Makalah ini Diajukan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah “ IMMUOLOGI DASAR ”
Oleh:
Yuniarty : 2320332004
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan hidayah-Nya,
Penulis dapat menyelesaikan tugas dan makalah yang berjudul ”Respon Imun Spesifik dan
Non Spesifik” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Imunologi Dasar. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurna
tugas ini . Demikian yang dapat saya sampaikan, kurang dan lebihnya saya mohon maaf, atas
perhatiannya Penulis ucapkan terima kasih
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
A. Kesimpulan .................................................................................................... 18
B. Saran ............................................................................................................. 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan
kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yaitu
sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen. Sistem ini mendeteksi
berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, melindungi tubuh dari infeksi bakteri,
virus, fungus, protozoa dan parasit serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Sistem imun yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara diri
sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing
yang memicu respons imun masuk ke dalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah
proses pertahanan diri.
Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu sistem imun non-spesifik dan sistem
imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding
imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem imun spesifik dan non-
spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara
kedua sistem imun tersebut terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan
1
dari yang lain. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang sistem imun spesifik dan sistem
imun non-spesifik, pembagian serta mekanisme kerja masing-masing secara ringkas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Imunitas?
2. Apa itu Sistem Imun Non Spesifik?
3. Apa itu Sistem Imun Spesifik?
C. Tujuan
Untuk mengetahui sistem imun pada tubuh, yaitu sistem imun non-spesifik maupun
sistem imun spesifik, mekanisme kerja masing-masing sistem imun serta interaksi
antar kedua sistem imun tersebut.
2
BAB II
Imunologi berasal dari bahasa latin yaitu immunis yang berarti bebas dari beban
dan logos yang berarti ilmu. Para ahli mengartikan imunologi sebagai ilmu yang mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh. Imunologi pada awalnya merupakan
cabang dari mikrobiologi, yaitu kira-kira abad ke XV pada saat berkembangnya penelitian
penyakit infeksi dan bagaimana tubuh memberikan respon. Pada tahun tahun terkhir ini,
cabang ilmu-ilmu dasar seperti biokimia, anatomi, biologi, genetika, farmakologi dan patologi,
maupun ilmu-ilmu klinis seperti alergi, penyakit-penyakit infeksi, transplantasi, reumatologi,
penyakit defisiensi imun dan onkologi memberi sumbangan yang tidak sedikit dalam
perkembanganimunologi (Darwin, 2021)
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Sementara sistem imun
itu sendiri adalah sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi.
Reaksi yang dikoordinasi sistem imun tersebut terhadap mikroba disebut respons imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Bratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Sistem imun berdasarkan fungsinya terdiri dari 2 tipe, yaitu respon imun alamiah atau
non-spesifik (innate immunity) dan respon imun adaptif atau spesifik (acquired immunity).
Respon imun non-spesifik dan spesifik pada kenyataannya tidak terjadi secara terpisah, tetapi
terjadi dengan saling melengkapi dan mempengaruhi satu sama lain (Darwin, 2021).
3
lebih cepat daripada respon imun spesifik namun dengan durasi yang lebih singkat
(Delves and Ivan, 2000).
a. Pertahanan fisik/mekanik
b. Pertahanan biokimiawi
c. Pertahanan humoral
a) Pertahanan Fisik/Mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia saluran
napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke
dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang
rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2010).
Menurut Baratawidjaja dan Rengganis (2010), mekanisme imunitas non-
spesifik terhadap bakteri pada tingkat sawar fisik seperti kulit atau permukaan
mukosa:
1. Bakteri yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan pada kulit
menempati daerah terbatas pada kulit dan menggunakan hanya sedikit
nutrient, sehingga kolonisasi kolonisasi oleh mikroorganisme patogen sulit
terjadi.
2. Kulit merupakan sawar fisik efektif dan pertumbuhan bakteri dihambat
sehingga agen patogen yang menempel akan dihambat oleh pH rendah dari
asam laktat yang terkandung dalam sebum yang dilepas kelenjar keringat.
3. Sekret dipermukaan mukosa mengandung enzim destruktif seperti lisozim
yang menghancurkan dinding sel bakteri.
4
4. Saluran napas dilindungi oleh gerakan mukosiliar sehingga lapisan mukosa
secara terus menerus digerakkan menuju arah nasofaring.
5. Bakteri ditangkap oleh mukus sehingga dapat disingkirkan dari saluran napas.
6. Sekresi mukosa saluran napas dan saluran cerna mengandung peptida
antimikrobial yang dapat memusnahkan mikroba pathogen.
