Anda di halaman 1dari 37

Diagnosa dan Tatalaksana pada Anak Laki-laki Usia 1 Tahun

dengan Keluhan Susah Makan


Ivana Missy
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi
mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara
berkembang, yang merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu
hamil dan balita1. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang
dihadapi oleh dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara berkembang, salah
satunya adalah Indonesia. Bersumber pada data WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian
10,5 juta anak usia kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang.
Penyebab kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi
perinatal yang kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya.2
Salah satu tanda gizi buruk pada balita adalah berat badan balita dibawah garis merah
dalam kartu menuju sehat (KMS) balita. Masalah gizi buruk pada balita merupakan masalah
yang cukup serius, apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat berakhir pada kematian.
Gizi buruk lebih rentan pada penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan dan
perkembangan yang tidak optimal, sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas
generasi muda mendatang. Hal ini telah membukakan mata kita bahwa anak balita sebagai
sumber daya untuk masa depan mempunyai masalah yang sangat besar. Apalagi penyakit
penyerta yang sering pada gizi buruk seperti lingkaran setan, yaitu penyakit-penyakit penyerta
justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit penyerta yang sering terjadi
adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare persisten, cacingan, tuberculosis, malaria
dan HIV/AIDS3.

Gizi merupakan salah satu factor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Gizi
buruk bukan hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga menurunkan
produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan
keterbelakangan. Berbagai masalah yang timbul akibat gizi buruk antara lain tingginya angka
kelahiran bayi dengan berat badan lahi rendah (BBLR) yang disebabkan jika ibu hamil menderita
KEP akan berpengaruh pada gangguan fisik, mental, dan kecerdasan anak, juga meningkatkan
risiko bayi yang dilahirkan kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat berdampak pada
gangguan pertumbuhan sel-sel otak, yang dikemudian hari dapat mengurangi IQ anak. Factor
penyebab gizi buruk dapat berupa penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah dan kualitas
makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, menderita penyakit kanker
dan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku dan pelayanan
kesehatan. Sedangkan factor-faktor lain selain factor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah
utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan
kerja. Oleh karena itu, untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerja sama lintas sektor.

Diagnosa gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan
vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu
jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang
dibandingkan dengan anak yang sehat. Gizi buruk ringan sering ditemukan pada anak-anak dari
9 bulan sampai 2 tahun, akan tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar.
Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari pertumbuhan linier mengurang atau terhenti,
kenaikan berat badan berkurang, terhenti dan adakalanya beratnya menurun, ukuran lingkar
lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat, rasio berat terhadap tinggi normal atau
menurun, tebal lipat kulit normal atau mengurang, anemia ringan, aktivitas dan perhatian
berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat, adakalanya dijumpai kelainan kulit dan rambut.
Gizi buruk berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari dietnya,
fluktuasi musim, keadaan sanitasi dan kepadatan penduduk. Gizi buruk berat dapat dibedakan
tipe kwashiorkor, tipe marasmus, dan tiper marasmik-kwashiorkor. Tipe kwashiorkor ditandai
dengan gejala tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh, perubahan status mental, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu, pembesaran
hati, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas, cengeng dan rewel. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak
sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis,
jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput. Tipe marasmik-
kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala klinik kwashiorkor-marasmus. Pengukuran
antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk ringan dan sedang. Pada
pemeriksaan antropometrik, dilakukan pengukuran-pengukuran fisik anak (berat, tinggi, lingkar
lengan, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan angka standar (anak normal). Untuk anak,
terdapat tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat dibandingkan dengan umur anak,
tinggi dibandingkan dengan umur anak dan berat dibandingkan dengan tinggi/panjang anak.
Parameter tersebut lalu dibandingkan dengan table standar yang ada. Untuk membandingkan
berat dengan umur anak, dapat pula digunakan grafik pertumbuhan yang ada di KMS.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar hemoglobin darah merah
(Hb) dan kadar protein (albumin/globulin) darah. Dengan pemeriksaan laboratorium yang lebih
rinci, dapat pula lebih jelas diketahui penyebab malnutrisi dan komplikasi-komplikasi yang
terjadi pada anak tersebut.

Pada gizi buruk terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya seperti jumlah dan
distribusi cairan, lemak, mineral dan protein, terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih
banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan
ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak dibandingkan tanpa
edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel sehingga menimbulkan gangguan
metabolic organ-organ seperti ginjal, otot dan pancreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor
anorganik meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi seperti system
alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), system gastrointestinum (hepar,pankreas),
jantung, ginjal, system endokrin sehingga gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan
cermat.1

Pembahasan

Anamnesis
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis terdiri
dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.4
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul


 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin

bila didapatkan hal tersebut diatas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan atau syok,
serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan
Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah
kedaruratan ditangani:
 Diet (pola makan) atau kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan pasien campak atau tuberculosis paru
 Pernah sakit dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Berat badan lahir
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Riwayat imunisasi
 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara, dan lain-lain.
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV
Pemeriksaan Fisik

 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan status
dehidrasi pada gizi buruk)
 Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat, nadi lemah dan
cepat) kesadaran menurun.
 Demam (suku aksilar ≥ 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,50C)
 Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan icterus
 Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya suara
seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
 Tanda defisiensi vitamin A pada mata :
o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot
o Ulkus kornea
o Keratomalasia
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor :
o Hipo- atau hiper- pigmentasi
o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali dengan infkesi sekunder
(termasuk jamur)
 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)
 Tanda dan gejala HIV

