Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA II

SISTEM IMUN

DOSEN PEMBIMBING :

Dr. MEIRIZA DJOHARI, M. Kes, Apt.

OLEH : KELOMPOK 6

1. ALFITRA RAMADHAN (1801083)


2. DINDA PUTRI UTAMI (1801090)
3. KHEFFI HUSNA NAMIRA (1801099)
4. MIFTAHUL JANNAH (1801101)
5. RIZKI WULANDARI (1801114)
6. WEWI ALFAREZI (1801121)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah Anatomi Fisiologi Manusia II “Sistem Imun” ini dapat tersusun hingga
selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Kami sudah berusaha maksimal untuk menyelesaikan makalah ini, karena


keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Pekanbaru, September 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3. Tujuan.......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Sistem Imun .............................................................................................. 3
2.2 Fungsi Sistem Imun ..................................................................................................... 3
2.3 Sel-Sel yang Berperan dalam Sistem Imun ................................................................. 3
2.4 Organ yang Berperan dalam Sistem Imun .................................................................. 9
2.5 Jenis-Jenis Sistem Imun ............................................................................................ 11
2.5.1 Sistem Imun Non-Spesifik ................................................................................. 11
2.5.2 Sistem Imun Spesifik ......................................................................................... 20
2.5.3 Perbedaan Sistem Imun Non-Spesifik dan Spesifik .......................................... 24
2.6 Kelainan Akibat Respon Imun .................................................................................. 25
2.7 Penyakit pada Sistem Imun ....................................................................................... 26
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 28
3.1. Kesimpulan................................................................................................................ 28
3.2. Saran .......................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 29
LAMPIRAN ............................................................................................................................. 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Manusia terus menerus berkontak dengan agen eksternal yang dapat
membahayakan jika masuk kedalam tubuh. Yang paling serius adalah
mikroorganisme penyebab penyakit. Jika bakteri atau virus akhirnya masuk kedalam
tubuh, maka tubuh dilengkapi oleh sistem pertahanan internal yang kompleks dan
multifaset. Sistem imun yang memberi perlindungan terus menerus terhadap invasi
oleh agen asing. Selain itu, permukaan tubuh yang terpajan (terekspos) ke lingkungan
eksternal, misalnya sistem integumen (kulit) berfungsi sebagai lini pertama
pertahanan untuk mencegah masuknya mikroorganisme asing. Sistem imun juga
melindungi tubuh dari kanker dan untuk mempermudah perbaikan jaringan yang
rusak. (Sherwood, 2012).

Setiap saat tubuh kita selalu terpapar dengan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi di mana pada umumnya kita kebal terhadap infeksi tersebut
karena adanya sistem kekebalan tubuh yang melindungi tubuh kita. Sistem imun
terdiri dari dua komponen utama yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun
spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan sistem kekebalan lini pertama
sedangkan sistem imun spesifik merupakan lini pertahanan kedua dan juga berfungsi
untuk mengenali terjadinya serangan berikutnya oleh mikroorganisme patogen yang
sama. Masing-masing dari sistem imun mempunyai komponen seluler dan humoral,
walaupun demikian kedua sistem imun tersebut saling berkerja sama dalam
menjalankan fungsinya untuk mempertahankan tubuh (Radji, 2015).

Fungsi utama dari sistem imunitas tubuh adalah membedakan antara sel tubuh
sendiri (self) dan sel yang berasal dari luar tubuh (nonself). Kemampuan untuk
membedakan antara self dan non self sangat penting dalam mempertahankan tubuh
dari serangan mikroorganisme patogen ataupun keberadaan sel-sel yang tidak
dikehendaki misalnya sel-sel tumor. Mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh
dapat bereplikasi secara intraseluler misalnya virus, beberapa jenis bakteri tertentu
ataupun secara ekstraselular misalnya infeksi oleh sebagian besar bakteri, jamur dan

1
parasit. Untuk mengatasi hal tersebut, sesuai dengan jenis mikroorganisme patogen
yang menyerang tubuh, maka terdapat perbedaan komponen sistem imun yang
bekerja secara intraseluler dan ekstraseluler. Perlu diingat bahwa tidak semua
mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan penyakit infeksi,
karna sistem kekebalan tubuh pada umumnya mampu mengeliminasi infeksi sebelum
berkembang menjadi penyakit. Penyakit infeksi dapat terjadi jika jumlah
mikroorganisme yang masuk dalam jumlah yang cukup tinggi dan bila imunitas tubuh
tidak mampu melawan atau menurun (immunocompromised). Walaupun demikian,
disamping efek yang menguntungkan tersebut, sistem imun memiliki sifat yang
merugikan antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada sel atau jaringan tertentu
akibat dari efek inflamasi, atau adanya respon imun terhadap sel tubuh sendiri yang
disebut penyakit autoimun (Radji, 2015).

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa itu sistem imun ?
2. Apa fungsi sistem imun ?
3. Apa saja sel yang berperan dalam sistem imun ?
4. Apa saja organ yang berperan dalam sistem imun ?
5. Apa saja jenis-jenis sistem imun ?
6. Apa saja kelainan akibat respon imun ?
7. Apa saja penyakit yang menyerang sistem imun ?

1.3.Tujuan
1. Mengetahui apa itu sistem imun
2. Mengetahui fungsi sistem imun
3. Mengetahui sel-sel yang berperan dalam sistem imun
4. Mengetahui organ-organ yang berperan dalam sistem imun
5. Mengetahui jenis-jenis sistem imun
6. Mengetahui kelainan akibat respon imun
7. Mengetahui penyakit yang menyerang sistem imun

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Imun


Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang kompleks yang
memberikan perlindungan terhadap adanya invasi zat-zat asing kedalam tubuh.
Berbagai senyawa organik dan an-organik, baik yang hidup maupun mati yang berasal
dari hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus, parasit, debu, polusi, uap, asap dan
bahan iritan lainnya yang terdapat dalam lingkungan sekitar yang masuk ke dalam
tubuh dapat menimbulkan penyakit dan kerusakan jaringan. Selain itu sel-sel tubuh
yang mati atau sel tubuh yang bermutasi yang tumbuh tidak terkendali, merupakan
bahan yang tidak diinginkan dan harus dikeluarkan atau dimusnahkan. (Radji, 2015)

2.2 Fungsi Sistem Imun


Sistem imun merupakan sistem sel-sel, enzim, dan protein yang rumit. Yang
memberi perlindungan dan membuat kita resisten atau kebal terhadap infeksi yang
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, misalnya bakteri, virus, dan fungi. Sistem
imun mampu melakukan lebih dari melawan infeksi dan melindungi kita terhadap
penyakit infeksi, fungsi-fungsi lainnya meliputi membuang dan mendestruksi sel-sel
yang rusak atau mati, serta mengidentifikasi dan mendestruksi sel-sel maligna,
sehingga membantu mencegah terjadinya perkembangan lebih lanjut menjadi tumor
(Peate, 2018).

