DISUSUN OLEH :
Kelompok 7
Abdullah Sujatnika Suharja P27901118050
Alfiatul Munawaroh P27901118053
Dewi Febriyani Lubis P27901118061
Eliza Risela Octari P27901118064
Fitria Wahyuningsih P27901118068
Imel Laila Izmi P27901118072
Sitti Lestari Yulianti P27901118088
TINGKAT I B / SEMESTER II
D III KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
Tahun Ajaran 2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan ridhaNya ke pada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Obat Inhalasi” ini dengan baik.
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PEMBAHASAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
obat. Aerosol adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas
yang dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi.
3
f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi dengan pMDI
yang dapat menurunkan keefektifan.
g. Ketersediaan berbagai macam jenis alat akan membingungkan pasien dan
klinisi.
h. Keterbatasan informasi tentang standarisasi teknik inhalasi kepada klinisi
akan mengurangi keefektifan.
i. Pemberian secara inhalasi lebih kompleks dibandingkan oral.
Kontraindikasi
1. Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur
ini, membutuhkan mask / sungkup , tetapi mask efektifnya berkurang
secara spesifik. Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan
dimana suara nafas tidak ada / berkurang, kecuali jika medikasi
nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan
tekanan positif.
2. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat
menggerakkan/ memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam
saluran nafas.
3. Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus
dengan perlahan. Ketika di inhalasi katekolamin dapat meningkatkan
4
cardiac rate dan menimbulkan disritmia. Medikasi nebulizer tidak
dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB(intermittent positive
pressure breathing), sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan
bronkhospasme.
5
- tidak mengocok canister sebelum digunakan,
- tidak berkumur-kumur setelah penggunaan
- posisi MDI yang terbalik pada saat akan digunakan. (NACA,
2008).
Obat dalam MDI yang dilarutkan dalam cairan pendorong
(propelan), biasanya propelan yang digunakan adalah
chlorofluorocarbons (CFC) dan mungkin freon/asrchon. Propelan
mempunyai tekanan uap tinggi sehingga didalam tabung (canister)
tetap berbentuk cairan (Yunus, 1995).
Kecepatan aerosol rata-rata 30 m/detik atau 100 km/jam (Dept.
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, 2009). Perlunya
koordinasi antara penekanan canister dan inspirasi napas pada
pemakaian inhaler.
6
Cara Penggunaan :
a. Lepaskan penutup aerosol
b. Pegang tabung obat di antara ibu jari dan jari telunjuk kemudian
kocok seperti gambar
c. Ekspirasi maksimal. Semakin banyak udara yang dihembuskan,
semakin dalam obat dapat dihirup.
d. Letakkan mouthpiece di antara kedua bibir, katupkan kedua bibir
kuat-kuat
e. Lakukan inspirasi secara perlahan. Pada awal inspirasi, tekan MDI
seperti pada gambar. Lanjutkan inspirasi anda selambat dan
sedalam mungkin.
f. Tahan nafas selama kurang lebih 10 detik agar obat dapat bekerja
g. Keluarkan nafas secara perlahan
h. Kumur setelah pemakaian (mengurangi ES stomatitis)
7
napas, dan pasien meniup turbuhaler hingga basah. Selain itu,
inspirasi yang kuat pada anak kecil (< 5 tahun) sulit dilakukan,
sehingga deposisi obat dalam sistem respiratori berkurang. Anak usia
> 5 tahun, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah dilakukan,
karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI
sehingga dengan cara ini deposisi obat didalam paru lebih besar dan
lebih konstan dibandingkan dengan MDI tanpa spacer. Penggunaan
inhaler jenis DPI (Dry Powder Inhaler) ini tidak memerlukan spacer
sebagai alat bantu, sehingga lebih praktis untuk pasien. Beberapa jenis
inhaler bubuk kering yang umumnya digunakan di Indonesia yaitu
diskus, turbuhaler, dan handihaler.
