Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FISIOLOGI

FISIOLOGI SISTEM IMUN TERHADAP ANESTESI


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Fisiologi yang Diampu Oleh
Dr. Ns. Rahmaya Nova Handayani., S.Kep., MSc

COVER

Disusun Oleh:

Ailen Fitria 210106006


Dewi Umaiyah Nur R. 210106038
Indriani 210106078
Meishintiara Heristiawan 210106107
Moch. Farrel Rizki R. 210106115
Mutiara Ustia Nengsih 210106126
Pebi Aradea 210106139
Winaldi 210106203
Yuni Puji Astuti 210106206

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
SARJANA TERAPAN TA 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kelompok kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Fisiologi
Sistem Imun Terhadap Anestesi” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fisologi.Selain itu,
kami selaku penulis berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang pembahasan yang akan kami tulis pada makalah ini.
Serta kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
Ns. Rahmaya Nova Handayani., S.Kep., MSc selaku Dosen Pembimbing Mata
kuliah Fisiologi.Semoga tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait pembahasan yang kami tulis.Kami
mengucapkan terima kasih pada semua teman-teman anggota kelompok ini yang
telah membantu proses penyusunan makalah.Kami menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 5 April 2022


DAFTAR ISI

COVER..............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Makalah.....................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
A. Fungsi System Imun Bawaan dan Adabtif.............................................................3
1. Sistem Imun Bawaan..........................................................................................3
2. Sistem Imun Adabtif..........................................................................................4
B. Hipersentivitas dan Transplatasi Organ..................................................................5
1. Hiversensitivitas.................................................................................................5
2. Transplantasi Organ...........................................................................................8
a) Dari Segi Pemberi Donor...................................................................................9
b) Dari Segi Penerima Donor...............................................................................10
C. Asesmen Sistem Imun..........................................................................................11
1. Respons Imun Nonspesifik...............................................................................13
2. Respons imun primer.......................................................................................15
3. Respons Imun Humoral Respons imun humoral,.............................................15
D. Efek Anestesi Terhadap Sistem Imun..................................................................16
BAB III...........................................................................................................................20
PENUTUP......................................................................................................................20
A. Kesimpulan.........................................................................................................20
B. Saran...................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang
melibatkan penghalang permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen,
dan komponen seluler. Sistem imun adaptif berkembang karena diaktifkan
oleh sistem imun bawaan dan memerlukan waktu untuk dapat
mengerahkan respons pertahanan yang lebih kuat dan spesifik.
Respon imun adaptif adalah lini pertahanan kedua tubuh. Sel-sel
sistem kekebalan adaptif sangat spesifik karena selama tahap
perkembangan awal sel B dan T mengembangkan reseptor antigen yang
spesifik hanya untuk antigen tertentu. Ini sangat penting untuk aktivasi sel
B dan T.
Hipersensitivitas adalah respon imun adaptive yang terjadi secara
berlebihan dan “In Appropriate” sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan. Reaksi terjadi pada kontak langsung. Antigen bias secara
eksogen maupun endogen. Dijalankan oleh reaksi imun spesifik baik
secara humoral maupun seluler.
“Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yaitu To Transplant,
yang berarti To Move From One Place to Another, artinya berpindah dari
satu tempat ke tempat lain.” Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata
transplantasi mempunyai arti pemindahan jaringan tubuh dari satu tempat
ke tempat lain dan atau pencangkokan.
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan
berbagai peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti
halnya sistem indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur
keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh,
supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat.
Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit. Sistem imun yang
berfungsi baik dan mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia
(Baratawidjaja, 2009).
Sebagai seorang penata anestesi, perlu dipelajari dan diketahui
tentang fisiologi sistem imun terhadap anestesi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja fungsi dari system imun bawaan dan adaftif?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan Hipersentivitas dan Transplantasi
organ? Dan sebutkan tipe donor bagi organ tubuh!
3. Jelaskan apa itu asesmen fungsi imun dan macam-macam dari system
imun tersebut!
4. Apa pengertian system imun secara umum?
5. Bagaiman efek anestesi terhadap system imun?

C. Tujuan Makalah
1. Dapat menyebutkan dan menjelaskan fungsi dari system imun bawaan
dan adabtif.
2. Menjelaskan pengertian mengenai Transplatasi organ dan menjabarkan
tipe donor bagi organ tubuh.
3. Dapat mengerti mengenai penjelasan dari Asesmen fungsi imun dan
menyebutkan macam-macam dari system imun tersebut
4. Memberikan pengetahuan serta pengertian mengenai arti dari system
imun.
5. Dapat menjelaskan bagaimana efek anestesi yang terjadi pada system
imun tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fungsi System Imun Bawaan dan Adabtif


Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang melibatkan
penghalang permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen, dan komponen
seluler. Sistem imun adaptif berkembang karena diaktifkan oleh sistem imun
bawaan dan memerlukan waktu untuk dapat mengerahkan respons pertahanan
yang lebih kuat dan spesifik.

