Anda di halaman 1dari 20

LEMBAR KERJA MAHASISWA 3

PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER, DAN TERSIER PADA


MASALAH PADA KASUS KRITIS BERBAGAI SISTEM TUBUH

Dosen Pengampu: Septian Mixrova Sebayang, S.Kep, Ns, S.Tr.Kes, M.Kep

Nama: Vagnessa Vaginleira

NIM: 220106248

Kelas: 2E

PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

TAHUN AJARAN 2022/2023


RINGKASAN LKM 3

ASPEK PSIKOSOSIAL PADA PASIEN DAN KELUARGA KELOMOK


KRITIS

A. PSIKOSIAL PADA PASIEN


1. DEFINISI PSIKOSOSIAL
Psikososial merupakan suatu kondisi yang dapat dialami
individu yang mencakup aspek psikis dan social. Faktor psikis dan
sosial terdapat adanya hubungan yang dinamis antar keduanya,
dimana saling berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Psikososial berarti berkaitan dengan sosial yang mencakup
faktor – faktor psikologis (Chaplin,J.P., 2011).
Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara
seimbang memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya
maupun pasien dan keluarganya. Untuk mencapai keseimbangan ini
perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana
keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan
psikososial pasien, keluarga dan petugas Kesehatan. Sebagai
seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai
masalah Kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya.
Perawat tidak boleh hanya berfokus pada masalah fisik yang
dialami pasien. Kegagalan dalam mengatasi masalah psikososial
pasien bisa berdampak pada semakin memburuknya keadaan
pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang
semakin berat dan menolak pengobatan.

2. UPAYA MENGATASI PSIKOSOAL


a. Modifikasi Lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU
sebaiknya senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel
walaupun menggunakan banyak sekali peralatan dengan
teknologi canggih, serta meningkatkan lingkungan yang lebih
mendukung kepada proses recovery (penyembuha pasien)
(Jastremski, 2000).
Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien
memungkinkan untuk mempromosikan the universal room.
Ketersediaan alat yang portable dan lebih kecil meningkatkan
keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien daripada
pasien yg datang ke tempat pelayanan. Kemungkinan untuk
membuat work statiun kecil (decentralization of nursing
activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi pasien
(Jastremski, 2000). Peralatan yang super canggih seperti
remote monitoring untuk emua pasien melalui monitor pada
semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat TV. Jadi
perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat
pasien Bed 2 (Jastremski, 2000).

b. Terapi Musik
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas,
cara lain untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat
di ICU adalah terapi musik. Tujuan therapy musik adalah
menurunkan stress, nyeri, kecemasan dan isolasi. Beberapa
penelitian telah meneliti efek musik pada physiology pasien
yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi music
dapat menurunkan heart rate, komplikasi jantung dan
meningkatkan suhu ferifer pada pasien AMI. Juga ditemukan
bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien
(Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang
digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau
suara alam (Jastremski,1998).
c. Komunikasi Terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau
kurang perhatian terhadap masalah komunikasinya dengan
pasien dan keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang
dilakukan oleh Lenore & Ogle (1999) terhadap penelitian
tentang komunikasi perawatpasien di ruang ICU di Australia
menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang ICU masih
sangat kurang meskipun mereka mempunyai pengetahuan
yang sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik.
Hal ini juga dialami oleh teman dekat penulis ketika
anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah
sakit K tersebut sangat tidak mempertimbangkan perasaan dia
dan pasien ketika berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan
cenderung apathy. Penelitian lain oleh McCabe (2002) di
Ireland dengan pendekatan phenomenology juga
menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa
melakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien
ketika perawat menggunakan pendekatan person-centered
care.
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam
pelayanan kesehatan untuk menggambarkan pendekatan
pilosofis untuk a particular mode of care (model tertentu
dalam keperawatan). Konsep utama dari person-centred care
adalah sebuah komitmen untuk menemukan kebutuhan
pelayanan keperawatan individu dalam konteks pengalaman
sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya
hidup dan kemampuan untukmemahami apa yang sedang
dirasakan oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat
untuk pindah dari sekedar hanya memenuhi kebutuhan
kesehatan pasien kepada kemampuan untuk memahami dan
responsif terhadap the inner world of the individual – their
personal world of experiences and what this means to them
(Hasnain, et al., 2011;Clift, 2012).

