Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH IMMUNOSEROLOGI II

AUTOIMUN, TRANSPLANTASI ORGAN, IMMUNOPROFILAKSIS, IMMUNOLOGI


INFEKSI

Dosen Pengampu :
RENOWATI, M. Biomed

DISUSUN OLEH :

RUMMAISA KHOTIMAH
(1913353041)

PRODI D IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmatnya sehingga penulis dapat menyusun
makalah tentang "Autoimun, Transplantasi Organ, Immunoprofilaksis, Immunologi Infeksi"
dengan sebaik-baiknya. Makalah "Autoimun, Transplantasi Organ, Immunoprofilaksis,
Immunologi Infeksi" disusun guna memenuhi tugas dari Ibu Renowati, M. Biomed pada mata
kuliah Immunoserologi II di Universitas Perintis Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Renowati, M. Biomed


selaku dosen mata kuliah Immunologi II. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

2
DAFTAR ISI
BAB I.........................................................................................................................................................iv
PENDAHULUAN......................................................................................................................................iv
1.1  Latar Belakang.................................................................................................................................iv
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................................................iv
1.3  Tujuan Penulisan..............................................................................................................................iv
BAB II.........................................................................................................................................................v
PEMBAHASAN..........................................................................................................................................v
2.1 Autoimunitas.....................................................................................................................................v
2.1.1 Penyebab Utama Penyakit Autoimmun......................................................................................v
2.1.3 Mekanisme Kejadian Penyakit Autoimmune.............................................................................vi
2.1.4 Diagnosa...................................................................................................................................vii
2.1.5 Pengobatan................................................................................................................................vii
2.1.6 Penyakit  Autoimun Lainnya....................................................................................................viii
2.2 Transplantasi Organ Tubuh...............................................................................................................xi
2.2.1 Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft).........................................................................xi
2.2.3 Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ...............................................................xvi
2.3 Immunoprofilaksis...................................................................................................................xviii
2.3.1 Fungsi Imunoprofilaksis.........................................................................................................xviii
2.3.2 Jenis – Jenis Imunisasi............................................................................................................xviii
2.3.3 Jenis – Jenis Vaksin..................................................................................................................xix
2.4 Immunologi Infeksi...................................................................................................................xix
2.4.1 Immunogen Terhadap Bakteri...................................................................................................xx
BAB III.................................................................................................................................................xxxvii
PENUTUP............................................................................................................................................xxxvii
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................................xxxvii
3.2 Saran..........................................................................................................................................xxxviii
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................xxxviii

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kata imun berasal dari bahasa latin “imunitas” yang berarti pembebasan (kekebalan) yang
diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai
warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubh yang
terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan
terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racun yang masuk
ke dalam tubuh. Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh,
maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut antibodi.
Penyakit Autoimune adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah
mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap
sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmune tidak
memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru
terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk.

1.2  Rumusan Masalah
1. Apa itu autoimmune?
2. Apa itu transplanasi organ?
3. Apa itu immunoprofilaksis?
4. Bagaimana cara mendiagnosa dan mengobati autoimmune?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui defenisidari autoimun
2.      Menjelaskan penyebab dan mekanisme autoimmune bisa terjadi.
3.      Mengetahui jenis penyakit autoimmune.
4.      Menjelaskan cara mendiagnosa dan mengobati autoimmune.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Autoimunitas
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang disebabkan oleh
menkanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau
keduanya. Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun, menyerang bagian dari tubuh
tersebut dan merupakan kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan
menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang
terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit
(seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan.
Penyakit AutoImune adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah
mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap
sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmune tidak
memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru
terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul
yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel
kanker). Beberapa antigen, seperti molekul serbuk sari atau makanan, ada di mereka sendiri.
Sel sekalipun pada orang yang memiliki jaringan sendiri bisa mempunyai antigen. Tetapi,
biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak
terhadap antigen dari orang yang memiliki jaringan sendirii. Tetapi, sistem imunitas kadang-
kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing dan menghasilkan
(disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri.
Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan
jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang
menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.

2.1.1 Penyebab Utama Penyakit Autoimmun


Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :

5
1. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (disembunyikan
dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya, pukulan ke
mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan
menyerangnya.
2. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau
radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem
kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan.
Sel yang ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
3. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan.
Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan
mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit
kerongkongan mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia.
Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit
kerongkongan (reaksi ini bagian dari demam rheumatik).
4. Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih)
mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel
badan.

2.1.3 Mekanisme Kejadian Penyakit Autoimmune


Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa
respon immun untuk melawan substansi tersebut dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari
kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif
maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan
respon pada kondisi asing atau bukan dirinya sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi
kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya.
Ada 80 grup Penyakit autoimmune serius pada manusia yang memberikan tanda kesakitan
kronis yang menyerang pada hampir seluruh bagian tubuh manusia. Gejala-gejala yang
ditimbulkan mencakup gangguan nervous, gastrointestinal, endokrin sistem, kulit dan jaringan
ikat lainnya, mata, darah, dan pembuluh darah. Pada gangguan penyakit tersebut diatas,
problema pokoknya adalah terjadinya gangguan sistem immune yang menyebabkan terjadinya
salah arah sehingga merusak berbagai organ yang seharusnya dilindunginya.

6
2.1.4 Diagnosa
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan
autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein yang
dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (eritrosit) untuk
tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang
mengurangi produksi mereka. Tetapi radang mempunyai banyak sebab, banyak di antaranya
yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk
mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan
autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus
erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP)
antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang
mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter
biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil
keputusan apakah ada gangguan autoimun.

