Identitas : nama, usia, jenis kelamin, orang tua (nama, alamat, umur, pekerjaan,
1. Untuk mengetahui perbedaan suara ketuk ditentukan batas suatu organ: paru, jantung,
hati atau mengetahui batas-batas massa abnormal dalam rongga abdomen.
2. Cara langsung: dengan jari II/ III (jarang).
3. Cara tidak langsung: Jari II atau III diletakkan lurus di bagian tubuh sebagai landasan
ketuk.
4. Diketuk pada phalange bagian distal proximal kuku dengan jari II/ III tangan kanan
yang membengkok.
Auskultasi, mengunakan alat stetoskop (a). Pediatrik (b). Diameter membran (c). Diameter
mangkok. Nada rendah pada : a. Bising presistolik Mid diastolik b. Bising jantung. Nada
tinggi pada a. Bising sistolik b. Friksi pericard.
Ikterus : Penilaian dengan sinar alamiah, hampir semua BBL icterus fisiologis (keadaan
bilirubin darah < 15 mg/dL), terlihat kuning bila bilirubin > 5 mg/dl (pd neonatus) belum bisa
dikeluarkan normal karena hati belum sempurna. > 2mg/dl pada bayi dan anak (sudah jelas
pada sclera, kulit, muka), harus dibedakan dengan: Karotenemia (kebanyakan makan vit A:
wortel, pepaya) kuning pada telapak tangan/ kaki, tidak pada sclera), karena penyakit infeksi/
akibat obat (Rova.INH), hemolisis (bila hepar masih bagus maka ikterus tak tlalu tampak).2
Pemeriksaan Penunjang
Coombs Direk
Pemeriksaan antiglobulin, dengan nilai-nilai rujukan sebagai berikut : Dewasa :
Negatif, Anak : Negatif. Pemeriksaan Coombs direk (antiglobulin) mendeteksi antibodianyibodi yang lain dari grup ABO, yang bersatu dengan sel darah merah. Sel darah merah
dapat diperiksa dan jika sensitive terjadi reaksi aglutinasi. Pemeriksaan Coombs positif
menunjukan adanya antibodi pada sel-sel darah merah, tetapi pemeriksaan ini tidak
mendeteksi antibodi yang ada.
Masalah-masalah klinis : Positif (+1 sampai +4) : Eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik
(autoimun atau obat-obatan), reaksi hemolitik transfusi (darah inkompatibel), leukemia <
SLE.
Obat-obat yang dapat meningkatkan Coombs direk : Antibiotic (sefalosporin, penicillin,
tetrasiklin,
streptomisin),
aminopirin
(Pyradone),
fenitoin
(Dilantin),
klorpromazin
Coombs Indirek
Pemeriksaan skrining antibodi, dengan nilai-nilai rujukan sebagai berikut : dewasa :
negatif, anak : negatif. Pemeriksaan coombs indirek mendeteksi antibodi bebas dalam
sirkulasi serum. Pemeriksaan skrining akan memeriksa antibodi di dalam serum resipien dan
donor sebelum transfusi untuk mecegah reaksi transfusi. Ini tidak secara langsung
mengidentifikasi antibodi yang spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bagian dari
pemeriksaan pencocokan silang (croos-match).
Masalah-masalah klinis : Positif (+1 sampai +4) : darah pencocokan silang inkompatibel,
antibody yang spesifik (transfuse sebelumnya), antibody anti-Rh, anemia hemolitik didapat.
Obat-obat yang dapat meningkatkan Coombs indirek : sama seperti Coombs direk.
Prosedur : ambil 7 ml darah vena dan masukan dalam tabung tertutup merah Tidak perlu
pembatasan makan atau cairan.2
Pemeriksaan Bilirubin
Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk.
Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin
direk. Metode pengukuran yang digunakan adalah fotometri atau spektrofotometri yang
mengukur intensitas warna azobilirubin.
Hati bayi yang baru lahir belum berkembang sempurna sehingga jika kadar bilirubin yang
ditemukan sangat tinggi, bayi akan mengalami kerusakan neurologis permanen yang lazim
disebut kernikterus. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 12 mg/dl;
kadar yang menimbulkan kepanikan adalah >15 mg/ dl. Ikterik kerap nampak jika kadar
bilirubin mencapai >3 mg/dl.
Kernikterus timbul karena bilirubin yang berkelebihan larut dalam lipid ganglia basalis. Nilai
rujukan : dewasa, total : 0,1 1,2 mg/dl, direk : 0,1 0,3 mg/dl, indirek : 0,1 1,0 mg/dl.
