Anda di halaman 1dari 12

Makalah Immunoserologi-II (P)

Fluorescent Antibody Technique (FAT)

Disusun oleh :
Kelompok 6

Andi Rukmini M.
Hariyanto
Mentari Niza Abd.
Reni Septiani
Sri Yosin Vinola
Sri Wally Annisa

AKADEMI ANALIS KESEHATAN

KENDARI

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Flourescent Antibody Technique (FAT) ini dengan tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
mata kuliah Immuno-serologi-II (P).
Dalam pembuatan makalah ini kami berharap semoga dapat menambah
pengetahuan para pembaca mengenai apa itu Flourescent Antibody Technique
atau biasa disingkat dengan FAT. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun
penulisannya.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami agar lebih
baik dimasa yang akan datang.

Kendari, September 2017

Penyusun
Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
2.1 Pengertian Flourescent Antibody Technique (FAT) ........................... 3
2.2 Sejarah Flourescent Antibody Technique (FAT) ............................... 3
2.3 Jenis-Jenis pemeriksaan Flourescent Antibody Technique (FAT) ...... 4
2.4Kelebihan dan Kekurangan pemeriksaan Flourescent Antibody
Technique (FAT) ................................................................................ 7
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Timbulnya suatu penyakit infeksi dipengaruhi oleh interaksi antara daya
tahan tubuh dan faktor virulensi mikroorganisme. Infeksi dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, dan parasit. Pathogen ini bisa didapat dari lingkungan atau
makhluk hidup lain (eksogen) maupun dari flora normal (endogen. Spesimen
diseleksi berdasarkan tanda dan gejala sesuai perjalanan penyakitnya sebelum
penatalaksanaan dengan bahan antimikroba (Washington, 2010).
Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan
penunjang, mulai dari sejarah kesehatan, radiografik, dan data laboratories.
Identifikasi mikroorganisme penyebab dapat ditentukan sebelum pemberian
antimikroba yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan
pemeriksaan mikroskopis, penggunaan substrat karbohidrat, aktivitas enzimatik,
serodiagnosis dan probe genetik. Prosedur dengan teknik imunohistokimia, yaitu
dengan pewarnaan imunofluoresensi dan imunoperoksidase saat ini mulai banyak
digunakan untuk mendeteksi agen mikroba spesifik (Baratawidjaya, 2000).
Teknik immunohistokimia (IHK) adalah suatu metode yang bertujuan
untuk mengidentifikasi sel-sel spesifik berdasarkan komponen antigenik atau
produk selulernya dengan reaksi kompleks antigen-antibodi. Dengan kata lain,
imnohistokimia digunakan sebagai dasar penegakkan diagnosis dan identifikasi
tipe sel berdasarkan detail sitomorfologi, terutama sering digunakan pada kasus-
kasus tumor dan keganasan. Dalam teknik ini dapat dibedakan teknik
imunofluoresensi dan imunoenzim (Baratawidjaya, 2000).
Pada makalah ini akan membahas mengenai salah satu teknik
imunohistokimia yaitu teknik imunofluoresensi. Teknik ini merupakan salah satu
yang saat ini banyak digunakan untuk mendeteksi antigen spesifik penyakit
infeksi.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Flourescent Antibody Technique (FAT)?
2. Bagaimana Sejarah perkembangan Flourescent Antibody Technique
(FAT)?
3. Apa saja jenis-jenis Flourescent Antibody Technique (FAT)?
4. Bagaimana prosedur kerja Flourescent Antibody Technique (FAT)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengetian Flourescent Antibody Technique (FAT)?
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Flourescent Antibody Technique
(FAT)?
3. Untuk mengetahui jenis-jenis pemeriksaan Flourescent Antibody
Technique (FAT)?
4. Untuk mengetahui prosedur kerja pemeriksaan Flourescent Antibody
Technique (FAT)?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Flourescent Antibody Technique (FAT)


Flourescent Antibody Technique (FAT) adalah alat diagnostik di
mana pewarna fluorescent ditambahkan ke jaringan yang mengandung
antigen. Hasilnya menyebabkan wilayah yang ditargetkan bersinar dengan sinar
ultraviolet bila dilihat dengan mikroskop fluorescent.
Imunofluoresen adalah metode imunologi untuk mendeteksi antibodi dari
berbagai kelas immunoglobulin dalam serum, cairan ludah, cairan otak dengan
cara mereaksikan antibodi dan antigen spesifik dan anti-antibodi yang dilabel
denagan Fluoresence Isothiocyanat (FITC), sehingga terpancar sinar warna hijau
atau merah jika dilabeli dengan Rodhamin. Tetapi dalam perkembangan sekarang
imunofluoresen banyak digunakan dalam penelitian untuk mendeteksi antigen
antigen atau antibodi dalam mukosa usus, mukosa mulut, dan dalam jaringan,
urine, cairan mata.
Tujuan penggunaan teknik ini adalah pengenalan antigen dengan antibodi
spesifik dan visualisasinya dengan label, contohnya fluoresin, rhodamin atau
enzim yang direaksikan dengan substrat kromogenik. Flourescent Antibody
Technique (FAT) ini biasa disebut juga Fluorescence Immunoassay (FIA).

2.2 Sejarah Perkembangan Flourescent Antibody Technique (FAT)


Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam
mikrobiologi telah diperlihatkan pertama kali oleh Coons et al., pada tahun 1942.
Sebelumnya telah diperkenalkan penandaan protein antibodi dengan zat warna
yang dapat berfluoresensi. Fluoresensi merupakan pemancaran sinar oleh atom
atau molekul setelah terlebih dahulu disinari. Zat warna yang dapat befluoresensi
disebut fluorokrom. Pada dasarnya teknik fluoresen antibodi ini merupakan
kombinasi cara-cara imunologis dan pewarnaan. Adanya antigen akan
diperlihatkan dengan perantaraan antibodi yang telah disenyawakan dengan
fluokrom.

3
Tes ini mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dalam bidang pemeriksaan
parasitologi dengan memakai teknik indirect fluorescent antibody technique. Tes
ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada
keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat
diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji
saring donor darah. Pendeteksi antibodi dan antigen yang perlu diperhatikan
adalah fiksasi protein spesifik dengan bahan kimia, sehingga diperlukan pemilihan
yang tepat bahan kima yang terbaik seperti Formaldehyde, aceton, methanol, dan
alcohol. Sehingga tidak merusak epitop dan paratope pada saat direaksikan untuk
ikatan komplek antigen dan antibodi.

2.3 Jenis-Jenis Flourescent Antibody Technique (FAT)


Teknik immunofluorescence juga dapat dibedakan menjadi direct
immunofluorescence dan indirect immunofluorescence. Direct
immunofluorescence menggunakan antibodi yang terkonjugasi dengan
fluorochrome (fluorochrome-conjugated antibody) sedangkan indirect
immunofluorescence menggunakan antibodi sekunder (antibodi yang bersifat anti
dari antibodi primer). Antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi yang
terkonjugasi dengan fluorochrome (fluorochrome-conjugated secondary antibody)
ataupun antibodi yang terbiotinilasi (biotin-conjugated secondary antibody).
Cara langsung (direct immunofluorescence) digunakan untuk menemukan
antigen, immunoglobulin atau komplemen, yang melekat pada sel jaringan
penderita. Sedangkan cara tidak langsung (indirect immunofluorescence) lebih
banyak digunakan untuk menemukan antibodi.
1. Indirect immunofluorescence
Pada cara ini serum penderita direaksikan dengan sel atau jaringan
kemudian ditambahkan antibodi yang bertanda fluoresen dan diperiksa
dibawah mikroskop ultraviolet atau mikroskop fluoresensi.
(Baratawidjaya, 2000)

4
Flouresensi dan fosforesensi adalah emisi cahaya yang mengikuti
absorbansinya dari sumber energi nontermal, seperti sinar ultraviolet atau
sinar tampak (visible light). Fluoresen hanya ada sepanjang stimulasi sinar
juga ada, sedangkan fosforesen tetap ada meskipun sumber energi atau
stimulasi cahaya hilang. Penggunaan yang umum sumber cahaya dalam
mikroskop fluoresensi adalah lampu merkuri tekanan tinggi yang
mensuplai radiasi ultraviolet dengan intensif. Mikroskop fluoresensi juga
menggunakan transmisi cahaya lain yang direfleksikan ke spesimen.
Dalam transmisi cahaya mikroskop fluoresensi, sinar pertama melalui
filter pembangkit yang secara selektif memblok panjang gelombang
tertentu. Terutama efektif untuk merangsang fluoresensi pada spesimen
yang diwarnai dengan fluorokrom.
Pelabelan dengan fluorokrom dapat digunakan untuk mendeteksi
antigen dalam berbagai preparat sel dan jaringan. Sel-sel yang diperoleh
melalui perusakan mekanis spesimen jaringan atau sel eksfoliatif, eksudat,
aspirasi biopsy, darah dan kultur sel jaringan, dapat diwarnai (staining)
dengan imunofluoresensi. Sel-sel tersebut dipersiapkan sebagai fresh-
frozen atau potongan jaringan segar beku yang terfiksasi.

2. Direct immunofluorescence
imunofluoresensi langsung, secara mikroskopik relatif kurang sensitif,
sehingga sebagian besar terbuat dalam bentuk jaringan segar beku (fresh-
frozen) atau preparat sel yang tidak difiksir dengan bahan fiksatif crosslink
seperti formalin. Kadang-kadang digunakan fiksasi dengan aseton, etanol
atau methanol untuk memperjelas morfologi jaringan atau menginaktifkan
pathogen.
Teknik pewarnaan imunofluoresensi langsung paling banyak
digunakan karena lebih cepat dan sederhana. Pewarnaan yang tampak
merupakan hasil reaksi dari fluorokrom-antibodi berlabel dengan antigen
dalam suatu substrat. Keadaan ini dicapai melalui pemaparan substrat
(dalam bentuk sel atau potongan jaringan) ke fluorochrom-labelled

5
antibody ke preparat pada tempat antigen berada. Antibodi yang tidak
terikat dicuci dengan buffer netral dan tempat ikatan antibodi diidentifikasi
dengan mikroskop fluoresensi (Roitt, 1996).
Jenis fluorokrom yang banyak digunakan adalah fluorescein dan
rhodamin. Keduanya dapat berikatan secara kovalen dengan antibodi tanpa
merusak aktivitas biologiknya. Fluorescein mengabsorbsi sinar biru dan
memancarkan sinar hijau, sedangkan rhodamin mengabsorbsi sinar hijau
dan memancarkan sinar merah.
Prosedur kerja Direct immunofluorescence (deteksi antigen):
1. Sel pada deck cover glass yang diinfeksi dengan virus difiksasi
dengan aceton-20oC selama 15 menit.
2. Cuci dengan PBS dan keringkan pada temperatur ruangan sampai
kering.
3. Masukan deck cover glass pada PBS yang mengandung 1% FCS dan
biarkan 15 menit.
4. Siapkan serum sampel dan encerkan dengan PBS sesuai keperluan.
5. Teteskan 20l serum sampel di atas objek gelas.
6. Taruh deck cover glass di atas sampel dengan bagian sel di bawah
dan letakkan dalam kotak dan kertas yang telah dibasahi dengan air.
7. Inkubasi pada inkubator dengan temperatur 37oC selama 45 menit.
8. Cuci dengan PBS 1% FCS selama 15 Menit.
9. Siapkan Konjugat fragmen Imunoglobulin dengan pengenceran
1:100l.
10. Teteskan Konjugat 20l di atas objek gelas dan letakkan deck cover
glass di atasnya.
11. Inkubasi pada inkubator dengan temperatur 37oC selama 15 menit
12. Cuci dengan PBS 1% FCS selama 15 menit dan selanjutnya angkat
deck cover glass dan sentuhkan deck cover glass pada kertas tissue
agar airnya berkurang, sehingga kering tapi basa.
13. Teteskan Glycerin 50% 20l di atas objek gelas dan selanjutnya deck
cover glass diletakkan diatasnya dan langsung dilihat hasilnya

6
dengan mikroskop fluorescent pada pembesaran 40x. catatan
preparat ini dapat disimpan pada 4oC sampai 2-3 minggu.

Gambar 1. Teknik immunofluorescence. A: direct immunofluorescence, B:


indirect immunofluorescence (fluorochrome-conjugated secondary antibody), C:
indirect immunofluorescence (biotin-conjugated secondary antibody +
avidin/streptavidin-flourescein) (Zola, 1998).

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Flourescent Antibody Technique (FAT)


Teknik imunofluoresensi mempunyai kelebihan yaitu relatif mudah
penggunaan reagennya dengan prosedur kerja yang simpel. Hanya tahap
pencucian dibutuhkan setelah pelabelan antibodi dan tidak membutuhkan reagen
seperti dalam prosedur imunoenzim.

Kekurangan teknik ini adalah membutuhkan mikroskop khusus yang


mahal, preparat tidak bersifat permanen (spesimen harus segar) dan visualisasi
gambaran sitomorfologi kurang jelas.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Flourescent Antibody Technique (FAT) adalah alat diagnostik di
mana pewarna fluorescent ditambahkan ke jaringan yang mengandung
antigen. Hasilnya menyebabkan wilayah yang ditargetkan bersinar dengan sinar
ultraviolet bila dilihat dengan mikroskop fluorescent.
Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam
mikrobiologi telah diperlihatkan pertama kali oleh Coons et al., pada tahun 1942.
Sebelumnya telah diperkenalkan penandaan protein antibodi dengan zat warna
yang dapat berfluoresensi.
Teknik immunofluorescence juga dapat dibedakan menjadi direct
immunofluorescence dan indirect immunofluorescence. Direct
immunofluorescence menggunakan antibodi yang terkonjugasi dengan
fluorochrome (fluorochrome-conjugated antibody) sedangkan indirect
immunofluorescence menggunakan antibodi sekunder (antibodi yang bersifat anti
dari antibodi primer).
Teknik imunofluoresensi mempunyai kelebihan yaitu relatif mudah
penggunaan reagennya dengan prosedur kerja yang simpel. Kekurangan teknik ini
adalah membutuhkan mikroskop khusus yang mahal, preparat tidak bersifat
permanen (spesimen harus segar) dan visualisasi gambaran sitomorfologi kurang
jelas.

8
DAFTAR PUSTAKA

Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology 5thed: immunological Technique. 1996:


386-8

Washington JA. 2010. Principles of Diagnosis. General concepts.


http://www.md.huji. Ac.il/microbiology/book/ch010.htm (diakses 21
september 2017)

Yani C, Rahayu, Elza I.A. Tehnik Imunohistokimia sebagai Pendeteksi Antigen


Spesifik Penyakit Infeksi. Indonesian Journal of Dentistry. 2004: 11(2):
76-82.

Zola. H., 1998. Detection of Cytokine Receptors by Flow Cytometry. Current


Protocols in Immunology.
http://www.currentprotocols.com/protocol/im0621 (diakses 21 september
2017)

Anda mungkin juga menyukai