2.1.5 Pengobatan
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimun dengan menekan sistem kekebalan tubuh.
Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga mengganggu kemampuan badan untuk
berjuang melawan penyakit, terutama infeksi. 
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine,
chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering
digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dalam jangka panjang. Obat ini menekan bukan
hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa
asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Konsekwensinya, risiko infeksi
tertentu dan kanker meningkat.
Sering kortikosteroid seperti prednison diberikan secara oral. Obat ini mengurangi radang
sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang
memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek
sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi kadang-kadang harus dipakai
untuk jangka waktu tidak terbatas.

7
Gangguan autoimun tertentu (seperti multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati
dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi
gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF),
bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang
sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan
autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi
dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusus membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong
pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept
menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi
rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja
dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang
sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain
yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan. 
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan
dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan
kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai.
Tetapi kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk
mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.

2.1.6 Penyakit  Autoimun Lainnya


Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan Jaringan yang terkena Konsekwensi
Anemia Sel darah merah Anemia (berkurangnya jumlah sel darah
hemolitik merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan,
autoimun dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar.
Anemia bisa hebat dan bahkan fatal.
Bullous Kulit Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak
pemphigoid yang merah, terbentuk di kulit. Gatal biasa. Dengan
pengobatan, prognosis baik.
Sindrom Paru-paru dan Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah,
Goodpasture ginjal kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin

8
berkembang. Prognosis baik jika pengobatan
dilaukan sebelum kerusakan paru-paru atau ginjal
hebat terjadi.
Penyakit Kelenjar tiroid Kelenjar gondok dirangsang dan membesar,
Graves menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid
(hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak
jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat
kehilangan, dan kecemasa. Dengan pengobatan,
prognosis baik.
Tiroiditis Kelenjar tiroid Kelenjar gondok meradang dan rusak,
Hashimoto menghasilkan kadar hormon thyroid rendah
(hypothyroidism). Gejala seperti berat badan
bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin, dan
mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan
hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi
gejala secara sempurna.
Multiple Otak dan spinal Seluruh sel syaraf yang terkena rusak.
sclerosis cord Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf
seperti biasanya. Gejala mungkin termasuk
kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan, masalah
dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar
menahan hajat. Gejala berubah-ubah tentang waktu
dan mungkin datang dan pergi. Prognosis berubah-
ubah.
Myastheni Koneksi antara Otot, teristimewa yang dipunyai mata,
a gravis saraf dan otot melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan
(neuromuscular berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas
junction) bervariasi secara luas. Obat biasanya bisa
mengontrol gejala.
Pemphigus Kulit Lepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa
mengancam hidup.
Pernicious Sel tertentu di Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat
anemia sepanjang perut kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu

9
untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel
syaraf). Anemia adalah, sering akibatnya
menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit
kepala ringan. Syaraf bisa rusak, menghasilkan
kelemahan dan kehilangan sensasi. Tanpa
pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak,
akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi,
kelemahan, dan sukar menahan hajat. Risiko kanker
perut bertambah. Juga, dengan pengobatan,
prognosis baik.
Rheumatoi Sendi atau Banyak gejala mungkin terjadi. termasuk
d arthritis jaringan lain seperti demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi,
jaringan paru-paru, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan
saraf, kulit dan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan
jantung bengkak di bawah kulit. Progonosis bervariasi
Systemic sendi, ginjal, Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi
lupus kulit, paru-paru, cacat. Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan,
erythematosus jantung, otak dan sel dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal,
(lupus) darah paru-paru, atau jantung mengacaukan, seperti
kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit
dada, mungkin terjadi. Bercak mungkin timbul.
Ramalan berubah-ubah secara luas, tetapi
kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif
meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.
Diabetes Sel beta dari Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan,
mellitus tipe pankreas (yang buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi
memproduksi insulin) bervariasi dengan jangka panjang.
Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan,
sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena
tidak cukup sel pankreas yang ada untuk
memproduks iinsulin yang cukup. Prognosis
bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek

10
kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu
yang lama.
Vasculitis Pembuluh darah Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah
di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit,
ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian.
Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa
sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran
pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala,
kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf
atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan
mana yang dipengaruhi. Prognosis bergantung pada
sebab dan berapa banyak jaringan rusak. Biasanya,
prognosis lebih baik dengan pengobatan.

2.2 Transplantasi Organ Tubuh


Pencangkokan atau transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuhyang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan
baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan
hidupnyatidak ada lagi. Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan padawaktu ini adalah:
Mata, Ginjal dan jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk
manusia, terutama sekali ginjal dan jantung.

2.2.1 Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft)


Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas
empat tipe yaitu:
1. Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang berasal dari
suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri. Contohnya ialah kulit sehat untuk
menggantikan kulit dengan luka bakar atau pembuluh darah sehat untuk mengganti areri
coroner yang tersumbat.

2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ


antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies, tetapi tidak identic.

11
3. Isograft  (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ
antarindividu yang secara genetic kembar identik.

4. Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang


berbeda spesies (Shetty 2005).

Gambar 1. Tipe Transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003).

2.2.2 Mekanisme Penolakan Jaringan/Organ


Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk
ditransplantasikan dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur
penyesuaian suatu pemindahan jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak
dalam daerah Major Histocompability Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada
lengan pendek kromosom enam, sementara pada tikus terletak pada kromosom tujuh belas. Letak
gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen histocompatibility disebut histocompability
locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA (Human Leukocyte Antigen). MHC
class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin besar kecocokan antara
donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan ditubuh pendonor.