7. Mikroba patogen yang berhasil menembus sawar fisik dan masuk ke jaringan
dibawahnya dapat simusnahkan dengan bantuan komplemen dan dicerna
oleh fagosit.
b) Pertahanan Biokomiawi
5
mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibakterial terhafap E.koli dan stafilokokus (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
c) Pertahanan Humoral
1) Komplemen
2) Interferon
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang
diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan
dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. IFN mempunya sifat antivirus
6
dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi
resisten terhadap virus. Di samping itu,IFN juga adapat mengaktifkan sel NK.
Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan
pada permukaannya yang akan dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan
demikian penyebaran virus dapat dicegah (Baratawidjaja dan Rengganis,
2010).
3) C-Reactive Protein
CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein
yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons
imunitas non-spesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme yang
membentuk kompleks dam mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran
CRP berguna untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat
100x atau lebih dan berperan pada imunitas non-spesifik yang dengan
bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang
ditemukan pada permukaan bakteri/jamur dan dapat mengaktifkan
komplemen (jalur klasik). CRP juga mengikat protein C dari pneumokok dan
berupa opsonin. Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkam viskositas
plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang
tetap tinggi menunjukan infeksi yang persisten (Baratawidjaja dan Rengganis,
2010).
d) Pertahanan Seluler
1) Fagosit
7
hemopoietik. Granulosit hidup pendek, mengandung granul yang berisikan
enzim hidrolitik. Beberapa granul berisikan pula laktoferin yang bersifat
bakterisidal (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
2) Makrofag
Monosit ditemukan dalam sirkulasi, tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit
dibanding neutrofil. Monosit bermigrasi ke jaringan dan di sana berdiferensiasi
menjadi makrofag yang seterusnya hidup dalam jaringan sebagai makrofag
residen. Sel kuppfer adalah makrofag dalam hati, histiosit dalam jaringan ikat,
makrofag alveolar di paru, sel glia di otak, dan sel langerhans di kulit.
Makrofag dapat hidup lama, mempunyai beberapa granul dan melepas
berbagai bahan, antara lain lisozim, komplemen, interferon dan sitokin yang
semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan nonspesifik dan spesifik
(Mardjono dan Shidarta, 1997).
8
3) Sel NK (Natural Killer)
Jumlah sel NK sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit
dalam jaringan. Sel tersebut berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap
virus dan sel tumor. Secara morfologis sel NK merupakan limfosit dengan
granul besar. Ciri-cirinya yaitu memiliki banyak sekali sitoplasma (limfosit T
dan B hanya sedikit), granul sitoplasma azurofilik, pseudopodia dan nukleus
eksentris (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Pertemuan antara hospes dengan benda asing menimbulkan respon elemen
fagosit ke daerah tempat benda asing tersebut masuk. Hal ini dapat terjadi
sebagai bagian dari respon inflamatoris.
1. Inflamasi
Setelah ancaman injuri jaringan, terjadi perluasan seluler dan sistematik,
dimana hospes mencaba unutuk menormalkan dan memelihara
homeostatis dari lingkungan yang merugikan. Bersamaan dengan respon
inflamatoris timbul beberapa kejadian sistematik yang melibatkan demam
dan beberapa fenomena hematologik. Respon demam ini diduga
menggambarkan peningkatan aktifitas metabolik setelah injuri.
Mekanisme terjadinya demam diduga akibat lepasnya pirogen endogen
dari leukosit hospes. Kenaikan angka leukosit pada saat infeksi bakteri
atau ada injuri jaringan.
2. Fagositosis
9
fagositosit. Kerusakan dalam kemotaksis mungkin menyebabkan kerentangan
yang luar biasa terhadap infeksi tertentu (Wahab dan Julia, 2002).
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh
sensitifitatasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali
akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu, sistem
tersebut disebut spesifik. Untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi
tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik.
Namun pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara sistem imun
Sistem pertahanan spesifik terutama tergantung pada sel-sel limfoid. Ada dua
populasi utama sel limfoid, yaitu sel T dan sel B. Rasio sel T terhadap sel B sekitar 3 :
1. Limfosit berkembang pada organ limfoid primer, sel T berkembang di timus,
sedangkan sel B di hepar janin atau di sumsum tulang. Kedua jenis sel tersebut
kemudian akan bermigrasi ke jaringan limfoid sekunder, tempatnya merespon antigen
(Wahab dan Julia, 2002).
Respon imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler. Pada imunitas
humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular.