1. Sistem Imun Bawaan


Respon imun bawaan adalah respon pertama organisme terhadap penjajah
asing. Respon imun ini secara evolusioner dilestarikan di banyak spesies yang
berbeda dengan semua organisme multiseluler memiliki beberapa klasifikasi
variasi dari respon bawaan. Terdiri dari penghalang fisik seperti yang
digambarkan oleh kulit dan selaput lendir, berbagai jenis sel seperti dan
monosit, dan faktor faktor yang dapat larut termasuk sitokin dan komplemen.
Sedangkan untuk respon imun adaptif, respon bawaan tidak spesifik untuk
salah satu penyerang asing dan sebagai konsekuensinya, bekerja dengan cepat
untuk membersihkan tubuh dari patogen.
Patogen dikenali dan dideteksi melalui reseptor pengenalan pola (PRR).
Reseptor-reseptor ini adalah struktur di permukaan yang mampu mengikat
penyerang asing dan akibatnya memulai pensinyalan sel di dalam sel
kekebalan. Secara khusus, PRRS mengekspos pola molekuler terkait patogen
(PAMPS) yang merupakan komponen struktural integral dari patogen. Contoh
PAMP termasuk dinding sel peptidoglikan atau LPS, keduanya merupakan
komponen penting dari bakteri dan secara evolusioner dilestarikan di banyak
spesies bakteri yang berbeda.
Ketika patogen asing melewati penghalang fisik dan memasuki organisme,
PRRS akan mendeteksi dan mengikat ke PAMP tertentu. Hasil pengikatan ini
dalam aktivasi jalur pensinyalan yang memungkinkan faktor penyalinan NF-
kB untuk memasuki inti makrofag dan memulai penyalinan dan akhirnya
sekresi berbagai sitokin seperti yang diilustrasikan oleh II-8, Il-1, dan TNFa.
Pelepasan sitokin ini diperlukan untuk masuknya dari pembuluh darah ke
jaringan yang terinfeksi. Begitu memasuki jaringan, seperti, mereka dapat
melakukan fagositosis dan membunuh patogen atau mikroba apa pun.
Pelengkap, komponen lain dari, terdiri dari tiga jalur yang diaktifkan
dengan cara yang tidak sama. Masing-masing dari tiga jalur tersebut
memastikan bahwa komplemen akan tetap berfungsi jika satu jalur berhenti
berfungsi atau penyerang asing dapat menghindari salah satu jalur ini.

2. Sistem Imun Adabtif


Respon imun adaptif adalah lini pertahanan kedua tubuh. Sel-sel sistem
kekebalan adaptif sangat spesifik karena selama tahap perkembangan awal sel
B dan T mengembangkan reseptor antigen yang spesifik hanya untuk antigen
tertentu. Ini sangat penting untuk aktivasi sel B dan T.
Sel B dan T adalah sel yang sangat berbahaya, dan jika mereka mampu
menyerang tanpa melalui metode aktivasi yang ketat, sel B atau T yang rusak
dapat mulai memusnahkan sel sehat inangnya sendiri. Aktivasi sel T
pembantu naif terjadi ketika sel penyaji antigen (APC) menghadirkan antigen
asing melalui molekul MHC kelas II pada permukaan selnya. APC ini
termasuk, sel B, dan yang secara khusus dilengkapi tidak hanya dengan MHC
kelas II tetapi juga dengan ligan ko-stimulasi yang dikenali oleh reseptor ko-
stimulasi pada sel T pembantu. Tanpa molekul ko-stimulasi, respon imun
adaptif menjadi tidak efisien dan sel T akan menjadi anergik. Beberapa
subkelompok sel T dapat diaktifkan oleh APC profesional, dan setiap sel T
secara khusus diperlengkapi untuk menangani setiap patogen mikroba yang
unik. Jenis sel T yang diaktifkan dan jenis respons yang dihasilkan
bergantung, sebagian, pada konteks di mana APC pertama kali menemukan
antigen.
Setelah sel T pembantu diaktifkan, mereka dapat mengaktifkan sel B naif
di kelenjar getah bening. Padahal, aktivasi sel B adalah metode dua langkah.
Pertama, reseptor sel B, yang merupakan antibodi IgM dan IgD khusus untuk
sel B tertentu,harus mengikat antigen yang kemudian menghasilkan
pemrosesan internal sehingga disajikan pada molekul MHC kelas II sel B.
Setelah ini terjadi, sel T helper yang mampu mengekspos antigen yang terikat
ke MHC berinteraksi dengan molekul co stimulatory dan mengaktifkan sel B.
Akibatnya, sel B menjadi sel plasma yang mengeluarkan antibodi yang
bertindak sebagai opsonin melawan penyerang.
Kekhususan dalam cabang adaptif adalah karena setiap sel B dan T
berbeda. Akibatnya, ada beragam komunitas sel yang siap mendeteksi dan
menyerang berbagai penyerang. Namun, trade-off adalah bahwa respons imun
adaptif jauh lebih lambat daripada respons bawaan tubuh karena sel-selnya
sangat spesifik dan aktivasi diperlukan sebelum mampu benar-benar
bertindak. Dengan cara yang sama untuk spesifisitas, respon imun adaptif juga
dikenal untuk memori imunologis. Setelah bertemu dengan antigen, sistem
kekebalan menghasilkan memori sel T dan B yang memungkinkan respons
kekebalan yang lebih cepat dan lebih kuat jika organisme bertemu antigen
yang sama lagi.