B. PSIKOSOSIAL PADA KELUARGA

Aspek kebutuhan psikososial keluarga tertuang dalam Critical


Care Family Need Inventory (CCFNI) oleh Motter & Leske, 1996.
Pemenuhan kebutuhan keluarga pasien kritis di ruang ICU dalam
instrument CCFNI digambarkan menjadi 5 kategori utama, yaitu
kebutuhan informasi, dukungan mental, rasa nyaman, kedekatan
dengan pasien, dan jaminan pelayanan.

a. Informasi
Keluarga merupakan bagian integral dalam proses
pemulihan pasien kritis. Ketika merencanakan untuk perawatan
pasien secara keseluruhan, perawat perlu mempertimbangkan
kebutuhan informasi dan emosional untuk keluarga (Urden et al,
2010). Secara garis besar, kebutuhan informasi menjadi kebutuhan
prioritas tertinggi dan utama bagi keluarga pasien dibandingkan
dengan kebutuhan lainnya (Al-Mutair et al., 2013; Kisorio and
Langley, 2016).

Informasi yang dibutuhkan oleh keluarga berupa informasi


yang berkaitan dengan perkembangan kondisi pasien.
Perkembangan kondisi pasien yang dimaksud meliputi kondisi
sesungguhnya mengenai perkembangan pasien. Keluarga tidak
hanya membutuhkan informasi perkembangan pasien, namun
juga mengetahui tindakan tertentu yang akan dilakukan serta
mengetahui kondisi setelah dilakukan tindakan. Mendapatkan
informasi paling sedikit satu kali sehari, mengetahui rencana
pindah ruangan dan dapat penjelasan mengenai peraturan
diruang ICU merupakanhal penting yang dapat membantu
keluarga untuk lebih memahami situasi pasien (Farahani et al.,
2014 & jezierska, 2014).

b. Dukungan mental
Dukungan mental merupakan kebutuhan keluarga saat
menunggu pasien yang dirawat diruang ICU setelah kebutuhan
informasi (Blom et al., 2013; Cypress, 2011; Frivold et al., 2015;
Kisorio and Langley, 2016). Dukungan tersebut dibutuhkan oleh
keluarga karena pada saat menunggu pasien, mereka merasa
khawatir, bingung bahkan bisa jadi frustasi (Kisorio and Langley,
2016). Keluarga mengatakan bahwa dukungan dari tenaga
kesehatan menjadi penting terkait dengan pemberian perawatan
pada pasien serta pemenuhan kebutuhan informasi mengenai
kondisi pasien bagi keluarga (Blom et al., 2013; Frivold et al.,
2015; Kisorio and Langley, 2016).
Selain dukungan dari tenaga kesehatan, beberapa literature
mengungkapkan bahwa dukungan psikososial juga dibutuhkan.
Dukungan psikosocial tersebut dapat meliputi dukungan
emosional dan dukunganspiritual (Kisorio and Langley, 2016).
Dukungan emosional merupakan suatu dukungan yang
bertujuan untuk memberikan perasaan dicintai dan rasa nyaman.
Bentuk dari dukungan ini berupa pemberian support dan empati.
Dukungan emosional berkaitan dengan pengakuan keberadaan
keluarga pasien dan kebutuhan rasa dihormati dengan cara
berkomunikasi antara tenaga kesehatan dengan pihak keluarga.
Lain halnya dengan dukungan spiritual, keluarga berkeyakinan
terhadap kesembuhan pasien dengan cara berdoa, dengan berdoa
mereka berharap dapat mengubah kondisi pasien menjadi lebih
baik(Cypress, 2011; Kisorio and Langley, 2016).
c. Rasa nyaman

Kebutuhan rasa nyaman merupakan kebutuhan lain yang


diharapkan oleh keluarga pasien. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi rasa nyaman keluarga yaitu lingkungan. Sebagai
contoh, keluarga membutuhkan kenyamanan atas peralatan atau
fasilitas yang ada diruang tunggu serta

d. Kedekatan

Selama proses perawatan pasien, hal yang sangat


dibutuhkan oleh keluarga yaitu berada disamping pasien.
Kedekatan anggota keluarga dengan pasien yang dirawat di ruang
intensive care unit sangat diperlukan dalam hal perawatan (Blom
et al., 2013; Knutsson and Bergbom, 2016; Noome et al., 2016).