12
Gambar 2. Lokus Histokompabilitas Mayor pada Berbagai Spesies (Cruse, dkk 2004).

Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik
yang disertai dengan memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10–
14 hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan
menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7 hari (Baratawidjaja, 1991)

13
Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Target (Roitt & Delves 2001).

Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC
alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC
allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat
transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi
penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan
tersebut antara lain:
1. Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit sampai
beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi karena perusakan oleh antibodi
yang sudah ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang
menimbulkan edema dan pendarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga
mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. Gejala umum yang terlihat pada penolakan
hiperakut adalah trombosis dengan kerusakan endotil dan nekrosis. Selain itu adalah
badan mengalami panas, leukositosis dan produksi urin sedikit. Urin mengandung elemen
seluler seperti eritrosit.

14
2. Penolakan akut. Merupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya
tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada
resipien yang menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima
allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah
penolakan. Penolakan dapat terjadi beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya adalah
fungsi ginjal yang tidak berfungsi, perbesaran ginjal disertai rasa sakit, penurunan fungsi
dan aliran darah, dan adanya se darah dan protein dalam urin. Penolakan akut dapat
dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit, steroid, dan lainnya.

3. Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft beberapa
bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul
terhadap antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah timbulnya
penolakan kronik. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna karena
kerusakan sudah terjadi. Contoh dari penolakan kronik adalah gagal ginjal yang terjadi
perlahan-lahan dan progresif karena terjadi prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah
kecil dan penebalan membran glomerulus basal.

4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft)
dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor
allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan
tergantung pada derjat inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai
respons CMI. Reaksi yang terjadi adalah invasi transplan oleh limfosit dan monosit
melalui pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan nekrosis.

5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang
imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan
resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang
allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan
menimbulkan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah sel MHC kelas
II. Gejala dari reaksi GvH adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang
kulit, rambut rontok, berat badan menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh
kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan jaringan akibat respons CMI
yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada

15
resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada neonatus
yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi jika sebelum transplantasi atau transfusi,
usaha menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak maksimal. Oleh karena
itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi
(Baratawidjaja 1991)

2.2.3 Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ


Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) adalah uji untuk menentukan dari tipe
MHC class I dan class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor maupun
resipien. HLA tissue typing adalah indentifikasi dari antigen Kompleks Histokompabilitas Mayor
(MHC) kelas I dan II pada limfosit dengan teknik serologis dan selular. Class-I typing
melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin diuji dengan antisera dari HLA yang telah
diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II typing mendeteksi antigen HLA-
DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian tersebut didasarkan pada
disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan complement-dependent (Cruse, dkk
2004).
Prinsip dari pengujian secara serologis adalah microlymphocytotoxicity menggunakan
piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya terdapat predispensed antibody dengan
spesifitas terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji, dan ditambah dengan komplemen kelinci
dan pewarna vital. Metode ini digunakan untuk pengujian organ transplan seperti
allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi sumsum tulang (bone-marrow), prosedur yang
digunakan disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur ini digunakan untuk mengukur derajat
relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien (Cruse & Lewis 2003)
6. Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang
digunakan untuk mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada
antigen HLA pendonor menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil
tes cross-match yang positif menjadi kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena
hasil dari tes cross-match dapat diasosiasikan dengan episode penolakan yang tak
terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible graft loss)
(Suthanthiran, dkk 2001).
7. Selain melakukan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum
(prior) transplantasi, hal yang dapat dilakukan juga dengan pemberian obat

16
imunosupresan. Imunosupresan dapat digunakan untuk mengontrol penolakan tandur
dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-obatan yang digunakan untuk
menekan penolakan antara lain:

Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt &


Delves 2001)

17
2.3 Immunoprofilaksis
Imunofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap antibodi spesifik. Selain itu
juga, merupakan pencegahan penyakit melalui sistem imun dengan tindakan mendapatkan
kekebalan resistensi relatif terhadap infeksi mikroorganisme yang patogen serta menimbulkan
efek positif untuk pertahanan tubuh dan efek negatif menimbulkan reaksi hipersensivitas.
.Imunisasi merupakan kemajuan besar dalam usaha imunoprofilaksis. Imunisasi
merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit tertentu pada diri seseorang dengan pemberian
vaksin. Vaksin adalah antigen yang dapat bersifat aktif maupun inaktif yang berasal dari
mikroorganisme ataupun racun yang dilemahkan.

2.3.1 Fungsi Imunoprofilaksis


1.    Meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, kekebalan terhadap penyakit dapat
dipacu dengan pemberian imunostimulan termasuk vaksinasi dan vitamin.
2.    Mengurangi penularan suatu penyakit.

2.3.2 Jenis – Jenis Imunisasi


·Imunisasi aktif adalah pemberian satu atau lebih antigen agen yang infeksius pada seorang
individu untuk merangsang sistem imun untuk memproduksi antibodi yang akan mencegah
infeksi. Antibodi dapat timbul secara alami, tetapi paling sering sengaja diberikan. Antibodi
dapat memberi perlindungan seumur hidup atau perlindungan untuk sementara waktu. Beberapa
vaksin perlu diulangi pemberiannya pada interval tertentu. Adapun hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam imunisasi aktif, yaitu:
-       Perlu ada paparan (exposure) antigen
-       Dapat alami (infeksi) atau buatan (vaksin)
-       Perlu waktu untuk pembentukan
-       Terbentuk kekebalan untuk jangka waktu yang lama terhadap infeksi mendatang
·         Imunisasi pasif adalah adalah pemindahan antibodi yang telah dibentuk yang dihasilkan
oleh host lain. Antibodi ini dapat timbul secara alami atau sengaja diberikan. Adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam imunisasi pasif, yaitu:
-       Tak perlu ada paparan (exposure) antigen
-       Kekebalan humoral (antibodi)
-       Dapat bersifat alami, terdiri dari: maternal mel. Plasenta dan kolostrum.