B. Hipersentivitas dan Transplatasi Organ


1. Hiversensitivitas
Hipersensitivitas adalah respon imun adaptive yang terjadi secara
berlebihan dan “In Appropriate” sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan. Reaksi terjadi pada kontak langsung. Antigen bias secara
eksogen maupun endogen. Dijalankan oleh reaksi imun spesifik baik
secara humoral maupun seluler.
Dibedakan atas 4 tipe yang bias terjadi bersama-sama yaitu Anfilaktik,
Sitotoksik, Kompleks imun dan T cell mediated.

a. Hipersensitivitas tipe I (Anafilaktik)


Tipe I, Immediate Hypersensitivitas: reaksi imun yang cepat (dalam
menit) setelah kontak ulang dengan antigen, dimana antibody spesifik
terikat pada/dengan sel mast, sehingga terjadi degranulasi sel mast
yang melepas mediator-mediator yang menimbulkan gejala atau
simpton.
Ada dua bentuk yaitu:
1. Lokal: terjadi disebabkan karena antigen masuk dapat melalui
hirupan, penelanan, kontak yang bisa menyebabkan asma, diare,
gatal.
2. Sistemik: terjadi disebabkan karena antigen masuk dengan
suntikan sehingga dapat menyebabkan shock anafilaktik.
Tipe I, Immediate Hypersensitivity: reaksi imun yang cepat (dalam
menit) setelah kontak ulang dengan antigen, dimana antibody spesifik
terikat pada atau dengan sel mast, sehingga terjadi degranulasi sel mast
yang melepas mediator yang menimbulkan gejala atau simpton.
Mekanismenya adalah antigen terikat pada IgE di permukaan sel
mast > crosslinking 1 Ag + 2 Ab > menyebabkan destabilised dinding
sel yang akan mengeluarkan mediator utama dari granula dan mediator
sekunder dari inti dan dinding selnya.
Mediator tersebut terdiri dari:
a. Mediator utama:
1. Adenosin yang berfungsi untuk meningkatkan pengeluaran
mediator sel mast
2. Histamin yang berfungsi untuk kontraksi otot polos bronchial,
intestine dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
3. Faktor kemotaktik yang terdiri dari eosinophil khemotaktik
faktor yang akan menarik eosinophil dan netrofil khemotaktik
faktor yang akan menarik netrofil.
4. Protease yang berfungsi untuk aktivasi komplemen
proteoglikan yang berfungsi sebagai antikoagulan
b. Mediator sekunder:
1. Asam arahidonat terdiri dari Leukotriene menyebabkan
kontraksi bronchiale dan Prostaglandin yang menyebabkan
asma bronchiale.
2. Platelet activating factor menyebabkan reaksi fase lambat
3. Inti akan mengeluarkan sitokin
Mediator-mediator tersebut diatas menyebabkan timbulnya
inflamasi, sesak nafas, dan hipersekresi.
b. Hipersensitivitas tipe II, Sitotoksik (Antibody Dependent Cytotoxicity
Hypersensitivity) adalah reaksi hipersensitivitas yang dimediasi
antibody terhadap antigen di permukaan sel/jaringan. Ada 3
mekanisme yaitu:
1. Complemen dependen
Ikatan antigen antibody akan menyebabkan reseptor terhadap
komplemen yang terdapat pada bagian Fc antibody menjadi aktif,
sehingga akan mengikat C1q, C1q menjadi aktif yang akan
mengaktifkan C1r, C1r menjadi aktif yang akan mengaktifkan C1s.
C1s akan mengikat C4 dan C2 menjadi C142 aktif atau C3
Convertase, selanjutnya C3 Convertase akan memecah C3 menjadi
C3a dan C3b. C3b berfungsi sebagai opsonin pada antibody yang
telah berikatan dengan antigen sehingga makrofag atau sel NK
akan menghancurkan antigen. C3b akan mengaktifkan C5, C6, C7
menjadi C567 aktif. C567 aktif akan mengaktifkan C89 menjadi
C89 aktif. C89 aktif inilah yang akan menghancurkan antigen.