Catatan :

 Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk memeriksa mata
dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.
 Pemeriksaan laboratorium terhadap Hb dan atau Ht, jika didapatkan anak sangat pucat4.
1. Inspeksi
Pada inspeksi secara umum dapat dilihat bagaimana proporsi atau postur tubuhnya,
apakah baik, kurus, atau gemuk. Juga dinilai apakah ada kelainan yang menyebabkan
proporsi tubuh berubah, seperti hidrosefalus, edema-anasarka, atau akondroplasia.
Tulang-belulang yang menonjol, kulit keriput, abdomen yang membuncit atau justru
cekung (skafoid) serta otot yang hipotrofik merupakan sebagian tanda malnutrisi.5
2. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan cara ‘cubit tebal’ dapat diperiksa tebal jaringan lemak
subkutan dan keadaan otot terutama di ekstremitas apakah eutrofi, atrofi, hipotrofi, atau
hipertrofi. Selain itu perlu dicari tanda defisiensi nutrien lain, misalnya tanda defisiensi
vitamin A (xerosis konjungtiva bercak bitot), atau tanda anemia defisiensi besi (pucat
tanpa hepatosplenomegali), dan seterusnya. Sebaliknya pada keadaan gizi lebih atau
obesitas tampak wajah membulat, dagu bersusun, payudara besar, perut buncit, dan
jaringan lemak tebal.5
3. Data Antropometrik
a) Berat Badan (BB)
Berat badan bayi ditimbang dengan timbangan bayi, sedangkan pada anak
dengan timbangan berdiri. Sebelum menimbang,periksa lebih dahulu apakah alat
sudah dalam keadaan seimbang (jarum menunjuk angka 0). Bayi ditimbang dalam
posisi berbaring telentang atau duduk tanpa baju, sedang anak ditimbang dalam
posisi berdiri tanpa sepatu dengan pakaian minimal.
Sampai umur 1 tahun bayi ditimbang tiap bulan, kemudian tiap 3 bulan
sampai umur 3 tahun dan dilanjutkan dengan 2 kali setahun sampai umur 5 tahun.
Di atas umur 5 tahun, penimbangan dilakukan setiap tahun, kecuali bila diduga
terdapat kelainan atau penyimpangan berat badan. Dalam keadaan normal, berat
badan bayi umur 4 bulan sudah mencapai 2x berat badan lahir, dan pada umur 1
tahun sudah 3x berat badan lahir.5
Interprestasi :
 BB/U dipetakkan pada kurve berat badan
- BB < sentil ke-10 : disebut deficit
- BB > sentil ke-90 : disebut kelebihan
 BB/U dibandingkan acuan standar, dinyatakan dalam presentase
- >120% : disebut gizi lebih
- 80-120% : disebut gizi baik
- 60-80% : tanpa edema : gizi kurang, dengan edema : gizi
buruk (kwashiorkor)
- <60% : gizi buruk : tanpa edema (marasmus), dengan
edema (marasmus-kwasiorkor)

Perubahan berat badan (kurang atau bertambah) perlu mendapat perhatian


karena merupakan petunjuk adanya masalah nutrisi akut. Kehilangan berat badan
dihitung sebagai berikut : (BB saat ini / BB semula) x 100%

- 85-95% : kehilangan BB ringan (5-15%)


- 75-84% : kehilangan BB sedang (16-25%)
- <75% : kehilangan BB berat (>25%)
b) Tinggi Badan (TB)
Pada anak, tinggi badan diukur dalam posisi berdiri tanpa sepatu, dan
telapak kaki dirapatkan dengan punggung bersandar pada dinding. Pada umur 1
tahun panjang bayi mencapai 1,5 kali panjang waktu lahir dan pada umur 4 tahun
2 x panjang waktu lahir.5
Interpretasi :
 TB/U pada kurva :
- < sentil 5 : defisit berat
- sentil 5-10 : perlu evaluasi untuk membedakan apakah
perwakan pendek akibat defisiensi nutrisi
kronik
atau konstitusional
 TB/U dibandingkan standar baku (%)
- 90-110% : baik/normal
- 70-89% : tinggi kurang
- <70% : tinggi sangat kurang

c) Rasio Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)


Ratio BB/TB bila dikombinasi dengan berat badan menurut umur dan tinggi
badan menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilaian status
nutrisi karena ia mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antara
wasting dan stunting atau perawakan pendek. Indeks ini digunakan pada anak
perempuan hanya sampai tinggi badan 138 cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi
badan 145 cm. Setelah itu rasio BB/TB tidak begitu banyak artinya, karena
adanya percepatan tumbuh (growth spurt). Keuntungan indeks ini adalah tidak
diperlukannya faktor umur, yang seringkali tidak diketahui secara tepat.
BB/TB dinyatakan dalam persentase dari BB standar yang sesuai dengan TB
terukur individu tersebut. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut :5
 Penilaian status gizi berdasarkan presentase TB/BB
- >120% : obesitas
- 110-120% : overweight
- 90-110% : normal
- 70-90% : gizi kurang
- <70% : gizi bik
 Nilai BB/TB di sekitar sentil ke-50 menunjukan kesesuaian atau
normal. makin jauh deviasi, akan makin besar pula kelebihan atau
kekurangan gizi pada individu tersebut.