2.3 Sel-Sel yang Berperan dalam Sistem Imun


Seluruh sel yang terlibat dalam sistem imunitas tubuh berasal dari sumsum
tulang yang terdiri dari sel mieloid (neutrofil, basofil, eosinofil, makrofag, dan sel
dendrit) juga sel limfoid (limfosit B, limfosit T, dan sel pembunuh alami atau natural
killer cells) (Radji, 2015).

3
Sistem
imun

Sel Sel
Mieloid Limfoid

Granulosit Monosit Sel T Sel B Sel NK

Neutrofil Makrofag Sel T Helper Sel


Basofil Sel Dendrit Sel T Suppressor Plasma
Eonsinofil Sel T Cytotoxic

Gambar 2.1 Jenis sel yang terlibat dalam sistem imun

Diferensiasi sel induk mieloid yang berasal dari sumsum tulang akan menjadi
eritrosit, neutrofil, monosit, makrofag, platelet, dan sel dendrit, sedangkan dari sel
induk limfoid akan menjadi sel limfosit B, limfosit T, dan natural killer cells (NK).
Sel limfosit T akan bermigrasi ke dalam timus dan selanjutnya akan berdiferensiasi
menjadi 2 jenis sel T yaitu sel CD4 + sel TH (sel T Helper) dan CD8 + pre-cytotoxic
T cell. Selanjutnya 2 tipe sel TH akan diproduksi di dalam timus yaitu sel TH1 akan
berfungsi membantu CD8 + pre-cytotoxic T cell berdiferensiasi menjadi cytotoxic T
cell dan sel TH2 yang membantu sel limosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang akan menghasilkan antibodi (Radji,2015).

Gambar 2.2 Perkembangan beberapa jenis sel yang terlibat dalam sistem imun.

4
Granulosit
Granulosit diklasifikasikan menjadi neutrofil (mengandung granula berwarna
merah), eosinofil (granula yang terwarnai oleh asam), dan basofil (granula yang
terwarnai oleh basa) (Aaronson, 2010).
a. Neutrofil
Neutrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak. Sel ini
memiliki masa hidup singkat, sekitar 10 jam dalam sirkulasi. Sekitar 50%
neutrofil dalam darah perifer menempel pada dinding pembuluh darah (pool
marginal). Migrasi, fagositosis, dan pembunuhan adalah fungsi yang
bergantung pada energi (Mehta, 2008).
Neutrofil merupakan sel polimorfonuklear (PMN) yang dibutuhkan
berada pada situs infeksi dimana mereka menelan dan membunuh
mikroorganisme secara intraseluler. Selain itu PMN juga berperan dalam
kerusakan jaringan kolateral selama proses inflamasi berlangsung
(Radji,2015).
b. Basofil
Basofil sangat terkait dengan sel mast (sel kecil dalam sumsum tulang
dan jaringan yang terwarnai menjadi gelap). Keduanya berasal dari prekursor
granulosit dalam sumsum tulang. Sel-sel ini merupakan leukosit darah perifer
yang paling sedikit dan memiliki granul ungu gelap besar yang dapat
mengaburkan inti. Isi granul mengandung histamin dan heparin dan dilepaskan
setelah pengikatan IgE ke reseptor permukaan. Sel-sel ini berperan penting
dalam reaksi hipersensitivitas segera. Sel mast juga berperan penting dalam
pertahanan melawan alergen dan patogen parasitik. (Mehta, 2008)
c. Eosinofil
Eosinofil memiliki inti bilobus dan granul yang terwarnai menjadi
merah-oranye (mengandung histamin). Sel ini sangat penting dalam respons
terhadap penyakit parasitik dan penyakit alergi. Pelepasan isi granulnya ke
patogen yang lebih besar (misalnya helmin) membantu destruksinya dan
fagositosis berikutnya. (Mehta, 2008)
Eosinofil berperan sangat efektif dalam membunuh jenis parasit
tertentu. Eosinofil mengeluarkan zat-zat kimia yang berfungsi menghancurkan

5
cacing, parasit, dan berperan penting dalam manifestasi reaksi alergi (Radji,
2015).

Gambar 2.3 Sel darah putih


Monosit
Selama hematopoiesis dalam sumsum tulang, sel progenitor
granulosit/monosit berdiferensiasi menjadi premonosit yang meninggalkan sumsum
tulang dan masuk kedalam sirkulasi untuk selanjutnya berdiferensiasi menjadi
monosit matang dan berperan dalam berbagai fungsi sebagai
berikut(Baratawidjaja,2012) :

anti tumor
dan anti
viral
produksi modeling dan
komponen perbaikan
komplemen jaringan

fungsi
presentasi monosit fagositosis/
limfosit dan
aktivasi limfosit bakterisidal

aktivasi sitemik aktivasi


sebagai respons vaskulatur sel
terhadap infeksi epitel

Gambar 2.4 Fungsi monosit

Monosit adalah fagosit yang didistribusikan secara luas sekali diorgan limfoid
dan organ lainnya.monosit berperan sebagai APC,mengenal, menyerang mikroba dan