2. Antibody Dependen Cell Citotoxicity


Pada mekanisme ini antigen akan dihancurkan oleh sel NK,
eosinophil, netrofil atau makrofag setelah dilapisi dulu dengan
antibody. Pada mekanisme ini antigen berupa tumor, parasite atau
penolakan terhadap graft.

3. Anti Receptor Antibody


Pada mekanisme ini terbentuknya antibody terhadap receptor,
sehingga receptor tidak dapat berikatan dengan ligan nya. Pada
Myasthenia Gravis terbentuk antibody terhadap receptor asetil
colin sehingga receptor thyroid stimulating hormone (TSH)
sehingga receptor TSH tidak dapat berikatan dengan TSH dengan
efek stimulasi.

c. Hipersensitivitas tipe III (Immun Complex Mediated) adalah Reaksi


yang diinduksi oleh kompleks Ag-Ab yang mampu mengaktifkan
komplemen dan berbagai mediator serum, sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan. Kompleks imun dengan ukuran intermediate di
dalam pembuluh darah akan mengaktifkan komplemen yang
selanjutnya, menyebabkan basophil mengeluarkan mediator
vasodilatasi sehingga pembuluh darah membesar. Kemudian kompleks
imun mengendap dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang
teraktivasi akan mengaktifkan netrofil sehingga mengeluarkan enzim
lisosomal dari granula yang menyebabkan inflamasi.
d. Hipersensitivitas tipe IV atau reaksi tipe IV merupakan
hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh
reaktivitas sel T terhadap antigen. Saat reaksi hipersensitivitas tipe IV
telah dibagi menjadi Delayed Tipe Hipersensitivity yang terjadi
melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis.
2. Transplantasi Organ
“Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yaitu To Transplant, yang
berarti To Move From One Place to Another, artinya berpindah dari satu
tempat ke tempat lain.” Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata
transplantasi mempunyai arti pemindahan jaringan tubuh dari satu tempat
ke tempat lain dan atau pencangkokan. Pencangkokan atau Transplantasi
adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat
untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi
dengan baik, yang apabila di obati dengan prosedur medis biasa, harapan
penderita untuk bertahan hidup nya tidak ada lagi.
Didalam PP No. 18 Tahun 1981 yang dimuat dalam LN 1981 No. 23
Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta
Transplantasi Alat atau Jaringan Organ Tubuh Manusia, dirumuskan
pengertian sebagai berikut “Transplantasi adalah rangkaian tindakan
kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan organ tubuh manusia
yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan organ tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik.”
Organ mempunyai arti yaitu alat yang mempunyai tugas tertentu
didalam tubuh manusia.8 Bagian organ yang dimaksud disini antara lain
jantung, ginjal, paru-paru, kornea mata, hati, pangkreas, usus, dan katup
jantung.Jaringan Tubuh menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
susunan sel-sel khusus yang sama pd tubuh dan bersatu dl menjalankan
fungsi biologis tertentu. Jaringan Tubuh menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1981 Pasal 1 butir (d) adalah kumpulan sel-sel yang
mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa transplantasi merupakan proses tindakan
perpindahan salah satu dan atau beberapa organ tubuh dan atau jaringan
tubuh dari satu tempat ke tempat lain atau dari seseorang ke seseorang
lainnya dengan ketentuan berlaku akibat dari ketidakfungsian organ atau
jaringan tubuh itu sendiri. Sehingga, melalui tindakan transplantasi
tersebut fungsi organ tubuh yang baru dapat berjalan sesuai dengan
fungsinya.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini
adalah: mata, ginjal dan jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut
sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan
jantung. Mengenai donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin
membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat
keindahan alam ciptaan tuhan ini ataupun orang yang menjadi buta karena
penyakit. Ada 2 tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai
permasalahan sendiri sendiri yaitu:

a) Dari Segi Pemberi Donor


a. Transplatasi dengan donor hidup
“Transplantasi dengan donor hidup merupakan tindakan pemindahan
organ tubuh manusia kepada seseorang atau dirinya sendiri yang
dimungkinkan seseorang pendonor masih dapat bertahan hidup dengan
ketidak sempurnaan organ tubuhnya akibat sebagian telah ditransfusikan.”
10 Bagian organ tubuh yang memungkinkan untuk dipindahkan ke orang
lain pada saat masih hidup yaitu:
1) Ginjal
Individu yang hidup dapat menyumbangkan salah satu dari dua
ginjalnya dan ginjal yang tersisa masih dapat menyediakan fungsi yang
dibutuhkan untuk menghilangkan limbah dari tubuh. Sumbangan ginjal
tunggal adalah prosedur donor hidup yang paling sering dilakukan.
2) Hati
Donor hidup juga dapat menyumbangkan salah satu dari dua lobus
hati. Hal ini dimungkinkan karena sama seperti sel-sel kulit tumbuh
kulit baru, sel-sel hati pada lobus sisa hati bisa tumbuh kembeli atau
beregenerasi sampai hati hampir berukuran seperti aslinya. Regenerasi
hati terjadi dalam waktu singkat dikeduanya, donor hati dan penerima
hati.
3) Paru-paru, pankreas dan bagian dari usus
Donor hidup juga memungkinkan untuk mendonorkan sebuah paru-
paru atau bagian dari paru-paru, bagian dari pankreas dan bagian dari
usus. Meskipun organ-organ ini tidak beregenerasi, baik porsi organ
yang disumbangkan dan bagian yang tersisa pada donor sepenuhnya
dapat berfungsi.
4) Jantung
Organ jantung pun dapat disumbangkan saat masih hidup, tetapi hanya
jika si pendonor menerima jantung pengganti. Ini terjadi hanya bila
seseorang dengan penyakit paru-paru parah dan jantung yang berfungsi
normal akan memilikikesempatan lebih besar untuk bertahan hidup
jika ia menerima transplantasi gabungan jantung dan paru-paru.
5) Jaringan
Jaringan yang bisa disumbangkan oleh donor hidup adalah amnion,
kulit, tulang, darah, sumsum darah, sel induk darah, dan tali pusat.

b. Transplantasi Dengan Donor Mati atau Jenazah


Transplantasi dengan donor mati atau jenazah yaitu “tindakan pemindahan
satu atau beberapa organ tubuh manusia yang telah meninggal dunia atau
mati batang otak dan masih berfungsi dengan baik kepada orang lain yang
membutuhkannya.”
Sedangkan organ atau jaringan yang bisa didonorkan setelah meninggal
dunia antara lain,
Organ: mata, ginjal, paru-paru, jantung, hati, pankreas
Jaringan: tulang, katup jantung, kulit.
b) Dari Segi Penerima Donor
a. Autograft
Autograft merupakan “pemindahan organ jaringan atau organ dari satu
tempat ke tempat lain dalam tubuh pasien sendiri.”12 Misalkan operasi
kulit wajah akibat luka bakar, maka akan diambilkan bagian kulit dari
anggota tubuh lainnya yaitu punggung, pantat, dan atau paha.
b. Allograft
Allograft dapat didefinisikan “pemindahan jaringan atau organ dari
satu tubuh ke tubuh yang lain yang sama spesiesnya, yakni antara manusia
dengan manusia.”13 Transplantasi allograf merupakan transplantasi yang
sering dilakukan karena mengingat tingkat keberhasilannya sangat tinggi.
Organ tubuh yang biasa di transplantasikan yaitu organ tubuh ginjal dan
kornea mata.
Heterotransplantasi (Xenograft)Heterotransplantasi adalah
“pemindahan suatu jaringan atau organ dari satu spesies ke spesies
lainnya.”14 Tindakan transplantasi ini biasanya dilakukan antara spesies
manusia dengan spesies hewan, contoh hewan kera dan babi.
Menurut soekidjo notoatmojo,Heterotransplantasi
merupakan:“pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh
yang lain yang tidak sama spesiesnya, misalnya antara spesies manusia
dengan binatang. Yang sudah pernah terjadi contohnya pencangkokan hati
manusia dengan hati baboon, meskipun tingkat keberhasilannya sangat
kecil.”
Sampai saat ini Transplantasi organ tubuh yang banyak dibicarakan di
kalangan ilmuwan dan agamawan / rohaniawan adalah mengenai tiga
macam organ tubuh, yaitu mata, ginjal dan jantung. Hal ini dapat
dimaklumi karena dari segi struktur anatomis manusia, ketiga organ tubuh
tersebut sangatlah vital bagi kehidupan manusia. Namun sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang semakin
canggih, maka di masa yang akan datang transplantasi mungkin juga
berhasil dilakukan untuk organ organ tubuh lainnya, mulai dari kaki dan
Telapaknya sampai kepalanya, termasuk pula organ tubuh bagian dalam
seperti rahim wanita.

C. Asesmen Sistem Imun


Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai
peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem
indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan
komponennya yang beredar diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran
yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh
terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. Sistem ini
merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh,
misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran
napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas
bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu
rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-masing (Roitt dkk.,
1993; Subowo, 1993; Kresno, 1991).
Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka konsep
imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali yang
melengkapi manusia dan binatang dengan suatu kemampuan untuk mengenal
suatu zat sebagai asing terhadap dirinya, yang selanjutnya tubuh akan
mengadakan tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau
memasukkan dalam proses metabolisme yang dapat menguntungkan dirinya
atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri.
Konsep imunitas tersebut, bahwa yang pertama-tama menentukan ada
tidaknya tindakan oleh 5 tubuh (respons imun), adalah kemampuan sistem
limforetikuler untuk mengenali bahan itu asing atau tidak (Bellanti,1985:
Marchalonis, 1980; Roitt,1993). Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi
apabila kedalam tubuh terpapar suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi
dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan
proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau
imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons
imun tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun humoral.
Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat membedakan
zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga
sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya
sendiri. Kejadian ini disebut dengan Autoantibodi (Abbas dkk., 1991; Roit
dkk., 1993). Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka
akan terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan
respons imun spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda,
namun telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun diatas saling
meningkatkan efektivitasnya. Respons imun yang terjadi sebenarnya
merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang
terdapat didalam system imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama
sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama
dan serasi (Grange, 1982; Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).
1. Respons Imun Nonspesifik
Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam
artian bahwa respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat
dijelaskan sebagai berikut: salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan
diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri, adalah dengan cara
menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui proses
fagositosis.
Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan monosit memegang peranan
yang sangat penting. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagositosis
tersebut harus berada dalam jarak yang dekat dengan partikel bakteri, atau
lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus melekat pada permukaan
fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak menuju
sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau mediator
tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik yang
berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag atau
komplemen yang telah berada dilokasi bakteri (Kresno, 1991; Roitt, 1993).
Selain factor kemotaktik yang berfungsi untuk menarik fagosit menuju
antigen sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya, bakteri perlu
mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih
dahulu dilapisi oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), supaya lebih
mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk kedalam
sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosum, ia
terperangkap dalam kantong fagosum, seolah-olah ditelan dan kemudian
dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat
kesaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan
gangguan metabolisme bakteri (Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun
nonspesifik adalah reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat
dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel,
misalnya histamine yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit, Vasoactive
amine yang dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal
dari komponen – komponen komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari
mastosit dan basofil. Mediatormediator ini akan merangsang bergeraknya
sel-sel polymorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta
meningkatkan permiabilitas dinding vaskuler yang mengakibatkan
eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut dengan
respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991; Kresno, 1991). 1.3
Respon Imun Spesifik Merupakan respon imun yang didapat (acquired),
yang timbul akibat dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh
pernah terpapar sebelumnya. Respons imun spesifik dimulai dengan
adanya aktifitas makrofag atau antigen precenting cell (APC) yang
memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan
interaksi dengan sel-sel imun.
Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel system
imun berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel yang
memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen
(Bellanti, 1985; Roitt,1993; Kresno, 1991). 8 Walaupun antigen pada
kontak pertama (respons primer) dapat dimusnahkan dan kemudian sel-sel
system imun mengadakan involusi, namun respons imun primer tersebut
sempat mengakibatkan terbentuknya klon atau kelompok sel yang disebut
dengan memory cells yang dapat mengenali antigen bersangkutan.

2. Respons imun primer.


Respons imun seluler Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme
yang hidup dan berkembang biak secara intra seluler, antara lain didalam
makrofag sehingga sulit untuk dijangkau oleh antibody. Untuk melawan
mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons imun seluler,
yang diperankan oleh limfosit T.
Subpopulasi sel T yang disebut dengan sel T penolong (T-helper) akan
mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui major
histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada permukaan
sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai
jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon, yang dapat membantu
makrofag untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut.
Sub populasi limfosit T lain yang disebut dengan sel T-sitotoksik (T-
cytotoxic), juga berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme
intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to
cell). Selain menghancurkan 9 mikroorganisme secara langsung, sel T-
sitotoksik, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah
penyebaran mikroorganisme kedalam sel lainnya.

3. Respons Imun Humoral Respons imun humoral,


Diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu populasi (klon)
sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah. Pada
respons imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk
klon sel B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk
satu jenis antibody spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection).
Antibodi ini akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen
– antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan
hancurnya antigen tersebut. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan
membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper),
yang atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang
dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibody. Selain oleh sel
T- penolong, produksi antibody juga diatur oleh sel T penekan (T-
supresor), sehingga produksi antibody seimbang dan sesuai dengan yang
dibutuhkan. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral
Interaksi ini disebut dengan antibody dependent cell mediated cytotoxicity
(ADCC), karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi.
Dalam hal ini antibodi berfunsi melapisi antigen sasaran, 10
sehingga sel natural killer (NK), yang mempunyai reseptor terhadap
fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel atau antigen sasaran.
Perlekatan sel NK pada kompleks antigen antibody tersebut
mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran. Respons imun
spesifik (adaptif) dapat dibedakan dari respons imun bawaan, karena
adanya cirri-ciri umum yang dimilikinya yaitu; bersifat spesifik, heterogen
dan memiliki daya ingat atau memory.
Adanya sifat spesifik akan membutuhkan berbagai populasi sel
atau zat yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga
menimbulkan sifat heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan
menghasilkan kualitas respons imun yang sama terhadap konfigurasi yang
sama pada pemaparan berikutnya.