Anak total: 0,2 0,8 mg/dl, indirek : sama dengan dewasa. Bayi baru lahir, total : 1 12
mg/dl, indirek : sama dengan dewasa.
Masalah Klinis : Bilirubin Total, Direk
Peningkatan kadar : Ikterik obstruktif karena batu atau neoplasma, hepatitis, sirosis hati,
mononucleosis infeksiosa, metastasis (kanker) hati, penyakit Wilson. Pengaruh obat :
antibiotic (amfoterisin B, klindamisin, eritromisin, gentamisin, linkomisin, oksasilin,
tetrasiklin), sulfonamide, obat antituberkulosis ( asam para - aminosalisilat, isoniazid),
alopurinol, diuretic (asetazolamid, asam etakrinat), mitramisin, dekstran, diazepam (valium),
aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm. (4). Ikterus persisten sampai melewati
minggu pertama kehidupan, (5). Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.3
Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus,
perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama
metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo
(reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara
yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui
membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat
terutama pada ligandin , glutation S transferase B) dan sebagian kecil pada (protein glutation
S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari
konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan
adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak Pemberian
fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih
banyak untuk bilirubin.
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide.
Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase
merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di
fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin
monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus.
Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat
diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi
sesudah terapi sinar (isomer foto).
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di
ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini
tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin
direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi
bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonates
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12
minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah
Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin
sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui
mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga
sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas.
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua
bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi
ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya.
Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi
akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan
oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan
disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila
terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan
enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah
dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin
dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya
karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang
menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar
bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin
oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.1
Differential Diagnosis
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan
mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela
atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam
uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya.
Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat fisiologik, tetapi
dapat
pula
merupakan
manifestasi
ikterus
yang
lebih
parah
yang
dinamakan
hepatitis,
penyakit
inklusi
sitomegalik,
sifilis,
toksoplasmosis,
ikterus
tes
Coombs
dan
bilirubin
direk
normal,
maka
mungkin
terdapat
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6
PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.3
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru
lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di
atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85%
bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki
kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0-3 dan 5. Dengan
pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi
pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan
ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi.
Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang
dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan
dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar
13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka
kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus
pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%. Insidens ikterus
neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun
2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang
berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum
total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3
dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.4
Patofisilogi
Ikterus pada penderita, terjadi akibat penyumbatan aliran empedu dan kerusakan selsel parenkim. Peningkatan kadar bilirubin direk dan bilirubin indirek di dalam serum
ditemukan pada penderita. Penyumbatan aliran empedu di dalam hati akan mengakibatkan
tinja akholis. Pemulihan kembali aliran empedu dapat mengakibatkan pengeluaran kadar
bilirubin normal atau bertambah ke duodenum. Urobilinogen, suatu hasil metabolisme
bilirubin di dalam usus; secara normal akan diserap kembali. Sel-sel parenkim hati yang
mengalami kerusakan mungkin tidak mampu mengeluarkan kemblai bahan ini yang
kemudian akan muncul di dalam air kemih penderita. Bukti lain dari penyumbatan empedu
adalah peningkatan alkali fosfatase dalam serum, seperti juga 5-nukleotidase atau g-glutamil
transpeptidase.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.5
Gejala klinik
Ikterus dapat ditemukan pada saat lahir atau dapat timbul setiap saat selama periode
neonatal, tergantung pada keadaan yang bertanggung jawab. Intesitas ikterus tidak
mempunyai hubungan klinis, dengan derajat hiperbilirubinemia, terutama pada bayi yang
sedang mendapatkan fototerapi. Oleh karena itu penentuan bilirubin harus dilakukan pada
semua bayi yang ikterus. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin tidak langsung dalam
kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga; sedangkan
3. Behrman, Richard E, Nelson W.E, Kliegman, dkk. Ilmu kesehatan anak, volume I,
edisi 15. Jakarta: EGC; 2000.h. 610-7.
4. Hull D, Johnston D.I. Dasar-dasar pediatri. Jakarta: EGC; 2008. Edisi ke 3: h 614;168-70.
5. Robbins. Dasar patologi penyakit. Jakarta: EGC; 2006. Edisi ke-5: hal. 276-7. 6
6. Lilleyman J.S. Paediatric haematology. Clin.Haematol. 2003; 13th Ed.: p.327-483
7. Surasmi A. Perawatan bayi resiko tinggi. Jakarta: EGC; 2003. h. 65-6.
8. Hansen TWR, Rosenkrantz T, Itani O, Windle ML, Carter BS, Wagner C, editor.