6
sel kanker dan juga memproduksi sitokin, menyerahkan pertahanan sebagai respon
terhadap infeksi. IL-1,IL-6, dan TNF-α yang diproduksinya menginduksi panas dan
produksi protein fase akut dihati, memodulasi produksi seng(Zn) dan tembaga,
menginduksi produksi hormon kortikotropik adrenal dalam otak dan mempengaruhi
metabolisme. Monosit juga berperan dalam remodeling dan perbaikan jaringan. Sel-
sel imun nonspesifik ada dalam darah untuk 10 jam sampai dua hari sebelum
meninggalkan sirkulasi darah.Selanjutnya monosit bermigrasi ke tempat tujuan
diberbagai jaringan untuk berdiferensiasi sebagai makrofag jaringan spesifik dengan
berbagai fungsi (Baratawidjaja,2012).
a. Makrofag
Selain berfungsi untuk memfagositosis juga membunuh
mikroorganisme. Makrofag dapat membunuh mikroorganisme baik secara
intraseluler maupun secara ekstraseluler. Disamping itu makrofag berperan
dalam perbaikan jaringan dan sebagai antigen precenting cells yang
dibutuhkan untuk menginduksi respon imun spesifik (Radji, 2015).
Limfosit T (sel t)

Limfosit T adalah suatu sel yang terbentuk jika selinduk dari sumsum tulang
pindah ke timus, mengalami pembelahan dan pematangan. Di dalam kelenjar timus,
limfosit T belajar membedakan bahan asing dan bahan bukan asing. Limfosit T yang
dewasa akan meninggalkan kelenjar timus, masuk ke dalampembuluh getah bening
dan berfungsi sebagaibagian dari sistem pengawasan kekebalan tubuh. Sel T berperan
dalam imunitas yang diperantarai oleh sel (imunitas seluler) dengan
menghacurkanselsel yang teinvasi oleh virus dan sel mutan melalui cara non fagusitik
(Radji, 2015).

Ada beberapa jenis sel T yang penting, yaitu (Bresnick, 2003) :

- Sel Tsitotoksik, menyebabkan pembunuhan langsung sel yang


mengekspresikan antigen asing pada permukaan selnya. Akibatnya, sel T
sitotoksik virus, sel kanker dan sel dengan patogen intrasel. Sel T sitotoksik
memiliki penanda permukaan CD8+.
- Sel T penolong meningkatkan aktivitas sel lain melalui sintesis dan sekresi
sitokin, yang merupakan faktor dapat larut yang memberikan dengan reseptor
pada permukaan sel sasaran dan memulai penanda permukaan CD4+
7
- Sel T penekan menghambat aktivitas sel tertentu melalui mediator sitokin. Sel
T penekan memiliki penanda permukaan CD4 +
Ket:
CD 8: yang menghancurkan sel pejamu yang mengandung apapun yang asing
CD 4: yang meningkatkan pembentukan sel B yang distimulasi antigen
menjadi sel plasmapenghasil antibodi

Limfosit B (sel B)

Limfosit B adalah sel yang berasal dari sel induk yang berasal dari sumsum
tulang yang tumbuh menjadi sel plasma, menghasilkan antibodi yang secara tidak
langsung dapat mendestruksi benda asing. Jika di rangsang oleh suatu antigen maka
sel B akan mengalami pematangan menghasilkan antibodi. Antibodi adalah salah satu
protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon terhadap adanya antigen
(Radji, 2015).

Sel plasma menghasilkan antibodi. Antibodi di ekskresikan ke dalam darah


atau limfe, bergantung pada lokasi sel plasma, tetapi semua antibodi akhirnya
memperoleh akses ke darah, tempat zat ini dikenal sebagai globulin gama atau
imunoglobulin. Antibodi di kelompokkan menjadi 5 subkelas berdasarkan perbedaan
dalam aktivasi biologisnya, yaitu (sherwood,2012) :

o Ig M : berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk mengikat antigen dan


diekskresikan pada tahap tahap awal respon sel plasma
o Ig G : Ig terbanyak dalam darah, diproduksi dalam jumlah besar ketika tubuh
kemudian terpajan keantigen yang sama

Bersamasama antibodi Ig M dan Ig G menghasilkan sebagian besar respon imun


spesifik terhadap bakteri penginvasi dan beberapa jenis virus

o Ig E ikut melindungi tubuh dari cacing parasitik dan merupakan mediator antibodi
untuk responsalergik umum, misalnya hay fever, asma, urtikaria
o Ig A ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernafasan dan kemih-kelamin,
serta dalam air susu dan air mata
o Ig D terdapat di permukaan banyak sel B tetapi fungsi nya belum diketahui

8
Gambar 2.5 Tabel jenis antibodi

Natural Killer (NK)

NK dapat membunuh virus dan sel-sel tumor. Sel ini tidak berperan dalam
respon inflamasi akan tetapi sangat penting dalam imunitas nonspesifik terhadap
infeksi virus dan pemantauan terhadap adanya sel-sel tumor dalam tubuh. Sel
pemusnah alami ini menghasilkan beberapa senyawa sitokin yang membawa pesan
yang mengatur sebagian fungsi limfosit B, limfosit T, dan makrofag (Radji,2015).

2.4 Organ yang Berperan dalam Sistem Imun


a. Tonsil dan Adenoid
Tonsil dan adenoid adalah salah satu jaringan limfoid yang terdapat di
daerah faring. Tonsil terletak pada kedua lipatan pilar rongga mulut,
sedangkan adenoid terletak pada dinding belakang tengah nasofaring yang di
kanan dan kiri. Organ ini berfungsi dalam memproduksi sel-sel limfosit dan
berperan dalam tahap awal kehidupan untuk melawan infeksi pada selaput
lendir. Tonsil juga dapat memproduksi antibodi yang berperan dalam produksi
imunoglobulin A. Antibodi inilah yang dapat mencegah agar infeksi tidak
menyebar ke seluruh tubuh, apabila ada mikroorganisme yang masuk melalui
mulut, hidung, dan kerongkongan. Dapat dikatakan bahwa tonsil menjadi

