan saat lahir segera bergerak kurang aktif dan dikatakan
bewarna kemerahan,pada saat inisiasi menyusui dini bayi tidak mau
minum asi,pada tanggal 19 desember ibu pasien mengatakan pada paha
atas kiri pasien warna kuning,pada pemeriksaan kesan umum tamapak
tenang,berat badan pasien mengalami kenaikan sebanyak 100 gram,tanda
tanda vital dalam batas normal,ditemukan konjungtiva icterus,icterus pada
kulit wajah,leher,dibawah umblikus serta paha bagian atas,bab dan bak
dalam konsestensi lunak bewarna kecoklatan dan Bak bewarna jernih.

V. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (15-12-2022)
Pemeriksaan darah :

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan


WBC 11 109/L 5-35 Normal
Lymp 1.8 109/L 1.1 – 3.2 Normal
Lymp% 18 % 15 - 50 Normal
Neu 60 109/L 40-75 Normal
Neu% 69.1 % 13-35 High
EOS 7 109/L 1.2 - 8 Normal
EOS% 70 % 35 - 80 Normal
BAS # 0.03 109/L 0-0.035 Normal
BAS % 0.3 % 0-1 Normal
MON % 0.78 109/L 4 – 10 Normal
MON # 8.8 % 0.2 – 3.5 Normal
RBC 4.73 1012/L 4 – 5.3 Normal
HGB 13.6 g/dl 12.5 - 16 Normal
HCT 38.7 % 35 - 45 Normal
MCV 81.8 fl 82 - 92 Normal

25
MCH 28.8 pg 27- 31 Normal
MCHC 35.2 g/dl 32 - 36 Normal
RDW 66 fl 35 - 56 High
RDW% 11.9 % 11 - 16 Normal
PLT 231 109/L 150 - 400 Normal
MPV 10.3 fl 9 - 13 Normal
PDW 13.1 Fl 9 - 17 Normal
PCT 0.134 % 0.17 – 0.35 Normal

Laboratorium (20-12-2022)
Kimia Klinik
Bilirubin total : 10.38 mg/dL 2 – 10
Bilirubin direk : 0.15 mg/dL 0-0.25

VI. Diagnosis
BCB (bayi cukup bulan) + BBLR (1795,bayi berat lahir rendah)+ KMK
(kecil masa kehamilan ) + gamelli 2 + icterus neonatorum ec dd breast
feeding jaundice

VII. Penatalaksanaan
Kebutuhan cairan 135 cc/kgbb//hari- 243 cc/hari
ASI 20 cc 2 jam on demand
PMK (perawatan metode kanguru)

VIII. KIE
Menjelaskan pada keluarga sesuai kondisi pasien
Pantau asi untuk pasien dan kehangatan bayi
Jaga kebersihan tali pusar

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis yang didapat, dikatakan bahwa ibu pasien pernah


mengkonsumsi obat penambah darah pada masa kehamilan . Hal ini sesuai dengan
teori mengenai faktor risiko ikterus neonatorum yaitu obat-obatan yang mampu
menyebabkan ikterus neonatorum. Sesuai dengan teori, pada pemeriksaan klinis
ditemukan warna kulit pada bayi berwarna kuning pada saat diperiksa. Pada
pemeriksaan penunjang, didapatkan kadar bilirubin yang meningkat sebesar 10.38
mg/dL.
Berdasarkan waktu kejadiannya yaitu pada hari ke-5, pada pasien ini termasuk
ikterus neonatorum fisiologis. Dimana keadaan umum pasien ini tampak sehat/ baik
dengan kesadaran compos mentis. Pasien juga mau mengonsumsi ASI yang diberikan
setiap 2 jam saat di rumah sakit hingga hari pemeriksaan oleh dokter . Kadar
bilirubin total pasien pada hari ke-4 yaitu 10.38 mg/dL, yang dimana dengan kadar
bilirubin <15 mg/dL termasuk ikterus neonatorum fisiologis. Kriteria ini memenuhi
sesuai teori ikterus neonatorum fisiologis pada hari ke-3 hingga ke-5. Apabila kriteria
ini tidak dipenuhi, makan akan dilakukan pemeriksaan midstream urine, darah tepi
(untuk infeksi laten), serta golongan darah & uji Coombs (untuk penyakit hemolitik
ringan dan defisiensi enzim).
Sesuai dengan tatalaksana ikterus neonatorum yang dilakukan pada pasien ini
berdasarkan waktu timbulnya gejala, yaitu pada hari ke-5 atau ikterus yang timbul
setelah 72 jam, maka dilakukan pemeriksaan bilirubin direct dan indirect berkala,
pemeriksaan darah tepi, biopsi hepar bila ada indikasi. Dan karena pada pasien ini
sudah memasuki hari ke-5, maka dilakukan penanganan secara tepat dan cepat agar
tidak menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Pada pasien ini, ditemukan kadar
bilirubin total melebihi batas normal yaitu

27
sebesar 10.38 mg/dL sehingga dilakukan penanganan segera yaitu dengan
dilakukannya terapi pemberian asi dan observasi dengan tujuan untuk menurunkan
kadar bilirubin. Setelah kadar bilirubin mencapai batas normal, pasien diperbolehkan
untuk pulang dengan terus mengevaluasi anaknya apabila terdapat keluhan serupa
serta terus memberikan nutrisi lengkap pada bayinya dan menjaga kebersihan
lingkungan sekitar.

28
BAB V
KESIMPULAN

ikterus neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang


memiliki manifestasi klinis "ikterus” atau jaundice yang berarti pewarnaan kuning
pada kulit, sklera, dan membran mukosa. Menurut WHO, ikterus dibagi 2 bagian
yaitu ikterus neonatorum fisiologis dan patologis. Ikterus dapat terjadi karena adanya
peningkatan bilirubin, gangguan penyerapan hati, defisiensi bilirubin konjugasi
dan/atau peningkatan sirkulasi enterohepatic bilirubin. Ikterus dapat terjadi pada
hyperbilirubinemia fisiologis yang terjadi hampir pada semua neonates, breastfeeding
jaundice akibat kurangnya asupan ASI dan breast milk jaundice yang disebabkan oleh
ASI beta-glukoronidase. Adapun faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian
ikterus adalah ABO incompatibility, usia gestasi, keluarga, kurangnya paparan sinar
matahari. Ikterus neonatorum dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang. Ikterus neonatorum dapat dicegah berdasarkan waktu
timbulnya gejala dan dapat diatasi dengan terapi pemeberian asi dan observasi pada
ikterus fisiologis dan ikterus fatologis dengan fototerapi, terapi transfuse, terapi obat-
obatan dan sinar matahari. Dengan pemberian terapi yang sesuai, maka prognosis
ikterus neonatorum sangat baik

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Armando., et al, 2021, ‘ Measurement and Clinical Usefulness of bilirubin in


liver disease, Almed Journal, vol. 3, no 4, hh 1-10.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, 2017, Nelson Textbook of
Pediatrics, edisi 20, Philadelphia; WB Saunders Company.
3. David C. Dugdale 2015, ‘ Neonatal Jaundice’ , Journal of Perinatology , vol
30, no 5, hh 100-107.
4. Hansen 2017, ‘Neonatal jaundice’,
https://emedicine.medscape.com/article/974786-overview, diakses pada
tanggal 25 desember 2022.
5. Mansjoer, 2014, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 5, Jakarta: EGC.
6. Richard., et al, 2017, Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 20, Philadelphia:
WB Saunders Company.
7. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD, 2010, Pedoman Pelayanan
Medis Kesehatan Anak, Denpasar : RSUP Sanglah.
8. Sudigdo, 2017. Tatalaksana Ikterus Neonatorum, Jakarta: Indonesia.
9. Wong RJ, Stevenson DK, Ahflors CE, Vreman HJ 2017, ‘ Neonatal Jaundice:
Bilirubin Physiology and Clinical Chemistry’, Neoreviews, vol. 15, no 5, hh
58
– 67.

30

Anda mungkin juga menyukai