d) Lingkar Lengan Atas (LILA)


Pada anak umur 1-5 tahun, LILA saja sudah dapat menunjukan status gizi.
Interpretasi :
 <12,5 cm : gizi buruk (merah)
 12,5-13,5 cm : gizi kurang (kuning)
 >13,5 cm : gizi baik (hijau)

e) Tebal Lipatan Kulit (TLK; skinfold thickness)


Hampir 50% lemak tubuh berada di jaringan subkutis hingga dengan
mengukur lapisan lemak dengan pemeriksaan TLK dapat diperkirakan jumlah
lemak total dalam tubuh. Hasilnya dibandingkan dengan standar dan dapat
menunjukan status gizi dan komposisi tubuh, serta cadangan energi. Bila
dikaitkan dengan indeks BB/TB ia dapat menentukan malnutrisi kronik. LILA
yang dikaitkan dengan nilai (TLK)-triseps, dapat dipakai menghitung massa otot.5

f) Lingkar Kepala, Lingkar Dada dan Lingkar Perut


Lingkaran kepala dipengaruhi oleh status gizi pada anak sampai usia 36
bulan pengukuran rutin dilakukan untuk menjaring kemungkinan adanya
penyebab lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan otak; pengukuran berkala
lebih memberi makna daripada pengukuran sewaktu.
 Lingkaran kepala < sentil ke-5 atau < -2SB menunjukan adanya
mikrosefali, dan kemungkinan malnutrisi kronik pada masa
intrauterine atau masa bayi / anak dini.
 Lingkaran kepala > sentil ke-95 atau > +2SB menunjukan adanya
makrosefali.

Lingkaran dada diperiksa pada bayi baru lahir serta setiap kunjungan sampai
usia 2 tahun. Pada bayi baru lahir lingkaran dada 2 cm lebih kecil dari lingkaran
kepala, kemudian berangsur sama atau sedikit lebih besar dari lingkaran kepala
setelah usai 2 tahun. Lingkaran dada diukur dengan pita pengukur , melingkari
tubuh setinggi puting susu. Lingkaran perut diukur bila terdapat asites untuk
menilai progresivitasnya. Lingkaran perut diukur pada posisi pasien duduk atau
berdiri, kecuali pasien sakit berat atau bayi. Pengukuran dilakukan pada lingkar
perut terbesar, pada umumnya melalui umbilikus.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

- Darah rutin6
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik
normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis
sumsum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan,
kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum
yang menurun. Pemeriksaan radiologis juga perlu dilakukan untuk menemukan adanya
kelainan pada paru.

Berupa pemeriksaan metabolit abnormal, perubahan aktivitas enzim, komponen darah atau
fungsi fisiologis yang tergantung dari zat gizi tertentu (Gibson,2005), yaitu :

1. Pemeriksaan status protein yang digunakan untuk penilaian status nutrisi : kadar albumin
serum dengan nilai normal 3,5-5,0 gr/dl
2. Transferin Serum dengan nilai normal > 200 mg/dl
3. Fungsi imunitas ; hitung limfosit total (%limfosit x sel darah putih)/100 dengan nilai
normal diatas 1500 sel/mm2
4. Pemeriksaan lain : Gula darah (BSS), profil lipid (kolesterol,triglyserid,LDL dan HDL),
fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (sgot,sgpt, bilirubin,gama gt dan alkalin
fosfatase), fungsi tulang, otot dan sendi (asam urat, ASTO,CRP dan Rematic Factor)

Perubahan biokimia yang ditemukan pada marasmus adalah: 1,4

1. Anemia ringan sampai berat.

2. Kadar albumin dan globulin serum rendah.

3. Kadar kolesterol serum yang rendah.

4. Kadar gula darah yang rendah.

Pada pemeriksaan darah meliputi Hb, albumin, globulin, protein total, elektrolit serum,
biakan darah.

Studi masalah gizi mikro di 10 provinsi tahun 2006 masih dijumpai 26,3% balita yang
menderita anemia gizi besi dengan kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11,0 gr/dl (Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan KIA, 2013). Dari 38 kabupaten/kota se Jawa Timur, hanya 6 (enam)
kabupaten/kota yang mencapai target pelayanan anak balita 83%. Begitu juga dengan angka
capaian cakupan Provinsi Jawa Timur (70,34%) yang masih di bawah target yang telah
ditentukan (Profil Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2012). Selama ini di Kabupaten Banyuwangi
belum pernah dilakukan skrining kejadian anemia pada anak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Thakur M.D (2014), menunjukkan presentase
anemia yang sangat tinggipada anak-anakyang kurang gizi.Dikatakan anak-anak dengan
malnutrisi akut berat, 70% mengalami anemia dimana 26% mengalamianemia ringan, 40%
mengalami anemia sedang dan 3% anemia berat. Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi
ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat
defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai
rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi
kurang (IDAI, 2013)6.