Pada imunitas seluler, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk
10
menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang
menghancurkan sel terinfeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral. Sel B tersebut
berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut akan
berdiferensiasi menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang
terletak dekat kloaka. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tersebut
akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk
zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi
utama antibodi ini ialah untuk pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri
(ekstraselular), dan dapat menetralkan toksinnya.
Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig) yang
terdiri atas IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat
mengaglutinasikan kuman/virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan
komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal tetapi juga
mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker, penolakan
transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada
imunitas parasit. IgM dibentuk terdahulu pada respons imun primer sehingga
kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini. IgM merupakan
aglutinator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik) yang poten. IgA
ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih, air mata,
keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan
sIgA dapat menetralisir toksin, virus, mengaglutinasikan kuman dan
mengaktifkan komplemen (jalur alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi
cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Peranan IgD belum banyak
11
diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi makanan dan
autoantigen (Baratawidjaja, 2010).
Sel T merupakan 65-80% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Kebanyakan sel T
mempunyai 3 glikoprotein permukaan yang dapat diketahui dengan antibodi
monoklonal T11, T1 dan T3 (singkatan T berasal dari Ortho yang membuat
antibodi tersebut) (Delves and Ivan, 2000). Fungsi sel T umumnya ialah:
12
3. Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
4. Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun (Baratawidjaya dan Rengganis,
2010).
Pada tubuh ditemui beberapa jenis sel T, yaitu T”helper” atau Th; T”inducer”,
T”delayed hypersensitivity” atau Td, T”cytotoxic” atau Tc dan T”supressor” atau
Ts. T”helper” atau Th membantu sel B dalam pembuatan “antibodi”. Untuk
membuat antibodi terhadap kebanyakan antigen, baik sel B maupun sel T harus
mampu mengenali kembali bagian-bagian tertentu dari antigennya. Th bekerja
sama juga dengan Tc dalam pengenalan kembali sel-sel yang dilanda infeksi viral
dan jaringan cangkokan alogenik.
13
biak dan sebelum menimbulkan infeksi. Apabila pertahanan pertama tidak dapat
mencegah infeksi sehingga menimbulkan penyakit, maka sistem imun spesifik akan
diaktivasi. Penyembuhan melalui respon imun spesifik akan meninggalkan memori
imunologi yang spesifik sehingga infeksi selanjutnya dengan agen infeksius yang
sama tidak akan menimbulkan penyakit (Darwin, 2021).
Gambar 7. Stimulasi yang terbentuk dari respon imun non-spesifik kepada respon
imun spesifik (Abbas et al., 2000).
14
BAB III
PENUTUP
A) Kesimpulan
Respon imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh
sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika respon kekebalan bekerja dengan
benar, respon ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi. Jika respon kekebalan
melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang
dalam tubuh. Jika sistem ini terlalu aktif akan terjadi autoimunitas seperti alergi atau
hipersensitivitas.
Respon imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena dapat memberikan respon
langsung terhadap antigen sedangkan sistem imun spesifik mempunyai kemampuan
untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang
pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh respon imun spesifik.
Pajanan tersebut menimbulkan sensitifitatasi, sehingga antigen yang sama dan
masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian
dihancurkan.
B) Saran
Setelah mengetahui teori dasar tentang imunologi, respon imun non spesifik
dan respon imun spesifik, kita diharapkan mampu meningkatkan atau
mempertahankan kekebalan tubuh kita dengan menjalankan gaya hidup yang sehat
agar terhindar dari berbagai macam infeksi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, E., Elvira., D., Elfi., E.F. 2021. Imunologi dan Infeksi. Andalas
University Press : Padang.
Baratawijaya, K.G dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar Edisi ke-
delapan. Universitas Indonesia : Jakarta.
Black,R.E., Bhuta, Z.A. and Morris,S.S. 2002 How Many Child Deaths can
we
A.S, Wahab dan Julia, M. 2002. Sistem Imun Imunisasi dan Penyakit
Imun. Widya Medika : Jakarta.
Abbas, A.K., A.H.Lichtman.,J.S., dan Pober.2000. Cellular dan Molecular
Immunology. W.B Saunders Company : Amerika Serikat.
Peter J, Delves, Ivan, Roitt.2000. The Immune Syestem. Second Two
Parts. The New England Journal of Medicine.
Mardjono,.M. Sidharto, P, 1997, Mekanisme Proses Imunologi di susunan
Syaraf, Neurologi Klinis Dasar, edisi IV.
16