8
napas, keluarkan inhaler dari mulut dari mulut
dari mulut
Ekshalasi dengan pelan Ekshalasi dengan pelan Ekshalasi dengan pelan
dari mulut dari mulut dari mulut
Menutup kembali inhaler Menutup kembali inhaler Menutup kembali inhaler
Berkumur-kumur setelah Berkumur-kumur setelah Berkumur-kumur setelah
menggunakan inhaler menggunakan inhaler menggunakan inhaler
Mulai inhalasi pelan Pertahankan posisi -
melalui mulut dan tekan inhaler dan tekan canister
canister
Melanjutkan inhalasi dan Melakukan inhalasi dan Inhalasi dengan kuat dan
menahan napas hingga 10 ekshalasi secara normal dalam
detik untuk 4 kali napas
Ketika sedang menahan Mengeluarkan inhaler Mengeluarkan inhaler
napas, keluarkan inhaler dari mulut dari mulut
dari mulut
Ekshalasi dengan pelan Ekshalasi dengan pelan Ekshalasi dengan pelan
dari mulut dari mulut dari mulut
Menutup kembali inhaler Menutup kembali inhaler Menutup kembali inhaler
Berkumur-kumur setelah Berkumur-kumur setelah Berkumur-kumur setelah
menggunakan inhaler menggunakan inhaler menggunakan inhaler
Cara penggunaan alat terapi inhalasi yang tepat tergantung pada tipe alat terapi
yang digunakan oleh pasien, maka pasien harus mengetahui dan memahami
langkah-langkah yang tepat dalam menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka
gunakan. Tahapan cara penggunaan inhaler memiliki langkah-langkah penting
untuk menilai tepat/tidak tepat penggunaan inhaler pada pasien tersebut. Menurut,
Machira et al (2011) berikut langkah-langkah penting penggunaan MDI dengan
perangkat spacer :
1. Mengocok inhaler dan kemudian membuka tutup tabung inhaler
2. Tahan MDI pada posisi tegak dan hubungkan dengan perangkat spacer
3. Letakkan mouthpiece antara gigi dan bibir kemudian dirapatkan
9
4. Setelah aktuasi, bernapas dengan dalam selama 7-10 detik
Sedangkan langkah-langkah penting cara penggunaan MDI untuk menilai
tepat/tidak tepat cara penggunaan pasien ialah sebagai berikut :
1. Kocok dan buka tutup inhaler
2. Inhalasi dengan perlahan
3. Mouthpiece diletakkan diantara gigi dan bibir kemudian dirapatkan
4. Memulai menghirup napas pelan melalui mulut, dan sekaligus menekan
kanister agar obat keluar
5. Tahan napas selama 10 detik
b. Nebulizer
ket gambar a :
1. Mouthpiece
2. Tombol (on/off)
3. Konektor tabung udara (air tube connector)
4. Pompa penyaring
5. Jet air nebulizer (Nebulizer medication cup)
6. Aliran udara
7. Kabel
8. Klip nebulizer
9. Kompresor
Alat nebulizer dapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi aerosol
secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Aerosol merupakan suspensi
10
berbentuk padat atau cair dalam bentuk gas dengan tujuan untuk
menghantarkan obat ke target organ dengan efek samping minimal dan
dengan keamanan dan efektifitas yang tinggi. Partikel aerosol yang
dihasilkan nebulizer berukuran antara 2-5 μ, sehingga dapat langsung
dihirup penderita dengan menggunakan mouthpiece atau masker.
Berbeda dengan alat MDI (Metered Dose Inhaler) dan DPI (Dry
Powder Inhaler) dimana alat dan obat merupakan satu kesatuan.
Ada dua jenis nebulizer yang umumnya sering digunakan:
- Nebulizer jet : menggunakan jet gas terkompresi (udara atau
oksigen) untuk memecah larutan obat menjadi aerosol.
- Nebulizer ultrasonik : menggunakan vibrasi ultrasonik yang
dipicu secara elektronik untuk memecah larutan obat menjadi
aerosol.
Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya untuk
menghindari pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya infeksi.
Sebaiknya alat nebulizer dicuci setiap setiap selesai digunakan atau
sedikitnya sekali sehari. Instruksi dari pabrik pembuatnya harus diikuti
secara benar untuk menghindari kerusakan plastik pembungkusnya
(Ikawati, 2007). Kelebihan terapi inhalasi menggunakan nebulizer
adalah tidak atau sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya
memerlukan pernapasan tidal, dan didalamnya terdapat campuran dari
beberapa jenis obat (misalnya salbutamol dan ipratropium bromida).