Marasmus Kwashiorkor
Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala
klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya
asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan protein
sehingga gejalanya disertai edema.7
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekurangan gizi sebagai
"ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk
menjamin pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi-fungsi khusus." Malnutrisi protein-energi
(KEP) berlaku untuk sekelompok gangguan yang berhubungan seperti marasmus, kwashiorkor,
dan marasmus-kwashiorkor. Istilah marasmus berasal dari kata Yunani “marasmos”, yang berarti
layu atau kurang tenaga. Marasmus berhubungan dengan asupan yang tidak memadai protein dan
kalori dan ditandai oleh kekurusan. Istilah kwashiorkor ini diambil dari bahasa Ga dari Ghana
dan berarti "penyakit dari penyapihan." Williams pertama kali menggunakan istilah pada tahun
1933, dan mengacu pada asupan protein yang tidak memadai dengan asupan kalori dan energi
yang wajar. Edema adalah karakteristik dari kwashiorkor namun tidak ada dalam marasmus.7

Studi menunjukkan bahwa marasmus merupakan respon adaptif/penyesuaian terhadap


kelaparan, sedangkan kwashiorkor merupakan respon maladaptive terhadap kelaparan. Anak-
anak mungkin datang dengan gambaran beragam antara marasmus dan kwashiorkor, dan anak-
anak dapat datang dengan bentuk yang lebih ringan dari malnutrisi. Untuk alasan ini, Jelliffe
menyarankan istilah malnutrisi protein-kalori (energi) untuk menyatukan istilah dari keduanya7.
Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan
laporan provinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data
Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005
telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi
di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei
2005, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang
terjadi di NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal 27 Mei
tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB gizi buruk di propinsi NTB7.

Etiologi
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang
bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor
social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain8.
A. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat-
zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi
dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet
yang kurang-lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiorkor, sedangkan pada
beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa
diet bukan merupakan faktor yang penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk
dapat menjelaskan timbulknya gejala tersebut.

B. Peranan faktor sosial


Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada
keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan itu
didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut berlangsung
karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus-menerus hal
tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit KEP adalah:
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak anak dengan
suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal;
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga dengan
pendapatan yang kecil ia tidak dapat memberi cukup makan pada anggota keluarganya
yang besar itu;
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada musim
panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak sawahnya jauh dari
tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga
jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan semestinya;
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus meninggalkan
bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut tidak mendapat ASI
sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan
semestinya.
C. Peranan kepadatan penduduk
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa meningkatnya
jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan makanan
setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan
penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi
baik di samping kuantitasnya.
McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak jika suatu
daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk, misalnya, di kota-kota
dengan kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat;
sedangkan kwashiorkor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di desa-desa dengan penduduk
yang mempunyai kebiasaan untuk memberi makanan tambahan berupa tepung, terutama pada
anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI.
D. Peranan infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai
pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergistis, sebab
malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada
sendiri-sendiri.
E. Peranan kemiskinan
Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama merupakan
problema bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara tersebut. Pentingnya kemiskinan
ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun 1974. Mereka
menganggap kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang terjadi bahwa petani
miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, lalu ia
menjadi penggarap yang menurunkan lagi penghasilannya, atau ia meninggalkan desa untuk
mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan yang tetap rendah, ketidakmampuan
menanam bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan timbulnya banyak penyakit infeksi
karena kepadatan tempat tinggal seperti telah diutarakan
tadi, timbulnya gejala KEP lebih dipercepat.
Patofisiologi
Banyak manifestasi dari KEP merupakan respon penyesuaian pada kurangnya asupan
energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang kurang, maka dilakukannya pengurangan
energi dan aktifitas. Namun, meskipun ini respon penyesuaian, deposit lemak dimobilisasi untuk
memenuhi kebutuhan energi yang sedang berlangsung meskipun rendah. Setelah deposit lemak
habis, katabolisme protein harus menyediakan substrat yang berkelanjutan untuk menjaga
metabolisme basal.
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang tidak mengalami edema
pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak ada faktor spesifik yang ditemukan, beberapa
kemungkinan dapat dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah variabilitas antara bayi yang satu
dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan komposisi cairan tubuh saat kekurangan
asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan bahwa pemberian karbohidrat berlebih pada
anak-anak dengan nonedematous KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein
rendah, sehingga deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin menurun,
sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty liver juga berkembang secara sekunder,
mungkin, untuk lipogenesis dari asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis
apoliprotein. Penyebab lain KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta diare, gangguan
fungsi ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase. Akhirnya, kerusakan radikal bebas telah
diusulkan sebagai faktor penting dalam munculnya KEP edematous. Kejadian ini didukung
dengan konsentrasi plasma yang rendah akan metionin, suatu precrusor dari sistein, yang
diperlukan untuk sintesis dari faktor antioksidan major, glutathione. Kemungkinan ini juga
didukung oleh tingkat yang lebih rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak dengan
pembengkakan dibandingkan dengan non-edematous KEP1.
Gejala Klinis
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit
marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga
energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, disamping menurunnya berat
badan di bawah 60% dari normal memperlihatkan gejala-gejala kwashiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula8.
Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi protein berat dan
asupan kalori yang tidak adekuat. Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake
protein yang berlangsung kronis. Anak penderita kwashiorkor secara umum mempunyai ciri-ciri
pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites.9

Pentingnya memperhatikan asupan makanan bagi anak harus disadari oleh semua orang tua agar
tidak terjadi defisit kronis yang menyebabkan kwashiorkor. Di sisi lain orang tua tidak semua
paham akan nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan anak. Orang tua juga perlu mengetahui
ciri-ciri bila anak menderita kwashorkor dan memerlukan tindakan kuratif.
Etiologi
Etiologi dari kwashiorkor adalah

1.Kekurangan intake protein

2.Gangguan penyerapan protein pada diare kronik

3.Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan infeksi kronik

4.Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.


Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlangsung kronis.
Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain:9

1. Pola makan

Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung
protein / asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein
dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-
sumber lain (susu, telur, keju, tahu dll) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu
mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama
pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.

2. Faktor sosial

Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak
stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung
turun temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.

3. Faktor ekonomi

Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat
pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi
kebutuhan proteinnya.

4. Faktor infeksi dan penyakit lain

Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan
akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Seperti gejala malnutrisi protein disebabkan
oleh gangguan penyerapan protein, misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronis,
kehilangan protein secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan,
serta kegagalan mensintesis protein akibat penyakit hati yang kronis.
Patofisiologi

MEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan
sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta adanya
kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya.9

Disebut malnutrisi primer bila kejadian MEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang
pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahnya pengetahuan
di bidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti di atas disebabkan karena
adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun
dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.

Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan
untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan
karbonhidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau
terjadi stress katabolik (infeksi) maka kebutuhan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih
di atas -3 SD (-2SD- -3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut /”decompensated
malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres
katabolik ini terjadi pada saat status gizi di bawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-
kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai di bawah -3 SD maka
akan terjadilah marasmik (malnutrisi kronik / compensated malnutrition).10

Dengan demikian pada MEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan
kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan
berbagai sintesis enzim.

PATOLOGI
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebihan
karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya. Kelainan yang
mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang disebabkan edema dan
perlemakan hati. Karena kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam
amino dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke jaringan
otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi
albumin oleh hepar yang kemudian berakibat timbulnya odema. Perlemakan hati terjadi karena
gangguan pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati terganggu dengan
akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati 11.

Gambar
1. Mekanisme edema pada kwashiorkor

Gejala klinis8
 Penampilan
Penampilannya seperti anak yang gemuk (suger baby) bilamana dietnya mengandung
cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun di bagian tubuh lainnya, terutama di
pantatnya terlihat adanya atrofi.
 Gangguan pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku Harvard persentil
walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah berlangsung
lama.
 Perubahan mental
Perubahan mental sangat mencolok. Pada umummnya mereka banyak menangis, dan
pada stadium lanjut bahkan sangat apatis. Perbaikan kelainan mental tersebut menandakan
suksesnya pengobatan.
 Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita
kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema.
 Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus-menerus,
walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan.
 Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat
penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan
melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair dan
mengandung banyak asam laktak karena mengurangnya produksi laktase dan enzim disakaridase
lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain.
 Perubahan rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture) maupun
warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah rambut yang mudah dicabut. Pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering, halus, jarang,
dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam menjadi merah, coklat, kelabu, maupun putih.
Rambut alispun menunjukkan perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian dengan rambut
matanya yang justru memanjang.
 Perubahan Kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan adanya
penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang
khas bagi penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak yang lambatlaun menghitam. Setelah bercak hitam
mengelupas, maka terdapat bagian-bagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag masih
hitam. Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang
terus-menerus mendapat tekanan merupakan predileksi crazy pavement dermatosis,seperti di
punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainnya seperti kulit kering
dengan garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tandatanda inflamasi. Kadang-
kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petechiae tanpa trombositopenia dengan prognosis
yang buruk bagi si penderita.
 Pembesaran hati
Termasuk gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang batas hati terdapat setinggi
pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabahan dengan
permukaan yang lici dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah
mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada kwashiorkor yang
relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi taga Kirnan, lebih berat penyakitnya
lebih banyak sel hati yang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat perlemakan
terdapat pada hamper semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya fibrosis dan nekrosis hati.
 Anemia
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana kwashiorkor disertai
oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis
anemia pada kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom, mikrositik
hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor
dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti
zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, tembaga, insufisiensi hormone, dan sebagainya.
Macam anemia yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan
sumsum tulang sering ditemukan mengurannya sel system eripoitik. Hipoplasia atau aplasia
sumsum tulang demikian disebabkan terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun.
 Kelainan biokimia darah
Ada hipotesis mengatakan bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh tidak dapat
beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh kekurangan protein maupun energi.
Oleh sebab itu banyak perubahan biokimiawi dapat ditemukan pada penderita kwashiorkor,
misalnya:
 Albumin serum
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap spesifik dan
sudah ditemukan pada tingkat dini, maka McLarena member angka (skor) untuk
membedakan kwashiorkor dan marasmus. Lebih rendah kadar albumin serum, lebih
tinggi pemberian angkanya.
 Globulin serum
Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak
menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio albumin/globulin
yang biasanya 2 menjadi lebih rendah, bahkan pada kwashiorkor yang berat ditemukan
rasio yang terbalik.
 Kadar kolesterol serum
Pada penderita kwashiorkor, terutama yang berat, kadar kolesterol darahnya rendah.
Mungkin saja rendahnya kolesterol darah disebabkan oleh makanan sehari-harinya yang
terdiri dari sayuran hingga tidak mengandung kolesterol, atau adanya gangguan dalam
pembentukan kolesterol dalam tubuh.
 Tes thymol turbidity(derajat kekeruhan)
Merupakan tes fungsi hati. Penentuan terhadap 109 penderita kwashiorkor member hasil
sebagai berikut : pada 73 penderita meninggi, sedangkan pada selebihnya tidak. Tidak
ditemukan korelasi antara tingginya kekeruhan dan beratnya perlemakan hati maupun
tingginya angka kematian, maka tes tersebut tidak mempunyai nilai diagnosis maupun
prognosis.