18
-       Dapat bersifat perolehan/buatan, terdiri dari antiserum dan imunoglobulin.

2.3.3 Jenis – Jenis Vaksin


Beberapa jenis vaksin dibedakan berdasarkan proses produksinya, antara lain:
a.  Vaksin hidup (Live Attenuated Vaccine)
Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik namun tidak
patogenik. Contohnya adalah virus polio oral. Oleh karena vaksin diberikan sesuai infeksi
alamiah (oral), virus dalam vaksin akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran cerna,
sehingga akan memberikan kekebalan lokal. Sekresi IgA lokal yang ditingkatkan akan mencegah
virus liar yang masuk ke dalam sel tubuh.
b.   Vaksin mati (Killed vaccine/ Inactivated vaccine)
Vaksin mati tidak jelas patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh. Oleh karena itu,
diperlukan pemberian beberapa kali.
c.   Rekombinan
Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen.
Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel
penerima vaksin.
d.   Toksoid
Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman. Pemanasan dan penambahan
formalin biasanya digunakandalam proses pembuatannya. Hasil pembuatan bahan toksoid yang
jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid dan merangsang terbentuknya antibodi antitoksin.
Imunisasi bakteriil toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk merperlama
rangsangan antigenik dan meningkatkan  imunogenesitasnya.
e.   Vaksin Plasma DNA (Plasmid DNA Vaccines)
Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandun kode antigen yang patogen
dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang
percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan
seluar yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saatini sedang dilakukan.

2.4 Immunologi Infeksi


Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang,
dan bersifat membahayakan inang. Organisme penginfeksi atau patogen, menggunakan sarana

19
yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri yang pada akhirnya merugikan inang.
Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik, gangren,
kehilangan organ tubuh bahkan kematian. Respon inang terhadap infeksi disebut peradangan.
Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun
sebenarnya definisinya lebih luas mencakup bakteri, parasit, jamur dan virus.

2.4.1 Immunogen Terhadap Bakteri


Bakteri adalah salah satu organisme prokariotik (tidak mempunyai selubung inti). Bakteri
sebagai makhluk hidup mempunyai informasi genetik berupa DNA, tetapi tidak terlokalisasi
dalam tempat khusus (nukleus) dan tidak adda membran inti. Bentuk DNA bakteri adalah
sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleoid. Pada DNA bakteri tidak mempunyai intron dan
hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga memiliki DNA ekstrakromosomal yang tergabung
menjadi plasmid yang terbentuk kecil dan sirkuler.

2.4.1.1 Infeksi Bakteri Ekstraseluler


Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi,
di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah
dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan
oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang
mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi
bakteri berkapsul Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul
tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali
oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel
bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni
leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit
sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari kerusakan
oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan C3 konvertase.
Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur
alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan
adanya kapsul bakteri akan menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.
Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk menginduksi

20
apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-lisosom dan mempengaruhi
sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti
variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan
variasi antigenik pili. Keadaan sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit
dihancurkan adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik
(neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).

2.4.1.2 Mekanisme pertahanan tubuh

Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan
mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil,
monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat
mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b
yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan kompleks membran dan respons
inflamasi akibat pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan
sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8.
Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi,
diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang
terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga
merangsang demam dan sintesis protein fase akut.

2.4.1.3 Netralisasi toksin

Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan
menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan
sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi
peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ
multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin dan
antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah
sitokin berikatan pada sel target.

21
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan
eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri
terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi
yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi
antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi
alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama
antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran
kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin
bertambah.

2.4.1.4 Opsonisasi

Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang


berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak
tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi. Pada opsonisasi yang tidak tergantung
antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri,
dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan
mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan
memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada
bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan
opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses
fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi.

Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat
masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi
komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin
C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang
lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap  neutrofil untuk membantu fagositosis.

Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia
yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap

22
di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim
dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri tersebut.

Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun
nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat
berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase
terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini
menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap
bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl). Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan
ikatan H2O2 dengan superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses
nonoksidasi berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein,
sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH
dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif
dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri
Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam
karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan
sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
2.4.1.5 Sistem imun sekretori

Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan


nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh
neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui
disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan IgM,
dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi IgA
mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi
pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi
terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil
melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan
IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan
reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin
akan menyebabkan transudasi IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap

23
neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme
penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-
komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat permeabilitas vaskular
dan proses kemotaktik. Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka
fagosit dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-
Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
2.4.1.2 Infeksi Bakteri Intraseluler

Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat.
Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat
dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat
hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena bakteri tidak dapat
dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri
intraseluler juga berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Masuknya bakteri dimulai
dengan ambilan fagosit setelah bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam
makrofag, bakteri tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga mekanisme,
yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid mikobakterial seperti
lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion
superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3)
menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam
sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya
2.4.1.3 Mekanisme pertahanan tubuh

Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting


dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang
dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler.
Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan
membunuh organisme intraseluler, terutama melalui pembentukan oksigen reaktif intermediat
(ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak

24
substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi  lisis sel yang
diperantarai oleh sel T CD8.
2.4.2 Imunogen Terhadap Virus
Virus adalah sekumpulan kecil protein dan asam nukleat yang menghasilkan bagian-
bagian yang renan terhadap host. Virus mempunyai dasar yang berbeda yaitu mengandung asam
nukleat RNA (Ribonucleic Acid) atau asam nukleat DNA (Deoxcy Ribonucleic Acid)

2.4.3 Mekanisme pertahanan tubuh (Respon Imun) terhadap infeksi virus

Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel terinfeksi. IFN
berfungsi menghambat replikasi virus. Sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel
NK mampu melisiskan sel yang terinfeksi virus walaupun virus menghambat presentasi antigen
dan ekspresi MHC I,  karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sel sasaran yang MHC
negatif.Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah reinfeksi, sistem imun harus mampu
menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi
spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan
antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang mengalami lisis.

Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus yang bebas atau
virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
dengan cara menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel,
sehingga virus tidak dapat menembus membran sel. Dengan demikian replikasi virus dapat
dicegah. Antibodi dapat juga menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui
jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan
melalui proses yang sama seperti diuraikan diatas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus
yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi sering kali antibodi tidak cukup mampu
untuk mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang melepaskan diri
(budding of) melalui membran sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat
menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat
seperti ini, diantaranya adalah virus oncorna (termasuk didalamnya virus leukemogenik), virus
dengue, virus herpes, rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus
secara langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC.
25
Disamping respons antibodi, respons imun selular merupakan respons yang paling penting,
terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik respons imun seluler melibatkan T-sitotoksik, sel
NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti virus cukup besar,
khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak antivirus dari IFN terjadi melalui :

1. a) Peningkatan ekspresi MHC kelas I


2. b) Aktivasi sel NK dan makrofag
3. c) Menghambat replikasi virus. Ada juga yang menyatakan bahwa IFN menghambat    
penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi.
Seperti halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T-sitotoksik selain bersifat protektif
juga dapat merupakan penyebab kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan
virus LCMV (lympocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput
susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunuh virus seperti halnya ia membunuh bakteri.
Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan sebaliknya
virus memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa virus hanya
dapat berkembang biak intraselular karena ia memerlukan DNA-pejamu untuk replikasi.
Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak sel-sel organ tubuh yang lain terutama
apabila virus itu bersifat sitopatik. Apabila virus itu bersifat non sitopatik ia menyebabkan
infeksi kronik dengan menyebar ke sel-sel lain.

Pada infeksi sel secara langsung di tempat masuknya virus (port d’entre), misalnya di paru, virus
tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer, dan
antibody yang dibentuk seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons
imun selular mempunyai peran lebih menonjol, karena sel T-sitotoksik mampu mendeteksi virus
melalui reseptor terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah. Sel T sitotoksik
kurang spesifik dibandingkan antibody dan dapat melakukan reaksi silang dengan spectrum yang
lebih luas. Namun ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas I
yang berbeda. Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel system imun sehingga mengganggu
fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus influenza, polio dan HIV. Sebagian

26
besar infeksi virus membatasi diri sendiri (self limiting) pada sebagian lagi menimbulkan gejala
klinik atau subklinik. Penyembuhan dari infeksi virus umumnya diikuti imunitas jangka panjang.

Untuk mencapai organ sasaran, virus menempuh 2 cara :

1. Virus memasuki tubuh pada suatu tempat, kemudian ikut peredaran darah mencapai
organ sasaran. Contohnya virus polio. Virus polio memasuki tubuh melalui selaput lender
usus, lalu masuk ke dalam peredaran darah mencapai sumsum tulang belakang dotak, di
sana virus melakukan replikasi.
Infeksi virus melalui peredaran darah ini dapat diatasi dengan anti toksin dalam titer yang
rendah. Dengan kata lain titer anti toksin yang rendah di dalam darah sudah cukup untuk
mengikat toksis yang berada dalam perjalanan ke sumsum syaraf pusat, sehingga tidak lagi dapat
berikatan dengan reseptor sel sasaran. Penyakit virus dengan pola penyebaran melalui peredaran
darah mempunyai periode inkubasi yang panjang.

Contoh lain dari pola penyebaran yang sama dengan virus polio adalah virus penyebab penyakit
morbili dan varicella.

2. Virus langsung mencapai organ sasaran, tidak melalui peredaran darah jadi tempat masuk
virus merupakan organ sasaran. Contohnya virus influenza organ sasarannya adalah
selaput lender saluran pernafasan yang sekaligus merupakan tempat masuknya virus.
Pada jenis infeksi ini, titer antibody yang tinggi di dalam serum relative tidak efektif terhadap
virus penyebab  penyakit bila dibandingkan dengan virus penyebab penyakit yang
penyebarannya melalui peredaran darah. Hal ini disebabkan karena selaput lendir saluran nafas
tidak terlalu permiabel bagi Ig G dan Ig M. Imunoglobulin yang terdapat dalam titer tinggi pada
selaput lendir saluran nafas adalah Ig A, karena Ig A dihasilkan oleh sel plasma yang terdapat
dalam lamina propria selaput lendir setempat. Ig A dalam secret hidung inilah yang menetralisir
aktivitas virus pada penyakit influenza.

Kekebalan terhadap penyakit virus seringkali bertahan lama, malah ada yang seumur hidup.
Contohnya penyakit morbili dan parotitis epidemika. Hal ini terjadi karena virus yang sudah
berada di dalam jaringan terlindung terhadap antibody. Sewaktu-waktu ada virus yang keluar

27
dari sel persembunyiannya yang segera dikenali oleh limfosit B pengingat. Sel limfosit kemudian
akan bereaksi memperbanyak diri, menghasilkan sel-sel plasma dan memproduksi antibody.
Semuanya terjadi dalam waktu singkat sehingga kekebalan dengan cepat ditingkatkan. Pada
beberapa penyakit virus antara lain influenza serangan penyakit dapat kembali terjadi dalam
waktu relative singkat setelah kesembuhan. Hal ini bukan disebabkan rendahnya kekebalan, tapi
karena virus influenza mengalami mutasi sehingga didapatkan strain baru yang tidak sesuai
dengan antibody yang telah ada.

Pada penyakit-penyakit influenza dan pilek yang mempunyai masa inkubasi pendek yang
dihubungkan dengan kenyataan bahwa organ sasaran akhir bagi virus itu adalah sama dengan
jalan masuk sehingga tidak terdapat stadium antara yang terpengaruh pada perjalanan memasuki
tubuh. Hanya ada sedikit sekali waktu bagi suatu reaksi antibody primer dan dalam segala
kemungkinan pembentuk interferon yang cepat adalah cara yang paling tepat untuk mengatasi
infeksi virus itu.pada penyelidikan terlihat bahwa setelah produksi interferon mulai menanjak,
maka titer virus yang masih hidup dalam paru-paru tikus yang telah di infeksi influenza cepat
turun. Titer antibody yang diukur dari serum, nampaknya sangat lambat untuk mencukupi nilai
yang diperlukan bagi penyembuhan.

Walaupun begitu, beberapa penyelidik akhir-akhir ini telah melihat bahwa kadar antibody pada
cairan local yang membasahi permukaan jaringan yang terinfeksi mungkin meningkat, misalnya
pada selaput lendir hidung dan paru-paru, meskipun titer serum rendah dan ini merupakan
antibody antivirus (terutama Ig A) oleh sel-sel yang telah menjadi kebal dan tersebar ditempat itu
yang dapat membuktikan manfaatnya yang besar sebagai pencegahan bagi infeksi berikutnya.
Celakanya, sampai begitu jauh yang menyangkut soal pilek, tampaknya infeksi berikutnya
mungkin disebabkan oleh virus yang secara antigenic sama sehingga kekebalan umum terhadap
pilek ini sukar dikendalikan.

 Respon imun nonspesifik terhadap infeksi virus


Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel natural
killler (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut. Pengenalan dan pemusnahan sel
yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu. Permukaan sel

28
yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur karbohidrat, menyebabkan
sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai dua jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama
merupakan killer activating receptors, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang
diekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory receptors, yang
mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi. Oleh karena itu
sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel yang sensitif atau terinfeksi
mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan molekul MHC
kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-α selama infeksi virus akan
mengaktivasi sel NK dan meregulasi ekspresi MHC pada sel terdekat sehingga menjadi resisten
terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibodi terhadap protein
virus terikat pada sel yang terinfeksi
2.5.5 Respon imun spesifik terhadap infeksi virus.

Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respons imunitas humoral dan selular.
Respons imun spesifik ini mempunyai peran penting yaitu :

1. Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat perlekatan virus
pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga virus tidak dapat menembus
membran sel, dan dengan cara mengaktifkan komplemen yang menyebabkan agregasi
virus sehingga mudah difagositosis
1. Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.
Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi dapat menghambat
kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi dan multiplikasi
intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibodi juga dapat menghancurkan partikel virus
bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen atau produksi agregasi , meningkatkan fagositosis
dan kematian intraseluler.

Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat bermanfaat khususnya pada infeksi
virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu
sebelum sampai ke organ target, seperti virus poliomielitis yang masuk melalui saluran cerna,
melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oleh antibodi

29
spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan waktu tubuh untuk membentuk resposn imun
sekunder sebelum virus mencapai organ target.

Infeksi virus lain, seperti influenza dan common cold, mempunyai masa inkubasi yang pendek,
dan organ target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respons antibodi
primer untuk mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat
interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibodi berfungsi sebagai bantuan tambahan
pada fase lambat dalam proses penyembuhan. Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada
cairan lokal yang terdapat di permukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru.
Pembentukan antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk pencegahan
infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan antigen
virus.
Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi lokal atau sistemik dapat
menghambat penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel pejamu yang terbunuh, namun
antibodi sendiri tidak dapat mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan sel
sebagai partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh
antibodi, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler.
Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting terutama pada infeksi virus
nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan
interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons
infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu  terjadinya
respons imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a
dan IFN-b.

Kerja IFN sebagai antivirus adalah :

1. Meningkatkan ekspresi  MHC kelas I


2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus
4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel yang
teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh reseptor αβ spesifik di
30
limfosit. Semakin cepat sel T sitotoksik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus
akan cepat dihambat.

Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada permukaannya yang terkait
dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T
sitotoksik αβ mencegah multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ menyerang virus (native viral coat
protein) langsung pada sel target.
Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN-γ dan kemokin
makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuklear dan teraktivasi untuk
mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama IFN-γ akan menyebabkan sel menjadi non-permissive,
sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluler. Oleh karena itu,
lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ
meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.
Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi dengan antigen permukaan
pada budding  virus yang baru mulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC. Antibodi juga
berguna dalam mencegah reinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu fungsinya dan
mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan HIV atau penyakit AIDS.
Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala
klinik atau subklinik. Penyembuhan infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka
panjang. Pengenalan sel target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang
mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari protein virus yang
sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivasi
oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan dari virus lain
setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. Demam dengue dan demam berdarah dengue
merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang
terjadi cukup lama apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada organ hati pada
demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya RNA virus dengue dalam
jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit
sehingga terjadi gangguan di hati.

31
2.6 Imunogen Terhadap Jamur

2.6.1 Definisi

Jamur merupakan kelompok organisme eukariotik yang membentuk dunia jamur atau regnum
fungi. Jamur pada umumnya multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri jamur berbeda dengan
organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya.

Pada dasarnya, jamur dapat dibedakan ke dalam 2 golongan besar, yaitu yeast dan mould. Yeast
umumnya memiliki bentuk tunggal, kecil, dan selnya berbentuk oval; sementara mould
membentuk koloni yang terdiri dari filamen-filamen yang disebut hifa.

2.6.2 Mekanisme Respon Imun terhadap Infeksi Jamur

Jamur patogen telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari dan melemahkan


pertahanan host. Karakteristik utama dalam respon imun adalah interdependensi berbagai senjata
sistem kekebalan tubuh dan interaksi antara pertahanan host (inang) dan mekanisme patogen
jamur. Beberapa mekanisme pertahanan dalam merespon berbagai bentuk jamur, yaitu
komponen darah yang meliputi neutrofil, makrofag dan monosit. Fagosit sudah berada pada
organ target pada saat infeksi sebagai upaya untuk membunuh atau merusak jamur. Sedangkan
neutrofil dan monosit membantu dalam hal memberi sinyal inflamasi, seperi sitokin, kemokin
dan melengkapi komponen. Setelah itu jamur dibunuh atau dirusak  oleh pelepasan reaktif
oksigen intermediet dan peptida antimikroba.

Sel menggunakan mekanisme anti jamur intraseluler/ekstraseluler tergantung pada spesies yang
menginfeksi, morphotype, dan rute paparan. Pada sel dendritik fungsinya adalah memulai
imunitas bawaan dan adaptif ke berbagai mikroorganisme. Sel ini menangkap dan melakukan
proses antigen, menyampaikan co-stimulasi limfosit molekul, lalu bermigrasi ke organ limfoid
dan mengeluarkan sitokin untuk memulai respon imun. Peran sel dendritik ini yaitu
menghubungkan respon bawaan dan adaptif terhadap berbagai patogen jamur termasuk
fumigatus Aspergillus,Cryptococcus neoformans dan C.albicans. Sinyal yang ditransmisikan
oleh sel dendritik dapat bervariasi tergantung pada jamur yang ditemui atau morfotype dengan

32
perbedaan yang dihasilkan pada saat menimbulkan respon imun adaptif temporal, produksi
sitokin dan pengembangan akhir tanggapan T-sel tertentu, serta peran modulasi imunitas
sehingga membatasi cedera autoimun.
Kebanyakan jamur sel membran mengandung ergosterol daripada kolesterol pada bagian dinding
selnya. Amfoterisin B langsung mengikat ergosterol, sedangkan azoles dan terbinafine target
mensintesis ergosterol. Sistem pertahanan kekebalan bawaan, termasuk B-glucan reseptor
(TLRs), telah berevolusi untuk mengenali dan merespon komponen dinding sel jamur. Sebagai
contoh, pada fagositosis permukaan sel adalah TLRs yang mengidentifikasikan molekul pada
pola yang ditemukan pada mikroba (termasuk jamur). Reseptor ini terdiri dari domain
ekstraseluler yang membedakan produk mikroba dan sebuah domain sitoplasmik yang
mengirimkan sinyal intraseluler protein adaptor. Salah satu adaptor seperti, MyD88 memulai
sinyal yang mengarah ke ekspresi molekul microbicidal dan sitokin. Peran reseptor individu,
seperti TLR2, TLR4, dan TLR9, dalam MyD88 aktivasi bervariasi tergantung pada proses
menginfeksi jamur dan tempat infeksi. Reseptor spesifik diferensial mengaktifkan fungsi anti
jamur yang dapat mengakibatkan perbedaan tangapan dan kerantanan terhadap infeksi.

2.6.3 Respon Imunitas Spesifik

Imunitas spesifik kadang kurang efektif, tidak mampu membatasi pertumbuhan jamur pathogen.
Tidak banyak bukti bahwa antibody berperan dalam resolusi dan control infeksi.CMI merupakan
efektor imunitas spesifik utama terhadap infeksi jamur. Histoplasma kapsulatum, parasit
intraseluler fakultatif hidup dakam makrofag dan dieliminasi oleh efektor selular sama yang
efektif terhadap bakteri intraselular. CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk menyingkirkan bentuk
K. neoformans yang cendrung mengkolonisasi paru dan otak pada pejamu imunokompromais.
Infeksi kandida sering berawal pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat mencegah
penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respon Th1 adalah protektif
sedangkan respon Th2 dapat merusak penjamu. Inflamasi granuloma dapat menimbulkan
kerusakan pejamu seperti pada infeksi histoplasma. Kadang terjadi respon humoral yang dapat
digunakan dalam diagnostik serologik, namun efek proteksinya belum diketahui.

2.6.4 Respon Imunitas Non Spesifik

33
Sawar fisik kulit dan membrane mukosa, factor kimiawi dalam serum dan sekresi kulit berperan
dalam imunitas nonspesifik. Efektor imunitas nonspesifik terhadap jamur adalah neutrofil dan
makrofag. Penderita dengan neutropenia sangat rentan terhadap jamur oportunistik. Neutrofil
diduga melepas bahan fungisidal seperti ROI dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk
dibunuh intraselular. Galur virulen seperti Kriptokok neoformans menghambat produksi sitokin
TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivasi
makrofag.