Kehadiran dan kedekatan bertujuan agar keluarga dapat


melakukan sesuatu untuk pasien dan keluarga beranggapan bahwa
hal tersebut merupakan waktu berharga (Blom et al., 2013;
Noome et al., 2016). Ketidakhadiran keluarga pasien dalam
perawatan dapat menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, selalu
berpikir mengenai kondisi pasien serta dapat meingkatkan stress.
Salah satu cara untuk menurunkan kondisi tersebut yaitu dengan
kehadiran anggota keluarga disamping pasien (Kisorio and
Langley, 2016;46 Knutsson and Bergbom, 2016). Keluarga dan
pasien sepakat bahwa dengan kehadiran keluarga disamping
pasien akan menurunkan tingkat cemas dan memperbaiki
psikologis keluarga(Blom et al.,2013).
e. Jaminan

Jaminan merupakan salah satu kebutuhan lain dari keluarga


pasien. Bentuk dari pemenuhan kebutuhan jaminan dapat berupa
mengetahui perawatan yang diterima oleh pasien. Keluarga
mempunyai hak untuk mengetahui perawatan apa saja yang
diberikan oleh tenaga kesehatan kepada pasien. Keluarga
menggambarkan bahwa mereka menghargai perawatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan , selain itu keluarga akan merasa
aman jika mengetahui perawatan yang dilakukan (Blom et al.,
2013; Noome et al., 2016). Hal ini didukung dalam penelitian
(Carlson et al., 2015) yang menyatakan bahwa keluarga hampir
seluruhnya setuju dengan perawatan yang diberikan diruang ICU
dikarenakan keluarga mengetahui bentuk perawatan yang
diterima oleh pasien.
PATIENT SAFETY DI AREA KEPERAWATAN
KRITIS

1. Definisi

Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah


sakit membuat asuhan pasien lebih aman dalam upaya mencegah terjadinya
cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI,2011).
(Salawati & Serikat, 2004). Keselamatan pasien (Patient safety) adalah
prinsip dasar dari perawat kesehatan(WHO) (Mulyana, 2013). Kesalamatan
pasien merupakan sebuah sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman.
Sistem tersebut terdiri dari asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melakukan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil.

Insiden keselamatan pasien merupakan setiap kejadian yang tidak


disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera yang dapat dicegah pada pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2017)
(Siagian, 2020). Menurut IOM, keselamatan pasien (Patient Safety)
didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury
disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau
memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga
akibat dari melaksanakan tindakan yang salah (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Accidental injury
dalam prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan (near
miss).(Mulyana, 2013).

2. Tujuan Keselamatan Pasien

Menurut (Mulyana, 2013) Komite Keselamatan Pasien


Rumah Sakit (KPRS) Tujuan program keselamatan pasien di
rumah sakit antara lain :
1.Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2.Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan


masyarakat

3.Menurunnya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.

4.Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi


pengulangankejadian tidak diharapkan.

3. Sasaran Keselamatan Pasien

Enam sasaran keselamatan pasien peraturan menteri kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1691/menkes/per/VIII/2011Tentang
Keselamatan pasien rumah sakit:

a. SASARAN I : KETEPATAN IDETIFIKASI PASIEN

Standar SKP I Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk


memperbaiki/ meningkatkan ketelitian identifikasi pasien Elemen
Penilaian Sasaran I :
1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien,
tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi
pasien.
2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah atau
produkdarah.
3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan
spesimen lainuntuk pemeriksaan klinis.
4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian
pengobatan dantindakan/prosedur.

b. SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI EFEKTIF


Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antar para
pemberi pelayanan.Elemen Penilaian Sasaran II :
1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau
hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima
perintah.
2) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau
hasil pemeriksaan dibacakan secara lengkap oleh penerima
perintah.
3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi
perintahatau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara
konsisten.

c. SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT


YANG PERLUDIWASPADAI
Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan
untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai
(high alert).
Elemen Penilaian Sasaran III :

1) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan agar memuat


proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label dan
penyimpanan elektrolit konsentrat.
2) Implementasi kebijakan dan prosedur.

3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien


kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil
untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area
tersebut sesuai kebijakan.

d. SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT LOKASI, TEPAT


PROSEDUR,TEPAT PASIEN OPERASI
Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur dan
tepat-pasien.
Elemen Penilaian Sasaran IV :

1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan


dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan
pasien didalam proses penandaan.
2) Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain
untuk memverifikasi saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-
prosedur, dan tepat-pasien dan semua dokumen serta peralatan
yang diperlukan tersedia, tepat dan fungsional.
3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
sebelum "incisi/time out" tepat sebelum dimulainya suatu
prosedur tindakan pembedahan.
4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung
suatu proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi,
tepat-prosedur, dan tepat-pasien, termasuk prosedur medis dan
dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

e. SASARAN V : PENGURANGAN RESIKO INFEKSI


TERKAITPELAYANAN KESEHATAN
Standar SKP V Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi resiko infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
Elemen Penilaian SasaranV :

1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand


hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara
umum (a.l dari WHO Guidelines on Patient Safety.

2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang


efektif. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan resiko dari
infeksi yang terkaitpelayanan kesehatan.

f. SASARAN VI : PENGURANGAN RESIKO PASIEN JATUH


Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi resiko pasien dari cidera karena
jatuh.
Elemen Penilaian Sasaran VI :

1) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien


terhadap resiko jatuh dan melakukan asesmen ulang bila pasien
diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan dan
lain-lain.
2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi resiko jatuh
bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh.
3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan,
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian
yang tidak diharapkan.
4) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan resiko pasien cedera
akibat jatuh dirumah sakit.
PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER, DAN TERSIER PADA
MASALAH PADA KASUS KRITIS BERBAGAI SISTEM TUBUH

A. PENCEGAHAN PENYAKIT
1. Definisi Pencegahan
Pencegahan penyakit adalah upaya mengarahkan sejumlah
kegiatan untuk melindungi masyarakat dari ancaman kesehatan
potensial. Pencegahan penyakit adalah upaya mengekang
perkembangan penyakit, memperlambat kemajuan penyakit, dan
melindungi tubuh dari berlanjutnya pengaruh yang lebih
membahayakan Pencegahan adalah mengambil suatu tindakan yang
diambil terlebih dahulu sebelum kejadian, dengan didasarkan pada
data / keterangan yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau
hasil pengamatan / penelitian epidemiologi (Nasry, 2006).
Pencegahan merupakan komponen yang paling penting dari
berbagai aspek kebijakan publik (sebagai contoh pencegahan
kejahatan, pencegahan penyalahgunaan anak, keselamatan
berkendara), banyak juga yang berkontribusi secara langsung maupun
tidak langsung untuk kesehatan. Konsep pencegahan adalah suatu
bentuk upaya sosial untuk promosi, melindungi, dan mempertahankan
kesehatan pada suatu populasi tertentu (National Public Health
Partnership, 2006).

2. Tujuan Pencegahan
Tujuan pencegahan penyakit adalah menghalangi perkembangan
penyakit dan kesakitan sebelum sempat berlanjut. Sehingga diharapkan
upaya pencegahan penyakit ini mampu menyelesaikan masalah
kesehatan di masyarakat dan menghasilkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
3. Strategis Pencegahan
Strategi pencegahan meliputi sasaran dan kegiatan pencegahan
yang bervariasi sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi serta
tingkat pencegahannya. Sasaran pencegahan dapat merupakan individu
maupun organisasi masyarakat. Dalam melaksanakan pencegahan
dengan sasaran tersebut dapat dilakukan melalui usaha setempat yang
bersifat tradisional terutama pencegahan dasar atau premordial, dan
dapat pula dilakukan melalui pusat-pusat pelayanan kesehatan yang
tersedia di tempat tersebut.
Pelaksanaan usaha pencegahan yang terencana dan terprogram
dapat bersifat wajib maupun sukarela, seperti pemberian imunisasi
dasar, perbaikan sanitasi lingkungan, penyediaan air minum, dan
peningkatan status gizi melalui perbaikan gizi masyarakat termasuk
pemberian makanan tambahan, juga termasuk berbagai usaha untuk
mencegah kebiasaan yang dapat menimbulkan atau menigkatkan risiko
terhadap berbagai gangguan kesehatan tertentu. Sasaran pencegahan
juga meliputi berbagai usaha perbaikan dan peningkatan lingkungan
hidup, perbaikan standar hidup seperti perbaikan perumahan, sistem
pendidikan, sistem kehidupan sosial serta peningkatan standar hidup

B. Perilaku pencegahan primer, sekunder dan tersier


Intervensi keperawatan untuk mengidentifikasi kebutuhan kesehatan
populasi yang direncanakan dalam dimensi kesehatan. Dimensi pelayanan
kesehatan meliputi pencegahan primer, pencegahan sekunder,
pencegahan tersier . Menurut Clark (2003) dalam Leavel & Clark (1965)
Pencegahan primer didefinisikan oleh pencetus istilah sebagai "langkah-
langkah yang dirancang untuk mempromosikan kesehatan yang optimal
atau perlindungan spesifik terhadap agenpenyakit".

Pencegahan primer melibatkan tindakan yang diambil sebelum


terjadinya masalah kesehatan dan mencakup aspek promosi kesehatan
dan perlindungan Dalam aspek promosi kesehatan, pencegahan primer
herfokus pada peningkatan kesehatan secara keseluruhan dari individu,
keluarga, dan kelompok masyarakat. Perlindungan kesehatan ditujukan
untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan spesifik. Misalnya.
imunisasi adalah ukuran. pelindung untuk penyakit menular tertentu.
Aspek perlindungan kesehatan dari pencegahan primer juga dapat
melibatkan mengurangi atau menghilangkan faktor risiko sebagai cara
untuk mencegah penyakit.

Pencegahan sekunder berfokus pada identifikasi dini dan pengobatan


masalah kesehatan yang ada dan terjadi setelah masalah kesehatan telah
muncul Dalam praktek kesehatan masyarakat pada tahap ini, penekanan
utama adalah pada menyelesaikan masalah kesehatan dan mencegah
konsekuensi serius. Kegiatan pencegahan sekunder termasuk skrining dan
diagnosis dini, serta pengobatan untukmasalah kesehatan yang ada.

Pencegahan tersier adalah kegiatan yang bertujuan mengembalikan


klien ke tingkat fungsi tertinggi dan mencegah kerusakan lebih lanjut
dalam kesehatan. Dalam keperawatan kesehatan masyarakat, pencegahan
tersier juga berfokus pada pencegahan kekambuhan dari masalah
Intervensi keperawatan tertentu dapat dilihat sebagai tindakan pencegahan
primes, sekunder. atau tersier tergantung pada hubungannya dengan
terjadinya masalah. Jika intervensi dirancang untuk mencegah masalah
yang terjadi, itu adalah pencegahan primer misalnya, olahraga teratur
dapat meningkatkan kesehatan Jika tujuannya adalah untuk
menyelesaikan masalah yang ada, intervensi melibatkan pencegahan
sekunder Latihan untuk klien obesitas sebagai cara menurunkan berat
badan adalah pencegahan sekunder Ketika intervensi dimaksudkan untuk
mencegah konsekuensi jangka panjang dari masalah yang ada adalah
pencegahan teries Misalnya, latihan setelah patah kaki adalah pencegahan
tersier yang dirancang untuk mencegah athrophy otot dan kontraktur
(Clark, 2003).
a. Contoh Pencegahan Primer, Sekunder Dan Tersier Pada Kasus
Hipertensi

Hipertensi berarti tekanan darah di dalam pembuluh pembuluh


darah sangat tinggi Pembuluh darah pembuluh darah yang dimaksud
disini adalah pembuluh darah pembuluh darah yang mengangkut
darah dari jantung yang memompa darah ke seluruh jaringan dan
organ-organ tubuh (Susilo, 2011).

Faktor resiko hipertensi esensial meliputi umur (lebih lanjut),


jenis kelamin(pria), riwayat keluarga mengalami hipertensi, obesitas
yang dikaitkan dengan peningkatan volume intravaskular,
aterosklerosis (penyempitan arteri arteria dapat membuat tekanan
darah meningkat), merokok (nikotin dapat membuat pembuluh darah
menyempit), kadar garam tinggi (natrium membuat retensi air yang
dapat menyebabkan volume darah meningkat), konsumsi alkohol
dapat meningkatkan plasma katekolamin, dan stres emosi yang
merangsang sistem sarafsimpatis (Baradero, 2008).

Salah satu faktor resiko hipertensi esensial adalah Lansia


Perubahan fisik yang terjadi pada lansia salah satunya sistem
kardiovaskuler yang berhubungan dengan hipertensi disebabkan
karena kekuatan otot jamung menurun, katup jantung mengalami
penebalan dan menjadi lebih kaku, volume darah menurun sejalan
penurunan volume cairan tubuh akibat proses menua, dinding arteri
menjadi kurang elastis ( Dewi, 2014). Penyakit hipertensi adalah
penyakit yang harus dicegah, makadari itu dibutuhkan beberapa upaya
dalam melakukan pencegahan hipertensi diantaranya:

1. Pencegahan Primer
a. Mendapat penyuluhan kesehatan tentang hipertensi
b. Berolahraga
Olahraga yang dianjurkan untuk penanggulangan tekanan darah
tinggi adalalı olaliraga aerobik Banyak orang lebih suka melakukan
jogging, meskipun boleh memilih bersepeds atau berenang misalnya
Telah diketahun, bahwa efek penurunan tekanan darah pada seseorang
yang berlatih secara teratur meliputi penurunan tekanan darah, baik
tekanan sistolik maupun diastolik (Anies, 2006).
c. Mengurangi konsumsi lemak
Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol
darah tidak tinggi. Kadar kolesterol yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadi endapan kolesterol dalam dinding
pembuluh darah. Apabila endapan ini semakin banyak dapat
menyumbat pembuluh darah dan mengganggu peredaran darah
(Anies,2006).
d. Mengurangi stress emosional
Setiap orang berpeluang untuk mengalami stress emosional
atau stres psikologis, apalagi dalanı kehidupan yang penuh
dengan persaingan hidup Namun demikian sedapat mungkin
kita dapat menguranginya Meredam persoalan yang dapat
mengakibatkan stress tidak akan menyelesaikan masalah,
karena cepat atau lambat akan meletup dalam bentuk stres
dengan berbagai manifestasinya Bagi seseorang yang dalani
pekerjaan sehari-hari berpotensi menumbulkan stres, baik
sekali jika dapat meluangkan waktu sejenak, misalnya di akhir
minggu untuk berekreasi bersama keluarga misalnya,
berekreasi di kota, tetapi bisa saja keluar makan bersama.
mengunjung mal atau toko toko buku, bahkan berkebun atau
mengembangkan hobi di rumah(Anies, 2006).

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada identifikasi dini dan
pengobatanmasalah kesehatan yang ada dan terjadi setelah masalah
kesehatan telah muncul. Apabila seseorang sudah dinyatakan
terkena hipertensi maka akan diberikan pengobatan. Hipertensi
secara pasti tidak dapat diobati tetapi dapat diberikan pengobatan
mencegah terjadinya komplikasi (Susilo, 2011).

a) Pengobatan dengan obat-obatan antihipertensi dalam jangka

Panjang bahkan seumur hidup (Susilo, 2011)


b) Rutin periksa tekanan darah ke Posyandu atau Puskesmas
c) Minum jus seledri menurunkan hipertensi (Mintarsih, 2012)
d) Menurunkan hipertensi dengan mengkonsumsi buah
mentimun (Mintarsih, 2012)
e) Minum jus mengkudu untuk menurunkan tekanan darah
(Susilo, 2011)
f) Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan
dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sampai batas
ideal (Susilo, 2011).

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah kegiatan yang bertujuan mengembalian
klien ke tingkat fungsi tertinggi dan mencegah kerusakan lebih
lanjut dalam kesehatan. Dalam keperawatan kesehatan masyarakat,
pencegahan tersier juga berfokus pada pencegahan kekambuhan
dari masalah
a. Bila sudah terkena komplikasi seperti stroke bisa dilakukan
fisioterapisupaya tidak bertambah lagi ke komplikasi yang
lainnya
b. Minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan
tidakmemberikan komplikasi seperti penyakit jantung
coroner.
c. Untuk mempertahankan kualitas hidup pasien hipertensi bisa
dilakukanikut senam atau olahraga.
REFERENSI

Arrum, Diah. Salbiah, Murniati Manik. (2015). Pengetahuan Tenaga


Kesehatan Dalam Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit
Sumatera Utara. Idea Nursing Jurnal, 6 (2), 1-6.

Keles, Aw. dkk. (2015). Analisis Pelaksanaan Standar Sasaran Keselamatan


Pasien di UGD RSUD Dr. Sam Ratulangi Tondano Sesuai Dengan
Akreditasi RS Versi 2012. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Unsrat,
5 (3), 250-259.

Mardika Dwi Setiyani, Z. S. (2016). Implementasi Sasaran Keselamatan


Pasien Di Ruang Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang.Universitas
MuhammadiyahTangerang.

Anda mungkin juga menyukai