Marasmus
Malnutrisi berat pada bayi sering ada didaerah dengan makanan tidak cukup, informasi
tekhnik pemberian makanan yang tidak cukup atau hygiene jelek. Sinonim marasmus diterapkan
pada pola penyakit klinis yang menekankan satu atau lebih tanda defisiensi protein dan kalori.12
Etiologi
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena diet
yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan
orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Gangguan
berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.12
Epidemiologi
Hampir 30% manusia saat ini mengalami satu atau lebih dari berbagai bentuk kekurangan
gizi. Hampir 50 juta anak di bawah 5 tahun menderita malnutrisi energi-protein, dan setengah
dari anak yang meninggal di bawah 5 tahun kekurangan gizi (lihat gambar di bawah). Sekitar
80% dari anak-anak yang kekurangan gizi ini tinggal di Asia, 15% di Afrika, dan 5% di Amerika
Latin.12
Patofisiologi
Marasmus disebabkan oleh penurunan asupan energi, peningkatan kehilangan kalori yang
dicerna (misalnya emesis, diare, luka bakar), peningkatan pengeluaran energi, atau kombinasi
faktor-faktor ini, seperti diamati pada penyakit akut atau kronis. Anak-anak beradaptasi dengan
kekurangan energi dengan penurunan aktivitas fisik, kelesuan, penurunan metabolisme energi
basal, perlambatan pertumbuhan, dan, akhirnya, penurunan berat badan.13

Gejala klinis
Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi
yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang
diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain, seperti infeksi, kelainan
bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorbsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal
menahun, dan juga pada gangguan saraf pusar. Perhaian ibu dan pengasuh yang berlebihan
sehingga anak dipaksa menghabiskan makanan yang disediakan, walaupun jumlahnya jauh
melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan anak kehilangan nafsu makannya, atau muntah
begitu melihat makanan atau formula yang akan diberikannya. Adakalanya anak demikian
menolak segala macam makanan hingga pertumbuhannya terganggu.
 Penampilan
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak terlihat sangat
kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya.
 Perubahan mental
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa lapar. Kesadaran
yang menurun (apatis) terdapat pada penderita marasmus yang berat.
 Kelainan pada kulit tubuh
Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak
dibawah kulit serta otot-ototnya.
 Kelainan pada rambut kepala
Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak rambut
kering, tipis dan mudah rontok.
 Lemak dibawah kulit
Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang.
 Otot-otot
Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas.
 Saluran pencernaan
Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi.
 Jantung
Tidak jarang terdapat bradikardi.
 Tekanan arah
Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat
seumur.
 Saluran nafas
Terdapat pula frekuensi pernafasan mengurang.
 Sistem darah
Pada umummnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah8
Tatalaksana umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana syok pada anak
dengan gizi buruk :14
 Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis atau tidak sadar.
 Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan tanda syok.
 Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus diberikan
 Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat)
 Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%) atau Ringer Laktat atau
Garam Normal – pastikan aliran infus berjalan lancer. Bila gula darah tinggi maka
berikan Ringer Laktat (tanpa dekstrose) atau Garam Normal.
 Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit
 Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama kali pemberian cairan
dan setiap 5-10menit
Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas anak
melambat, dan capillary refill >3 detik):
o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kbBB selama 30 menit
o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan
Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas anak melambat,
dan capillary refill < 2 detik):
o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT dengan ReSoMal 10ml/kgBB/jam hingga
10 jam
o Mulai berikan anak makanan dengan F-75 (resep formula modifikasi)
Jika tidak ada perbaikan, lanjutkan dengan pemberian cairan rumatan 4ml/kgBB/jam dan
pertimbangkan penyebab lain selain hipovolemik:
o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan nyata yang signifikan dan
darah tersedia)
o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih tinggi.
Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas anak meningkat 5 kali/menit
atau denyut nadi 15 kali/menit), hentikan infus karena cairan infus dapar memperburuk kondisi
anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa nasogastrik dengan ReSoMal, 10
ml/kgBB/jam hingga 10 jam.
Catatan pada saat memberikan penanganan gawat-darurat pada anak dengan gizi
buruk
Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan diidentifikasi sebagai anak dengan
tanda prioritas, artinya mereka memerlukan pemeriksaan dan penanganan segera.
Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi buruk dengan tanda
kegawatdaruratan14.

Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda
penting, yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:14
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana II, dengan
tindakan segera, yaitu:14
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III, dengan tindakan
segera, yaitu:14
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:14
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan (NGT)
 catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:14
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas
Prinsip dasar pengobatan gizi buruk (10 langkah utama)15
Langkah ke-1: pengobatan/pencegahan hipoglikemia
Tanda-tanda hipoglikemik:
1. Hipoglikemi adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah yang sangat rendah.
2. Anak gizi buruk, dianggap hipoglikemia bila kadar glukosa darah < 3 mmol/liter atau
<54 mg/dl.
3. Hipoglikemia biasanya juga terjadi bersamaan dengan hipotermia.
4. Tanda lain hipoglikemia adalah letargis, nadi lemah, dan kehilangan kesadaran.
5. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat dan pucat, sangat jarang dijumpai pada anak gizi
buruk.
6. Kematian karena hipoglikemia pada anak gizi buruk, kadang-kadang hanya didahului
dengan tanda seperti mengantuk saja.
7. Di unit pelayanan kesehatan yang belum mampu memeriksa kadar glukosa darah, setiap
anak gizi buruk yang dating harus dianggap mengalami hipoglikemia. Oleh jarena itu
harus segera mendapatkan perawatan dan penanganan sebagai penderita hipoglikemia.

