Anda di halaman 1dari 12

ANEMIA HEMOLITIK

Lissa Marisca Nanulaitta

NPM: 61119104

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS BATAM

Pendahuluan

Sel darah merah atau biasa disebut dengan eritrosit memiliki fungsi yang sangat penting
untuk tubuh. Fungsi tersebut adalah mengangkut O2 dan zat-zat lain seperti CO2 serta ion
hidrogen dalam darah. Seiring dengan proses penuaan, membran plasma eritrosit yang tidak
dapat diperbaiki menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik
penyempitan di dalam sisten vaskular. Sebagian besar eritrosit mengakhiri hidupnya di limpa,
karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini.
Terdapat kondisi yang dinamakan anemia, yaitu kemampuan darah untuk mengangkut O2 di
bawah normal. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, salah satunya adalah pecahnya eritrosit
dalam darah yang berlebihan. Kondisi tersebut dinamakan anemia hemolitik.
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
anemia hemolitik dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working
diagnosis, differential diagnosis, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian, penatalaksanaan kasus anemia hemolitik
dapat dilakukan dengan baik.
Anamnesis
Anemia bisa timbul dengan bermacam-macam gejala yang tersembunyi. Diantaranya
adalah mudah lelah, menurunnya toleransi olahraga, sesak napas, dan angina yang memburuk.
Karena itu perlu dilakukan anamnesis yang mendalam. Hal yang ditanyakan adalah keluhan
utama terlebih dahulu. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang dapat ditanyakan antara lain
mengenai gejala apa yang dirasakan oleh pasien. Apakah pasien merasa lelah, malaise, sesak
napas, nyeri dada, atau tanpa gejala? Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap?
Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia? Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan
Fe. Adakah gejala yang konsisten dengan malabsorbsi? Adakah tanda-tanda kehilangan darah
dari saluran cerna (tinja gelap, darah per rektal, muntah ‘butiran kopi’)?

Dapat ditanya pula mengenai riwayat penyakit dahulu. Adakah dugaan penyakit ginjal
kronis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala
yang menunjukkan keganasan)? Adakah tanda-tanda kegagalan sumsum tulang (memar,
perdarahan, dan infeksi yang tak lazim atau rekuren)? Adakah alasan untuk mencurigai adanya
hemolisis (misalnya ikterus, katup buatan yang diketahui bocor)? Adakah riwayat anemia
sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti endoskopi gastrointestinal? Adakah disfagia
(akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau selaput pada esofagus akibat anemia
defisiensi Fe)? Pertanyaan-pertanyaan mengenai riwayat penyakit dahulu ini juga mengarah pada
kausa yang terjadi pada pasien.
Selain itu, perlu untuk mengajukan pertanyaan mengenai riwayat keluarga, bepergian,
dan obat-obatan. Adakah riwayat anemia dalam keluarga? Khususnya pertimbangkan penyakit
sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan. Tanyakan riwayat bepergian dan
pertimbangkan kemungkinan infeksi parasit (misalnya cacing tambang dan malaria). Obat-
obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah (misalnya OAINS menyebabkan erosi
lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat sitotoksik). Hasil dari anamnesis belum cukup
untuk menegakkan diagnosis, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga kesadaran
pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang
terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah
36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari mendekati 37oC.
Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg.
Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang
normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah
16-24 kali per menit.
Pemeriksaan selanjutnya adalah dengan melihat konjungtiva anemis dan telapak tangan
apakah pucat atau tidak. Dapat dilihat juga bagian kuku, apabila ditemukan koilonikia (kuku
seperti sendok) maka dapat dicurigai defisiensi Fe dalam waktu lama. Lihat pula keadaan pasien
apakah wajah pasien pucat atau tidak. Lihat pula apakah ada tanda-tanda 2
Lalu, dilakukan pemeriksaan fisik pada abdomen. Dilakukan pemeriksaan dimulai dari
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada inspeksi dapat dilihat apakah ada kelainan bentuk
perut seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut, striae, vena yang berdilatasi,
kaput medusa, peristaltik usus, distensi, dan hernia. Pada kulit perut perlu diperhatikan adanya
sikatriks akibat ulserasi pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk. Pada palpasi abdomen,
tanyakan mengenai daerah yang nyeri tekan pada pasien, Kemudian cari apakah terdapat
pembesaran seperti massa atau tumor, hati, limpa, dan kandung empedu membesar atau teraba.
Periksa apakah ginjal, ballotement positif atau negatif. Kemudian dilakukan pemeriksaan perkusi
pada abdomen. Hal ini dilakukan salah satunya untuk menentukan ukuran hati dan limpa secara
kasar. Auskultasi dilakukan untuk memeriksa bunyi usus dan bunyi-bunyi patologis lain.

Pemeriksaan Penunjang
Apabila ditemukan gejala-gejala anemia, maka yang dapat diperiksa terlebih dahulu
adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah. Kadar Hb,
eritrosit, dan Ht berbeda tiap individu tergantung beberapa faktor, antara lain usia, jenis kelamin,
metoda pemeriksaan, dan domisili. Berikut tabel nilai normal dari pemeriksaan tersebut:
Tabel 1. Nilai Normal Kadar Hemoglobin, Hematokrit, dan Eritrosit.
Kadar Hb Hematokrit Jumlah Eritrosit
Pria dewasa 14-17 g/dL 42-53% 4,6-6,2 juta/uL
Wanita Dewasa 12-15 g/dL 38-46% 4,2-5,4 juta/uL
Anak-anak (3 bulan – 13 10-14,5 g/dL 31-43% 3,8-5,8 juta/uL
tahun)
Pasien mengalami gejala ikterus. Dapat dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu jumlah retikulosit,
apusan darah, sumsum tulang, bilirubin, dan tes Coombs direk, pemeriksaan urin. Nilai normal
retikulosit adalah 0,5-2,5%. Pemeriksaan apusan darah dilakukan untuk mengetahui kelainan
morfologi dari eritrosit. Dalam pemeriksaan sumsum tulang, dilihat aktivitas seri sel darah
terutama eritrosit. Pemeriksaan bilirubin terbagi 3 yaitu bilirubin total dengan nilai normal 0,2-
1,2 mg/dL dan bilirubin direk 0-0,4 mg/dL (bilirubin indirek dihitung dengan mengurangi jumlah
bilirubin total dengan bilirubin direk. Coombs direk bertujuan mendeteksi adanya antibodi tidak
lengkap atau komplemen yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Pemeriksaan urin
dilakukan untuk melihat kadar urobilinogen urin.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan klasifikasi anemia berdasarkan
indeks eritrosit yang membagi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan makrositik. Selain
mengarah pada sifat defek primernya, pendekatan ini dapat juga meninjukkan kelainan yang
mendasari sebelum terjadi anemia yang jelas.
Tabel 2. Klasifikasi Anemia.
Mikrositik hipokrom Normositik normokrom Makrositik
MCV <80fl MCV 80-95 fl MCV >95 fl
MCH <27pg MCH >26 pg Megaloblastik: defisiensi
vitamin B12 atau folat
Defisiensi besi Banyak anemia hemolitik Non-Megaloblastik: alkohol,
penyakit hati, mielodisplasia,
anemia aplastik, dll
Talasemia Anemia penyakit kronik
(beberapa kasus)
Anemia penyakit kronik Setelah pendarahan akut
(beberapa kasus)
Penyakit ginjal
Keracunan timbal Defisiensi campuran
Anemia sideroblastik Kegagalan sumsum tulang,
misalnya pasca-kemoterapi,
infiltrasi oleh karsinoma, dll

Hasil pemeriksaan penunjang yang diketahui pada pasien adalah Hb: 9,5 g/dL yang
berarti rendah; Ht: 35% yang berarti rendah; indeks retikulosit 6% yang berarti meninggi;
Leukosit 8900/uL dalam batas normal; trombosit 230.000/uL dalam batas normal. Dalam hasil
ini didapatkan bahwa pasien mengalami anemia karena kadar Hb dan Ht yang menurun dan
indeks retikulosit yang meningkat. Karena dicurigai pasien mengalami anemia hemolitik,
pemeriksaan yang belum ada hasil yaitu bilirubin harus dilakukan. Untuk mengetahui penyebab
dari anemia itu sendiri perlu juga melihat kelainan morfologi dari apusan darah pasien sehingga
diagnosis dari pasien bisa lebih jelas terlihat. Pemeriksaan paling spesifik untuk menegakkan
diagnosis ini adalah tes Coombs, namun belum ada hasilnya.

Etiologi

anemia hemolitik dapat dibagi menjadi penyebab korpuskular dan ekstrakorpuskular.


