Frekuensi dari SLE bervariasi oleh ras dan etnis, dengan tingkat lebih tinggi
dilaporkan di antara orang kulit hitam dan Hispanik. Prevalensi SLE adalah sekitar 40 per
100.000 orang kulit putih di Rochester, Minnesota, dibandingkan 100 per 100.000 orang
Hispanik di Nogales, Arizona. Angka kejadian SLE pada wanita hitam adalah sekitar 4 kali
lebih tinggi dibandingkan pada wanita kulit putih. SLE lebih sering pada wanita Asia
dibandingkan pada wanita kulit putih.
Menurut data statistik internasional, prevalensi dari SLE bervariasi. Para prevalensi
tertinggi telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia.
Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang
dilaporkan antara orang kulit hitam yang tinggal di Afrika, menunjukkan bahwa mungkin ada
pemicu lingkungan serta sebagai dasar genetik untuk penyakit mereka. Perempuan kulit
hitam memiliki tingkat lebih tinggi SLE daripada ras lain, diikuti oleh orang Asia, dan
selanjutnya orang perempuan kulit putih. Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam
beresiko 4 kali lebih mungkin dibanding perempuan kulit putih.
SLE sering dimulai pada wanita usia subur, dan penggunaan hormon eksogen telah
dikaitkan dengan onset lupus dan flare, menunjukkan peran faktor hormonal dalam
patogenesis penyakit. Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan bahwa pada
wanita postmenopause prapubertas atau. Menariknya, SLE adalah lebih umum pada pria
dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY) dibandingkan pada pria tanpa sindrom,
juga mendukung hipotesis hormon.
Untuk semua usia, rasio perempuan : laki-laki 7:1 dan 11:01 selama tahun-tahun
subur. Sebuah korelasi antara usia dan kejadian cermin SLE tahun puncak produksi hormon
seks wanita. Onset dari SLE biasanya setelah pubertas, biasanya dalam 20-an dan 30-an,
dengan 20% dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan. Prevalensi
SLE yang tertinggi adalah di antara wanita berusia 14-64 tahun. SLE tidak memiliki
kecenderungan usia pada laki-laki.
berkaitan dengan kehamilan atau menyusui. Pada beberapa orang, pajanan radiasi
ultraviolet yang berlebihan dapat mencetusnya enyakit. Penyakit ini dapat bersifat ringan
selama bertahun-tahun, atau dapat bertkembang dan menyebabkan kematian. (Corwin,
2001)
D. PATOFISIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
Faktor Genetik
Faktor keturunan ini frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana
faktor keturunan mempunyai risiko yang meningkat untuk penderita SLE, dan hingga
20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat
menunjukkan autoantibody. Pada beberapa pasien SLE (sekitar 6%) mengalami
defisiensi komponen komplemen yg diturunkan. Kekurangan komplemen akan
mengganggu pembersihan komplek imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor
genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang
mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis
fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat
multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan
sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel
apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
2.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya : infeksi, stress,
makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra violet (matahari)
dan penggunaan obat obat tertentu.
Sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus.
Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimmune. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya
bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00 dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan matahari.
Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus
kekambuhan bagi para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan
bercak-bercak
kemerahan
di
bagian
muka.kepekaan
terhadap
sinar
matahari
(photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari.
3.
Faktor hormon
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama
kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan
dalam timbulnya penyakit ini sedangkan hormon androgen mengurangi risiko terjadinya SLE.
4.
Sinar UV
Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
5.
Sistem Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
6.
Obat obatan
o
o
7.
setelah infeksi. Misal disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri ( virus Epstein
Barr, Streptokokus, klebsiella)
8.
Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan
10.
11.
Makanan
Makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa
karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindahpindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
1.
Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan inidapat disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
2.
Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis, biasanya
simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku
pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala
lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul
pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan
dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
3.
Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly rash,
ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya.
Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena
Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4.
Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi
mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang
disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES
memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada
wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
5.
Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan
respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura
dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna.
Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi
secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif.
Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien
dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan
sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
6.
Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7.
Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal
kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan pada
20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP),
seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
8.
Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis
aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT
dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMETOSUS
American Rheumatism Association (ARA) tahhun 1982 menetapkan kriteria diagnosis
baru untuk klasifikasi SLE. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada satu periode pengamatan
ditemukan 4 atau lebih dari 11 kriteria baru dibawah ini, baik secara berturut-turut, maupun
serentak:
1.
Ruam malar
2.
Lesi diskoid
3.
Fotosensitivitas
4.
5.
Artritis
6.
7.
8.
9.
Kelainan
hematologi
berupa
anemia
hemolitik,
leukopenia,
limfopenia,
dan
trombositopenia
10. Kelainan imunologi berupa adanya sel LE, anti DNA, antibodi terhadap native DNA dengan
titer abnormal atau anti sm, uji serologi untuk sifilis yang positif semu.
11. Antibodi antinuklear (ANA)
Positif
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita dengan SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan
penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis
bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang
menyebabkan
penyempitan
pembuluh
darah,
menyebabkan
pembekuan darah di kaki atau paru-paru, stroke, serangan jantung, atau keguguran.
10
Yang paling sering aPLs diukur adalah antikoagulan lupus, antibodi anticardiolipin, dan
anti-Beta2 glikoprotein I. Hampir 30 persen orang dengan Lupus akan mendapatkan
hasil tes positif untuk antibodi antifosfolipid. (Catatan : Fosfolipid selain ditemukan
pada Lupus juga ditemukan pada penyakit Syphilis, jadi hasil positif untuk tes sifilis
tidak berarti bahwa Anda telah atau pernah menderita Syphilis karena sekitar 20
persen dari penderita Lupus akan memiliki hasil tes Syphilis positif palsu).
Antibodi untuk Ro/SS-A dan La/SS-B (Ro dan La adalah nama-nama protein lain dalam
inti sel)
Anti-Ro terutama ditemukan pada Lupus bentuk kutan (kulit), suatu bentuk
Lupus yang menyebabkan ruam yang sangat sensitif terhadap sinar matahari. Pada
wanita hamil, antibodi Ro dan La dapat melewati plasenta dan dapat menyebabkan
Lupus Neonatal pada bayi. Lupus Neonatal jarang terjadi dan biasanya tidak
berbahaya, tetapi bisa serius dalam beberapa kasus.
Anemia
Tes untuk anemia termasuk tes Hb, Hct dan RBC count. Juga dilakukan
pemeriksaan iron level, total iron-binding capacity dan ferritin. Selama perjalanan
11
penyakit, sekitar 40% pasien SLE mengalami anemia. Anemia disebabkan oleh
defisiensi zat besi, perdarahan GIT, obat-obatan atau pembentukan autoantibody
terhadap sel darah merah. Saat pertama kali didiagosa, sekitar 50% pasien
mengalami anemia dengan konsentrasi Hb dan ukuran sel darah merah yang
normal. Ini disebut normochromic-normocytic anemia atau "anemia of chronic
disease." Sedangkan autoimun hemolytic anemia, dengan tes Coombs positif
lebih jarang dijumpai.
Pemeriksaan darah
Bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir
semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini.
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
Pemeriksaan saraf.
12
CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel darah, maka
terdapat anemia, leukopenia,trombositopenia.
ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih
cepat dari pada normal.
X-ray dada
2.
Obat-obatan
a.
b.
c.
Kortikosteroid
Diberikan pada penderita SLE yang berat disertai dengan problem sistemik, yaitu
penderita SLE dengan kelainan kulit yang memburuk dan tidak responsif terhadap
pengobatan konservatif, dalam keadaan ini biasanya diperukan takaran rendah
sampai sedang, keadaan lain dimana diperlukan kortikosteroid ialah adanya
gejala gangguan susunan saraf pusat, perikarditis, miokarditis, pleuritis,
pneumonitis,
vaskulitis,
miositis
berat,
anmeia
hemolitik,
leukopenia,
d.
Obat imunosupresif/sitotoksik
Yang sering dipakai adalah azatiopatin dan siklofosfamid. Azatiopatin diberikan
dengan takaran 2-3 mg/kgBB/hari per oral, kemudian diturunkan menjadi 1-2
mg/kgBB/hari. Siklofosfamid diberikan dengan takaran 10-15 mg/kgBB/hari intra
vena setiap 4 minggu sekali, dapat juga per oral dengan takaran 1,5-2,5
mg/kgBB/hari, atau bersamaan dengan azatiopatin takaran rendah (0,5-1
mg/kgBB/hari).
e.
Terapi hormonal
Morley dkk. Dalam suatu penelitiannya memberikan 400-600 mg Danazol (18
etiniltestosteron), suatu gonadotropik yang dapat menekan FSH dan LH pada 2
penderita SLE wanita dengan keluhan atralgia, demam dan nyeri dada karena
pleuritis yang timbul bertambah berat pada beberapa hari sebelum tiap-tiap
masa haid, ternyata obat tersebut dapat mengurangi gejala yang timbul dan
bahkan dapat mengurangi takaran prednison yang sudah didapat sebelumnya.
f.
Stimulasi imunologik
Digunakan pada pasien SLE yang mengalami kelainan persendian dengan takaran
sebesar 100 mg diberikan 2 kali seminggu.
g.
Plasmaferesis
Dilakukan dalam penatalaksanaan berbagai kelainan imunologis, seperti pada
artritis reumatoid, miastenia gravis, sklerosis multiple, sindrom Goodpasture dan
reaksi penolakan jaringan tandur alih.
14
Hindari Merokok
Hindari pajanan sinar matahari khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit
yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa
cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat
penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko
kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
Monitor ketat
15
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan
pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit
kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada
penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas,
dislipidemia dan hipertensi.
Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan:
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis)
hanya memerlukan sedikit pengobatan
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid
Untuk
gejala
kulit
dan
artritis
kadang
digunakan
obat
anti
malaria
(hydroxycloroquine)
kebutuhan
saat
hemolitik,
penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat)
perlu ditangani oleh ahlinya
sesuai
bisa
pertumbuhan
sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
16
- Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu,
ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5
hari berturut-turut
- Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan
prednison 20-40 mg/hari
- Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
- Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan
siklofosfamid
- Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
- Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
- Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison
pulse dosis selama 3 hari berturut- turut
Penatalaksanaan Farmakologis:
1. Terapi Imunomodulator
Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1
gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan
sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal.
Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan
sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai
2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3.
Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis
0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
17
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dosedependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan
penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus
terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing
hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
merupakan
inhibitor
reversibel
inosine
monophosphate
dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan
mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF
secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada
penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang
terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan
Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang
dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 5001000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan
dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat
dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid
sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan
interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit
> 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka
dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat
dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan
gangguan
gastrointestinal.
Azathioprine
juga
sering
dihubungkan
dengan
18
hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan
imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis
1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang
disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah
melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena
ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3
hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu,
dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa
terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan
oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia,
parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin
meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan
efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan
peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis
membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring
tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat
diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari karena relatif aman.
I.
2.
19
a. Pleuritis
b. Pericarditis
c.
Efusi Pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung (Miocarditis)
f.
Gagal jantung
g. Perdarahan Paru
3.
Cognitive Disfunction
Sindrom Antiphospholipid
Sindrom Otak
Fibromyalgia
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit subakut/ cutaneus lupus
subacute. Kadang menyerupai luka psioriasis.
-
b. Alopecia, vaskulitis.
5.
6.
7.
20
b. Trombositopenia
c.
Gangguan pembekuan
d. Limfositopenia
8.
J.
ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan :
1. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal ditandai
dengan bengkak pada ekstremitas antara os. Femur dan os. Tibia.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder
(penurunan Hb, Imunosupresi, leukopenia, supresi respon inflamasi)
21
Analisa Data
Data
Etiologi
Ds :
Genetik, kuman/virus, sinar UV,
Bertanya tanya
obat2an tertentu
Rasa gelisah
Khawatir
Mata kabur
Autoimun berlebihan
Do :
Nadi : 15x/menit
BB sebelum sakit 68
Autoimun menyerang organ2
dan setelah sakit 55
tubuh
Masalah keperawatan
Ansietas
berhubungan
dengan status kesehatan
Penyakit Lupus
Produksi Antibodi secara terus
menerus
Darah
HB turun
Penurunan suplai O2/Nutritien
ATP
BB turun
Perubahan status kesehatan
Ansitas
22
NO
1
2
3
4
Indikator
Kegelisahan
Rasa gelisah
Gelisah secara verbal
Peningkatan nadi
5
-
Keterangan penilaian :
1.
2.
3.
4.
5.
23
ANALISA DATA
No.
Data
DS :
Klien mengatakan
mengeluh kelemahan.
Etiologi
Masalah keperawatan
Imun kompleks
DO :
Hasil pemeriksaan fisik
menunjukkan bahwa
Terjadi pembengkakan
Erosi tulang
Ektremitas melemah
24
NO
INDIKATOR
1.
Keseimbangan
2.
Gerak sendi
3.
Berjalan
Keterangan Penilaian :
1. Severe compromised
2. Substantially compromised
3. Moderately compromised
4. Mildly compromised
5. Not compromised
Intervensi NIC : Body Mecanisme Promotion
1.
Menentukan bagaimana memindahkan berat satu kaki dengan kakli yang lainnya untuk berdiri
(1).
2.
Mengistruksikan pasien bagaimana menggerakan kaki dulu baru tubuh untuk berjalan ketika
posisi berdiri (3).
25
ANALISA DATA
No
3
Data
DS :
Etiologi
Faktor eksogen/endogen
Masalah Keperawatan
Resiko infeksi
berhubungan dengan
ketidakadekuatan
pertahanan sekunder
(penurunan Hb,
Imunosupresi,
leukopenia, supresi
Antibody meningkat
respon inflamasi)
Autoimun
DO :
-Terdapat lesi pada
Inflamasi sistemik
Kerusakan jaringan
Resiko infeksi
26
Indikator
Kelelahan kronis
Titer antibodi
Suhu tubuh
Integritas Kulit
Keterangan penilaian :
1.
Terancam
2. Terganggu
3. Cukup terganggu
4. Agak terganggu
5. Tidak terganggu
Intervensi NIC :
Risk Identification
1.
Penilaian risiko secara rutin, dengan menggunakan instrumen yang handal dan valid
3. Tentukan sumber daya masyarakat yang sesuai untuk kebutuhan hidup dan kesehatan dasar
4. Identifikasi pasien dengan kebutuhan perawatan yang berkelanjutan
Infection Protection
1. Memonitor tanda-tanda dan gejala sistemik dan lokal dari infeksi
2. Periksa kulit dan mukus membran untuk kemerahan, kehangatan yang ekstrim, atau
drainase
3. Memantau perubahan tingkat energi / malaise
4. Dorong asupan cairan, sesuai kebutuhan
5. Mengadministrasikan agen imunisasi, sesuai kebutuhan
28