Cara menangani hipoglikemi:


 Sadar (tidak letargis)
1. Berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10%* secara oral atau NGT
(bolus) sebanyak 50ml
 Tidak sadar (letargis)
1. Berikan larutan Glukosa 10% secara intravena(iv) (bolus) sebanyak 5 ml/kgBB
2. Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% secara oral atau
NGT (bolus) sebanyak 50 ml.
 Renjatan(syok)
1. Berikan cairan intravena (iv) berupa Ringer Laktat dan Dextrose/Glukosa 10%
dengan perbandingan 1:1 (=RLG 5%) sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam pertama
atau 5 tetes/menit/kgBB
2. Selanjutnya berika larutan Glukosa 10% secara intravena (iv) (bolus) sebanyak
5ml/kgBB
*5 gram gula pasir (=1 sendok teh munjung) + air matang s/d 50ml
Pemantauan:
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit.
1. Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa atau
gula 10%.
2. Jika suhu rectal <35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia
disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai
keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia).
Pencegahan:
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu, lakukan
rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam.
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Hipotermia:
1. Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler <360C
2. Hipetermia biasanya terjadi bersama-sama dengan kejadian hipoglikemia.
3. Hipoglikemia daan hipotermia pada anak gizi buruk biasanya merupakan tanda dari adanya
infeksi sistemik yang serius.
4. Semua anak gizi buruk dengan hiponatremia harus mendapat pengobatan untuk mengatasi
hipoglikemia dan infeksi.
5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak mampu memproduksi panas
untuk mempertahankan suhu tubuh.
6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan menutup tubuhnya dengan
penutup yang memadai.
7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat penggunaan cadangan energi
pada anak tersebut.
Suhu tubuh 36-37ºC
Keadaan ini pada anak gizi buruk dapat dengan mudah jatuh pada hiponatremia, cara untuk
mempertahankan (pencegahan) agar tidak hipotermia adalah :
1. Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya
2. Hindari adanya hembusan angin dalam ruang perawatan
3. Petahankan suhu ruangan sekitar 25-300C.
4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan pemeriksaan dan
penimbangan.
5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak gizi buruk dalam keadaan
hangat.
6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air kencing atau keringat atau
sebab-sebab yang lain.
7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera keringkan dengan sebaik-baiknya.
8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini untuk menghindari ibu
anak/pengasuh lupa membungkus botol dengan kain akan menyebabkan kulit anak terbakar.

Suhu tubuh <360C (hipotermia)


Cara untuk memulihkan penderita gizi buruk yang mengalami hipotermia adalah:
1. Bila suhu <360C harus dilakukan tindakan menghangati untuk mengembalikan kembali suhu
tubuh anak.
2. Pemanasan suhu tubuh anak yang hipotermia adalah dengan cara “kanguru”, yaitu dengan
mengadakan kontak langsung kulit ibu dan kulit anak untuk memindahkan panas tubuh ibu
kepada tubuh anak dan anak digendong serta diselimuti seluruh tubuhnya.
3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan lampu. Lampu harus
diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30 menit untuk memastikan bahwa suhu tubuh anak tidak
terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 370C.
Pemantauan:
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,50C atau lebih. Jika
digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai
36,50C.
2. Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam hari.
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang berlebihan mengenai
derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini disebabkan oleh sulitnya menentukan
status dehidrasi secara tepat pada anak dengan gizi buruk hanya dengan menggunakan gejala
klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi
ringan. Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.

Tatalaksana
1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, keciali pada kasus dehidrasi berat dengan/tanpa syok.
2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika melakukan
rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
 Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
 Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselang-seling dengan F75 dengan
jumlah yang sama setiap jam selama 10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa
banyak anak mau, volume tinja yang keluar, dan apakah anak muntah. Catatan: Larutan
oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai kadar natrium tinggi dan
kadar kalium rendah; cairan yang lebih tepat adalah ReSoMal.
 Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
 Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia <1th: 50-100ml setiap buang
air besar, usia ≥ 1 thL 100-200ml setiap buang air besar.
Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.
Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu
untuk pemulihan.
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema
dengan pemberian diuretikum)
Berikan :
- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan langsung pada
makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K
dan Mg.
Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti demam
seringkali tidak tampak.
Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :
- Antibiotik spektrum luas
-Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi (tunda bila ada
syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik.

Catatan: Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari)
sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa usus dan
mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri
anaerobik dalam usus halus.

Pilihan antibiotik spektrum luas:


Bila tanpa komplikasi:
 Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat
badan < 4 Kg) Atau Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi
(hipoglikemia: hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
 Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan
Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak
ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam secara oral.
Dan
 Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
 Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25
mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.

Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai.
Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif.
Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi pemberian hingga 10
hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi infeksi,
kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan
dengan benar.
Langkah Ke-6: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai,
jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan
berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal
dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari:
- Suplementasi multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari
- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, < 6 bulan :
50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat suplementasi vit.A pada 1 bulan
terakhir. Bila ada tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis terapi.
Langkah Ke-7: Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai
masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan ≥ 50 g/minggu. Awal fase
rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat.
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi
saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara
mendadak.
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan:
- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan formula
khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.
Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan
protein yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya
pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi:
• frekwensi nafas
• frekwensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam pemantauan
setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi
menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi dan protein
ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
Pemantauan setelah periode transisi:
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
- Evaluasi kenaikan BB setiap minggu
Bila kenaikan BB:
- kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :
cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
- Baik (≥ 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan
Langkah Ke-8: Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena keadaan faali anak
sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa
sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal.
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah:
Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema) Bila masih mendapat ASI,
tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun
sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas. Berikan formula dengan
cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.

Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada
fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila asupan
makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik.
Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.

Pantau dan catat :


- Jumlah yang diberikan dan sisanya
- Muntah
- Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja
- BB (harian)

Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada
penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya edema,
baru kemudian BB mulai naik.
Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya berikan:
- Kasih saying
- Lingkungan yang ceria
- Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
- Aktifitas fisik segera setelah sembuh
- Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak
sembuh. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah
penderita dipulangkan.
Peragakan kepada orangtua :
- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat
- terapi bermain terstruktur.
Sarankan:
- Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
 bulan I : 1x/minggu
 bulan II : 1x/2 minggu
 bulan III : 1x/bulan
- Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
- Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.15
Komplikasi14
Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki komplikasikomplikasi yaitu :
 Perkembangan mental
Menurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada masa dini
perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan akibat terdapatnya
otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak normal. Jika KEP terjadi
setelah masa divisi otak berhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak
dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih kecil. Dari hasil
penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang pernah menderita KEP bahwa terdapat
deifisit IQ pada anak-anak tersebut, deficit tersebut meningkat pada penderita KEP lebih
dini. Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang abnormal mencapai 30 persen pada
pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat hinggal 65 persen pada pemeriksaan ulang 5
tahun setelahnya.
 Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat
prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan dagu, biasanya disertai nekrosis
sebagian tulang rahang yang berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma merupakan
salah satu penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang menurun,
noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor.
 Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat defisiensi dari
vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun dapat juga terjadi pada marasmus.
Penyakit ini perlu diwaspadai pada penderita KEP berat karena ditakutkan akan
mengalami kebutaan.
 Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada umumnya penderita KEP
berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri,
dan sebagainya. Tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka
dapat dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya tahan tubuh
pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika disertai dengan infeksi, sehingga
perjalanan penyakit infeksi juga akan semakin berat.
Prognosis
Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain
seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari.

Pada anak yang Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian
dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat
dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani secara cepat dan tepat.
mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat kecerdasan
yang lebih besar dan irreversibel dibanding dengan anak yang mendapat keadaan malnutrisi pada
usia yang lebih dewasa.

Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan
malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan
keadaan gizinya akan cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna
dibandingkan dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama.

Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi
marasmus ini cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi
badan anak dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak
berada dalam batas yang normal.10
Kesimpulan
Gizi buruk merupakan masalah yang perlu penanganan serius. Gizi buruk dapat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Masalah gizi buruk dapat ditangani dengan
pemberian gizi yang seimbang secara bertahap sesuai dengan kebutuhan pada tahap tersebut.
formula yang dipilih dapat disesuaikan dengan tahap dan tujuan dari pemberian tambahan
nutrisi.
Marasmus adalah penyakit kekurang energi dan protein, yang sering di alami oleh anak
usia 0-2 tahun. Marasmus disebabkan oleh multifaktorial antara lain asupan makanan yang
kurang, faktor penyakit dan faktor lingkungan serta ketidaktahuan untuk memilih makanan yang
bergizi dan keadaan ekonomi yang rendah. Diet pada marasmus diberikan energi tinggi dan
protein tinggi.

Daftar Pustaka
1. Muller, Michael Krawinkel. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ.
AUG. 2, 2005; 173
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007. Hal : 229-
232.
3. Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Lingkaran Setan Gizi Buruk: Ketika Negara
Kembali Gagal Mnejamin Hak Hidup Anak-anak Indonesia, 2009, available
www.ypha.go.id
4. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Management of the
Child with Serious Infection or Severe Malnutrition : Guidelines for Care at the First-
Refferal Level in Developing Countries.United States of America : World Health
Organization. 2000. Hal : 80-91.
5. Matondang. S. C, Wahidiyat. I, Sastroasmoro S. Diagnosis fisis pada anak. Edisi ke-2.
CV Sagung Seto. Jakarta, 2009.h.25-34
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Petunjuk Teknis Tata Laksana Anak
Gizi Buruk: Buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Petunjuk Teknis Tata Laksana Anak
Gizi Buruk: Buku III. Jakarta: Departemen Kesehatan.
8. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2005; 95-137
9. Puone T, Sanders D, Chopra M,. 2001. Evaluating the Clinical Management of Severely
Malnourished Children. A Study of Two Rural District Hospital. Afr Med J 22: 137-141.
10. M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC
11. WHO Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat
Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
12. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Vol.1. Edisi 15. EGC.
Jakarta.1996.h.212
13. Fisberg. M, Nobrega. F. J. Disturbios da nutricao. Revinter. 1998. h.140-4
14. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Pedoman Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen
Kesehatan dan WHO. 2009. Hal 193-221
15. Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tatalaksana KEP pada Anak di Rumah Sakit
Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 24 november 2019 dari:
http://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml

Anda mungkin juga menyukai