9
benteng pertahanan tubuh terdepan untuk menangkis mikroorganisme yang
masuk melalui saluran pernafasan dan pencernaan (Radji,2015).
b. Kelenjar Timus
Kelenjar timus terletak di belakang tulang dada. Kelenjar ini mengatur
daya tahan tubuh terhadap penyakit. Pada orang dewasa sel T dibentuk dalam
sumsum tulang akan tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam
kelenjar timus. 90-95% dari seluruh sel timus akan mati dan sisanya akan
menjadi matang dan meninggalkan timus masuk ke dalam sirkulasi darah.
Hormon timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah dan dapat berperan
terhadap diferensiasi sel T di perifer (Radji,2015).
c. Kelenjar Limfe
Kelenjar limfe disebut juga getah bening merupakan cairan dengan
susunan isi hampir sama dengan plasma darah dan cairan jaringan. Bedanya
adalah cairan limfe mengandung banyak sel limfosit, tidak mengandung CO2,
mengandung sedikit O2. Kelenjar ini berfungsi dalam menyaring cairan limfe
dari bahan asing, pembentukan limfosit, membentuk antibodi, dan
menghancurkan mikroorganisme (Radji,2015).
d. Limpa
Limpa merupakan organ yang terletak di sebelah kiri abdomen di
daerah hipogastrium kiri bawah iga ke 9,10, dan 11. Limpa berfungsi sebagai
tempat penghancuran eritrosit, penghasil sel darah untuk memproduksi
eritrosit dan leukosit terutama limfosit, dan menghasilkan antibodi (Radji,
2015).
e. Pembuluh Limfe
Susunan pembuluh limfe disebut juga susunan tengah karena
merupakan saluran antara darah dan jaringan dimana terdapat zat-zat koloid.
Pembuluh limfe berfungsi untuk mengembalikan cairan dan protein dari
jaringan ke dalam sirkulasi darah, mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke
dlam sirkulasi darah, menyaring dan menghancurkan mikroorganisme, dan
menghasilkan antibodi (Radji, 2015).
f. Bercak Peyer pada Usus Halus
Bercak peyer atau peyer’s patch merupakan jaringan limfoid mukosa
terorganisir selain tonsil dan folikel limfoid yang terisolir. Sel yang terpapar

10
antigen di bercak peyer akan membentuk sel T memori yang kemudian akan
bermigrasi ke kelenjar limfe mesentrik lalu ke duktus toraksikus menuju
pembuluh darah. Kemudian sel-sel tersebut mencari tempat-tempat tertentu di
berbagai tempat terutama di lamina propria berbagai jaringan mukosa (Radji,
2015).
g. Sumsum Tulang
Sumsum tulang berperan dalam pelepasan sel darah putih atau leukosit.
Ketika terjadi infeksi maka sumsum tulang akan membentuk dan melepaskan
lebih banyak sel darah putih sebagai respon terhadap infeksi dan lebih banyak
trombosit sebagai respon terhadap pendarahan (Radji, 2015).

2.5 Jenis-Jenis Sistem Imun

Gambar 2.6 Jenis jenis sistem imun

2.5.1 Sistem Imun Non-Spesifik

Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu


ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan
cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah
sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut non
spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi
sejak lahir. Mekanismenya tidak menuntujukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan
mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut

11
merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi berbagai serangan mikroba dan
dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja, 2012).

a. Pertahanan Fisik atau Mekanik


Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia
saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan
terhadap infeksi. Keratinosid dan lapisan epidermis kulit sehat dan
epitel mukosa yang utuh tidak dapat ditembus kebanyakan mikroba.
Kulit yang rusak akibat luka bakar dan selaput lendir saluran napas yang
rusak oleh asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi. Tekanan
oksigen yang tinggi diparu bagian atas membantu hidup kuman obligat
aerob seperti tubekulosis (Baratawidjaja, 2012).

b. Pertahanan Biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas (enzim dan antibodi) dan
telinga berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Mukus
yang kental melindungi sel epitel mukosa dapat menangkap bakteri dan
bahan lainnya yang selanjutnya dikeluarkan oleh gerakan silia. Asap
rokok, alkohol dapat merusak mekanisme tersebut sehingga
memudahkan terjadinya infeksi oportunistik (Baratawidjaja, 2012).

Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cerna mengandung banyak
mikroba, biasanya berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit.
Sekresi kulit yang bakterisida, asam lambung, mukus dan silia di
saluran nafas membantu menurunkan jumlah mikroba yang masuk
tubuh, sedang epitel yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba
masuk ke dalam tubuh. Dalam darah dan sekresi tubuh, enzim lisosom
memusnahkan banyak bakteri dengan merusak dinding selnya. IgA juga
merupakan pertahanan permukaan mukosa, memusnahkan banyak
bakteri dengan merusak dinding selnya. Flora normal (biologis)
terbentuk bila bakteri non patogenik menempati permukaan epitel. Flora
tersebut dapat melindungi tubuh melalui kompetisi dengan patogen
untuk makan dan tempat menempel pada epitel serta produksi bahan
antimikrobiol. Penggunaan antibiotika dapat mematikan flora normal

12
sehingga bakteri patogenik dapat menimbulkan penyakit (Baratawidjaja,
2012).

Gambar 2.7 Pertahanan eksternal tubuh


c. Pertahanan Humoral
Sistem imun non spesifik menggunakan berbagai molekul larut.
Molekul larut tertentu diproduksi di tempat infeksi atau cidera dan
berfungsi lokal. Molekul tersebut antara lain adalah peptida antimikroba
seperti defensin, katelisidin dan IFN dan efek antiviral. Faktor larut
lainnya diproduksi di tempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan
sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA (Baratawidjaja,
2012).

1. Komplemen
Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti lektin, interveron, CRP,
dan komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Serum
normal dapat memusnahkan dan menghancurkan beberapa bakteri
negative- gram atas kerjasama antara antibodi dan komplemen

13
yang ditemukan dalam serum normal. Komplemen rusak pada
pemanasan 56°c selama 30 menit (Baratawidjaja, 2012).