2.7 Imunogen Terhadap Parasit

2.7.1 Definisi

Parasit adalah organisme yang hidup dan menghisap makanan dari organisme lain yang
ditempelinya. Parasit memerlukan tubuh inangnya sehingga inangnya diupayakan tetap hidup,
karena itu parasit menganbil sari makanannya sedikit demi sedikit. Jika inangnya mati, maka
inangnya juga akan mati.

2.7.2 Mekanisme Respon Imun Terhadap Parasit

Parasit mengevasi imunitas protektif dengan mengurangi imunogenisitas dan menghambat


respon imun host. Parasit yang berbeda menyebabkan imunitas pertahanan yang berbeda.

1. Parasit mengubah permukaan antigen mereka selama siklus hidup dalam host vertebrata.
Dua bentuk variasi antigenik:
2. Stage-specific change dalam ekspresi antigen, misalnya antigen stadium sporosit pada
malaria berbeda dengan antigen merozoit.
3. Adanya variasi lanjutan antigen permukaan mayor pada parasit, misalnya yang terlihat
pada Trypanosoma Afrika: Trypanosoma brucei dan Trypanosoma rhodensiensi. Adanya
variasi lanjutan kemungkinan karena variasi terprogram dalam ekspresi gen yang
mengkode antigen permukaan mayor.

34
4. Parasit menjadi resisten terhadap mekanisme efektor imun selama berada dalam host.
Misalnya larva Schistosomae yang berpindah ke paru-paru host dan selama migrasi
membentuk tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTLs.
5. Parasit protozoa dapat bersembunyi dari sistem imun dengan hidup di dalam sel host atau
membentuk kista yang resisten terhadap efektor imun. Parasit dapat menyembunyikan
mantel antigeniknya secara spontan ataupun setelah terikat pada antibodi spesifik.
6. Parasit menghambat respon imun dengan berbagai mekanisme untuk masing-masing
parasit. Misalnya Leishmania menstimulus perkembangan CD25 sel T regulator, yang
menekan respon imun. Contoh lain pada malaria dan Tripanosomiasis yang menunjukkan
imunosupresi non spesifik. Defisiensi imun menyebabkan produksi sitokin imunosupresi
oleh makrofag dan sel T aktif serta mengganggu aktivasi sel T.
Regulasi imun adaptif sebagai respon terhadap infeksi malaria dilakukan oleh sitokin yang
diproduksi oleh sel pada respon imun adaptif. Parasit dikenali oleh pattern-recognition receptors
(PRRs), seperti Toll-like receptors (TLRs) dan CD36, atau sitokin inflamatori, seperti interferon-
gamma (IFN-gamma), dendritic cells (DCs) mature dan bermigrasi ke spleen — area primer
respon imun menyerang stadium Plasmodium di darah. Maturasi sel dendritik berasosiasi dengan
upregulasi ekspresi MHC II, CD40, CD80, CD86 dan molekul adhesi dan produksi sitokin
termasuk interleukin-12 (IL-12). IL-12 mengaktivasi natural gamma killer (NK) cells untuk
memproduksi IFN- dan menginduksi diferensiasi T helper 1 (TH1) cells. Produksi sitokin, IFN-
gamma, oleh NK cells menyebabkan maturasi sel dendritik dan meningkatkan efek parasit yang
diturunkan dari rangsangan pematangan, memfasilitasi ekspansi klonal antigen sel T CD4 naive
spesifik. IL-2 yang diproduksi oleh antigen sel Th1 spesifik kemudian mengaktifkan NK cell
untuk memproduksi IFN-gamma, yang menginduksi maturasi sel dendritik dan mengaktivasi
makrofag. Sitokin, seperti IL-10 dan pembentukan TGF-beta meregulasi innate dan adaptive
immune responses: NO (nitric oxide); TCR (T-cell receptor); TNF (tumour-necrosis factor).

35
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang disebabkan oleh
menkanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau
keduanya. Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun, menyerang bagian dari tubuh
tersebut dan merupakan kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan
menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang
terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit
(seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan.
Imunoprofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap antibodi spesifik. Fungsi
imunoprofilaksis yaitu meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit dan mengurangi
penularan penyakit. Jenis-jenis imunisasi yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Jenis – jenis
vaksin yaitu vaksin hidup, vaksin mati, rekombinan, toksoid, dan vaksin plasma DNA.
Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang,
dan bersifat membahayakan inang. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan
parasit.

3.2 Saran
Dan kami berharap makalah atau karya tulis ini dapat bermanfaat pagi pembaca sebagai
ilmu pengetahuan atau wawasan umum. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
banyak memiliki kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan sarana yang kami miliki.
Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sesalu kami harapkan sehinga dimasa
mendatang makalah ini dapat menjadi lebih baik.

36
DAFTAR PUSTAKA
Bratawijaya, KG & Rengganis, I. Imunologi Dasar. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009

Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology. 

Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook. 

Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed. 

Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt’s Essential Immunology 10th ed. 

Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook. 

Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed.

Rahardjo,P.,Adi, (Tahun tidak tercantumkan), Imunoprofilaksis dan Imunoterapi, Universitas


Airlangga, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Mikrobiologi Veteriner,
Laboratorium  Virologi dan Imunologi.
Oen L.H. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: PT.Kalbe Farma. 1990. h.58.
Bellanti, J.A. Penggunaan Vaksin. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.1993. p. 553-560.
M.William Schwartz. Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. p.56.

37

Anda mungkin juga menyukai