Kekurangannya adalah alat ini cukup besar sehingga kurang praktis,
memerlukan sumber listrik, dan relatif mahal (Rahajoe, 2008). Berikut
cara penggunaan nebulizer yaitu:
a. Selalu cuci tangan sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan
nebulizer
b. Membuka tutup tabung obat nebulizer, mengukur dosis obat dengan
benar
c. Memasukkan obat ke dalam tabung nebulizer
d. Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiece pada
kompresor nebulizer
11
e. Menggunakan masker uap atau mouthpiece kemulut, dikatupkan
kebibir hingga rapat
f. Menekan tombol on
g. Bernapaslah dengan perlahan ketika menghirup uap yang keluar dan
uap dihirup sampai botol habis
h. Menekan tombol off
Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari
generator aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya
sendiri. Masker dan mouthpiece pada nebulizer memiliki beberapa ukuran
yang dapat disesuaikan untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang
dewasa, sehingga diharapkan jika menggunakan masker atau mouthpiece
dengan ukuran yang tepat, larutan obat yang melalui nebulizer berubah
menjadi gas aerosol tersebut dapat dihirup/dihisap dengan baik dan
keberhasilan terapi yang didapatkan juga dirasakan optimal.
12
3. Untuk pengobatan sendiri di rumah, dimana pasien membutuhkan
dosis yang lebih besar daripada yang dapat diberikan menggunakan
MDI.
4. Serangan pada asma akut
13
partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru-paru dengan kerja
yang cepat, dosis kecil, efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di
dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, dan efek terapeutik segera
tercapai yang ditunjukkan dengan adanya perbaikan klinis (Rahajoe, 2008).
Agar mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat
inhalasi diberikan dalam bentuk aerosol, yakni suspensi dalam bentuk gas
(Yunus, 1995).
Menurut Suwondo (1991), keuntungan yang lebih nyata dari terapi
inhalasi adalah efek topikalnya yakni konsentrasi yang tinggi di paru-paru,
dengan dosis obat yang kecil 10% dari dosis oral dan efek sistemik yang
minimal. Terapi inhalasi dibandingkan terapi oral mempunyai dua kelemahan
yaitu :
1. Jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan
2. Inhalasi obat ke dalam saluran napas dapat menjadi masalah
koordinasi
Efektifitas terapi inhalasi tergantung pada jumlah obat yang
mencapai paru-paru untuk mencapai hasil yang optimal pasien harus
dilatih untuk :
1. Ekshalasi sehabis-habisnya.
2. Bibir menutup/melingkari mouthpiece, tidak perlu terlalu rapat.
3. Semprotkan aerosol kurang lebih pada pertengahan inspirasi.
4. Teruskan inhalasi lambat-lambat dan sedalam mungkin.
5. Tahan napas dalam inspirasi penuh selama beberapa detik (bila
mungkin 10 detik).
Kelebihan dan kekurangan alat terapi inhalasi Cara penggunaan alat terapi
inhalasi yang tepat tergantung pada tipe alat terapi yang digunakan oleh pasien,
pasien harus memahami tahap-tahap yang tepat dalam menggunakan alat terapi
inhalasi yang mereka gunakan (NACA, 2008). Berbagai jenis alat terapi
inhalasi yang umumnya digunakan seperti inhaler MDI (Metered Dose
Inhaler), MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer, DPI (Dry Powder
Inhaler),
14
Nebulizer jet maupun Nebulizer ultrasonik memiliki kelebihan dan kekurangan
pada masing-masing alat terapi tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
15
kerja panjang. Terapi agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan
dengan cepat keluhan bronkospasme, wheezing dan obstruksi aliran
udara. Agonis β2 kerja panjang digunakan untuk terapi pemeliharaan
untuk memperbaiki fungsi paru dan mengurangi gejala dan risiko
terjadinya serangan.
Agonis β2 kerja pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang
berada pada membran plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel
saluran nafas lainnya. Ikatan ini menyebabkan stimulasi protein G untuk
mengaktivasi adenylate cyclase converting adenosine triphosphate (ATP)
menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP), sehingga terjadi
penurunan pelepasan kalsium dan perubahan membran potensial yang
menyebabkan relaksasi otot polos. Agonis β2 kerja panjang mempunyai
mekanisme yang sama, namun memiliki durasi kerja yang lebih panjang.
Hal ini berkaitan dengan ikatan obat dengan reseptor yang dapat
berlangsung lebih lama.
Agonis β2 kerja pendek seperti albuterol, levalbuterol, metaproterenol,
dan pirbuterol memiliki onset kerja dalam beberapa menit dan durasi
kerja 4-6 jam, sehingga ditujukan sebagai terapi pereda atau penyelamat
terhadap gejala-gejala bronkospasme dan hambatan saluran nafas lainnya,
yang dapat mengancam nyawa penderita. Agonis β2 kerja panjang
biasanya digunakan untuk terapi pemeliharaan dan dapat dikombinasikan
dengan kortikosteroid inhalasi.
Penyerapan sistemik dari agonis β2 dapat menyebabkan beberapa efek
samping dan kebanyakan tidak menimbulkan masalah yang serius.
Sebagian besar terapi agonis β2 dapat menimbulkan tremor dan takikardi
secara sekunder akibat stimulasi langsung reseptor β2 pada otot skelet
atau vaskulatur. Pada serangan asma berat agonis β2 dapat menyebabkan
penurunan sementara pada tekanan oksigen arterial sebanyak 5 mmHg
atau lebih, akibat adanya vasodilatasi yang dimediasi β2 pada keadaan
ventilasi paru yang buruk. Hiperglikemia, hipokalemia, dan
hipomagnesemia juga dapat terjadi, namun efek samping ini cenderung
berkurang dengan penggunaan yang regular.
16
c. Antagonis kolinergik inhalasi
Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi
kontrol dan terapi serangan akut pada penyaki-penyakit obstruksi saluran
nafas. Sistem sarat parasimpatis adalah memegang peranan utama untuk
mengatur tonus bronkomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada
reseptor muskarinik Antagonis kolinergik inhalasi
Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi
kontrol dan terapi serangan akut pada penyaki-penyakit obstruksi saluran
nafas. Sistem sarat parasimpatis adalah memegang peranan utama untuk
mengatur tonus bronkomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada
reseptor muskarinik pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot.
Penggunaan antikolinergik inhalasi pada kasus PPOK sebagai
pemeliharaan dan terapi serangan akut telah dipertimbangkan sebagai
terapi standar. Pada kasus asma antikolinergik lebih direkomendasikan
untuk terapi serangan akut saja.Terdapat tiga subtipe dari reseptor
muskarinik yang ditemukan pada saluran nafas manusia. Reseptor
muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel postganglion dan bertanggung jawab
untuk membatasi produksi asetilkolin dan melindungi dari terjadinya
bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari antikolinergik. Reseptor
muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3) bertanggung jawab untuk
terjadinya bronkokonstriksi dan produksi mukus dan merupakan target
kerja dari obat antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan dengan M1
dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan cyclic
guanosine monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G.
Protein tersebut kemudian mengaktivasi fosfolipase C untuk
memproduksi inositol trifosfat (IP3), yang akan menyebabkan pelepasan
kalsium dari penyimpanan intraseluler dan aktivasi dari myosin light
chain kinase yang kemudian menyebabkan otot polos berkontraksi.
Antikolinergik menghambat kaskade tersebut dan mengurangi tonus otot
polos, dengan mengurangi pelepasan kalsium intraseluler.
17
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk
terapi penyakit obstruksi saluran nafas yaitu :
Ipratropium
Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek yang
biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi serangan
akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut). Pasien yang
diterapi dengan ipratropium mengalami peningkata toleransi olahraga,
penurunan sesak, dan memperbaiki ventilasi.
Tiotropium
Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang
dapat diberikan sebagai terapi pemeliharaan pada penyakit PPOK.
Penggunaan tiotropium dapat mengurangi terjadinya
serangan/eksaserbasi akut PPOK, gagal nafas, dan penyebab mortalitas
lainnya.
18
bekerja secara sinergis dan sangat bermanfaat untuk mengurangi
inflamasi.
Reseptor glukokortikoid alfa (GRα) berada pada sitoplasma dari sel
epitel saluran nafas yang merupakan target kerja primer dari
kortikosteroid inflamasi. Adanya difusi pasif dari steroid ke dalam sel
akan memberikan kesempatan pada GRα untuk berikatan
dengan ligand steroid, sehingga nantinya dapat menurunkan
ekspresi dari produk gen inflamasi. Obat ini memiliki aksi
penting dalam menghambat limfositik dan eosinofilik dari mukosa
saluran nafas.
Kortikosteroid inhalasi digunakan pada terapi asma sebagai regimen
terapi multimodal dan ditambahkan ketika adanya peningkatan
keparahan dan frekuensi dari serangan asma. Penggunaannya sebagai
terapi PPOK dibatasi untuk PPOK berat sampai sangat berat, dan
dikombinasi dengan LABA. Walaupun tidak adanya perbaikan dalam
mortalitas dengan penggunaan terapi kombinasi tersebut, namun
dilaporkan adanya peningkatan dalam status kesehatan dan fungsi paru
seiring dengan terjadinya penurunan serangan.
Efek samping dapat muncul dari penggunaan kortikosteroid inhalasi
pada asma dan PPOK. Berdasarkan suatu penelitian metaanalisis
dilaporkan bahwa penggunaannya dapat meningkatan insiden
terjadinya pneumonia. Efek samping lainnya adalah meliputi
kandidiasis orofaringeal, faringitis, mudah memar, osteoporosis,
katarak, peningkatan tekanan intraokular, disfonia, batuk, dan
gangguan pertumbuhan (pada anak-anak).
Pemberian terapi kortikosteroid inhalasi merupakan cara yang efektif
untuk menurunkan efek samping sistemik yang dapat ditimbulkan.
Beberapa jenis kortikosteroid inhalasi yang lipid-soluble yaitu
beklometason, budesonide, flunisolide, flutikason, triamsinolone, dan
mometasone.
19
Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan
1. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang memiliki aksi kerja memutus rantai panjang
senyawa organik yang membentuk sputum atau mukus sehingga terpecah
menjadi molekul yang lebih kecil dan mudah bergerak. Hal ini akan
menyebabkan mukus menjadi lebih mudah untuk dibersihkan oleh silia yang
terdapat pada sel epitel yang ada pada sepanjang saluran nafas. Salah satu
jenis mukolitik kuat adalah asetilsistein. Aksi mukolitik asetilsistein
berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada molekul, yang bekerja
langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan molekular
20
mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas
mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan
peningkatan pH. Pemberian asetilsistein dapat melalui inhalasi dengan
menggunakan nebulizer.
2. Proteolitik
Tujuan pemberian proteolitik adalah untuk menghancurkan protein pada
sputum yang purulen, melalui aktivitas enzim proteinase . Jenis proteolitik
yang sering dipakai adalah tripsin dan dornase. Pemakaian secara aerosol
masih terbatas, dimana dosis inhalasinya adalah 100.00 U 2 X 3 perhari.
Obat-obatan Inhalasi
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inhalasi adalah pengobatan dengan cara memberikan obat dalam bentuk uap
kepada si sakit langsung melalui alat pernafasannya(hidung ke paru-paru).
Obat diberikan dengan inhalasi akan terdispersi melalui aerosol sempro, asap
atau bubuk sehingga dapat masuk ke saluran nafas. Terapi ini biasanya
digunakan dalam proses perawatan penyakit saluran pernafasan yang akut
maupun kronik, misalnya pada penyakit asma. Jenis-jenis inhalasi ada 3 :
Metered Dose Inhaler(MDI) Tanpa Spacer, Dry Powder
Inhaler(DPI),Nebulizer. Terapi ini lebih efektif , kerjanya lebih cepat pada
organ targetnya tetapi hal yang mungkin bisa terjadi adalah iritasi pada mulut
dan gangguan pernafasan pada penggunaan inhalasi.
Empat cara memberikan obat hidung :
1. Yang biasanya adalah dengan meneteskan pada bagian tiap lubang hidung
dengan menggunakan pipet tetes.
2. Dengan cara disemprotkan, alatnya ada yang jenis untuk mendapatkan
hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada juga yang agak halus
(neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.
3. Dengan cara mencucikan dengan alat “nasal douche”
4. Dapat juga dengan cara “inheler”, diisap-isap.
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar dapat menambah ilmu
pengetahuan kepada pembaca. Oleh karena itu, harapan penulis kepada
pembaca semua agar memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.
22
DAFTAR PUSTAKA
23