Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

IMMUNOFLUORESCENCE
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sitohistoteknologi di Semester 5
Prodi D-IV Analis Kesehatan

Disusun Oleh :

Kelompok 7 Kelas B :

1. Dessy Rachmawati (2240019073)


2. Nurul Hidayah (2240019075)
3. Putri Mayasari (2240019076)
4. Adelina Nilafawyka (2240019077)
5. Nini Karimah (2240019079)

Dosen Pembimbing :
Ary Andini, S.T., M.Si

PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Immunofluorescence” ini
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Ibu. Ary pada mata kuliah Sitohistoteknologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Immunofluorescence bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu. Ary, selaku dosen dari mata kuliah
Sitohistoteknologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Surabaya, 30 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................2
2.1 Pengertian Imunofluoresensi.........................................................................................2
2.2 Prinsip Dasar Imunofluoresensi....................................................................................2
2.3 Cara Kerja Teknik Imunofluoresensi............................................................................5
2.4 Kesulitan-Kesulitan Teknis Teknik Imunofluoresensi..................................................6
BAB III PENUTUP...........................................................................................................9
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................9
3.2 Saran..............................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................10

BAB I

iii
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Untuk kepentingan diagnostik pengamatan perubahan secara kasat mata atau disebut juga
pengamatan gambaran makroskopik atau patologi anatomi (PA) saja tidak cukup, perlu diadakan
pemeriksaan perubahan pada level yang lebih kecil yakni sel. Pemeriksaan pada level sel untuk
menemukan perubahan perubahan morfologik yang dapat mengarahkan kepada diagnosis
penyebab sakit ataupun kematian disebut dengan pengamatan histopatologi(HP). Secara umum
gambaran HP berguna dalam penegakan diagnosis penyakit yang melibatkan perubahan fungsi
fisiologi dan deformasi organ pada level sel. Untuk pengamatan HP diperlukan pewarnaan,
mengingat kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang dapat
dilihat di bawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah mikroskop, maka preparat jaringan harus
diwarnai agar berbagai unsur jaringan jelas terlihat dan dapat dibedakan. Beberapa metode
pewarnaan jaringan telah dirancang dengan tujuan tujuan khusus. Ada beberapa teknik
pewarnaan jaringan digunakan untuk kebutuhan spesifik sesuai dengan kajian yang akan
dilakukan dalam histopatologi.
Guna kepentingan pengamatan sel digunakan pewarnaan dengan teknik imunofluoresensi
dan mikroskop elektron. Imunofluoresensi merupakan suatu cara imunohistokimiawi yang
digunakan untuk menentukan letak bahan-bahan (antigen atau antibodi) di dalam sel-sel atau
jaringan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan imunofluoresensi ?
2. Apa prinsip dasar dari imunofluoresensi ?
3. Bagaimana cara kerja teknik imunofluoresensi ?
4. Apa saja kesulitan-kesulitan teknis dalam teknik imunofluorsensi ?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami arti dari imunofluoresensi
2. Untuk mengetahui prinsip dasar dari imunofluoresensi
3. Untuk mengetahui cara kerja dari teknik imunofluoresensi
4. Untuk memahami kelebihan dan kekurangan dalam teknik imunofluoresensi

iv
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Imunofluoresensi


Imunofluoresensi merupakan suatu cara imunohistokimiawi yang digunakan untuk
menentukan letak bahan-bahan (antigen atau antibodi) di dalam sel-sel atau jaringan. Teknik ini
mula-mula diperkenalkan oleh Coons (1941). Ia menggunakan beta-anthracena (suatu bahan
yang berfluoresensi biru) untuk mendeteksi antigen Pneumococcus pada jaringan tikus. Baru
setelah itu ia dan kawan-kawannya menggunakan fluorescein, suatu bahan yang dapat
memancarkan warna hijau, sehingga dapat dibedakan dengan warna biru akibat autofluoresensi
dari jaringan.
Tujuan penggunaan teknik ini adalah pengenalan antigen dengan antibody spesifik dan
visualisasinya dengan label, contohnya fluoresvin, rhodamin atau enzim yang direaksikan
dengan substrat kromogenik.
Fluoresensi ialah pemancaran gelombang sinar tertentu jika suatu bahan disinari dengan
gelombang sinar yang berbeda. Gelombang sinar yang dipancarkan ini mempunyai panjang
gelombang lebih panjang daripada yang diterima. Bahan yang dapat memencarkan sinar
fluoresensi disebut: bahan fluorochrom.
Bahan fluorochrom yang sering dipakai adalah:
- Fluorescin : merupakan bahan yang paling sering dipakai. Bahan ini paling baik
dalam bentuk ikatan dengan protein, yang disebut: Fluorescein-Isothiocyanat (FITC)
yang memnacarkan sinar kehijauan pada panjang gelombang 517 nm.