D. Efek Anestesi Terhadap Sistem Imun


Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit. Sistem imun yang berfungsi baik
dan mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia (Baratawidjaja,
2009). Tubuh manusia mengembangkan mekanisme yang kompleks untuk
menghadapi patogen yang memiliki kemampuan untuk masuk kedalam tubuh
dan mengganggu keseimbangan tubuh (Subowo, 1993). Sistem imun juga
merupakan sekelompok sel, protein, jaringan, dan organ khusus yang bekerja
sama melawan segala hal yang berbahaya bagi tubuh.
Mikroorganisme dan zat-zat asing yang menyerang tubuh disebut sebagai
antigen alias bibit penyakit. Saat antigen terdeteksi, serangkaian respon imun
akan terjadi untuk melindungi tubuh dari terinfeksi. Pada proses tersebut,
beberapa macam sel bekerja sama untuk mengenali antigen dan memberikan
respon. Sel-sel ini kemudian merangsang limfosit B untuk menghasilkan
antibodi.
Antibodi adalah protein yang didesain khusus untuk menempel pada
antigen tertentu. Setelah itu, sel T mencari antigen yang telah ditumpangi dan
menghancurkannya. Sel T juga membantu memberi sinyal pada sel-sel lain
(seperti fagosit) untuk melakukan tugasnya.Begitu dihasilkan, antibodi akan
berada dalam tubuh seseorang selama beberapa waktu, sehingga apabila
antigen atau bibit penyakit kembali, antibodi sudah tersedia untuk melakukan
misinya. Antibodi juga dapat menetralkan racun yang dihasilkan oleh
organisme dan mengaktifkan sekelompok protein yang disebut komplemen.
Komplemen adalah bagian dari sistem imun yang membantu membunuh
bakteri, virus atau sel-sel yang terinfeksi. Bersama, semua sel-sel khusus dan
bagian sistem imun menghasilkan perlindungan bagi tubuh terhadap penyakit.
Proteksi inilah yang disebut imunitas.
Tindakan anestesi adalah usaha untuk menghilangkan nyeri dengan
teknikteknik yang dipakai dalam tindakan operasi. Anestesi dapat dilakukan
dengan General Anesthesi (GA), Regional Anesthesi (RA), Local Anesthesi
(LA). GA atau anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus yaitu
Tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang
bersifat reversible (Faridah, 2013).
Tindakan anestesi umum menggunakan teknik dan jenis obat yang berbeda
dengan tindakan anestesi regional dan anestesi lokal, hal ini yang
menyebabkan terjadinya kejadian mual muntah lebih banyak pada pasien yang
menjalani operasi dengan anestesi umum. Mual muntah paska operasi atau
dikenal dengan istilah Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) adalah
masalah utama setelah anestesi umum, terjadi pada 20-30% dari semua pasien
(Rother 2012). Terlebih lagi, mual muntah paska operasi dapat terjadi di
rumah dalam 24 jam setelah pulang pada sejumlah pasien (Morgan, Mikhail &
Murray, 2013). Di Amerika Serikat, 71 juta orang menjalani pembedahan
rawat jalan dan rawat inap per tahunnya. Angka kejadian mual muntah paska
bedah sekitar 20-30% pada pasien yang menjalani pembedahan umum dan 70-
80% pada pasien yang tergolong risiko tinggi (Fithrah, 2014). Di Indonesia
angka mual muntah paska bedah belum tercatat jelas. Angka kejadian mual
muntah paska operasi sekitar 30% dari seluruh pasien yang menjalani operasi
dengan rawat inap dan 70% kasus terjadi dalam 24 jam pertama
(Rahmayati,Irwan & Sormin, 2017).
Mual muntah yang dialami akibat prosedur pembedahan dengan
anestesi umum akan menimbulkan efek yang merugikan yaitu, apabila muntah
masuk ke dalam saluran pernafasan maka dapat berakibat fatal. Dalam
keadaan normal refleks muntah dan batuk dapat mencegahnya, tetapi apabila
pasien sedang diberikan terapi obat-obat anestesi hal ini dapat mengganggu
refleks pelindung tersebut dan akibatnya pasien merasakan sesak nafas (Qudsi
& Dwi dalam Rahmayati, Irwan & Sormin,, 2017).
Selain itu, efek merugikan lain yang dapat terjadi adalah penurunan
nafsu makan hingga penurunan asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Jika
asupan nutrisi yang kurang kesehatan pasien juga akan terganggu seperti
tampak lemas, lesu, mudah terserang penyakit, serta penurunan sistem imun
tubuh sehingga penyembuhan luka operasi dapat terganggu. Oleh sebab itu
mual muntah ini perlu ditanganidengan baik untuk mengoptimalkan asupan
nutrisi yang dibutuhkan pasien (Choi, Kim & Chin, 2007). Efek yang
merugikan dari penggunaan anestesi umum dapat dicegah dengan pendekatan
farmakologi dan non farmakologi.
Operasi besar berhubungan dengan disfungsi sistem kekebalan tubuh
bawaan. Baru-baru ini, dibuktikan bahwa stres akibat pembedahan dapat
dengan cepat menginduksi penurunan respon sementara dari darah terhadap