Penyebab korpuskular dari anemia hemolitik antara lain kelainan pada membran sel darah
merah, hemoglobinopati, dan abnormalitas enzim. Penyebab ekstrakorpuskular antara lain
penyebab imunologikal, mekanikal, infeksi, dan toksin.

Penyebab Korpuskular

Kelainan pada membran sel darah merah dapat dibagi menjadi penyebab herediter dan
didapat. Contoh penyebab herediter yang bisa menyebabkan anemia hemolitik adalah hereditary
spherocytosis, elliptocytosis, dan hereditary stomatocytosis. Contoh penyebab didapat
adalah paroxysmal nocturnal hemoglobinuria dan acanthocytosis.

Penyebab hemoglobinopati dapat dibagi menjadi defek hemoglobin kualitatif dan kuantitatif.


Contoh defek hemoglobin kualitatif adalah sickle cell anemia dan unstable hemoglobin. Contoh
defek kuantitatif adalah thalassemia.

Contoh abnormalitas enzim yang bisa menyebabkan anemia hemolitik adalah penyakit defisiensi
glukosa-6-fosfat dehidrogenase, defisiensi piruvat kinase, dan defisiensi pyrimidine-5-
nukleotidase.

Penyebab Ekstrakorpuskular

Penyebab anemia hemolitik yang bersifat ekstrakorpuskular dan berkaitan dengan sistem
imun antara lain anemia hemolitik autoimun dan drug-induced hemolytic anemia.
Mekanisme ekstrakorpuskular mekanikal yang bisa menyebabkan anemia hemolitik
adalah hemolytic uremic syndrome, disfungsi katup jantung prostetik, dan HELLP syndrome.
Penyebab infeksi misalnya malaria dan babesiosis.

Penyebab toksik dapat dibagi menjadi eksogen dan endogen. Penyebab eksogen misalnya
keracunan timbal, keracunan arsen, dan gigitan ular. Penyebab endogen misalnya penyakit
Wilson.

Epidemiologi

Epidemiologi anemia hemolitik diperkirakan sebesar 5% dari total kejadian anemia.


Secara Global Data epidemiologi menunjukkan bahwa anemia hemolitik tidak memiliki
kecenderungan jenis kelamin dan ras. Hanya saja, pada Autoimmune Hemolytic Anemia angka
kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Selain itu, defisiensi
glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena
diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi G6PD, perempuan menjadi karier.

Gejala Anemia Hemolitik

Gejala anemia hemolitik bisa ringan di awal penyakit, kemudian memburuk secara perlahan atau
tiba-tiba. Gejalanya bervariasi pada setiap penderita, di antaranya:

 Pusing.

 Kulit pucat.

 Tubuh cepat lelah.

 Demam.

 Urine berwarna gelap.

 Kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning).


 Perut terasa tidak nyaman akibat organ limpa dan hati membesar.

 Jantung berdebar.

Working Diagnosis

Anemia Hemolitik
Gejala-gejala adalah kepucatan membran mukosa, ikterus ringan yang berfluktuasi, dan
splenomegali. Tidak ada bilirubin dalam urin, tetapi urine dapat menjadi gelap bila dibiarkan
karena urobilinogen yang berlebihan.5
Temuan laboratorium dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu peningkatan pemecahan,
peningkatan produksi eritrosit, dan eritrosit yang rusak. Pada gambaran peningkatan pemecahan,
ditemukan bilirubin serum meningkat, tidak terkonjugasi dan terikat albumin. Urobilinogen urin
juga meningkat, dan sterkobilin feses meningkat. Pada gambaran peningkatan produksi eritrosit,
terjadi retikulositosis dan hiperplasia eritoid sumsum tulang. Gambaran eritrosit rusak
menunjukkan morfologi mikrosferosit, eliptosit, fragmentosit, dll. Terjadi fragilitas osmotik,
autohemolisis dan ketahanan eritrosit memendek.5

anemia hemolitik sebaiknya dipandu keluhan pasien dan riwayat penyakit keluarga.
Pemeriksaan penunjang dapat membantu mencari penyebab hemolisis, misalnya apusan darah
tepi dan direct antiglobulin test (DAT). Dari data dasar ini, pemeriksaan penunjang dapat
diarahkan lebih spesifik untuk mengonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.

Differential Diagnosis
Anemia Defisiensi G6PD
G6PD berfungsi mereduksi NADPH sambil mengoksidasi glukosa-6-fosfat. Ini adalah
satu-satunya sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi glutation
tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhadap stress oksidasi.
Gangguan defisiensi G6PD memiliki sifat penurunan terkait seks, mengenai pria, dan dibawa
oleh wanita yang memperlihatkan kadar G6PD eritrosit sekitar separuh dari nilai normal.
Gambaran klinisnya adalah gambaran hemolisis intravaskular yang cepat terjadi, disertai
hemoglobinuria. Anemia dapat bersifat swasirna karena eritrosit baru yang muda dibuat dengan
kadar enzim yang mendekati normal. Biasa terjadi pada neonatus. Hasil pemeriksaan hitung
darah di antara krisis adalah normal. Defisiensi enzim dideteksi menggunakan satu dari sejumlah
uji skrining, atau dengan pemeriksaan enzim langsung pada eritrosit. Selama krisis, sediaan apus
darah dapat memperlihatkan sel-sel yang mengerut dan berfragmentasi, “bite cell”, dan “blister
cell” yang badan Heinznya telah dikeluarkan oleh limpa. Badan Heinz (hemoglobin yang
teroksidasi dan terdenaturasi) dapat dilihat pada preparat retikulosit, terutamabila tidak ada
limpa. Terdapat juga gambaran hemolisis intravaskular. Kadar enzim yang lebih tinggi pada
eritrosit muda dapat menyebabkan terjadinya kadar normal “palsu” pada pemeriksaan enzim
eritrosit yang dilakukan pada fase hemolisis akut disertai adanya suatu respons retikulosit.
Pemeriksaan selanjutnya adalah setelah fase akut memperlihatkan kadar G6PD yang rendah pada
populasi eritrosit yang mempunyai distribusi umur normal.5
Anemia defisiensi G6PD biasa terjadi pada pria, biasanya terjadi hemoglobinuria, dan
biasanya terjadi pada neonatus, hal ini menyebabkan penyakit ini lebih dijadikan differential
diagnosis.

Anemia Sferositosis Herediter


Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran
eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik meningkat. Sferositosis herediter
merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Gejala
klinis mayor sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan ikterus. Ikterus dapat terjadi
secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat masih kecil. Akibat peningkatan
produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen,
bahkan pada masa kanak-kanak.3
Hiperplasia sel eritoid tulang sebagaikompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui
perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis
ekstrameduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks. Splenomegali
merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama terjadinya
infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel
eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya
normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 g.dL. Untuk mengetahui secara
kuantitatif sferosiditas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan
cairan hipoosmotik. Sferositosis herediter harus dibedakan dengan sel sferosit pada anemia
hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs.

Patofisiologi

Secara patofisiologi, anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
ekstravaskular dan intravaskular. Hemolisis ekstravaskular lebih sering terjadi dibandingkan
intravaskular. Mekanisme primer dari hemolisis ekstravaskular adalah sekuestrasi dan fagositosis
akibat deformabilitas sel darah merah yang buruk.

Mekanisme intravaskular meliputi destruksi sel secara langsung, fragmentasi, dan oksidasi.
Destruksi sel secara langsung dapat disebabkan oleh toksin dan trauma. Hemolisis fragmentasi
terjadi jika faktor ekstrinsik menyebabkan luka dan ruptur pada sel darah merah. Hemolisis
oksidatif timbul jika terjadi kegagalan pada mekanisme protektif sel.

Autoimmune hemolytic anemia dan hereditary spherocytosis adalah contoh hemolisis


ekstravaskular. Disebut ekstravaskular karena sel darah merah yang memiliki perubahan struktur
permukaan membran sel dihancurkan di luar pembuluh darah, yaitu di limpa dan hati dengan
bantuan makrofag. Sementara hemolisis intravaskular adalah keadaan hemolisis yang terjadi di
dalam pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya isi sel ke dalam plasma. akibat defek pada
sel darah merah. Defek dapat berupa defek enzim, dinding sel, hemoglobin, ataupun akibat
trauma dan infeksi yang menyebabkan terjadinya degradasi membran sel dan destruksi spontan.

Komplikasi
Pada anemia hemolitik berat, bila tidak ditangani maka dapat menyebabkan komplikasi yang
serius seperti aritmia, kardiomiopati, dan gagal jantung.

Edukasi yang dilakukan pada anemia hemolitik berbeda-beda tergantung penyebab spesifik
hemolisis. Secara umum, pasien perlu diedukasi untuk mengenali tanda dan gejala hemolisis,
seperti adanya anemia yang disertai ikterus dan splenomegali.
Pada pasien dengan thalassemia, perlu dilakukan edukasi mengenai risiko thalassemia pada
keturunan pasien. Pada pasien, ada baiknya dilakukan rujukan untuk konseling genetik.
Pasien dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) harus tahu jenis obat apa saja
yang harus dihindari untuk mencegah krisis hemolitik.

Penatalaksanaan

Pengobatan anemia hemolitik tergantung pada penyebabnya, tingkat keparahan, usia dan kondisi
kesehatan pasien, serta respons pasien terhadap obat. Beberapa metode pengobatan yang dapat
dilakukan oleh dokter antara lain:

 Suplemen asam folat dan suplemen zat besi.

 Obat imunosupresan, untuk menekan sistem kekebalan tubuh agar sel darah merah tidak
mudah hancur

 Suntik imunoglobulin (IVIG), untuk memperkuat kekebalan tubuh pasien.

 Transfusi darah, untuk menambah jumlah sel darah merah (Hb) yang rendah pada tubuh
pasien.

Pada kasus anemia hemolitik yang parah, dokter akan melakukan splenektomi atau bedah
pengangkatan limpa. Prosedur ini biasanya dilakukan ketika pasien tidak merespons metode
pengobatan di atas.

Kortikosteroid

Kortikosteroid diindikasikan  pada anemia hemolitik yang disebabkan oleh faktor imunitas.
Terutama pada anemia hemolitik autoimun (AIHA). Pada tahap awal dapat
diberikan prednison oral 1–2 mg/kg/hari. Bila respon terapi per oral kurang adekuat, maka dapat
diberikan methylprednisolone intravena dengan dosis 0,8–1,6 mg/kg/hari. Penurunan dosis
steroid harus dilakukan dengan perlahan.

Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan darah secara rutin ke
dokter dan ketika gejala sedang muncul. Untuk orang tua, dapat dilakukan pemeriksaan darah
rutin meskipun tanpa gejala

Kesimpulan

Anemi hemolitik adalah anemi yang terjadi karena pemecahan yang berlebihan darisel
eritrosit (hemolisis) tanpa diikuti oleh kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit bagi mengatasi hemolisis yang berlebihan tersebut, sumsum tulang
akan mengalami hyperplasia. Ada dua faktor yang mempengaruhi hemolisis yaitu : a).Faktor
Instrinsik (intra korpuskuler) ,kelainan terutama pada sel eritrosit , sering merupakan kelainan
bawaan, kelainan terutama pada enzym eritrosit ,b). Faktor Ekstrinsik (extra korpuskuler)
kelainan umumnya didapat (aguaired) dan biasanya merupakan kelainan immunologi .
Klasifikasi dan etiologi anemi hemolitik yaitu : a). Penyakit hemolitik yang diturunkan
(Inherited hemolytic disorders) biasanya merupakan kelainan membrane, enzym glycolytic,
kelainan metabolik nukleotide ,deffisiensi enzym pentosephosphat ,kelainan syntese dan struktur
eritrosit ,b).Anemi hemolitik didapat (Aquaired hemolitik anemi) : Anemi hemolitik
immune,anemi mikroangiopatik, Infeksi ,zat kimiawi,physical agent, PNH
,hypophosphospatemia ,vit.E deffisiensi pada newborns.
Pemeriksaan laboratorium yang penting diantaranya yaitu, hitung sel darah secara
lengkap (C.B.C) :Hb.,Ht.,Jumlah lekosit, eritrosit ,trombosit ,retikulosit ,nilai MC ,pemeriksaan
SADT, osmotik Fragiliti Test, pemeriksaan Biokimiawi dan pemeriksaan immunologi.

Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.h. 423,
425
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h. 85.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 70-1, 1153, 1162.
4. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: SinarSurya MegahPerkasa; 2009. h. 103.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-4.
Jakarta:EGC; 2005. h. 21-2.
6. Kiswari R. Hematologi dan transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014. h. 187-91.
7. Hemolytic Anemia, diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/201066-
overview#a0156, 13 April 2014.
8. Longo DL, Kasper Dl, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s
Principles of internal medicine. 18th edition. U.S: McGraw-Hill; 2012.
9. Immune hemolytic anemia, diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000576.htm, 13 April 2014.

Anda mungkin juga menyukai