- Rhodamin : bahan ini paling baik dalam bentuk ikatan yang disebut: tetramethyl-
rhodamin-isothiocyanat (TRITC) yang memancarkan fluoresensi merah-jambu pada
panjang gelombang 580 nm.

2.2 Prinsip Dasar Imunofluoresensi


Prinsip cara ini adalah bahwa bahan fluorochrom yang dikenai sinar ultra-violet
akan memancarkan fluoresensi dengan warna yang tergantung pada bahan fluorochrom yang
dipakai. Kemudian jika zat warna fluorochrom ini berikatan dengan protein tertentu (misalnya
antibodi) setelah ditambahkan pada jaringan atau disuntikan ke tubuh binatang percobaan, maka
ikatan antibody – zat fluorochrom ini (selanjutnya disebut: konjugat) dapat dijadikan pelacak
(“tracer”) yang peka dengan spesifisitas imunologik yang tidak berubah.

5
Konjugat (antibody yang telah ditandai) tersebut kemudian ditambahkan pada sel-sel atau
jaringan dan akan berikatan dengan antigen, sehingga membentuk suatu kompleks imun
(kompleks antigen-antibodi) yang stabil. Protein-protein yang tidak mempunyai sifat antibody
akan terbuang waktu pencucuian, sehingga hasil tersebut dapat dilihat jelas melalui mikroskop
fluoresensi.
Menurut teknik pewarnaannya cara ini dapat dilakukan secara:
- Langsung (direct immunofluorescence)
- Tak langsung (indirect immunofluorescence)
Kedua cara ini dapat dipergunakan untuk melacak baik antigen maupun antibody dalam jaringan.

2.2.1 Imunofluoresensi langsung


a. Pelacakan antigen (antigen tracing)

Suatu konjugat (antibody spesifik yang telah ditandai dengan zat fluorochrom)
ditambahkan pada antigen pada sediaan jaringan (substrat) yang berada di atas gelas
obyek. Kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan anitbodi lain yang tidak
spesifik. Konjugat tersebut akan berikatan dengan antigen yang sesuai.
b. Pelacakan antibody (antibody tracing)
Cara langsung dapat juga dipakai untuk menentukan antibody. Dalam hal ini
konjugat yang dipakai terdiri atas anti-immunoglobulin yang telah ditandai dengan zat
fluorochrom, misalnya: “fluorescein-labelled antihuman-IgG”.

6
2.2.2 Imunofluoresensi tak langsung
a. Pelacakan antigen
Kepada sediaan jaringan yang mengandung antigen ditambahkan antisera spesifik
yang tidak ditandai, kemudian pada kompleks imun tersebut ditambah suatu konjugat
yang terdiri atas anti-immunoglobulin yang telah ditandai. Maka akan terjadi kompleks
ikatan antara antigen-antibodi dan konjugat yang dapat dilihat melalui mikroskop
fluoresensi.
Cara penentuan antigen ini pertama kali dipergunakan oleh Weller dan Coons
(1954) untuk mencari letak antigen virus varicella-zoster yang berada pada biakan
jaringan.

b. Pelacakan antibody
Dengan cara tak langsung ini dapat ditentukan antibody yang bersirkulasi.
Adanya antibody spesifik terhadap antigen jaringan (misalnya: antigen kulit) dapat
diperiksa dengan menambahkan antisera penderita pada irisan jaringan yang mengandung

7
antigen (biasanya diambil dari biopsy kulit bibir Cavia, esophagus, atau kulit penderita
sendiri). Akan terjadi kompleks imun. Kemudian ditambahkan suatu konjugat yang terdiri
atas anti-imunoglobulin yang telah ditandai dengan zat fluorochrom. Maka akan
terbentuk kompleks antigen-antibodi-anti immunoglobulin dan zat fluorochrom.

Cara tak langsung ini lebih peka daripada cara langsung, oleh karena akan lebih
banyak konjugat (anti-imunoglobulin yang dilabel) terikat pada antibody, daripada
konjugat (antibody yang dilabel) pada cara langsung. Lagi pula, dengan cara tak langsung
hanya diperlukan satu macam konjugat untuk memeriksa beberapa serum penderita,
sedang dengan cara langsung, harus selalu dibuat konjugat baru jika akan memeriksa
bermacam-macam antigeb. Hanya kerugian cara tak langsung ini adalah bahwa Nampak
terlalu berbelit dan sering terjadi pemancaran (emisi) yang tidak spesifik, karena adanya
ikatan antara antibody yang tak spesifik dengan konjugat (Parish, 1972).

2.3 Cara Kerja


1. Persiapan
Jaringan kulit yang dipilih, diinsisi atau dibiopsi dengan anstesi lokal dengan
etklorida kira-kira sebesar 3-5mm. Kemudian dapat dibekukan dengan macam-macam
cara (Bean, 1976) :
- Jaringan segar tersebut langsung dimasukkan dalam cryostat atau dibekukan dulu
dengan CO2 pasatbaru kemudian ke cryostat.
- Dibekukan dengan nitrogen cair dalam suatu bungkus aluminium.
- Dibekukan dengan campuran CO2 padat dan aseton dalam tabung reaksi.
Kemudian bahan-bahan tadi dipotong-potong, dibuat “coupe” dalam cryostat pasa
suhu 23°C.

2. Teknik Pewarnaan
a. Cara Langsung
Coupe jaringan yang telah dibuat tersebut diletakkan di atas gelas objek, yang
bersih dan bebas lemak, kemudian dikeringkan selama 30 menit pada suhu kamar.
Setelah sediaan dibasahi secukupnya dengan salin yang yang di “buffer” (buffered-

8
saline), kemudian ditetesi dengan 1 tetes konjugat selama 30 menit. Cuci dalam salin (pH
7,0), kemudian bilas dengan “ buffered-salin” selama 1-2 jam jamu untuk menghilangkan
antibodi yang berlebihan.
Bila pada coupe jaringan tersebut mengandung antigen, maka akan terbentuk
Kompleks antigen- konjugat yang dapat dilihat dengan mikroskop fluoresensi.

b. Cara Tak Langsung


Pada coupe jaringan atau kulit (biasanya dari biopsi kulit bibir Cavia, esofagus
atau kulit penderita sendiri) ditambahkan antibodi dari penderita yang belum di label
selama 30 menit. Cuci kemudian dengan saling, kemudian bilas dengan larutan
“buffered-salin” selama 30 menit. Selanjutnya ditambah konjugat (yang terdiri dari anti-
imunoglobulin terhadap antibodi penderita yang telah dilabel dengan zat fluorochrom)
selama 30 menit. Cuci lagi dalam salin, bilas dengan larutan “buffered-salin” selama 1-2
jam.
Bila dalam serum penderita terdapat antibodi yang bersirkulasi, maka akan
terbentuk kompleks antigen-antibodi dan konjugat yang dapat dilihat dengan mikroskop
fluoresensi.

3. Mikroskop Fluoresensi
Mikroskop yang digunakan untuk melihat bahan imunofluoresensi merupakan
modifikasi sederhana mikroskop standar biasa.
Mikroskop fluoresensi mempunyai sumber Sinar dengan intensitas tinggi, dengan
filter-filter pembangkit yang menghasilkan suatu gelombang sinar yang mampu
menyebabkan aktivitas fluoresensi dan suatu filter penahan untuk menghilangkan
pengaruh gelombang gelombang sinar lain.
Penggunaan mikroskop yang kurang baik pada pemeriksaan imunofluoresensi
akan menyebabkan hambatan dalam ketepatan interpretasi terutama dalam bidang imuno
dermatologi. Oleh karena akan banyak menyebabkan terjadinya auto floresiensi dan
bayangan gelap yang menutupi letak yang tepat bahan yang di deteksi.

2.4 Kesulitan – Kesulitan Teknis


1. Tes – Tes Kontrol
Jika diragukan apakah antibodi dari konjugat bergabung secara spesifik atau tidak dengan
antigen, maka harus dilakukan tes kontrol, yang disebut: "Blocking test" (Parish, 1972).
Sediaan mula-mula ditetesi dengan antibodi yang tidak dilabel, kemudian dicuci atau
dibilas. Selanjutnya ditetesi dengan antibodi yang sama yang telah dilabel (konjugat). Jika reaksi
yang terjadi benar-benar spesifik, maka pada tahap pertama antibodi akan bergabung dengan
antigen, dan ini akan memblok antibodi konjugat pada tahap kedua.

9
Blocking test ini bukan suatu hal yang bersifat rutin, yang harus selalu dikerjakan, tetapi
hanya jika terdapat keragu-raguan seperti tersebut.

2. Autofluoresensi
Jaringan-jaringan yang dikenai sinar ultraviolet akan memancarkan fluor- esensinya. Hal
ini dapat dipergunakan sebagai latar belakang dalam menen- tukan lokalisasi bahan
imunofluoresensi spesifik. Tetapi jika sinar yang dipan- carkan tersebut mempunyai panjang
gelombang sama dengan yang dipancar- kan oleh bahan fluorochrom, maka agar didapat kontras
yang baik harus di- gunakan filter-filter. Misalnya: jaringan yang banyak mengandung collagen
akan memancarkan autofluoresensi kuning-kehijauan dengan latar belakang hi- jau coklat, yang
akan menutupi warna hijau dari fluorescein.
Pada beberapa jaringan, autofluoresensi ini dapat dihilangkan dengan memfiksasi sediaan
dalam aceton atau metanol. Tetapi pada pemeriksaan bahan dari kulit dengan cara ini saja masih
sukar untuk menghilangkan auto- fluoresensi. Paling baik kalau dengan memakai filter-filter
tertentu pada mikroskop.