endotoksin sejak 2 jam setelah insisi dan bahwa IL-10 plasma yang meningkat
selama pembedahan, berperan dalam penurunan respon ini. Telah dilaporkan
bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi imunitas
dan respon terhadap stres akibat pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan
mengurangi respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi. Blok
epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan,
mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.
Teknik anestesi regional untuk operasi besar dapat mengurangi pelepasan
kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun memiliki pengaruh
kecil pada respon sitokin. Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007)
menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan, misalnya fagositosis,
ditekan oleh stres akibat pembedahan dan bahwa anestesi epidural tidak
mampu mencegah penurunan respon kekebalan tubuh.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Fungsi System Imun Bawaan dan Adabtif
Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang melibatkan
penghalang permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen, dan komponen
seluler. Sistem imun adaptif berkembang karena diaktifkan oleh sistem imun
bawaan dan memerlukan waktu untuk dapat mengerahkan respons pertahanan
yang lebih kuat dan spesifik.
a. Respon imun bawaan adalah respon pertama organisme terhadap penjajah
asing.
b. Respon imun adaptif adalah lini pertahanan kedua tubuh.
Hipersensitivitas adalah respon imun adaptive yang terjadi secara
berlebihan dan “In Appropriate” sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.
Reaksi terjadi pada kontak langsung. Antigen bias secara eksogen maupun
endogen. Dijalankan oleh reaksi imun spesifik baik secara humoral maupun
seluler. Dibedakan atas 4 tipe yang bias terjadi bersama-sama yaitu Anfilaktik,
Sitotoksik, Kompleks imun dan T cell mediated.
“Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yaitu To Transplant, yang
berarti To Move From One Place to Another, artinya berpindah dari satu
tempat ke tempat lain.” Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata
transplantasi mempunyai arti pemindahan jaringan tubuh dari satu tempat ke
tempat lain dan atau pencangkokan.
1. Transplantasi dengan donor hidup merupakan tindakan pemindahan organ
tubuh manusia kepada seseorang atau dirinya sendiri yang dimungkinkan
seseorang pendonor masih dapat bertahan hidup dengan ketidak
sempurnaan organ tubuhnya akibat sebagian telah ditransfusikan.
2. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah yaitu “tindakan pemindahan
satu atau beberapa organ tubuh manusia yang telah meninggal dunia atau
mati batang otak dan masih berfungsi dengan baik kepada orang lain yang
membutuhkannya.”
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran
ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem
indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan
komponennya yang beredar diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran
yang jauh dari pusat.
Mual muntah yang dialami akibat prosedur pembedahan dengan anestesi
umum akan menimbulkan efek yang merugikan yaitu, apabila muntah masuk
ke dalam saluran pernafasan maka dapat berakibat fatal. Dalam keadaan
normal refleks muntah dan batuk dapat mencegahnya, tetapi apabila pasien
sedang diberikan terapi obat-obat anestesi hal ini dapat mengganggu refleks
pelindung tersebut dan akibatnya pasien merasakan sesak nafas.
Selain itu, efek merugikan lain yang dapat terjadi adalah penurunan nafsu
makan hingga penurunan asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Jika asupan
nutrisi yang kurang kesehatan pasien juga akan terganggu seperti tampak
lemas, lesu, mudah terserang penyakit, serta penurunan sistem imun tubuh
sehingga penyembuhan luka operasi dapat terganggu. Oleh sebab itu mual
muntah ini perlu ditanganidengan baik untuk mengoptimalkan asupan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini semoga dapat memberikan pengetahuan
bagi pembaca mengenai fisiologi sistem imun terhadap anestesi.
DAFTAR PUSTAKA

Bratawidjaja, K., & I., R. (2010). IMUNOLOGI DASAR ed 9. Jakarta: BP.FKUI.


Marliana, N., & Retno Martini Widhyasih. (2018). IMUNOSEROLOGI.
JAKARTA: Pusdik SDM Kesehatan.
Yudhowibowo, I. I., Sutiyono, D., & Villyastuti, Y. W. (2011). Pengaruh Anestesi
Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres Operasi Selama
Pembedahan. Jurnal Anestesiologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai