Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia (Casarett
and Doulls, 1995). Selain itu, toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/cedera
pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi
substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme
terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan
terhadap organisme. Banyak sekali peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari
tetapi bila dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan
ekotoksikologi.
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hampir sama
maknanya ini sering kali menjadi perdebatan. Toksikologi lingkungan adalah ilmu
yang mempelajari racun kimia dan fisik yang menghasilkan dari suatu kegiatan dan
menimbulkan pencemaran lingkungan (Cassaret, 2000) dan ekotoksikologi adalah
ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada makhluk hidup, khususnya
populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya agen dan
interaksi dengan lingkungan (Butler, 1978). Dengan demikian, ekotoksikologi
merupakan bagian dari toksikologi lingkungan.
Kebutuhan akan toksikologi lingkungan meningkat ditinjau dari proses
modernisasi dan proses industrialisasi. Proses modernisasi yang akan menaikkan
konsumsi sehingga produksi juga harus meningkat, dengan demikian industrialisasi
dan penggunaan energi akan meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko
toksikologis. Sedangkan proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia,
fisika, biologi yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat
yang meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas
lingkungan yang mengakibatkan risiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga
akan meningkat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian toksikologi dan racun?
2. Apa saja jenis-jenis racun?
3. Bagaimana model masuk dan daya keracunan pada toksikologi?
4. Sasaran organ apa yang diserang dalam keracunan?
5. Pengertian obat dan obat tradisional?
6. Jenis dan sumber obat tradisional?
7. Komposisi dan persyaratan obat tradisional?
8. Regulasi obat dan perbekalan kesehatan perubahan sosial dan budaya?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian toksikologi dan racun
2. Mengetahui jenis-jenis toksikologi
3. Mengetahui model masuk dan daya keracunan pada toksikologi
4. Mengetahui sasaran organ yang di serang dalam keracunan
5. Mengetahui pengertian obat dan pengobatan
6. Mengetahui jenis dan sumber obat tradisional
7. Mengetahui pengembangan obat tradisional di Indonesia
8. Mengetahui komposisi dan persyaratan obat tradisional
9. Mengetahui regulasi obat dan perbekalan kesehatan dan perubahan sosial dan
budaya
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TOKSIKOLOGI DAN RACUN


Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia
terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia juga dapat membahas
penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan
terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-
zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian
secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya.
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan
dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk
biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan
lama waktu yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama yang
mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan)
terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan
frekuensi pemaparan.
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi
dalam empat kategori : akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia,
pemaparan akut biasanya terjadi karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan
pemaparan kronik dialami oleh para pekerja terutama di lingkungan industri-industri
kimia.
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari
dua atau lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu
respons yang mungkin bersifat adiktif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik.
Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk
hubungan korelasi yang dikenal dengan hubungan dosis-respons.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai
zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi
tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis,
konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme
atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang
ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu
untuk mengidentifikasi mekanisme biologi dimana efek berbahaya itu timbul.
Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi
pada suatu organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
mempertimbangkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh karena itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan
pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi dimana efek
berbahaya itu terjadi.
Pada umunya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi
antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek
yang harus diperhatikan dalam mempelajari interaksi antara zat kimia dengan
organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik
/ toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik /
toksokinetik).
Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat
ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya), artinya kehadiran suatu
zat yang berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga
keracunan. Misalnya insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan
menimbulkan efek yang mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan karena
konsentrasi tersebut berada jauh dibawah konsentrasi minimal efek pada manusia.
Namun sebaliknya, apabila kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif lama,
dimana telah diketahui bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai di lingkungan dan
sangat lipofil, akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam
waktu relatif lama. Karena sifat fisiko 3 kimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan
terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga apabila
batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik. Efek atau
kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis.
Toksin Clostridium botulinum, adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam
konsentrasi yang sangat rendah (10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat mengakibatkan
efek kematian. Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi
10 g. Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan dalam satu periode 24 jam
adalah 4 g untuk orang dewasa dan 90mg/kg untuk anak-anak. Namun, pada
penggunaan lebih dari 7 g pada orang dewasa dan 150 mg/kg pada anak-anak akan
menimbulkan efek toksik.
Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya
sendiri, tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah
yang masuk dan diarbsorpsi. Dengan kata lain, tergantung dengan cara kerja,
frekuensi kerja dan waktu kerja. Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan
sesuatu tokson tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua kerja
dari suatu obat yang tidak mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat yang
sebenarnya, dapat dinyatakan sebagai kerja toksik.
Kerja medriatik (pelebaran pupil), dari sudut pandang ahli, maka merupakan efek
terapi yang diinginkan, namun kerja hambatan sekresi, dilihat sebagai kerja samping
yang tidak diinginkan. Bila seorang ahli penyakit dalam menggunakan zat yang sama
untuk terapi, lazimnya keadaan ini menjadi terbalik. Pada seorang anak yang tanpa
menyadari telah memakan buah Atropa belladonna, maka mediaris maupun mulut
kering harus dilihat sebagai gejala keracunan. Oleh sebab itu, ungkapan kerja terapi
maupun kerja toksik tidak pernah dinilai secara mutlak. Hanya tujuan penggunaan
suatu zat yang mempunyai kerja farmakologi dan dengan demikian sekaligus
berpotensial toksik, memungkinkan untuk membedakan apakah kerjanya sebagai obat
atau sebagai zat racun.
Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru.
Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan
Ianata, yaitu diperoleh antikuagulan yang bekerja tidak langsung, yang diturunkan
dari zat racun yang terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor
asetilkonilesterase jenis ester fosfat, pada mulanya dikembangkan sebagai zat kimia
untuk perang, kemudian digunakan sebagai insektisida dan kini juga dipakai untuk
menangani glaukoma.
Toksikologi modern merupakan bidang yang didasari oleh multi disiplin ilmu, ia
dapat dengan bebas meminjam beberapa ilmu dasar, guna mempelajari interaksi
antara tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan. Ilmu toksikologi ditunjang
oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika. Kimia analisis
dibutuhkan untuk mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan dengan reseptor
sehingga dapat memberikan efek toksik.

Bidang ilmu biokimia diperlukan guna mengetahui informasi penyimpangan


reaksi kimia pada organisme yang diakibatkan oleh xenobiotika. Perubahan biologis
yang disebabkan oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi,
imunologi dan fisiologi. Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia pada
suatu sel, jaringan atau organisme memerlukan dukungan ilmu patologi, yaitu dalam
menunjukkan wujud perubahan / penyimpangan kasar, mikroskopi, atau
penyimpangan submikroskopi dari normalnya. Perubahan biologi akibat paparan
tokson dapat termanifestasi dalam bentuk perubahan sistem kekebalan (imun) tubuh,
untuk itu diperlukan bidang ilmu imunologi guna lebih dalam mengungkap efek
toksik pada sistem kekebalan organisme.
Mengadopsi konsep dasar yang dikemukakan oleh Paracelcius, manusia
menggolongkan efek yang ditimbulkan oleh tokson menjadi konsentrasi batas
minimum memberikan efek, daerah konsentrasi dimana memberikan efek yang
menguntungkan (efek terapeutik, lebih dikenal dengan efek farmakologi), batas
konsentrasi dimana sudah memberikan efek berbahaya (konsentrasi toksik), dan
konsentrasi tertinggi yang dapat menimbulkan efek kematian. Agar dapat menetapkan
batasan konsentrasi ini, toksikologi memerlukan dukungan ilmu analisis kimia,
biokimia, maupun kimia instrmentasi, serta hubungannya dengan biologi. Ilmu
statistik sangat diperlukan oleh toksikologi dalam mengolah, baik data kualitatif
maupun data kuantitatif yang nantinya dapat dijadikan sebagai besaran ekspresi
parameter-parameter angka yang mewakili populasi.
Bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi adalah farmakologi, karena ahli
farmakologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi juga efek
berbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi. Farmakologi pada
umumnya menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik, hubungan dosis respon dari
suatu tokson.
B. JENIS-JENIS TOKSIKOLOGI
1. Toksikologi Deskriptif
Melakukan uji toksisitas untuk mendapat informasi yang digunakan untuk
mengevaluasi resiko yang timbul oleh bahan kimia terhadap manusia dan
lingkungan.
2. Toksikologi Mekanistik
Menentukan bagaimana zat kimia menimbulkan efek yang merugikan pada
organisme hidup.
3. Toksikologi Regulatif
Menentukan apakah suatu obat mempunyai resiko yang rendah untuk dipakai
sebagai tujuan terapi.
4. Toksikologi Forensik
Mempelajari aspek hukum kedokteran akibat penggunaan bahan kimia
berbahaya dan membantu menegakkan diagnosa pada pemeriksaan postmortem.
5. Toksikologi Klinik
Mempelajari gangguan yang disebabkan substansi toksik, merawat penderita
yang keracunan dan menemukan cara baru dalam penanggulangannya.
6. Tahapan Kerja
Mempelajari bahan kimia pada tempat kerja yang membahayakan pekerja
dalam proses pembuatan, transportasi, penyimpanan maupun penggunaannya.
7. Toksikologi Lingkungan
Mempelajari dampak zat kimia yang berpotensi merugikan sebagai polutan
lingkungan.
8. Ekotoksikologi
Mempelajari efek toksik zat kimia terhadap populasi masyarakat.
9. Toksikologi Eksperimental
Pemakaian obat secara kronik (anti hipertensi, obat TBC, kontrasepsi), harus
disertai data karsinogenik dan teratogenik dari obat tersebut.
C. MODEL MASUK DAN DAYA KERACUNAN
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit,
atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil, dapat mengakibatkan
cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia (Brunner & Suddarth, 2001). Arti lain
dari racun adalah suatu bahan dimana ketika diserap oleh tubuh organisme makhluk
hidup akan menyebabkan kematian atau perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat
diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute lainnya.
Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lamban, atau secara kumulatif.
Keracunan dapat diartikan sebagai setiap keadaan yang menunjukkan kelainan
multisistem dengan keadaan yang tidak jelas (Arif Mansjor, 1999). Keracunan melalui
inhalasi (pengobatan dengan cara memberikan obat dalam bentuk uap kepada pasien
langsung melalui alat pernapasannya) dan menelan materi toksik, baik karena
kecelakaan dan karena kesengajaan merupakan kondisi bahaya.
Jenis-jenis keracunan (FK-UI, 1995) dapat dibagi berdasarkan :
1. Cara terjadinya, terdiri dari :
a. Self poisoning
Pada keadaan ini, pasien meminum obat dengan dosis yang berlebih tetapi
dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Pasien tidak
bermaksud bunuh diri, tetapi hanya untuk mencari perhatian saja.
b. Attempted suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir dengan
kematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis yang dipakai.
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya faktor kesengajaan.
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal, yaitu seseorang dengan sengaja meracuni
orang lain.
2. Waktu terjadinya, yaitu :
a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan. Gejala
dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis relatif
kecil. Ciri khasnya adalah zat penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan
waktu paruh lebih panjang sehingga terjadi akumulasi. Keracunan ini
diakibatkan oleh keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus
menerus dan efeknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu,
bulan, atau tahun). Misalnya, menghirup uap benzena dan senyawa
hidrokarbon terklorinasi (seperti Kloroform, karbon tetraklorida) dalam kadar
rendah tetapi terus menerus akan menimbulkan penyakit hati (lever) setelah
beberapa tahun. Uap timbal akan menimbulkan kerusakan dalam darah.
b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai banyak
orang (pada keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau penduduk
sekampung) gejalanya seperti sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi, dan
koma. Keracunan ini juga karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang
akibatnya dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu pendek. Contohnya,
keracunan fenol menyebabkan diare dan gas CO dapat menyebabkan hilang
kesadaran atau kematian dalam waktu singkat.
3. Menurut alat tubuh yang terkena
Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang terkena. Contohnya
racun hati, racun ginjal, racun SSP, dan racun jantung.
4. Menurut jenis bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang sama,
misalnya golongan alkohol, fenol, logam berat, organoklorin dan sebagainya.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi),
melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking dan
laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan yaitu keracunan yang disebabkan
oleh perubahan kimia (fermentasi) dan pembusukan karena kerja bakteri (daging
busuk) pada bahan makanan, misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung
asam sianida (HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang maupun
kepiting, dan keracunan juga disebabkan karena penyalahgunaan zat yang terdiri
dari penyalahgunaan obat simultan (Amphetamine), depresan (Barbiturate) atau
halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alkohol.
Racun yang menyebabkan keracunan dan simptomatisnya :

Asam kuat (nitrit, hidroklorid, sulfat) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan hidung
Kebiruan *gelap* pada kulit wajah dan
Anilin (hipnotik, notrobenzen)
Leher
Asenik (metal arsenic, mercuri,
tembaga, Umumnya seperti diare
dll)
Atropine (belladonna), Skopolamin Dilatasi pupil
Basa kuat (potassium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Kematian yang cepat, kulit merah, dan
Sianida
bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih

Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”


Kejang “konvulsi”, muka dan leher
Striknin kebiruan “gelap”

Jika kita sehari-hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita sadar dan tahu
bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun, sedangkan untuk
bahaya pada kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat kimia yang masuk ke
dalam tubuh.

Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang setiap hari kita
konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, jika kita
terlalu banyak mengonsumsinya, maka akan membahayakan kesehatan.
Demikian juga obat lainnya, akan menjadi sangat bermanfaat pada dosis tertentu,
jangan terlalu banyak ataupun sedikit, lebih baik berdasarkan resep dokter.

Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh, yaitu :
1) Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini
sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung
menggunakan mulut atau makan dan minum di laboratorium.
2) Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah
aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.
3) Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap melalui
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan
yang terjadi. SO2 (sulfur oksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat
pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera
masuk ke dalam darah dan terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh.
4) Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
5) Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervagina) (Idris, 1985)
Daya keracunan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik, dan lain-lain
1. Super toksik
Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen Oranye,
Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat toksik
Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat.
3. Cukup toksik
Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4. Kurang toksik
Benzene hexaclhoride (BHC)

Dalam obat-obatan, penggolongan daya racun yaitu :

No. Kriteria Toksik Dosis


1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB
6. Praktis Non Toksik < 5 MG/KG BB
D. SASARAN ORGAN YANG DISERANG
Untuk mengerahkan efek toksik, agen harus dapat mencapai jaringan rentan,
organ, sel, atau kompartemen seluler sub atau struktur dalam konsentrasi yang cukup
pada waktu yang memadai pula. Artinya, suatu paparan atau dosis yang tepat
diperlukan. Dosis kecil alkohol tidak akan ada pengaruhnya, tetapi dosis besar selama
waktu yang lama dapat mempengaruhi organ rentan seperti hati dan akhirnya
menyebabkan sirosis. Dosis optimal dari parasetamol akan menghilangkan rasa sakit,
tetapi dosis yang melebihi jumlah ini dapat menyebabkan kerusakan hati. Di sisi lain,
jumlah yang jauh lebih rendah daripada dosis yang optimal tidak akan memberikan
pengaruh sama sekali.
Gangguan toksik (keracunan) dari bahan kimia terhadap tubuh berbeda-beda.
Misalnya CCL4 dan benzene dapat menimbulkan kerusakan pada hati, metal isosianat
dapat menyebabkan kebutaan dan kematian, senyawa merkuri dapat menimbulkan
kelainan genetik atau keturunan, dan banyak senyawa organik yang mengandung
cincin benzene, senyawa nikel dan krom dapat bersifat karsinogenik atau penyebab
kanker.
Gangguan-gangguan diatas sangat tergantung pada kondisi kesehatan orang yang
terpapar. Kondisi badan yang sehat dan makanan yang bergizi akan mudah mengganti
kerusakan sel-sel akibat keracunan. Sebaliknya kondisi badan yang kurang gizi akan
sangat rawan terhadap keracunan.
Dalam sebuah buku forensik medis yang ditulis oleh JL Casper, racun diklarifikasikan
menjadi 5 golongan, yaitu :
1) Racun iritan, yaitu racun yang menimbulkan iritasi dan radang. Contohnya asam
mineral, fungsi beracun, dan preparasi arsenik.
2) Racun penyebab hiperemia, racun narkotik, yang terbukti dapat berakibat fatal
pada otak, paru-paru, dan jantung. Contohnya opium, tembakau, konium,
dogitalis, dll.
3) Racun yang melumpuhkan saraf, dengan meracuni darah, organ pusat saraf dapat
lumpuh dan menimbulkan akibat yang fatal seperti kematian tiba-tiba. Contohnya
asam hidrosianat, sianida seng, dan kloroform.
4) Racun yang menyebabkan marasmus, biasanya bersifat kronis dan dapat berakibat
fatal bagi kesehatan secara perlahan. Contohnya bismut putih, asap timbal,
merkuri, dan arsenik. Marasmus adalah salah satu bentuk kekurangan gizi yang
buruk dan paling sering ditemui pada balita. Penyebabnya antara lain karena
masukan makanan yang sangat kurang, infeksi, pembawaan lahir, prematuritas,
penyakit anak berusia 0-2 tahun dengan gambaran sbb : berat badan kurang dari
60% berat badan sesuai dengan usianya, suhu tubuh bisa rendah karena lapisan
penahan panas hilang, dinding perut hipotonus dan kulitnya melonggar hingga
hanya tampak bagai tulang terbungkus kulit, tulang rusuk tampak lebih jelas atau
tulang rusuk terlihat lebih menonjol, anak menjadi berwajah lebih lonjong dan
tampak lebih tua (old man face), otot-otot melemah, artropi, bentuk kulit
berkeriput bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan, perut cekung sering
disertai diare kronik (terus-menerus) atau susah buang air kecil.
5) Racun yang menyebabkan infeksi (racun septik), dapat berupa racun makanan
yang pada keadaan tertentu menimbulkan sakit Pyaemia dan Tipus pada hewan
ternak.

Racun dapat dikelompokkan atas dasar organ yang diserangnya. Klasifikasi ini
digunakan oleh para ahli superspesialis organ target tersebut. Dalam klasifikasi ini,
racun dinyataka sebagai racun yang :

 Hepatotoksik atau beracun bagi hepar/hati


 Nefrotoksik atau beracun bagi nefron/ginjal
 Neurotoksik atau beracun bagi neuron/saraf
 Hermatotoksik atau beracun bagi darah/sistem pembentukan sel darah
 Pneumotoksik atau beracun bagi pneumon/paru-paru

Klasifikasi atas dasar organ target ini sering digunakan karena sifat kimai-fisika racun
yang berbeda dengan racun biologis ataupun kuman patogen.

 Racun pada sistem saraf pusat (neurotoksik)


Beberapa substansi dapat mengganggu respirasi sel, dapat menyebabkan
gangguan ventilasi paru-paru atau sirkulasi otak yang dapat menjadikan
kerusakan irreversible dari saraf pusat. Substansi itu antara lain : etanol,
antihistamin, bromide, kodein.
 Racun jantung (kardiotoksik)
Beberapa obat dapat menyebabkan kelainan ritme jantung sehingga dapat
terjadi payah jantung atau henti jantung.
 Racun hati (hepatotoksik)
Hepatotoksik menyebabkan manifestasi nekrosis lokal ataupun sistemik.
Dengan hilangnya sebagian sel hati, menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap
aksi biologi senyawa lain. Kelainan hati lain yang sering ditemui adalah
hepatitis kholestatik.
Penggolongan Agen-Agen Toksis
Zat-zat toksis digolongkan dengan cara-cara yang bermacam-macam tergantung
pada minat dan kebutuhan dari yang menggolongkannya. Sebagai contoh, zat-zat toksis
dibicarakan dalam kaitannya dengan organ-organ sasaran dan dikenal sebagai racun
liver, racun ginja penggunaannya dikenal sebagai pestisida, pelarut, bahan adiktif pada
makanan dll. Jika dihubungkan ke sumbernya dikenal sebagai toksin binatang dan
tumbuhan jika dikaitkan dengan efek-efek, mereka dikenali sebagai karsinogen,
mutagen, dan seterusnya. Agen-agen toksis bisa juga digolongkan berdasarkan :

 Sifat fisik : gas, debu, logam-logam, radiasi, panas, debu, getaran dan suara
 Kebutuhan pelabelan : mudah meledak, mudah terbakar, pengoksidir
 Kimia : turunan-turunan anilin, hidrokarbon dihalogenasi dan seterusnya
 Daya racunnya : sangat-sangat toksik, sedikit toksik, dll.

Penggolongan agen-agen toksik atas dasar mekanisme kerja biokimianya


(inhibitor-inhibitor sulfhidril, penghasil met Hb) biasanya lebih memberi penjelasan
dibanding penggolongan oleh istilah-istilah umum seperti iritasi dan korosif, tetapi
penggolongan-penggolongan yang lebih umum seperti pencemar udara, agen yang
berhubungan dengan tempat kerja, dan racun akut dan kronis dapat menyebabkan satu
sentral yang berguna atas satu masalah khusus.

Agen kimia dapat berupa alami ataupun sintetik. Bahan kimia sintetik
dikategorikan ke dalam beberapa kelas, biasanya terkait dengan kegiatan atau termasuk
paparan zat farmasi, bahan tambahan makanan, pestisida, bahan kimia industri, dan
bahan kimia dalam negeri. Bahan kimia alami meliputi berbagai zat yang biasanya
ditemukan di lingkungan, seperti arsenik, timbal dan biologi berasal dari tumbuhan,
hewan atau racun mikrobiologi. Contoh racun hewan adalah racun-racun yang
dihasilkan oleh berbagai spesies hewan darat dan laut, seperti platypuses, ular, laba-
laba, lebah dan ikan batu. Botulinum toksin dan enterotoksin stafilokokal adalah contoh
dari racun mikroba, sedangkan aflatoksin adalah contoh dari racun jamur.
Pre-kondisi untuk efek toksik

Untuk mengerahkan efek toksik, agen harus dapat mencapai jaringan rentan,
organ, sel, atau kompartemen selular sub atau struktur dalam konsentrasi yang cukup
pada waktu yang memadai. Artinya, suatu paparan atau dosis yang tepat diperlukan.
Dosis kecil alkohol tidak akan ada pengaruhnya, tetapi dosis besar selama waktu yang
lama dapat mempengaruhi organ rentan seperti hati dan akhirnya menyebabkan sirosis.
Dosis optimal dari parasetamol akan menghilangkan rasa sakit, tetapi dosis yang
melebihi jumlah ini dapat menyebabkan kerusakan hati. Di sisi lain, jumlah yang jauh
lebih rendah daripada dosis yang optimal tidak akan memberikan pengaruh sama sekali.

Sasaran Organ

 Kepekaan organ
Neuron dan otot jantung sangat bergantung pada adenosis trifosfat (ATP), yang
dihasilkan oleh oksidasi mitokondria, kapasitasnya dalam metabolisme
anaerobik juga kecil, dan ion bergerak dengan cepat melalui membran sel. Maka
jaringan itu sangat peka terhadap kekurangan oksigen yang timbul karena
gangguan sistem pembuluh darah atau hemoglobin (misalnya keracunan CO).
Sel-sel yang membelah cepat, seperti sel-sel di sumsum tulang belakang dan
mukosa usus sangat peka terhadap racun yang mempengaruhi pembelahan sel.
 Penyebaran
Saluran napas dan kulit merupakan organ sasaran bagi toksikan yang berasal
dari industri dan lingkungan, karena disinilah terjadi penyerapan. Berdasarkan
satuan berat, volume darah di hati dan ginjal paling tinggi. Akibatnya mereka
paling banyak terpajan toksikan. Lagipula, fungsi metabolisme dan eksresi pada
kedua organ ini lebih besar, sehingga keduanya lebih peka terhadap toksikan.
 Ambilan selektif
Beberapa sel tertentu mempunyai afinitas yang tinggi terhadap zat kimia
tertentu. Contohnya pada saluran napas, sel-sel apitel alveolus tipe I dan II yang
mempunyai sistem ambilan aktif untuk poliamin endogen, akan menyerap
parakuat, yang struktur kimianya mirip. Proses ini dapat menyebabkan
kerusakan jaringan alveoli walaupun parakuat masuk secara oral.
 Biotransformasi
Akibat bioaktivasi, terbentuk metabolik yang reaktif. Proses ini biasanya
membuat sel-sel di dekatnya menjadi lebih rentan. Karena merupakan tempat
utama biotransformasi, hati rentan terhadap pengaruh bermacam-macam
toksikan.
Untuk beberapa toksikan, bioaktivasi pada tempat-tempat tertentu
mempengaruhi efeknya. Contohnya berbagai insektisida organofosfat, seperti
paration. Mereka terutama mengalami bioaktivasi di hati, namun banyaknya
enzim detoksikasi di tempat itu serta banyaknya tempat pengikatan yang reaktif,
mencegah munculnya tanda-tanda keracunan yang nyata. Di sisi lain, jaringan
otak memiliki enzim-enzim bioaktivasi yang jauh lebih sedikit, akan tetapi
karena bioaktivasi tersebut terjadi di dekat tempat sasaran yang kritis, yakni
sinaps, manifestasi toksik yang paling menonjol dalam kelompokan toksikan ini
tampak pada sistem saraf.

 Mekanisme pemulihan
Suatu toksikan dapat mempengaruhi organ tertentu akibat tidak adanya
mekanisme pemulihan. Contohnya MNU menyebabkan berbagai tumor pada
tikus terutama di otak, kadang-kadang di ginjal, tetapi tidak di hati.

E. PENGERTIAN
1. Obat Tradisional
Obat tradisional adalah obat yang dibuat dari bahan atau paduan bahan-bahan
yang diperoleh dari tanaman, hewan, atau mineral yang belum berupa zat murni.
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman (Ditjen POM, 1999). Sediaan galenik adalah hasil ekstraksi bahan atau
campuran bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Obat tradisional
sering dipakai untuk pengobatan penyakit yang belum ada obatnya yang
memuaskan seperti penyakit kanker, penyakit virus termasuk AIDS dan penyakit
generatif, serta pada keadaan tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Suatu zat merupakan obat bila dalam pengobatan atau eksperiman sudah
diperoleh informasi, diantaranya tentang (B. Zulkarnaen, 1999) :
a. Hubungan dosis dan efek (dose – effect – relationship), selain dari hanya
diketahui adanya suatu efek.
b. Absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi zat tersebut.
c. Tempat zat tersebut bekerja (site of action).
d. Cara bekerja (mechanism of action).
e. Hubungan struktur dan respon (structure – respons relationship)
Informasi tentang lima hal diatas diperlukan dan dievaluasi dalam menilai
suatu obat. Penisilin umpamanya sudah diketahui bahwa besar responsnya
berkaitan erat dengan besar dosis, ia diketahui kapan mencapai kadar efektif dalam
darah manusia dan dalam bentuk apa sisa penisilin diekskresi. Diketahui pula pada
bagian apa dari kuman penisilin bekerja, serta bagaimana bekerjanya dan diketahui
pula hubungan kerja dengan struktur molekul penisilin. Informasi seperti ini
dipunyai obat modern yang dipasarkan, sementara kurangnya informasi
menyebabkan suatu obat tidak dapat diedarkan sebagai obat.
Untuk memperoleh informasi di atas, diperlukan penelitian, tenaga, dana dan
waktu yang sangat banyak. Diperkirakan dari ditemukannya suatu obat, dibutuhkan
sekitar 25 tahun, sebelum suatu zat diperbolehkan beredar sebagai obat. Penelitian
berkenaan dengan hal di atas dimulai dari penapisan tahap pertama, yaitu :
a. Penentuan toksitas dan pengaruh terhadap gelagat (behavior).
b. Pengaruh zat terhadap tekanan darah dan semua percobaan yang ada kaitannya
dengan tekanan darah.
c. Pengaruh zat terhadap organ-organ terisolasi yang kemudian diikuti dengan
ratusan percobaan untuk melengkapi informasi yang diperlukan.
Tiga jenis penapisan ini banyak memberikan arah penelitian dan sifat bahan
yang diteliti, mulai dari pengaruh terhadap Susunan Saraf Pusat (SSP), Susunan
Saraf Otonom (SSO), respirasi, relaksan otot, dan sebagainya.
Pada tabel di bawah ini, dapat dilihat daftar beberapa tanaman obat yang
mempunyai prospek pengembangan yang potensial.

Tabel 1.

Tanaman Obat Fitofarmaka yang Prospektif


No Tanaman Obat Bagian Indikasi potensi
tanaman obat
1. Temulawak (Curcuma Umbi Hepatitis, artritis
Xantorrhiza
2. Kunyit ( Curcuma Umbi Hepatitis, arthritis, antiseptik
demostica Val )
3. Bawang Putih Umbi Kandidiasis, hiperlipidemia
(Allium sativum
Lynn)
4. Jati Blanda (Guazuma Daun Anti hiperlipidemia
ulmitblia Lamk)
5. Handeuleum (Daun Daun Hemoroid
ungu) (Gratophyllum
picium Griff
6. Tempuyung (Sonchus Daun Nefrolitiasis, diuretik
arvensis Linn)
7. Kejibeling Daun Nefrolitiasis, diuretik
(Strobilanthes cripus
BJ)
8. Labu merah Biji Taeniasis
(Cucurbita moschata
Durch)
9. Katuk (Sauropus Daun Meningkatkan produksi ASI
androgynus Merr)
10. Kumis kucing Daun Diuretik
(Orthosiphon
stamineus Benth)
11. Seledri (Apium Daun Hipertensi
graveolena Linn)
12. Pare (Momordica Buah biji Diabetes mellitus
charantia Linn)
13. Jambu biji (Klutuk) Daun Diare
(Psidium guajava
Linn)
14. Ceguk (wudani) Biji Askariasis,oksiurtasis
(Quisqualis indica
Linn)
15. Jambu mede Daun Analgesik
(Anacardium
occidentale)
16. Sirih (Piper betle Daun Antiseptik
Linn)
17. Saga tekik (Abrus Daun Stomatitis attosa
precatorius Linn)
18. Sabung (Blumca Daun Analgesik, antipiretik
balsamitera D.C)
19. Benalu the (Loranthus Batang Ahli kanker
spec, div)
20. Pepaya (Carica Getah daun Sumber papain, Anti malaria,
papaya Linn) biji Kontrasepsi pria
21. Butrawali (Tinospora Batang Anti malaria, Diabetes mellitus
rumphii Boerl)
22. Pegagan (kaki Daun Diuretika,antishipertensieptic,anti
kuda)(Centella keloid,
asiatica Urban)
23. Legundi (Vitcx Daun Antiseptik
trifolia Linn)
24. Inggu (Ruta Daun Analgesik, antipiretik
graveolens Linn)
25. Sidowajah Daun Antiseptik, diuretika
(Woodfordia
floribunda Salibs)
26. Pala (Myristica Buah Sedatif
fragrans Houtt)
27. Sambilata Seluruh Antiseptik,diabetes mellitus
(Adrographis tanaman daun
paniculata Nees)
28. Jahe (Halia) ( Umbi Analgesik, Antipiretik,
Zingibers officinale antiinflamasi
Linn)
29. Delima putih (Punica Kulit buah Antiseptik, antidiare
granalum Linn)
30. Dringo (Acorus Umbi Sedatif
calamus Linn)
Jeruk ninja (Citrus Buah Antibatuk.
31. aurantifolia Svviqk)

2. Pengobatan tradisional
Pengobatan tradisional adalah suatu upaya kesehatan dengan cara lain dari
ilmu kedokteran dan berdasarkan pengetahuan yang diturunkan secara lisan maupun
tulisan yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia. WHO menyatakan
pengobatan tradisional ialah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan dari
pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah
ataupun tidak, dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadap
ketidakseimbangan fisik, mental ataupun sosial.
Jenis pengobatan tradisional di Indonesia
Berbagai jenis dan cara pengobatan tradisional terdapat dan dikenal di
Indonesia. Ada yang asli Indonesia dan ada pula yang berasal dari luar negeri.
Secara garis besar, ada 4 jenis pengobatan tradisional, yaitu :
1. Pengobatan tradisional dengan ramuan obat
 Pengobatan tradisional dengan ramuan asli Indonesia
 Pengobatan tradisional dengan ramuan obat Cina
 Pengobatan tradisional dengan ramuan obat India
2. Pengobatan tradisional spiritual/kebatinan
 Pengobatan tradisional atas dasar kepercayaan
 Pengobatan tradisional atas dasar agama
 Pengobatan dengan dasar getaran magnetis
3. Pengobatan tradisional dengan memakai peralatan/perangsangan
 Akupuntur, pengobatan atas dasar ilmu pengobatan tradisional Cina
yang menggunakan penusukan jarum dan penghangatan moxa (Daun
Arthmesia vulgaris yang dikeringkan)
 Pengobatan tradisional urut pijat
 Pengobatan tradisional patah tulang
 Pengobatan tradisional dengan peralatan (tajam/keras)
 Pengobatan tradisional dengan peralatan benda tumpul
4. Pengobatan tradisional yang telah mendapat pengarahan dan pengaturan
pemerintah
 Dukun beranak
 Tukang gigi tradisional
F. JENIS DAN SUMBER OBAT TRADISIONAL
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
(Dirjen POM) yang kemudian beralih menjadi Badan POM mempunyai tanggung
jawab dalam peredaran obat tradisional di masyarakat. Obat tradisional di Indonesia
semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan
fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan
peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu
maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun,
pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan penelitian sampai
dengan uji klinik. Dengan keadaan tersebut, maka obat tradisional dikelompokkan
menjadi 3, yaitu :
1. Jamu (Empirical bused herbal medicine)
Jamu adalah obat tradisional yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan,
hewan dan mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran dari bahan-bahan
tersebut yang belum dibakukan dan dipergunakan dalam upaya pengobatan
berdasarkan pengalaman. Bentuk sediaannya berwujud sebagai sebuk seduhan,
rajangan untuk seduhan, dan sebagainya. Istilah penggunaannya masih memakai
pengertian tradisional seperti galiansingset, sekalor, pegel linu, tolak angin, dan
sebagainya. Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional,
misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, oil, dan cairan yang berisi seluruh bahan
tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional.
Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur
yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar
5-10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah
sampai dengan dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah
digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan
tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan
kesehatan tertentu.
2. Ekstrak bahan alam (Scientfic based herbal medicine)
Ekstrak bahan alam adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau
penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun
mineral. Untuk melaksanakan proses ini, membutuhkan peralatan yang lebih
kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung
dengan pengetahuan maupun keterampilan pembuatan ekstrak. Selain proses
produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan
pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pra-klinik seperti standar
kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar
pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis.
3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah
memenuhi persyaratan yang berlaku. Istilah cara penggunaannya menggunakan
pengertian farmakologik seperti diuretic, analgesic, antipiretik dan sebagainya.
Selama ini obat-obat fitofarmaka yang berada di pasaran masih kalah bersaing
dengan obat paten. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti kepercayaan,
standar produksi, promosi dan pendekatan terhadap medis, maupun konsumennya
secara langsung. Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam
yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang
telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada
manusia. Oleh karena itu, dalam pembuatannya memerlukan tenaga ahli dan biaya
yang besar ditunjang dengan peralatan berteknologi modern pula.
Obat tradisional dapat diperoleh dari berbagai sumber sebagai pembuat atau yang
memproduksi obat tradisional yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Obat tradisional buatan sendiri
Obat tradisional jenis ini merupakan air dari pengembangan obat tradisional di
Indonesia saat ini. Pada zaman dahulu, nenek moyang kita mempunyai
kemampuan untuk menyediakan ramuan obat tradisional yang digunakan
untuk keperluan keluarga.
b. Obat tradisional berasal dari pembuat jamu (Herbalist)
Membuat jamu merupakan salah satu profesi yang jumlahnya masih cukup
banyak. Salah satunya adalah pembuat sekaligus penjual jamu gendong.
Pembuat jamu gendong merupakan salah satu penyedia obat tradisional dalam
bentuk cairan minum yang sangat digemari masyarakat.
c. Obat tradisional buatan industri
Berdasarkan peraturan Departemen Kesehatan RI, industri obat tradisional
dapat dikelompokkan menjadi industri kecil dan industri besar berdasarkan
modal yang harus mereka miliki. Dengan semakin maraknya obat tradisional,
tampaknya industri farmasi mulai tertarik untuk memproduksi obat tradisional.
Akan tetapi, pada umumnya yang berbentuk sediaan modern berupa ekstrak
bahan alam atau fitofarmaka. Sedangkan industri jamu lebih condong untuk
memproduksi bentuk jamu yang sederhana meskipun akhir-akhir ini cukup
banyak industri besar yang memproduksi jamu dalam bentuk sediaan modern
(tablet, kapsul, sirup dan lain-lain) dan bahkan fitofarmaka.
G. PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL INDONESIA
Terdapat 2 macam pendekatan yang dapat ditempuh dalam upaya pengembangan
obat tradisional tersebut, yakni ke arah:
1. Obat kelompok fitoterapi, yang mendasarkan kepada simplisia (termasuk sediaan
galeniknya) yang digunakan sebagai obat.
2. Obat kelompok kemoterapi, yang mendasarkan kepada zat aktif yang dalam
keadaan murni diisolasi dari tumbuhan.
Seperti telah disinggung di depan, Departemen Kesehatan menekankan
pengembangan obat tradisional kelompok fitoterapi. Tujuannya agar dapat
menghasilkan sediaan-sediaan fitoterapik baik dalam bentuk simplisia ataupun
sediaan galenik, yang segera dapat dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal.
Dalam hal ini pertama-tama perlu dilakukan pengumpulan data tentang obat
tradisional yang ada di Indonesia. Kemudian menyeleksi mana yang perlu
dikembangkan dan mana pula yang tidak. Untuk obat tradisional yang akan
dikembangkan, perlu penelitian lanjutan menyangkut keamanan penggunaan,
farmakologi, serta khasiatnya secara klinik. Tahap berikutnya adalah
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan sediaan yang dapat digunakan dan
penelitian mutu ditinjau dari sudut teknologi farmasi. Jika obat tradisional telah
mengalami penelitian dan pengembangan seperti diuraikan diatas dapat dikatakan
telah memenuhi persyaratan medik dan farmasetik.
Pemilihan obat tradisional yang akan dikembangkan ke arah obat kelompok
fitoterapi didasarkan atas pertimbangan :
1. Obat tradisional tersebut diharapkan mempunyai manfaat untuk penyakit-penyakit
yang angka kejadiaannya menduduki urutan atas (pola penyakit).
2. Obat tradisional tersebut diperkirakan mempunyai manfaat untuk penyakit-
penyakit tertentu berdasarkan pengalaman pemakaiannya.
3. Obat tradisional tersebut diperkirakan merupakan alternatif yang jarang atau
bahkan merupakan satu-satunya alternatif untuk penyakit tertentu.
H. KOMPOSISI DAN PERSYARATAN OBAT TRADISIONAL
Dalam upaya pembinaan industri obat tradisional, pemerintah melalui Depkes
telah memberikan petunjuk pembuatan obat tradisional dengan komposisi rasional
melalui pedoman rasionalisasi komposisi obat tradisional dan petunjuk formularium
obat tradisional. Hal ini terkait dengan masih banyaknya ditemui penyusunan obat
tradisional yang tidak rasional (irrational) ditinjau dari jumlah bahan penyusunnya.
Sejumlah simplisia penyusun obat tradisional tersebut seringkali merupakan beberapa
simplisia yang mempunyai khasiat yang sama. Oleh karena itu, perlu diketahui
racikan simplisia yang rasional agar ramuan obat yang diperoleh mempunyai khasiat
sesuai maksud pembuatan jamu tersebut.
Komposisi obat tradisional yang biasa diproduksi oleh industri jamu dalam
bentuk jamu sederhana pada umumnya tersusun dari bahan baku yang sangat banyak
dan bervariasi. Sedangkan bentuk obat ekstrak alam dan fitofarmaka pada umumnya
tersusun dari simplisia tunggal atau maksimal 5 macam jenis bahan tanaman obat.
Pada pembahasan ini lebih ditekankan pada penyusunan obat tradisional bentuk
sederhana atau jamu, mengingat cukup banyak komposisi jamu yang irrasional seperti
penggunaan simplisia yang tidak sesuai pada satu ramuan, penggunaan simplisia yang
tidak sesuai dengan manfaat yang diharapkan dan sebagainya. Agar dapat disusun
suatu komposisi obat tradisional maka beberapa hal yang perlu diketahui adalah :
1. Nama umum obat tradisional/jamu
Jamu yang diproduksi pada umumnya mempunyai tujuan pemanfaatan yang
tercermin dari nama umum jamu. Perlu diketahui bahwa terdapat peraturan
tentang penandaan obat tradisional. Jamu yang diproduksi dan didistribusikan
kepada konsumen harus diberi label yang menjelaskan tentang obat tradisional
tersebut, diantaranya tentang manfaat atau khasiat jamu. Penjelasan tentang
manfaat jamu hanya boleh disampaikan dalam bentuk mengurangi atau
menghilangkan keluhan atau gejala yang dialami seseorang dan bukan
menyembuhkan suatu diagnosis penyakit.
Secara umum jamu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bertujuan untuk
menjaga kesehatan atau promotif dan mencegah dari kesakitan, serta jamu yang
dimanfaatkan untuk mengobati keluhan penyakit.
2. Komposisi bahan penyusun jamu
Menyusun komposisi bahan penyusun jamu dapat dilakukan dengan
memperhatikan manfaat yang akan diambil dari ramuan yang dibuat serta
kegunaan dari masing-masing simplisia penyusun jamu tersebut. Tujuan
pemanfaatan jamu untuk suatu jenis keadaan tertentu harus memperhatikan
keluhan yang biasa dialami pada kondisi tersebut. Misalkan pada orang hamil tua
sering mengalami kejang pada kaki, badan mudah lelah, dan lain sebagainya;
penderita rematik biasa mengeluhkan nyeri pada persendian.
Keterbatasan yang dijumpai dalam penyusunan komposisi jamu adalah takaran
dari masing-masing simplisia maupun dosis sediaan. Penelitian ilmiah dalam hal
ini masih sangat kurang sehingga seringkali penetapan takaran maupun dosis
hanya mengacu pada pengalaman peracik obat tradisional yang lain dan atas dasar
kebiasaan penggunaan terdahulu.
3. Simplisia dan kegunaan
Simplisia ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan. Dari jenis simplisia yang umum digunakan oleh industri jamu,
ada beberapa tanaman yang mempunyai kegunaan yang mirip satu dengan lainnya
meskipun pasti juga terdapat perbedaan mengingat kandungan bahan berkhasiat
antara satu tanaman dengan tanaman lainnya tidak dapat sama. Bahkan, untuk
jenis tanaman yang sama, masih ada kemungkinan kadar bahan berkhasiat yang
terkandung tidak sama persis mengingat adanya pengaruh dari tanah tempat tubuh,
iklim, dan perlakuan misalnya pemupukan.
Pengetahuan tentang kegunaan masing-masing simplisia sangat penting, sebab
dengan diketahui kegunaan masing-masing simplisia, diharapkan tidak terjadi
tumpang tindih pemanfaatan tanaman obat serta dapat mencarikan alternatif
pengganti yang tepat apabila simplisia yang dibutuhkan ternyata tidak dapat
diperoleh.
4. Penelitian yang telah dilakukan terhadap simplisia penyusun obat tradisional
Obat tradisional terdiri dari berbagai jenis tanaman dan bagian tanaman.
Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional maka obat tradisional yang terbukti
berkhasiat perlu dimanfaatkan dan ditingkatkan kualitasnya. Untuk dapat
membuktikan khasiatnya, sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian. Akan
tetapi, masih bersifat pendahuluan dan masih sangat sedikit percobaan dilakukan
sampai fase penelitian klinik. Penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman
obat sangat membantu dalam pemilihan bahan baku obat tradisional. Pengalaman
empiris ditunjang dengan penelitian semakin memberikan keyakinan akan khasiat
dan keamanan obat tradisional.
Penelitian dan pengembangan obat dan perbekalan kesehatan pada dasarnya
mencakup sistem (managemen obat, SDM, penggunaan obat rasional, dan lain-
lain), komoditas (obat, bahan obat, obat tradisional kosmetik, bahan berbahaya,
bahan tambahan makanan, dan lain-lain), proses (pengembangan obat baru kimia
farmasi, formulasi, uji preklinik, uji klinik), kajian regulasi dan kebijakan (obat
esensial, obat generik, cara pembuatan obat yang baik).
Riset operasional memfasilitasi implementasi, monitoring, dan evaluasi
berbagai aspek dalam kebijakan obat. Riset operasional merupakan alat utama
dalam menilai dampak kebijakan obat dalam sistem pelayanan kesehatan di suatu
negara, meneliti aspek ekonomis penyediaan obat, dan aspek sosial budaya dalam
penggunaan obat (WHO, 2011).
I. REGULASI OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN
Menurut WHO (2001), otoritas regulasi obat adalah lembaga yang menyusun dan
melaksanakan berbagai peraturan mengenai kefarmasian untuk menjamin keamanan,
khasiat, mutu dan kebenaran informasi mengenai obat. Pengawasan obat merupakan
salah satu upaya mengatasi masalah penyalahgunaan obat yang merupakan masalah
kompleks dan harus ditangani secara lintas sektor dan lintas program. Selain itu,
pengawasan obat juga mencakup perlindungan kepada masyarakat terhadap
penggunaan obat yang salah sebagai akibat dari kekurangtahuan masyarakat mengenai
informasi yang tidak benar, tidak lengkap, dan menyesatkan.
Dalam melaksanakan regulasi obat perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Otoritas regulasi obat harus independen dan transparan.
2. Pengawasan yang dilaksanakan nasional, perizinan sarana produksi dan distribusi,
pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi, akses laboratorium
pemeriksaan mutu, serveilens pasca pemasaran, uji klinik, serta ekspor dan impor
obat dan pembekalan kesehatan.
3. Pembentukan pusat informasi obat di sarana kesehatan dan dinas kesehatan untuk
ontensifikasi penyebaran informasi obat.
4. Pengembangan sistem Monitoring Efek Samping Obat Nasional (MESO
Nasional).
Dengan demikian, yang menjadi elemen inti dalam regulasi obat adalah
pengaturan mengenai mutu, keamanan, khasiat dan informasi obat.
J. PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA
Koentjaraningrat, dalam bukunya Penghantar Anthropologi (1996), menjelaskan
bahwa perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat dapat dibedakan ke
dalam beberapa bentuk, yaitu :
1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat
2. Perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil dan perubahan yang besar
pengaruhnya
3. Perubahan yang direncanakan dan tidak direncanakan.
Disamping itu, proses perubahan kebudayaan yang terjadi dalam jangka waktu
yang pendek dinamakan inovasi. Inovasi membutuhkan beberapa syarat, antara lain :
 Masyarakat merasa akan kebutuhan perubahan
 Perubahan harus dipahami dan dikuasai masyarakat
 Perubahan memberikan keuntungan di masa yang akan datang
 Perubahan tidak merusak prestise pribadi atau kelompok
Sebaliknya, perubahan tidak bisa meluas karena :
 Pengguna penemuan baru mendapat suatu hukuman
 Penemuan baru sulit diintegrasikan ke dalam pola kebudayaan yang ada
Menurut G. M. Foster (1973), untuk mempelajari dinamika dari proses perubahan
dari sudut individu, maka perlu sekali mengetahui kondisi dasar dari individu agar
mau mengubah tingkah lakunya, yaitu :
1. Individu harus menyadari adanya kebutuhan untuk berubah
2. Harus mendapat informasi bagaimana kebutuhan ini dapat dipenuhi
3. Mengetahui bentuk pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan dan biayanya
4. Tidak mendapat sanksi yang negatif terhadap individu yang akan menerima
inovasi.
Selanjutnya, Foster menyatakan bahwa untuk membantu individu mau mengubah
perilakunya, maka yang perlu diperhatikan adalah :
 Mengidentifikasi individu, masyarakat yang menjadi sasaran perubahan
 Mengetahui motif yang mendorong perubahan, antara lain adalah motif
ekonomi, religi, persahabatan, prestise
 Mengetahui faktor-faktor lain, misalnya kekuatan sosial dan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat, waktu yang tepat, golongan
dalam masyarakat yang mudah menerima ide baru, serta golongan yang
berkuasa.
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentng racun. Pengertian lain yaitu
semua substansi yang dibuat, atau hasil dari suatu formulasi dan produk sampingan
yang masuk ke lingkungan dan punya kemampuan untuk menimbulkan pengaruh
negatif bagi manusia. Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak
diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas
tentang penilaian secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajan
serta efek yang ditimbulkan.
Akhir-akhir ini perhatian terhadap obat alami meningkat dengan tajam. Penelitian
mengenai potensi dan khasiat obat alami pun mengalami peningkatan. Hal ini
merupakan sesuatu yang menggembirakan, mengingat potensi kekayaan alam
Indonesia yang sangat berlimpah. Oleh sebab itu, kita hanya menunggu kemauan
pemerintah dan berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengembangkannya agar
pelayanan kesehatan tidak semata-mata tergantung pada obat modern.
B. SARAN
1. Semoga makalah ini bisa memberi pengetahuan yang mendalam kepada para
mahasiswa khususnya mengenai pengetahuan Toksikolog dan Obat Tradisional.
2. Semoga makalah ini bisa dimanfaatkan dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. 2013. Toksikologi. Diakses 8 April 2019


(http://id.wikipedia.org/wiki/Toksikologi)

Yasmina, Alfi. 2011. Toksikologi. Diakses 8 April 2019


(http://farmakologi.files.wordpress.com/2011/02/toksikologi.pdf)

Forester, George M. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai