Anda di halaman 1dari 18

REAKSI TRANFUSI IMUNOLOGI

BAB I. PENDAHULUAN

Transfusi darah dan produknya umumnya aman dan merupakan cara yang efektif
untuk mengoreksi gangguan hematologi tapi bisa terjadi efek samping selama atau setelah
transfusi dan biasanya disebut reaksi transfusi darah. Efek yang tak diinginkan ini bervariasi
dari yang relatif ringan sampai mematikan. Pembagian jenis-jenis reaksi tranfusi dapat dilihat
di gambar 1. Ada empat kategori reaksi transfusi:
1. Imunologi akut (<24hrs)
2. Akut non imunologis (<24 jam)
3. Imunologi tertunda (> 24 jam)
4. Tertunda tidak imunologis (> 24 jam) (Pavithran et al.,2011).

Gambar 1. Jenis jenis reaksi tranfusi (Ruddmann, 2005)

BAB II. REAKSI TRANFUSI IMUNOLOGI


Reaksi hemolitik yang parah bisa terjadi saat sel darah merah yang ditransfusikan
berinteraksi dengan antibodi yang dibentuk oleh resipien. Namun interaksi antara antibodi
yang ditransfusikan dengan sel darah merah resipien jarang menimbulkan gejala. Interaksi
antigen antibodi pada dinding sel darah merah bisa menginisiasi suatu rangkaian aktivasi
komplemen, efek sitokin dan koagulasi, dan unsur lain dari respon inflamasi sistemik tersebut
(Pavithran et al.,2011).
Ikatan antibodi terhadap antigen golongan darah mengaktifkan komplemen. Aktivasi
C3 melepaskan anaphylotoxin C3a; sel darah merah yang dilapisi dengan C3b dan difagosit.
Saat kaskade komplemen berlanjut , terbentuk membran attack compleks dan menimbulkan
terjadinya hemolisis intravaskular dengan produksi C5a, suatu anafiloksin yang ampuh.
hemolisis intravaskular menyebabkan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Dan
anaphylotoxin menyebabkan hipotensi, bronkospasme, urtikaria, nyeri dada dan perut dan
muntah. Patofisiologi reaksi tranfusi imun dapat dilihat pada gambar 2

Gambar 2. Patofisiologi reaksi tranfusi imun

Beberapa efek hemolisis alloimmune dimediasi oleh sitokin inflamasi seperti TNF
alpha, interleukin Ib dan 6 (IL 1b, IL 6), dan kemokin seperti IL8 dan monosit protein
kemoattractant (MCP). Kedua komponen komplemen yang teraktivasi seperti sitokin TNF
alpha dan IL1b dapat meningkatkan ekspresi faktor jaringan (tissue factor) oleh leukosit dan
sel endotel. Tisu faktor mengaktifkan jalur koagulasi dan menyebabkan terjadinya koagulasi
intravaskular yang luas (DIC). Kondisi yang berkaitan dengan reaksi tranfusi imunologi
adalah sebagai berikut:
I. Komplikasi imunologis akut atau akut transfusi
1. Acute haemolytic transfusion reaction (intra atau ekstravaskular).
2. Febrile Non Hemolitik Tranfusion Reaction (FNHTR)
3. Reaksi alergi dan anafilaksis
4. Cedera paru akut akibat transfusi
II. Komplikasi imunologis transfusi darah tertunda (delayed)
1. Delayed serologic/hemolytic transfusion reaction (DSHTR)
2. Purpura pasca transfusi
3. Penyakit graft-versus-host
4. Immunological Refractoriness to Platelet Transfusions (Taylor, et al., 2008) |
I. Komplikasi imunologis akut atau akut transfusi.
1. Acute haemolytic transfusion reaction (AHTR)
Reaksi transfusi hemolitik akut terdiri dari hemolisis akut disertai gejala yang muncul
dalam waktu 24 jam setelah transfusi. Etiologi mungkin bersifat imun atau nonimun. Pada
transfusi hemolitik akut yang dimediasi reaksi imun, tanda dan gejala yang menyertainya
meliputi nyeri perut, dada, panggul, atau sakit punggung; nyeri di tempat infus; perasaan
tentang akan datangnya ajal, hemoglobinemia, hemoglobinuria, hipotensi, gagal ginjal, syok,
dan koagulopati intravaskular menyebar Urin merah atau gelap atau perdarahan atau
keluarnya cairan secara difus bisa menjadi satu-satunya tanda pada pasien yang menerima
anestesi. Volume darah inkompatibel yang sedikit sebanyak 10 mL, bisa menyebabkan
hemolisis cepat. Tingkat keparahan dan gejala berhubungan erat dengan jumlah dan laju
transfusi darah yang inkompatibel. kondisi klinis pasien yang mendasari juga dapat
mengaburkan Interaksi reaksi antibodi yang terjadi. Interaksi antara antibodi resipien dengan
antigen pada sel darah merah donor merupakan patofisiologi dasarnya. Reaksi yang paling
parah terkait dengan ketidakcocokan ABO
Gambar 3 : Gambaran umum patofisiologi reaksi transfusi hemolitik imun akut (Harmening,
2012).
Pada anemia hemolitik imun akut karena ketidakcocokan ABO, kaskade lengkap
diaktifkan oleh kompleks imun yang dibentuk oleh interaksi antara isohemagglutinin IgM
yang tidak kompatibel dan antigen ABO. Aktivasi membran attack complex merusak sel
darah merah. Pelepasan mediator inflamasi, dan aktivasi kaskade koagulasi menyebabkan
tanda dan tanda gejala berhubungan dengan reaksi. IgM = imunoglobulin M (gambar 3)
(Harmening, 2012). Gambar 3 menunjukkan proses hemolisis intravaskular dan klirens
hemoglobin berhubungan dengan lisis sel intravaskular.

Gambar 3 : Hemolisis intravaskuler (Hillman, RF, and Finch, 1996).

Transfusi harus segera dihentikan, bila dicurigai terjadinya AHTR imun , maka
verifikasi klerikal harus dilakukan, dan dokter yang merawat pasien diberitahu. Akses
intravena dijaga dan digunakan untuk terapi suportif. Intervensi terapeutik tambahan apapun
pada kondisi ini harus lebih diutamakan pada perawatan tekanan darah pasien dan output urin
yang adekuat. Secepatnya, perawat memberitahukan pada unit layanan transfusi, melengkapi
dokumen reaksi transfusi, mengambil sampel reaksi pasca transfusi, dan mengumpulkan
sampel urin jika memungkinkan. Begitu unit layanan transfusi menerima dokumen, sampel,
dan kantong komponen darah, petugas terkait harus memulai evaluasi reaksi dasar dan
memberitahu dokter penaggung jawab unit layanan transfusi. Jika ada perbedaan
diidentifikasi selama pemeriksaan klerikal, petugas unit layanan transfusi harus mengambil
langkah yang perlu ditentukan apakah ada kaitannya dengan pasien lain, untuk mencegahnya
kejadian buruk lainnya.
Petugas harus meminta sampel kedua untuk memverifikasi bahwa hemolisis tidak
sekunder karena pengambilan sampel yang sulit, jika inspeksi sampel darah post reaksi
tampak hemolisis. Segera dilakukan tes antiglobulin langsung (DAT) pada contoh darah post
reaksi. DAT negatif tidak menyingkirkan kemungkinan hemolisis imun. Jika dicurigai
hemolisis imun, semua pemeriksaan prereaksi diulang dengan menggunakan sampel post
reaksi termasuk pemeriksaan antibody screen, crossmatches, dan beberapa uji antigen dari
unit yang di crossmatched. Jika salah satu dari pemeriksaan ulang dengan sampel post reaksi
memberikan hasil positif maka dilakukan pengujian ulang dengan sampel prereaksi. Jika
DAT yang dilakukan pada sampel post reaksi menunjukkan hasil positif lebih kuat daripada
sampel DAT prereaksi , maka pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan dengan sampel post
reaksi, karena hal ini mengindikasikan adanya sel darah merah yang tidak kompatibel untuk
ditransfusikan (gambar 4) (Harmening, 2012).

Gambar 4. Pemeriksaan untuk evaluasi reaksi transfusi akut (Harmening, 2012).


2. Febrile Non Hemolitik Tranfusion Reaction (FNHTR)
Febrile Non Hemolitik Tranfusion Reaction adalah efek samping transfusi darah yang
paling umum dan memiliki sejumlah penyebab. Terjadi saat transfusi sel darah merah non
leukoreduced atau leukodepleted atau platelet, dengan insidensi 1% sampai 5-10%. Reaksi ini
biasanya dimediasi oleh imun, karena terjadi reaksi antara antibodi sel darah putih pada
plasma resipien dengan leukosit pada komponen darah transfusi Namun, beberapa bukti
menunjukkan bahwa protein plasma juga memiliki peran dalam etiologi FNHTR (Taylor, et
al., 2008).
a. Definisi dan diagnosis banding
Definisi FNHTR mencakup kenaikan suhu paling sedikit 1 ° C (kadang-kadang 1,5-2
° C), yang tidak berkaitan dengan kondisi klinis pasien. Demam terjadi bersamaan dengan
transfusi dan bisa disertai dengan kedinginan, kaku otot dan perasaan tidak nyaman. Biasanya
berespon baik dengan obat antipiretik dan tidak terjadi hemolisis. FNHTR tidak mengancam
jiwa, tapi episode berulang bisa membuat pasien sangat khawatir. Untuk menghindari
masalah ini, premedikasi (dengan parasetamol) sering digunakan untuk mencegahnya reaksi
demam. Namun, pada pasien multitransfusi, premedikasi tidak akan cukup dan perlu
dilakukan penurunan jumlah sel darah putih pada komponen darah. Diagnosis banding
mungkin sulit, terutama bila terdapat gangguan komorbiditas seperti infeksi atau keganasan,
dan perawatan tertentu, dapat menyebabkan spektrum gejala yang sama. Demam juga bisa
menyertai reaksi transfusi akut lainnya, termasuk AHTR, infus komponen darah yang
terkontaminasi bakteri atau Tranfucion Related acut Lung injury (TRALI). Oleh karena itu
diagnosis FNHTR harus menjadi diagnosis pengecualian. Jika ragu, maka uji anti-globulin
langsung (Coombs) dan tes untuk adanya hemoglobin bebas dalam plasma bisa dilakukan.
Komponen darah yang terkontaminasi bakteri biasanya menyebabkan hipotensi yang cepat
dan mendalam yang terjadi jauh lebih awal dari FNHTR (Taylor, et al., 2008).
b. Reaksi yang dimediasi antibodi
Febrile Non Hemolitik Tranfusion Reaction dikaitkan dengan adanya antibodi sel
darah putih pada penerima yang bereaksi dengan leukosit pada komponen transfusi. tercatat
banyak pasien yang mengalami FNHTR telah menerima transfusi darah sebelumnya atau
pernah hamil. Interaksi antigen antibodi sel darah putih tersebut mengakibatkan rangsangan
dan pelepasan pirogen endogen, seperti. Sitokin IL-1b, IL-6 dan TNF, dari leukosit donor.
FNHTR juga bisa disebabkan oleh pelepasan sitokin oleh aktivasi makrofag resipien dan
bukan leukosit donor. Dalam hal ini, interaksi antibodi- sel darah putih mengarah pada
aktivasi komplemen dan interaksi antigen- antibodi-komplemenmenyebabkan aktivasi
makrofag pada resipien yang menghasilkan produksi pirogen endogen.
Antibodi terhadap sel darah putih ditemukan pada 70% atau lebih pada pasien yang
mengalami FNHTR. Termasuk antibodi HLA dan granulosit. Leukodeplesi atau leukoreduksi
komponen darah di bawah ambang batas 5 x 106 leukosit per komponen secara signifikan
mengurangi kejadian FNHTR. Namun, tidak semua FNHTR disebabkan oleh antibodi
leukosit. 30% pasien mengalami reaksi ini dan tidak didapatkan antibodi sel darah putih.
Kemungkinannya adalah karena adanya antibodi HPA yang bereaksi dengan trombosit yang
tidak kompatibel (Taylor et al, 2008).
c. Reaksi dimediasi oleh akumulasi dan perubahan respons biologis selama
penyimpanan
Di antara penerima transfusi trombosit, lebih dari 20% pasien menderita FNHTR pada
paparan pertama, sementara 55% mengalami reaksi pertama mereka pada tiga episode
transfusi. Terjadinya reaksi transfusi trombosit saat pertama tranfusi menunjukkan bahwa
tidak mungkin terjadi alloimunisasi leukosit sebelumnya, dan oleh karena itu beberapa
FNHTR tidak dimediasi antibodi. Penyimpanan merupakan faktor penting dalam terjadinya
FNHTR. Frekuensi FNHTR jauh lebih besar pada platelet dibandingkan dengan sel darah
merah, meskipun jumlah absolut leukosit pada masing-masing komponen adalah sama.
Peningkatan konsentrasi sitokin, baik endogen atau eksogen, berbahaya bagi host, Sitokin
seperti IL-1b, IL-6, IL-8 dan TNFa secara aktif disintesis dan dilepaskan
selama penyimpanan platelet dan sel darah merah. Korelasi linier antara kadar sitokin,
kandungan sel putih dan durasi penyimpanan menunjukkan bahwa sitokin menumpuk lebih
banyak pada suhu 22 ° C dari pada 4 ° C.19 leuko reduksi pra-penyimpanan mencegah
akumulasi sitokin dan berhubungan secara signifikan angka kejadian FNHTR yang lebih
sedikit. Removal mantel buffy dari sel darah merah atau pembuatan konsentrat platelet
dengan sistem 'top-and-bottom' atau metode buffy-coat cukup signifikan mengurangi
produksi sitokin dalam komponen darah yang tersimpan. Dengan demikian, tidak diperlukan
leukodepletion saat leukoreduksi sudah cukup efektif. Efek IL-1 termasuk aktivitas pirogenik
yang ampuh, kemungkinan dimediasi oleh IL-6 atau PGE-2, stimulasi hemopoiesis, dan
aktivasi dari neutrofil dan platelet. TNF juga pirogen yang kuat, meningkatkan proliferasi sel
B dan mengaktifkan jalur ekstrinsik koagulasi melalui faktor jaringan. IL-6 adalah pirogen
dan juga meningkatkan respon antibodi dan merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B. IL-
8 adalah kemokin dan faktor kemotaksis untuk neutrofil dan sel T, merangsang ledakan
oksidatif neutrofil dan pelepasan histamin basophil. Temuan ini mendukung konsep bahwa
sitokin proinflamasi berperan dalam FNHTR. Saat plasma terkena permukaan plastik,
komplemen diaktifkan melalui jalur alternatif. Aktivasi C3 telah terdeteksi setelah
penyimpanan selama 5 hari pada suhu kamar dengan agitasi. C3 memiliki beberapa efek
patofisiologis, ia memicu pelepasan histamin sel mast, yang meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular dan meningkatkan agregasi trombosit in vitro dan pelepasan serotinin. aktivasi
komplemen bisa merangsang monosit dalam konsentrat trombosit menghasilkan sitokin
sehingga berkontribusi terhadap gejala karakteristik FNHTR. Beberapa filter leukodepletion
yang lebih baru muncul untuk menyerap C3a dari konsentrat trombosit dan dapat membantu
mengurangi kejadian FNHTR (Taylor et al., 2008)
d. Pencegahan FNHTR
Cara paling efektif mencegah sebagian besar dari FNHTR adalah dengan leukodeplesi
pre-storage seluler komponen darah, yaitu sel darah merah dan konsentrat platelet.
Leukodeplesi dapat dicapai dengan penyaringan komponen darah atau dengan teknik
apheresis modern selama pengumpulan platelet. 14 removal leukosit pada ambang batas
5x 106 per komponen sebelum penyimpanan mencegah akumulasi sitokin IL-8 dan
proinflammatory seperti IL-1b, IL-6 dan TNF pada komponen sel darah merah dan platelet.
20 pemberian antipiretik seperti parasetamol mungkin berguna dalam mengurangi gejala
FNHTR (Hart, et al., 2015).
3. Reaksi alergi dan anafilaksis
Reaksi ini terjadi sebagai respons terhadap protein plasma pada komponen darah yang
diberikan, dan mewakili suatu respon hipersensitivitas tipe 1, yaitu reaksi alergi langsung
beberapa detik atau lebih lama setelah kontak dengan antigen yang dapat bervariasi dari
reaksi urtikaria sampai anafilaksis.
Respons hipersensitivitas terjadi dengan sangat cepat setelah kontak dengan antigen
yang relevan dan kambuh pada kesempatan berikutnya. Paparan antigen utama merangsang
sel plasma untuk menghasilkan IgE spesifik. IgE ini mengikat sel mast melalui reseptor Fc
dan membuat menjadi peka. Representasi antigen menyebabkan crosslink IgE merangsang
degranulasi sel mast. Sistem organ yang terkena meliputi kulit, dan mukosa saluran
pencernaan dan saluran pernafasan, dimana sel mast terdistribusi normal. Stimulasi saraf
sensorik menyebabkan reaksi gatal dan kontraksi otot polos menyebabkan kebocoran
vaskular dan edema jaringan. Dilatasi arteri menyebabkan sakit kepala dan hipotensi,
sementara bronkokonstriksi dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Mediator Respon dari
sumber endogen ini meliputi histamin, serotonin dan bradikinin, analphylatoxins C3a dan
C5a, limfokin dan leukotrien. Reaksi transfusi alergi kutaneous terjadi pada 1-3% dari
komponen darah yang mengandung plasma, termasuk sel darah merah dan trombosit. Tanda
dan gejala kardinalnya adalah eritema lokal, urtikaria dan pruritus. Protein yang larut dalam
plasma donor umumnya bertanggung jawab tapi etiologi spesifik jarang teridentifikasi.
Pengobatan termasuk antihistamin dan kadang hidrokortison; antihistamin dapat digunakan
secara profilaktik 1 jam sebelum transfusi, untuk mencegah episode di masa yang akan
datang.
Reaksi transfusi anafilaksis umumnya jauh lebih sedikit, terjadi sekali per 20.000-
400.000 unit darah atau komponen yang ditransfusikan. Penyebab umumnya IgG anti-IgA
pada penerima IgA-defisien yang ditransfusi dengan produk darah yang mengandung IgA.
Formasi kompleks imun IgG / IgA menyebabkan aktivasi komplemen dan pelepasan C3a dan
anafiloksin C5a.22
Tanda dan gejala termasuk ,mual, muntah, diare dan kram perut, edema laring,
bronkospasme dan dyspnea, hipotensi, shock dan gangguan kardiopulmoner. Transfusi
seharusnya segera dihentikan dan diberikan adrenalin segera. Mungkin diperlukan terapi
suportif untuk sirkulasi dan sistem pernapasan. Diagnosis bandingnya mencakup
ketidakcocokan ABO , dengan AHTR, TRALI dan mungkin kontaminasi bakteri. Defisiensi
IgA terjadi pada kira-kira 1 dari 700 populasi di Inggris dan didefinisikan sebagai kurang dari
0,05 mg / dL IgA.
Diagnosis harus dilakukan dengan menunjukkan adanya defisiensi IgA dan deteksi
anti-IgA. Jika sudah terdiagnosis, pasien harus diidentifikasi baik di catatan rumah sakit atau
di gelang di pergelangan tangan , dan dia harus diberitahu sepenuhnya tentang implikasi di
masa mendatang. pasien semacam itu hanya akan menerima tranfusi komponen defisiensi
IgA yang dikumpulkan dari panel khusus donor yang defisiensi IgA. Jka tidak ada donor
defisiensi IgA, sel darah merah yang dicuci dapat diberikan sebagai tindakan pencegahan.
Transfusi autologus dapat dipertimbangkan dalam kondisi yang tepat. (Taylor, et a.l., 2008)
4. Transfusion-related acute lung injury (TRALI)
Transfusion-related acute lung injury pada awalnya dikira sebagai komplikasi yang
jarang terjadi, tapi sekarang dikenal sebagai penyebab utama morbiditas terkait transfusi dan
kematian [20, 77-80]. Pada tahun 2004, National Heart AS, US Lung and Blood Institute
Working Group merumuskan definisi TRALI (Tabel 2) [77, 78]. Insiden TRALI di Inggris
antara 0,08% dan 15% [85]. Ini mengalami penurunan di Inggris, dengan 11 tersangka kasus
pada tahun 2012 (tidak fatal), dibandingkan dengan pada tahun 2003 dengan dicurigai 36
kasus dan 7 kematian [34]. Namun, tetap menjadi penyebab utama kematian transfusi di AS
[80]. [86, 87]. S. Hart, C. M. Cserti-Gazdewich, and S. A. McCluskey Red cell transfusion
and the immune system . Anaesthesia 2015, 70 (Suppl. 1), 38–45
TRALI adalah komplikasi transfusi yang mengancam jiwa yang mungkin memiliki
presentasi klinis yang sangat dramatis tidak dapat dibedakan dari sindrom distres pernapasan.
Pada kebanyakan kasus dimulai dalam waktu 2 jam post transfusi tapi mungkin sampai 4 atau
6 jam setelah pemberian komponen darah yang mengandung plasma. Gejala umumnya
meliputi demam, hipotensi, menggigil, sianosis, batuk dan dyspnea tidak produktif. Rontgen
toraks menunjukkan edema paru bilateral yang parah atau infiltrasi paru-paru perihilar dan
bawah, tanpa pembesaran jantung atau keterlibatan pembuluh darah. Temuan sinar-X
mungkin jauh lebih parah daripada perubahan auskultasi pada pemeriksaan. Hipoksia berat
dengan tekanan oksigen arterial yang sangat rendah, dan pasien sering membutuhkan
ventilasi mekanis. Berbeda dengan pasien dengan sirkulasi overload, TRALI memiliki
tekanan vena sentral normal dan tekanan paru normal atau rendah. Sekitar 80% pasien
dengan TRALI membaik secara klinis maupun fisiologis dalam 2 atau 3 hari dengan
perawatan yang mendukung. Kematian secara keseluruhan sekitar 5-8%, berbeda dengan
ARDS (sindrom distres pernafasan orang dewasa), yang memiliki tingkat kematian 40-50%.
Mekanisme yang tepat terlibat dalam terjadinya TRALI tidak jelas, tapi dua mekanisme yang
mungkin telah dipostulasikan: dimediasi antibodi dan yang dimediasi solubel mediator.
Mekanisme ini melibatkan aktivasi granulosit dan memicu proses inflamasi, menyebabkan
penyerapan neutrofil di paru-paru. Pada sebagian besar kasus, para peneliti telah
menunjukkan adanya HLA kelas I dan kelas II atau antibodi spesifik granulosit pada donor.
Pada sekitar setengah kasus yang diteliti, keterlibatan antibodi HLA donor berhubungan
dengan satu atau lebih HLA antigen di penerima. Dalam kasus lain, neutrofil spesifik antibodi
(HNA1, HNA-3a) telah diidentifikasi dalam plasma unit yang terlibat. Antibodi ini Paling
sering ditemukan pada donor wanita multipara. Tampaknya granulosit berinteraksi dengan
komplemen yang teraktivasi, menyebabkan agregasi dan penyumbatan dari microvaskuler
paru Leukosequestrasi paru menyebabkan perubahan transien permeabilitas vaskular dan
edema paru. Dalam jumlah kecil kasus yang dilaporkan, antibodi serupa ditemukan dalam
serum penerima pretransfusi dan dalam kasus tersebut TRALI lebih sering terjadi setelah
transfusi granulosit. Dalam beberapa kasus didiagnosis secara klinis sebagai TRALI, tidak
ada antibodi yang diidentifikasi dan bahwa dalam hal ini
kasus aktivasi granulosit dimediasi oleh zat lipid solubel, yang terakumulasi selama
penyimpanan produk. Bagaimanapun, ada kemungkinan sejumlah Faktor menentukan respon
klinis akhir pasien dan ini mungkin termasuk karakteristik antibodi, sifat dan distribusi
antigen terkait, tingkat aktivasi komplemen (khususnya pembebasan dari C5a) dan status
kekebalan resipien.
Gambar 5. Jalur regulasi yang mengatur aktivasi neutrofil dan ekstravasasi : Setelah terjadi
luka jaringan atau invasi patogen, sitokin dihasilkan oleh leukosit atau metabolit yang
dihasilkan oleh patogen yang menginduksi aktivasi sel endotel. Sel endotel yang teraktivasi
memobilisasi P-selectin dan E-selectin ke permukaan sel apikal dan memfasilitasi adhesi
neutrofil melalui interaksi dengan PSGL-1. Aktivasi neutrofil selama adhesi yang
menyebabkan longgarnya endotel menghasilkan perubahan konformasi pada integrin yang
memediasi adhesi dan ekstravasasi. Setelah ekstravasasi, neutrofil menanggapi rangsangan
chemotactic, menetralkan patogen dan menghilangkan nekrotik Jaringan melalui kolaborasi
berbagai faktor, termasuk enzim dan enzim radikal bebas.

Gambar 6 : TRALI yang dimediasi direk antibodi. Transfusi produk darah yang mengandung
antibodi terhadap HNA dan MHC kelas I bisa berakibat langsung aktivasi neutrofil
intravaskular. Anti-MHC antibodi kelas I yang mengenali kelas MHC endothelial mungkin
juga langsung menambatkannya neutrofil ke endotelium terlepas dari kejadian selektif atau
integrin. Kompleks imun anti-HNA atau anti-MHC kelas I dan HNA terlarut atau kelas MHC
I juga dapat dikenali oleh reseptor Fc yang menghasilkan aktivasi neutrofil. Intravaskular.
Aktivasi neutrofil menyebabkan kerusakan sel endotel, kebocoran vaskular dan edema paru.
Gambar 7 : Mekanisme independen yang tidak dimediasi antibodi dan antibodi independen
dari Induksi TRALI. Patologi paru yang mendasarinya, adalah diinduksi oleh injeksi LPS
pada model hewan percobaan, mengaktifkan sel endothelial sehingga terjadi sequestrasi
neutrofil yang signifikan dalam vaskulatur paru. Setelah priming events paru, faktor terkait
transfusi menginduksi aktivasi neutrofil intravaskular yang cepat dengan kerusakan endotelial
berikutnya, gangguan vaskular dan edema paru. Faktor yang bertanggung jawab untuk
aktivasi transfusi-induced termasuk CD40L terlarut, aktivasi monosit yang dimediasi antibodi
dan pelepasan sitokin, mediator lipid dan kegagalan chemokine scavenging oleh sel darah
merah yang tua. Antigen Duffy secara khusus ditunjukkan pada permukaan merah sel darah,
dimana Duffy pada sel darah merah tua menunjukkan reseptor Duffy dengan gangguan
kapasitas untuk mengikat kemokin intravaskular.
Diagnosis dan pengobatan
Tidak ada tes diagnostik atau temuan pathognomonic untuk TRALI, jadi diagnosisnya
adalah salah suatu ekskludi dari penyebab lainnya, antara lain gangguan pernafasan dan
edema paru termasuk infark miokard, sirkulasi overload dan infeksi bakteri. Pengukuran
vena sentral dan tekanan pulmonary wedge sangat membantu. Diagnosis TRALI harus
mencakup pengujian serum donor dan penerima untuk granulosit (HNA) dan limfosit (HLA)
antibodi. Ditentukan spesifisitas antibodi dan HLA atau HNA typing resipien atau donor juga
bisa dilakukan. Pencegahan , dianjurkan agar donor yang telah terlibat di TRALI dan yang
ditemukan memiliki antibodi granulosit atau limfosit harus ditarik dari panel donor kecuali
komponennya akan dikeluarkan sebagai sel darah merah degliserasi atau dicuci.23
Pengecualian semua perempuan multipara dari panel donor akan menghasilkan kehilangan
donor darah yang sangat besar (5-30%), namun disarankan tidak menggunakan plasma
mereka untuk pembuatan FFP atau untuk suspensi konsentrat platelet. Pengujian rutin donor
untuk HLA dan antibodi granulosit adalah timeconsuming dan terlalu mahal untuk
diimplementasikan. (Taylor et al, 2008)
Gambar 8. Kriteria diagnosis TRALI (Harmening, 2012)
II. Komplikasi imunologis transfusi darah tertunda (delayed)
1. Delayed hemolytic transfusion reaction (DHTR)
Reaksi transfusi hemolitik lambat (DHTR) umumnya terjadi 1-2 minggu setelah
transfusi. Merupakan respon imun sekunder pada pasien yang sebelumnya
terimunisasi antigen sel darah merah melalui transfusi atau kehamilan (Cid J, et al.,
2014). Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, respon imun primer yang cepat dapat
menyebabkan DHTR setelah transfusi awal. Transfusi dengan sel darah merah yang
tidak sesuai dapat menghasilkan restimulasi sel memori dan peningkatan titer
antibodi IgG (yaitu respons imun anamnestic). Antibodi mengikat permukaan sel
darah merah dan, tergantung pada jumlah interaksi antigen-antibodi, dapat
mengaktifkan komplemen dengan deposisi C3b. Biasanya, lebih dari 105 situs
antigenik per sel diperlukan untuk aktivasi komplemen yang poten. Sel darah merah
dilapisi dengan antibodi IgG dan / atau komplemen yang mengikat reseptor
imunoglobulin Fc atau C3b yang ada pada fagosit mononuklear dan dihancurkan oleh
fagositosis (yaitu hemolisis ekstravaskular). Antibodi IgG yang mengaktifkan
komplemen secara efisien (misalnya, pada sistem golongan darah Kidd) cenderung
menyebabkan hemolisis ekstravaskular yang lebih intens dibandingkan antibodi yang
mengaktifkan komplemen secara kurang efisien (misalnya antibodi sistem Rh dan
Kell). Jarang terjadi ikatan antibodi IgM ke sel darah merah mengaktifkan jalur
komplemen klasik dan menyebabkan hemolisis intravaskular, namun ini lebih sering
terlihat dalam konteks transfusi ABO-inkompatibel disertai reaksi transfusi hemolitik
akut. Tabel 1. Antibodi RBC yang sering memberikan tanda klinis yang signifikan
(Reid ME, Lomas-Francis C.,1997).

gambar 9. Skema hipotetis respon imun terhadap antigen RBC pada pasien
alloimmunized versus nonalloimmunized (Karina Yazdanbakhsh, et al., 2012).

Gambar 10. Hemolisis ektravaskuler. (Noronha, 2016)


2. Post Tranfusion Purpura
Post tranfusion purpura (PTP) adalah sindrom langka yang pertama kali dijelaskan
oleh Shulman et al pada tahun 1961. Kelainan immuno-hematologis ini ditandai dengan
trombositopenia berat yang terjadi 7 sampai 14 hari setelah transfusi produk darah. Paling
sering terjadi pada individu yang plateletnya kekurangan antigen HPA-1a. Pasien membentuk
antibodi terhadap antigen HPA-1a yang menyebabkan kerusakan trombosit. Dalam beberapa
kasus, HPA-5b juga telah terlibat. Trombositopenia berat pada PTP disebabkan oleh
alloantibody melawan antigen platelet donor, paling umum human antigen platelet-1a (HPA-
1a), epitop pada kompleks glikoprotein IIIa dari GP IIb / IIIa Resipien selalu memiliki
riwayat sensitisasi, kebanyakan oleh kehamilan, dan kadang-kadang melalui transfusi darah.
Rasio laki-laki dan wanita adalah 5: 1. Insiden PTP sekitar 1 di 50000-100000 transfusi Pada
pasien yang tidak diobati, trombositopenia membaik dalam waktu 20 hari. Namun,
pendarahan dari selaput lendir, gastrointestinal dan saluran kencing biasa terjadi dan angka
kematian diperkirakan sekitar 10%, yaitu sebagian besar sekunder akibat perdarahan
intrakranial. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan inisiasi terapi yang tepat sangat penting
untuk menurunkan kematian yang terkait dengan gangguan ini (Farhadfar et al., 2015).

3. Penyakit graft-versus-host terkait transfusi (TA-GVHD)

Penyakit graft-versus-host terkait transfusi (TA-GVHD) didefinisikan sebagai reaksi


transfusi imun tertunda karena gangguan imunologis oleh limfosit donor yang terdapat dalam
komponen darah transfusi. Reaksi yang muncul dengan ruam makulopapular (sering
pruritus), demam, diare berair (tinja berdarah dan sakit perut), peningkatan tes fungsi hati,
dan pansitopenia terjadi antara 3 - 30 hari pasca-transfusi komponen darah seluler
nonirradiasi. Tiga kondisi harus ada agar terjadi TA-GVHD pada resipien: 1. Perbedaan
antigen HLA antara donor dan resipien, adanya sel imunokompeten donor di komponen
darah, dan resipien tidak mampu menolak sel imunokompeten donor. Jumlah limfosit dalam
kantong darah ditentukan oleh usia komponen darah dan status iradiasi. Komponen darah
lebih tua mengandung lebih banyak lymphocytes T . Populasi pasien imunodefisiensi yang
berisiko termasuk di antaranya bayi dan penderita kanker atau sistem kekebalan tubuh yang
terganggu. Pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang utuh, TA-GVHD dapat terjadi
bila pasien ditransfusikan dengan komponen darah seluler dari donor homozigot untuk
HLA haplotype yang dibagi dengan resipien heterozigot (Gambar 16-15).
Gambar 11. Transfusion-associated graft-versus-host disease (TA-GVHD) pada pasien
imunokompeten. (Harmening, 382)

Diagnosa

Adanya limfosit donor dalam sirkulasi resipien atau jaringan bisa mengkonfirmasi
terjadinya TA-GVHD. Karakteristik perubahan histologis bisa dilihat pada biopsi kulit yang
menunjukkan adanya degenerasi lapisan sel basal dengan vacuolisasi, pemisahan lapisan
epitel dermal dan pembentukan bulla. Biopsi hati menunjukkan adanya degenerasi dan
eosinofilia, dan aspirasi sumsum tulang menunjukkan aplasia dengan infiltrasi limfosit.
Beberapa metode digunakan sebagai diagnosis positif dari TA-GVHD, berdasarkan DNA sel
donor atau pasien (Taylor.,2008).

4. Immunological Refractoriness to Platelet Transfusions


Transfusi platelet memainkan peran penting dalam manajemen pasien
trombositopenia secara hematologis dan onkologis. Namun, proporsi pasien tersebut
menjadi refrakter terhadap transfusi platelet dari donor acak, karena penyebab imunologis
dan non-imunologis. Refraktori imunologi terutama disebabkan oleh antibodi HLA-
memediasi penghancuran transfusi trombosit, meskipun HPA dan
alloantibodi ABO titer tinggi terkadang juga terlibat. Pasien dikonfirmasi dengan imunologi
refraktorines karena adanya antibodi HLA memerlukan transfusi dengan HLA-matching atau
HLA platelet yang kompatibel.
Investigasi laboratorium untuk mengidentifikasi kasus-kasus ini melibatkan
skrining antibodi HLA pada serum pasien , dan jika positif, identifikasi antibodi diikuti
dengan HLA typing pasien dan pemilihan dan HLA yang kompatibel. Pendekatan alternatif,
dengan tidak adanya panel donor HLA typing, adalah dengan menyediakan crossmatch yang
kompatibel.

BAB III
KESIMPULAN
Reaksi transfusi diklasifikasikan menurut interval waktu gejala Kurang dari 24 jam:
akut, reaksi transfusi; lebih dari 24 jam: delayed. Reaksi transfusi lebih lanjut diklasifikasikan
menjadi imun atau nonimun. Evaluasi atau pengujian reaksi transfusi akut, termasuk
pemeriksaan klerikal, pemeriksaan hemolisis visual, DAT, dan konfirmasi kelompok ABO
pasien. Reaksi transfusi imun akut meliputi hemolitik akut, reaksi alergi dan TRALI.
Hemolisis imun terjadi saat terbentuk antibodi sebelumnya yaitu IgM (ABO) atau
IgG (non-ABO) pada resipien mengenali antigen RBC donor yang sesuai dan menghasilkan
hemolisis intravaskular yang dimediasi komplemen. Bukti hemolisis imun dilihat dari sampel
postreaction suatu reaksi transfusi akut. Evaluasi atau tes perlu diikuti dan dibandingkan
dengan hasil pengujian pretransfusi. Jika diperlukan, pengujian tambahan dalam rangkap dua
(pra- dan postreaction) bisa termasuk dasar pengulangan pengujian immunohematology,
eluate, dan antigen typing untuk mengidentifikasi penyebab hemolisis imun.
Reaksi nonhemolitik Febrile terjadi saat resipien terpapar oleh sitokin donor yang
ada didalam plasma dan dimanifestasikan oleh peningkatan suhu tubuh lebih dari 1 ° C
dengan atau tanpa demam. Reaksi alergi bisa ringan (gatal atau gatal) atau berat (anafilaksis)
dan terutama disebabkan oleh pelepasan dari histamin dari interaksi antara alergen pada
plasma donor dan antibodi resipien.
TRALI paling sering terjadi saat leukosit donor bereaksi dengan antibodi sel darah
putih di paru resipien, merusak endotelium dan menyebabkan edema paru nonkardiogenik.
Komponen darah dari donor wanita multipara adalah yang paling sering dikaitkan dengan
kondisi ini. Fokusnya adalah pada pencegahan dengan hanya menggunakan komponen
plasma laki-laki atau komponen plasma dikumpulkan dari donor wanita antibodi negatif.
Reaksi transfusi imun delayed termasuk delayed hemolityc tranfusion reaction,
penyakit graft-versus-host, purpura pasca-transfusi dan Immunological Refractoriness to
Platelet Transfusions. Delayed hemolityc tranfusion reaction terjadi karena respon imun
anamnestic terhadap antibodi sel darah merah.
Penyakit graft-versus-host terkait transfusi terjadi ketika transfusi dari limfosit
donor menyerang dan menghancurkan sistem kekebalan resipien, menyebabkan pansitopenia
dan kematian. Hal ini dicegah oleh iradiasi gamma komponen darah untuk transfusi pada
populasi pasien yang berisiko.
Purpura pasca-transfusi adalah trombositopenia berat yang didapat saat pasien yang
memiliki antibodi trombosit ditransfusikan dengan komponen darah yang mengandung
antigen platelet yang berkesesuaian yang menyebabkan kerusakan dari trombosit donor dan
resipien. Anti-HPA-1a adalah antibodi spesifik yang paling umum.

Anda mungkin juga menyukai