3. Pewarnaan Non-Spesifik
Yang dimaksud dengan pewarnaan non-spesifik adalah pewamaan oleh konjugat yang
menimbulkan fluoresensi jaringan, tetapi bukan karena reaksi antigen-antibodi. Hal-hal yang
sering menimbulkan pewarnaan non-spesifik:
- Pemberian label dengan fluorescein yang berlebihan pada anti-sera
- Berlebihan konjugat yang bersifat non-antibodi dalam sera
- Daya elektrostatis antara jaringan dengan konjugat
- Larutan globulin yang terlalu pekat
- Adanya absorbsi globulin oleh sel-sel netrofil, eosinofil, dan histiosit
- Adanya "natural antibody" pada konjugat yang bergabung dengan tempat-tempat selain
yang mengandung antigen.

10
Pewarna-pewarna non-spesifik ini dapat dihindari dengan menggunakan antisera dengan
puder jaringan yang sama asal dengan jaringan yang diperiksa, penggabungan imunoglobulin
dengan hanya 2 atau 3 molekul zat fluorochrom dan menggunakan antisera dengan pengenceran
tinggi (Parish, 1972).
Teknik imunofluoresensi mempunyai kelebihan yaitu relative mudah penggunaan
reagennya dengan prosedur kerja yang simple. Hanya tahap pencucian dibutuhkan setelah
pelabelan antibody tidak membutuhkan reagen seperti dalam prosedur imunoenzim. Kekurangan
teknik ini adlah membutuhkan mikroskop khusus yang mahal, preparat tidak bersifat permanen
(spesimen harus segar) dan visualisasi gambaran sitomorfologi kurang jelas.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai prinsip teknik imunofluoresensi tersebut maka dapat
disimpulkan, bahwa prinsip teknik imunofluoresensi adalah pengenalan antigen dengan antibody
spesifik dan visualisasinya dengan label, contohnya fluorescin, rhodamin atau enzim yang
diraksikan dengan substrat kromogenik.
Beberapa kesulitan teknis dalam teknik imunofluoresensi seperti pada tes-tes control,
pada autofluoresensi dan pada pewarnaan yang non-spesifik.
Teknik imunofluoresensi mempunyai kelebihan yaitu relative mudah penggunaan
reagennya dengan prosedur kerja yang simple. Hanya tahap pencucian dibutuhkan setelah
pelabelan antibody tidak membutuhkan reagen seperti dalam prosedur imunoenzim. Kekurangan
teknik ini adlah membutuhkan mikroskop khusus yang mahal, preparat tidak bersifat permanen
(spesimen harus segar) dan visualisasi gambaran sitomorfologi kurang jelas.

3.2 Saran
Manusia dalam berbuat tentunya terdapat kesalahan yang sifatnya tersilap dari yang telah
ditetapkan atau seharusnya. Apalagi dalam kegiatan menyusun makalah ini. Untuk itu, penulis
harapkan dari pembaca, mohon kritik dan sarannya guna perbaikkan penyusunan selanjutnya.
Terima kasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bean, Samuel F. 1976. Proper Biopsy Technique for Immunofluorescence Tests on Skin. J.
Dermatol. Surg. 2:148-50.
Parish, William E. 1972. Immunofluorescence, dalam Arthur Rook, D. S. Wilkinson & F. J. G.
Ebling (eds): Textbook of Dermatology, vol 1, 2nd ed. Blackwell Scientific Publications,
Oxford.
Surfianti, O., Soewarno., Mahasri, G. 2016. IDENTIFIKASI KHV DENGAN UJI
IMMUNOFLUORESCENCE DAN IMMUNOCYTOCHEMISTRY BERDASARKAN
UJI PCR POSITIf PADA INSANG IKAN KOI (Cyprinus carpio). Universitas Airlangga.
Jurnal Biosains Pascasarjana Vol. 18, No. 3.
Tanojo, H., Isramiharti. 2011. PRINSIP DASAR PEMERIKSAAN IMUNOFLUORESEN
PADA BEBERAPA DERMATOSIS VESIKOBULOSA KRONIK. Universitas Andalas. MDVI
2011;38/4:188 – 195.

13

Anda mungkin juga menyukai