Gambar 2.8 Fungsi komplemen

Komplemen terdiri atas sejumlah sel protein yang bila diaktifkan


akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam
respon inflamasi. Komponen dengan spektrum aktivitas yang luas
diproduksi oleh hepatosit dan monosit yang dapat diaktifkan
secara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur
alternative,klasik dan lektin). Komplemen berperan sebagai
oksonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor
kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan
parasit (Baratawidjaja, 2012).

Antibodi diinduksi oleh infeksi sub-klinis (antara lain flora


normal) dan komponen dalam diit yang imunogenik. Antibodi
dengan bantuan komplemen dapat menghancurkan membran
lapisan LPS dinding sel. Bila lapisan LPS menjadi lemah, lisozim,
mukopeptida dalam serum dapat masuk menembus membran
bakteri dan menghancurkan lapisan mukopeptida. MAC dari
sistem komplemen dapat membentuk lubang-lubang kecil dalam
sel membran bakteri sehingga bahan sitoplasma yang

14
mengandung bahan-bahan vital keluar sel dan menimbulkan
kematian mikroba (Baratawidjaja, 2012).

2. Protein Fase Akut


Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa
protein dalam serum yang disebut APP. Yang akhir merupakan
bahan antimikrobial dalam serum yang meningkat dengan cepat
setelah sistem imun nonspesifik diaktifkan. Protein yang meningkat
atau menurun selama fase akut disebut juga APRP yang berperan
dalam pertahanan diri (Baratawidjaja, 2012).
APRP diinduksi oleh sinyal yang berasal dari tempat cedera atau
infeksi melalui darah.hati merupakan tempat sintesis APRP. Sitokin
TNF-α, IL-1, IL-6 merupakan sitokin proinflamasi dan berperan
dalam induksi APRP (Baratawidjaja, 2012).
 C-Reactive Protein
CRP yang merupakan salah satu PFA, termasuk golongan
protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut
sebagai respons imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP
mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang
membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur
klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas
penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan
berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++
dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang
wditemukan pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CPR yang
meningkat meninggikan viskositas plasma dan laju endap darah.
Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang
persisten (Baratawidjaja, 2012).

15
Gambar 2.9 C-Reactive protein (CPR)
 Lektin
Lektin/kolektin merupakan molekul larut dalam plasma yang
dapat mengikat manan/manosa dalam polisakarida, (karena
disebut MBL ) yang merupakan permukaan banyak bakteri
seperti galur pneumokok dan banyak mikroba, tetapi tidak pada
sel vertebrata. Lektin berperan sebagai opsonin,mengaktifkan
komplemen. SAP mengikat lipopolisakarida dinding bakteri
dinding bakteri dan berfungsi sebagai reseptor untuk fagosit
(Baratawidjaja, 2012).
 Protein Fase Akut Lain
Protein fase akut lain adalah α1-anti-tripsin, amiloid serum A,
haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen yang juga berperan
pada peningkatan laju endap darah akibat infeksi, namun
dibentuk jauh lebih lambat dibanding dengan CRP. Secara
keseluruhan, respons fase akut memberikan efek yang
menguntungkan melalui peningkatan resistenipejamu,
mengurangi cedera jaringan dan meningkatkan resolusi dan
perbaikan cedera inflamasi (Baratawidjaja, 2012).
3. Mediator Asal Fosfolipid
Metabolisme pospolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR.
Keduanya meningkatkan respon inflamasi melalui peningkatan
permeabilitas faskular dan vasodilatasi (Baratawidjaja, 2012).

16
4. Sitokin IL-1,IL-6,TNF-α
Selama terjadi infeksi,produk bakteri seperti LPS mengaktifkan
makrofag dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai
sitokin seperti IL-1 yang merupakan pirogen endogen, TNF-α dan
IL-6. Pirogen adalah bahan yang menginduksi demam yang dipacu
baik oleh faktor eksogen (endotoksin asal bakteri negatif – gram)
endogen seperti IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit. Ketiga
sitokin tersebut disebut sitokin /proinflamasi, merangsang hati untuk
mensistensi dan melepas sejumlah protin plasma seperti protein fase
akut antara lain CRP yang dapat meningkat 1000 kali, MBL dan
SAP (Baratawidjaja, 2012).
d. Pertahanan Seluler

Gambar 2.10 Pengerahan makrofag dan bahan antimiktobial dari


sirkulasi darah

Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun dan
spesifik selular. Sel-sel sistem imun tersebut dapat sirkulasi atau
jaringan. Suatu sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah
neutrofil, eosinofil, basofil, manosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah
merah dan trombosit. Sel-sel tersebut dapat mengenal produk mikroba
esensial yang diperlukan untuk hidup nya. Contoh sel-sel dalam

17
jaringan adalah eosinofil, sel mask, makrofag, sel T, sel plasma dan sel
NK (Baratawidjaja, 2012).

1. Makrofag (Fagosit Mononuklear)


Makrofag menangkap mikroba melalui PRRs (pattern recognition
receptors) yang mengikat PAMPs (pathogen associated molecular
petterns) pada patogen. Jika PRRs sudah berikatan dengan PAMs
akan muncul sinyal dari PRRs untuk aktivasi makrofag. Makrofag
aktif akan memfagositosis mikroba sehingga mikroba berada dalam
vakuol yang disebut fagosom (endosom) yang akan menyatu dengan
lisosom membentuk fagolisosom. Selanjutnya, mikroba dihancurkan
dalam fagolisosom dengan menggunakan enzim lisozim, reactive
oxygen species (ROS), dan nitric oxide (NO) (Baratawidjaja, 2012).
2. Sel Mast
Sel mast ada pada epitel kulit dan mukosa yang dengan cepat
berespon melepas mediator melepas mediator inflamasi jika ada
infeksi atau stimulus lainnya. Sel mast akan melepas granul yang
mengandung antara lain amin fasoaktif (misalnya histamin) yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Penyesuaian kapiler ini sangat penting untuk terjadinya respon
inflamasi akut yang ditandai dengan ekstravasasi sejumlah sel imun
seperti neutrofil, monosit, dan lain-lain. Sel mast menghasilkan juga
lipid mediator (prostaglandin) dan sitokin pro inflamasi seperti
TNFα (tumor necrosis fsctor alpha). Produk sel mast penting untuk
melawan parasit (cacing), dilain pihak bisa menjadi penyebab
terjadinya alergi (Baratawidjaja, 2012).
3. Sel Dendrit
Sel dendritic ditempatkan pada lokasi ynag strategis misalnya
dijaringan epitel yang berbatasan dengan dunia luar (kulit, saluran
cerna, saluran nafas, saluran urogenitalia), sehingga peluang
bertemu dengan patogen sangat besar. Disamping itu, sel dendrit
memiliki PRRs yang lebih lengkap, baik yang dimembran maupun

18
didalam sitosol, sehingga sukar sekali patogen dapat lolos dari
penangkapan (Baratawidjaja, 2012).
Tugas penting sel dendrit adalah mempresentasikan antigen yang
ada pada patogen ke sel T naif yang menunggu dilimfonodus,
sehingga diberi namaAntigen Prensting Cells (APC). Presentasi
antigen ini bertujuan untuk mengaktifkan sel T naif menjadi sel T
efektor. Sel dendritik memproses mikroba seperti halnya yang
diakukan oleh makrofag, kemudian mempresentasikan antigen asal
mikroba yang sudah dihancurkan dalam fagolisosom kepermukaan
sel dendritik menggunakan molekul Major Histocompatibility
Complex (MHC) dan dibawa ke limfonodus. Presentasi antigen ke
sel T naif di limfonodu ini akan memulai proses munculnya respon
imunitas seluler (adaptif). Dengan demikian, imunitas innate sangat
penting untuk timbulnya imunitas adaptif, dimana sel dendritik yang
memulai mengaktivasi limfosit T sedangkan sitokin dari makrofag
akan memperhebat timbulnya respon imunitas adaptif yang
diperankan limfosit T. Jenis lain dari sel dendritik adalah
Plasmacytoid Dendritic Cells (mirip dengan sel plasma) yang
berfungsi menghasilkan sitokin antivirus yaitu interferon tipe 1
(Baratawidjaja, 2012).
4. Neutrofil (PMN)
Neutrofil, disebut juga sel polymorphomulear (PMN), bersama
monosit beredar dalam sirkulasi darah dan siap melimpah ke
jaringan jika dipanggil oleh makrofag yang mendeteksi adanya
PAMPs (mikroba) atau DAMPs melalui mekanisme inflamasi akut.
Neutrofil termasuk golongan fagosit karena mampu melakukan
internalisasi mikroba untuk kemudian dibunuh seperti cara
makrofag, antara lain menggunakan lisozim untuk mencerna
mikroba dan radikal bebas (ROS dan NO). Begitu banyaknya enzim
lisozim dalam neutrofil yang nampak sebagai granul yang banyak
sehingga sel ini disebut pula granulosit. Bedanya dengan makrofag,
neutrofil tidak menghasilkan sitokin seperti makrofag
(Baratawidjaja, 2012).

19
5. Sel Natural Killer (Sel NK)
Sel NK banyak beredar dalam darah yang akan segera ke jaringan
jika ada infeksi. Sel NK ada juga yang tinggal dalam limpa dan hati.
Sel NK ini dipersiapkan Tiham nbereaksi cepat (imunitas innate)
mengatasi patogen yang cepat masuk sel (mikroba intraseluler) pada
saat limfosit T (imunitas adaptif) belum siap. Sel NK membunuh sel
yang dimasuki virus dan sel yang mengalami stress (hypoxia,injury)
atau sel yang bertranformasi (menjadi kanker) karena sel-sel
tersebut tidak menunjukkan fungsi yang normal (tidak sehat)
(Baratawidjaja, 2012).

2.5.2 Sistem Imun Spesifik

Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai


kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing
yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik.
Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk
tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh
karena itu, sistem tersebut disebut spesifik. Untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun
nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara sistem imun
nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen-fagosit-antibodi dan antara
makrofag-sel T (Baratawidjaja, 2012).

Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada
imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraseluler.
Pada imunitas seluler, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk
menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang
menghancurkan sel terinfeksi (Baratawidjaja, 2012).

a. Sistem Imun Spesifik Humoral

Pemeran utama dalam sisitem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B.
Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten disum-sum tulang.
Pada unggas, sel yang disebut bursal cell atau sel B yang berdiferensiasi menjadi sel

20
B yang matang dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang terletak dekat kloaka.
Pada manusia diferensiasi tersebut menjadi sum-sum tulang (Baratawidjaja 2012).

Sel yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas
dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap
infeksi ekstraselular, virusdan bakteri serta menetralkan toksinnya (Baratawidjaja,
2012).

Proses respon imun humoral dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh yang
dapat merangsang pembentukan antibodi, sehingga antibodi yang terbentuk dapat
masuk ke dalam peredaran darah dan cairan tubuh lainnya (antibodi humoral). Untuk
menimbulkan respon imun, sel B dan sel T harus saling berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Limfosit T yang bertanggung jawab atas respon imun selular terangsang
untuk memproduksi sejumlah zat yang diperlukan untuk memacu berbagai reaksi
imunitas, sedangkan aktifasi sel B mengakibatkan sel B berproliferasi dan
berdiferensiasi membentuk suatu klon dan beberapa sel efektor yang disebut sel
plasma. Selanjutnya sel plasma akan membentuk antibodi yang spesifik terhadap
hanya satu jenis antigen tertentu (Radji, 2015).

Ketika antibodi mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh maka akan terjadi
reaksi spesifik antara antigen dan antibodi sehingga terbentuk kompleks antigen-
antibodi melalui antigen binding site. Antibodi sendiri tidak dapat merusak antigen,
akan tetapi dengan pembentukan kompleks antigen antibodi tersebut akan dapat
dimusnahkan oleh sel-sel fagosit dan sistem komplemen (Radji, 2015).

b. Sistem Imun Spesifik Seluler

Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga
berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di
dalam sum-sum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar
timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus
tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus
untuk masuk ke dalam sirkulasi (Baratawidjaja, 2012).

21
Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai
hormon asli dan dapat mempengaruhi hormon asli dan dapat mempengaruhi
diferensiasi sel T di prifer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset sel
dengan fungsi yang berlainanyaitu sel CD4+ (Th1, Th2), CD8+ atau CTL atau Tc dan
Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah pertahanan
terhadap bakteri yang hidup intraseluer, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel CD4+
mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang menghancurkan
mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi (Baratawidjaja, 2012).

Gambar 2.11 Peranan sentral sel T penolong (Th) pada aktifitas proses imunitas

Mekanisme respon imun selular lebih kompleks dibandingkan respon imun


humoral. Setiap sel T hanya dapat berinteraksi secara spesifik dengan satu jenis
antigen yang terdapat pada permukaan sel yang disebut antigen presenting cell
(APC). Sel utama yang berperan sebagai APC adalah makrofag atau sel dendritik
(Radji, 2015).

Proses respon imun selular diawali dengan tertangkapnya mikroorganisme oleh


makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai APC, yang dapat menyajikan fragmen
antigen yang dapat dikenali oleh sel T. Sel T akan mengenali fragmen antigenik pada
APC, jika berikatan dengan suatu molekul tertentu yang merupakan komponen
molekul major histocompatibility complex (MHC) (Radji, 2015).

Sel T penolong (Th) berperan penting dalam respon imun selular. Sekali sel Th
diaktifkan oleh antigen, sel Th mengaktifkan sel-sel imun lainnya. Sel Th akan

22
berdiferensiasi menjadi 2 subpopulasi yaitu Th1 dan Th2, menghasilkan sitokin yang
spesifik. Senyawa sitokin diproduksi oleh sel Th1 umumnya dapat mengaktifkan sel-
sel yang berhubungan dengan respon imun selular antara lain sel makrofag, sel CD8,
dan sel NK, sedangkan sitokin yang dilepaskan sel Th2 dapat merangsang sel B untuk
memproduksi eosinofil, IgM, dan IgE (Radji, 2015).

Gambar 2.12 Mekanisme aksi sel T-sitotoksin untuk melisiskan sel yang terinfeksi
oleh virus

Gambar 2.13 Koordinasi antara respon imun humoral dan respon imun selular

23
2.5.3 Perbedaan Sistem Imun Non-Spesifik dan Spesifik

Perbedaan sifat-sifat sistem imun non spesifik dan spesifik

Non spesifik Spesifik

Resistensi Tidak berubah oleh infek- Membaik oleh infeksi ber-


si ulang (memori)

Spesifitas Umumnya efektif terha- Spesifik untuk mikroba yang


dap semua mikroba. sudah mensensitasi sebelum-
Spesifik untuk molekul nya. Sangat spesifik, mampu
dan pola molekular ber- membedakan perbedaan
hubungan dengan pato- minor dalam struktur
gen. Dapat menjadi berle- molekul, detil struktur
bihan mikroba atau non mikroba
dikenali dengan spesifitas
tinggi

Sel yang penting Fagosit, sel NK, TH, Tdth, Tc. Ts/Tr/Th3
monosit/makrofag,
neutrofil, baso-fil, sel Sel B
mast, eosinofil, sel
dendritik

Molekul yang pen- Lisozim, sitokin, kom- Antibodi, sitokin, mediator,


ting plemen, APP Lisozim, molekul adhesi
CRP, kolektinn, molekul
adhesi

Waktu respons Menit/jam Hari (lambat)

Selalu siap Tidak siap sampai terpajan


alergen

Pajanan Tidak perlu Harus ada pajanan sebelum-


nya

Diversitas Jumlah reseptor terbatas Reseptor sangat bervariasi,


jumlahnya banyak, terbentuk
oleh rekombinasi genetik

24
dari gen reseptor

Respons memori Tidak ada Memori menetap, respons


lebih cepat atau lebih besar
pada infeksi serupa berikut-
nya sehingga perlindungan
lebih baik pada pajanan
ulang

Diskriminasi selfi Sempurna, tidak ada pola Sangat baik, adakalanya hasil
nonself spesifik mikroba pada diskriminasi slfinonself gagal
pejamu (pada penyakit auto-imun)

Komponen cairan Banyak peptida antimikro- Antibodi


darah atau jaringan bial dan protein
yang larut

Protein darah Komplemen, lain-lain Limfosit

2.6 Kelainan Akibat Respon Imun


a. Hipersensitifitas
Hipersensitifitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan yang terjadi
pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen
atau alergen tertentu. Bila seseorang pernah terpapar dengan suatu antigen,
kemudian terpapar kembali untuk kedua kalinya, dapat menimbulkan respon imun
sekunder yang berlebihan atau tidak wajar sehingga menimbulkan reaksi yang
merugikan, menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuhnya (Radji, 2015).
b. Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun terjadi apabila seseorang kehilangan self-telorance,
sehingga sistem imunnya tidak mampu membedakan antara sel atau jaringan tubuh
sendiri (self) dengan sel atau jaringan asing (non-self), sehingga jaringan tubuh
dianggap sebagai antigen yang harus dimusnahkan. Pada penyakit ini terjadi reaksi
respon imun, baik respon selular berupa pengrusakan jaringan oleh limfosit T dan
makrofag, maupun respon imun humoral dengan pembentukan antibodi yang
ditujukan untuk jaringan tubuh sendiri dan disebut sebagai autoantibodi (Radji,
2015).

25
c. Imunodefisiensi
Imunodefisiensi atau imunokompromais ialah fungsi sistem imun yang
menurun atau tidak berfungsi dengna baik. Keadaan imunodefisiensi dapat terjadi
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain akibat infeksi (AIDS, virus
mononukleosis, rubela, campak), penggunaan obat (steroid, kemoterapi, serum
anti-limfosit), neoplasma dan penyakit hematologik, penyakit metabolik, trauma
dan tindakan bedah (Radji, 2015).
Berbagai mikroorganisme yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada
dalam tubuh penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau memiliki
patogenisitas rendah, dalam keadaan imunodefisiensi dapat menjadi invasif dan
menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang imunodefisiensi
mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap infesksi yang berasal dari tubuh
sendiri maupun secara nosokomial dibanding dengan yang tidak imunodefisiensi
(Radji, 2015).

2.7 Penyakit pada Sistem Imun


a. Human Immunodeficiency Virus
HIV merupakan retrovirus yang pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1980.
Seseorang yang telah terinfeksi HIV dapat tetap asimptomatis selama delapan
tahun atau lebih. Setelah itu, virus mulai menghancurkan sel T helper dan
berkembang dengan sangat cepat hingga 2-5 tahun. Jika tidak ditata laksana.
Ketika jumlah sel T menurun di bawah 200 sel/µL atau jika terjadi infeksi
oportunistik maka orang tersebut didiagnosis terkena AIDS (Nair, 2018) .
b. Limfoma Non-Hodgkin
NHL merupakan sekelompok tumor heterogen yang berasal dari jaringan limfoid,
terutama dari kelenjar getah bening. NHL berhubungan dengan sistem imun yang
terganggu atau defektif. Insiden penyakit ini lebih tinggi pada orang-orang yang
mendapatkan pengobatan imunosupresan untuk transplantasi organ, pengidap HIV,
dan pada orang dengan kondisi virus tertentu, seperti Epstein-Barr (Nair, 2018).
NHL dapat disebabkan oleh translokasi kromosom, infeksi, faktor lingkungan,
imunodefisiensi, dan inflamasi kronis. Karakteristik biokimia keganasan pada NHL
disebabkan oleh mutasi gen abnormal yang terjadi selama produksi, pematangan,
atau kerja limfosit (Nair, 2018).
c. Mononukelosis Infeksius / Deman Glandular
26
Sebagian besar kasus demam glandular disebabkan oleh Epstein-Barr Virus (EBV).
EBV ditularkan melalui kontak intim dengan sekret tubuh, terutama sekret
orofaring. EBV menginfeksi sel B pada epitel orofaring. EBV jarang dapat
ditularkan melalui transfusi darah. Sel B bersirkulasi menyebarkan infeksi pada
seluruh sistem endotel retikularis, yaitu hati, limpa, dan kelenjar getah bening
perifer. Infeksi EBV pada limfosit B menyebabkan respons humoral dan selular
terhadap virus (Nair, 2018).
Respons selular limfosit T bersifat signifikan dalam mempengaruhi ekspresi klinis
infeksi virus EBV. Respons sel T yang cepat dan efisien menghasilkan kontrol
terhadap infeksi EBV primer serta supresi EBV seumur hidup. Respons sel T yang
tidak efektif dapat menyebabkan proliferasi sel B yang berlebihan dan tidak
terkontrol, menyebabkan keganasan limfosit B (misalnya limfoma sel B) (Nair,
2018).

27
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
1. Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang kompleks yang
memberikan perlindungan terhadap adanya invasi zat-zat asing kedalam tubuh.
2. Sistem imun memberi perlindungan dan membuat kita resisten atau kebal
terhadap infeksi yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, membuang dan
mendestruksi sel-sel yang rusak atau mati, serta mengidentifikasi dan
mendestruksi sel-sel maligna, sehingga membantu mencegah terjadinya
perkembangan lebih lanjut menjadi tumor.
3. Sel-sel dalam sistem imun terdiri dari sel mieloid (neutrofil, basofil, eosinofil,
makrofag, dan sel dendrit) juga sel limfoid (limfosit B, limfosit T, dan sel
pembunuh alami atau natural killer).
4. Organ yang berperan dalam sistem imun antara lain tonsil dan adenoid, kelenjar
timus, kelenjar limfe, limpa, pembuluh limfe, bercak peyer pada usus halus,
apendiks dan sumsum tulang.
5. Sistem imun terbagi menjadi 2 jenis yaitu sistem imun non-spesifik dan sistem
imun spesifik.
6. Kelainan yang terjadi akibat respon imun di dalam tubuh ada 3 yaitu
hipersensitifitas, autoimun, dan imunodefisiensi.
7. Penyakit-penyakit yang dapat menyerang sistem imun diantaranya adalah HIV
atau Human Immunodeficiency Virus, Limfoma Non-Hodgkin, dan
Mononukelosis Infeksius / Deman Glandular.

3.2.Saran
Penulisan makalah ini belum sempurna untuk itu kami sebagai penulis
mengharapkan kritikan positif yang membangun demi menyempurnakan makalah ini,
semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

28
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, Philip I.&Ward, Jeremy P.T.2010.At a Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta :


Erlangga.

Baratawidjaja, KG.& Rengganis, I. 2012.Imunologi Dasar Edisi 10. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitras Indonesia

Brecnick, S. 2003.Intisari Biologi. Jakarta : Hipokrates.

Mehta, A.&Hoffbrand, V. 2008.At a Glance Hematologi Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.

Nair, M.& Peate, I. 2018.At a Glance Patofisiologi. Jakarta : Erlangga.

Peate, I. & Nair, M. 2018. At a Glance Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : Erlangga.

Radji, M. 2015.Imunologi dan Virologi. Jakarta : ISFI Penerbitan.

Sherwood, L. 2010.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta : EGC.

29
LAMPIRAN
Aaronson, Philip I.& Ward, Jeremy P.T. 2010. At a Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta :
Erlangga.

30
31
Baratawidjaja, KG.& Rengganis, I. 2012. Imunologi Dasar Edisi 10. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitras Indonesia.

32
33
34
Brecnick, S. 2003. Intisari Biologi. Jakarta : Hipokrates.

35
36
Mehta, A. &Hoffbrand, Victor. 2008. At a Glance Hematologi Edisi Kedua. Jakarta :
Erlangga

37
38
Nair, M. & Peate, I. 2018. At a Glance Patofisiologi. Jakarta : Erlangga.

39
40
Peate, I. & Nair, M. 2018. At a Glance Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : Erlangga.

41
42
Radji, M. 2015. Imunologi dan Virologi. Jakarta : ISFI Penerbitan.

43
44
45
46
47
Sherwood, L. 2010. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta : EGC.

48
49

Anda mungkin juga menyukai