Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

CARA PENGGUNAAN HAZMAT DAN LEVELNYA

Oleh :

Arif Widiyantoro
20360131

Pembimbing :

dr.Sevina Marisya, M.Ked. Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat terjadi wabah PES pada abad ke-17, sebagai upaya paling awal para petugas medis
mengenakan kostum dokter paruh venesia untuk melindungi diri mereka. Pakaian itu dibuat oleh
dokter asal Perancis, Charles de Lorme. Pakaian itu merupakan jas mantel kulit panjang yang
dilengkapi dengan topeng mirip paruh burung serta diisi bawang putih. Namun tidak dilengkapi
dengan disinfektan dan protokol pelepasan yang baik. Seorang ilmuan Rusia merancang
prototipe pakaian hazmat untuk menangani wabah pada tahun 1870-an. Pakaian tersebut
dirancang untuk melindungi hidung dari gas. Namun rancangan pakaian tersebut tidak
diproduksi karena kurangnya penelitian pada waktu itu sebab baju tersebut tidak menjamin
perlindungan terhadap bakteri dan virus.[14]
Asal mula pakaian hazmat modern digunakan untuk keperluan medis bermula saat
terjadinya wabah Manchuria, China tahun 1910. Dokter Wu Lien-teh menjelaskan bahwa
penularan wabah terjadi melalui udara lewat percikan dahak pasien seperti penularan flu. Teori
tersebut bertentangan dengan dokter-dokter lainnya yang mengatakan penularan terjadi melalui
perantara tikus atau kutu dan tidak menular lewat orang ke orang sehingga tidak perlu masker
atau kain kasa untuk perlindungan diri. Namun ia tetap berpegang pada pendiriannya. Ia
mengatakan bahwa petugas medis perlu mengenakan topeng dan masker untuk melindungi diri.
Dan teori tersebut dipercaya oleh dokter lainnya setelah salah seorang dokter yang menangani
pasien saat wabah tidak mengenakan perlindungan akhirnya meninggal karena tertular. Dokter
Wu Lien-teh juga menginstruksikan untuk melakukan penutupan operasi kereta api. Penyakit
mematikan itu telah lenyap saat Tahun Baru Imlek tiba. Pasca berakhirnya wabah tersebut, atas
saran Dr. Wu, Konferensi Wabah Internasional mulai diadakan di Mukden dari tanggal 3 April
hingga 28 April 1911 dihadiri oleh para ahli epidemologi dan ilmuan dari 11 negara besar
termasuk Amerika, Inggris, Jepang, Perancis, dan Russia. [15]
Menjelang pandemi flu Spanyol tahun 1918, masker sudah menjadi hal yang biasa.
Wabah Manchuria diliput oleh media di seluruh dunia, masyarakat menyaksikaan para petugas
medis mengenakan pakaian perlindungan diri. Belajar dari peristiwa tersebut, selama abad ke-20,
sektor kimia dan nuklir mengembangkan pakaian hazmat modern, dengan versi medis mulai
digunakan secara luas selama wabah Ebola di tahun 1990-an.[14]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hazmat
2.1.1 Pengertian Hazmat
Pakaian hazmat (hazmat adalah singkatan dari hazardous materials atau bahan-bahan
berbahaya), atau dikenal juga dengan nama pakaian dekontaminasi,[1] adalah perlengkapan
perlindungan pribadi yang terdiri dari bahan yang impermeabel dan digunakan untuk proteksi
melawan material berbahaya, termasuk patogen, kuman dan penyakit berbahaya lainnya agar
tidak mencapai bagian dalam tubuh manusia yang rentan.[2] Bahan pakaian ini—menurut
standar yang ditetapkan oleh WHO dan kementerian kesehatan—terbuat dari polietilena yang
tidak mudah ditembus oleh virus.[3] Pakaian ini biasanya dilengkapi dengan alat bantu
pernapasan mandiri untuk memastikan yang menggunakannya mendapat pasokan udara
untuk bernapas. Pakaian hazmat biasanya digunakan oleh pemadam kebakaran, teknisi medis
darurat, paramedis, peneliti, petugas yang bereaksi atas kebocoran material berbahaya, tenaga
ahli yang membersihkan daerah terkontaminasi, dan pekerja di lingkungan yang beracun.
[4]
 pada dasarnya pakaian hazmat terbuat dari bahan sintetis kain berlapis film kedap air, yang
sepenuhnya menghalang pemakainya dari cairan, uap, dan aliran udara, [5] serta tahan
kerusakan terhadap bahan kaustik dan korosif.[6] Pakaian ini dirancang untuk
segera dibakar setelah digunakan.[2]
2.1.2 Cara Kerja Hazmat
Baju hazmat adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, didesain khusus untuk
melindungi penggunanya dari zat berbahaya. Pakaian ini termasuk alat pelindung diri (APD),
biasanya juga disertai penggunaan kacamata pelindung, sarung tangan, dan sepatu
khusus.Tidak semua petugas medis diharuskan mengenakan pakaian pelindung ini. Hanya
mereka yang bekerja di area rentan kontaminasi saja yang diwajibkan mengenakannya.
Utamanya ketika masa pandemi COVID-19, petugas medis yang kontak langsung maupun
tidak langsung dengan pasien harus mengenakan baju hazmat. Berbeda rumah sakit, berbeda
pula protokol kesehatan yang diterapkan.Sifat baju pelindung ini adalah impermeable yang
berarti tidak memungkinkan dimasuki cairan atau gas apapun. Dengan demikian, zat
berbahaya seperti droplet dari pasien tidak berisiko menyentuh langsung pengguna pakaian

pelindung.
Secara umum, pakaian hazmatbisa melindungi seseorang dari beberapa bahan berikut.
 Bahan kimia melalui penggunaan benda yang terbuat dari teflon, karet dan PVC berat
serta tyvek (merek serat etilen dengan tingkat kepadatan yang tinggi).[7]
 Bahan nuklir yang mungkin memancarkan radiasi. Meskipun demikian, perlindungan
dengan mengecah terjadinya kontak langsung atau menghirup gas radio aktif lebih
diutamakan.[7]
 Benda-benda biologis seperti virus dan bakteri. Pada perlindungnan jenis ini
menggunakan pakaian hazmat level C yang dilengkapi dengan alat bantu pernapasan
dan pemurni udara.[7]
 Perlindungan dari api dan suhu yang tinggi seperti yang dipakai oleh petugas pemadam
kebakaran. [7]
2.1.3 Level – Level Hazmat
Menurut standar Amerika Serikat, pakaian hazmat diklasifikasikan menjadi
beberapa level berdasarkan tingkat perrlindungan yang diberikan, yaitu:[9]
 level A: pakaian tertutup rapat, sarung tangan tahan bahan kimia, dilengkapi alat bantu
pernapasan dan peralatan pelindung diri dari uap, gas, kabut, dan partikel kimia. Level A
digunakan ketika zat berbahaya teridentifikasi memiliki tingkat bahaya yang tinggi untuk
sistem pernapasan, kulit, dan mata serta menyebabkan kemungkinan terjadinya toksisitas
atau karsinogenisitas pada kulit.[10]
 level B: pakaian anti bahan kimia namun tidak mampu menahan terhadap gas atau
partikel. Dilengkapi dengan penutup pada pergelangan tangan, pergelangan kaki,
pinggang, penutup wajah, dan tudung kepala, sarung tangan dan sepatu bot khusus bahan
kimia, dan alat pernapasan di luar pakaian.
 level C: meliputi standar pakaian pada level B, dengan penambahan alat bantu
pernapasan khusus untuk melindungi dari cairan dan aerosol.
 level D: meliputi pakaian dan sepatu bot khusus untuk pekerjaan yang tidak berisiko
terpapar bahan kimia secara langsung.
Perhatian khusus lainnya dalam pemilihan pakaian hazmat salah satunya dengan
menyesuaikan terhadap kondisi lingkungan fisik dan bahaya yang dihadapi. [11] Berdasarkan
standar Eropa, pakaian Hazmat dibedakan menjadi enam tipe sesuai dengan tingkat
perlindungannya[7], yaitu:
 Tipe 1: pakaian hazmat tipe 1 dipakai untuk melindungi diri dari cairan dan gas kimia.
Tipe ini merupakan pakaian hazmat kedap gas. Jenis ini mirip dengan pakaian hazmat
level A standar Amerika Serikat.
 Tipe 2: Tipe 2 digunakan untuk meindungi diri dari cairan dan bahan kimia namun tidak
kedap gas. Tipe ini mirip dengan pakaian hazmat level B standar Amerika Serikat.
 Tipe 3: pakaian hazmat tipe 3 dipakai untuk perlindungan melawan cairan kimia dengan
waktu yang terbatas. Pakaian hazmat tipe 3 merupakan pakaian kedap cairan.
 Tipe 4: Sama halnya seperti tipe 3, pakaian hazmat tpe 4 juga memberikan perindungan
terhadap cairan kimia namun untuk partikel yang lebih besar dan tidak terlalu kedap
cairan. Tipe ini mirip dengan level C standar Amerika Serikat.
 Tipe 5: perlindungan yang diberikan sama seperti tipe 3 dan 4 namun hanya melindungi
beberapa bagian tubuh saja. Pakaian hazmat tipe 5 mirip dengan level D standar
Amerika.
 Tipe 6: hanya memberikan perlindungan pada bagian tubuh tertentu.
2.1.4 Pelepasan Hazmat
Di saat pandemi COVID-19, semakin tergambar dengan jelas bagaimana perjuangan
tenaga medis ketika harus beraktivitas mengenakan baju hazmat. Perlu waktu yang cukup lama
untuk memasang dan juga melepaskannya. Terlebih, seluruh prosedurnya harus benar-benar
tepat untuk menghindari kontaminasi di bagian tubuh manapun.
Metode yang aman untuk melepas APD menurut Centers for Disease Control (CDC)
adalah memastikan tidak menyentuh bagian luar APD karena telah terkontaminasi.
Kemudian, lepaskan dengan menggulung ke bawah dari kepala ke kaki.Jika ada langkah-
langkah selanjutnya, pengguna harus mencuci tangan di tiap langkahnya. Begitu pula saat sudah
selesai melepas baju hazmat, jika memungkinkan harus membilas seluruh tubuh atau mandi.
Cara melepaskan pakaian hazmat harus dilakukan dengan cara yang tepat agar tetap aman
dari zat kontaminan. Bagian luar pakaian hazmat yang terkontaminasi setelah pemakainya
melakukan kontak dengan pasien yang terinfeksi sehingga perlu teknik melepas yang benar.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat memaparkan teknik melepas
pakaian hazmat secara aman dengan melepas sarung tangan dan pakaian tanpa menyentuh bagian
luarnya. Semua APD (alat pelindung diri) termasuk baju hazmat harus dilepas dengan cara
menggulung ke bawah dimulai dari kepala hingga ujung kaki) setelah itu melepas alat bantu
pernapasan mandiri atau SCBA. Pakaian hazmat harus selalu dilepas sebelum keluar dari area
isolasi. Bagian depan respirator tidak boleh disentuh dan tangan harus dicuci dengan cara yang
benar setelah melepas semua pakaian. [8]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Protokol kesehatan mengharuskan petugas medis mengenakan baju hazmat saat
berinteraksi dengan pasien penyakit tertentu. Kata “hazmat” adalah singkatan dari hazardous
material, pakaian yang bisa melindungi dari penyakit menular lewat udara.
Penggunaan pakaian pelindung ini tak hanya untuk tenaga medis saja, profesi lain yang
berisiko terpapar zat berbahaya disarankan mengenakannya. Mulai dari zat kimia, biologis,
hingga bahan radioaktif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Media, Kompas Cyber (2020). "Ratusan Polisi yang Kenakan Hazmat Akan Sterilkan
Pusat Keramaian di Jateng". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-03-12.
2. The history of the hazmat suit: the outfit of choice for celebrities in a pandemic".  The
National (dalam bahasa Inggris). 2020-03-19. Diakses tanggal 2021-03-12.
3. Nur Hidayah Perwitasari (2020). "IDI Imbau Baju Hazmat dari Masyarakat Sebaiknya
Sesuai Standar WHO". Tirto.id. Diakses tanggal 3 Maret 2021.
4. Liputan6.com (2020).  "Berbagai Jenis Baju Hazmat agar Tidak Salah dalam
Penggunaannya".  liputan6.com. Diakses tanggal 2021-03-12.
5. Gibson, H. Schreuder (2003). "Chemical and Biological Protection and Detection in
Fabrics for Protective Clothing" (PDF). MRS Bulletin.  28:
1. doi:10.1557/MRS2003.168.
6. Maczulak, Anne. E (2010). Pollution: Treating Environmental Toxins. Infobase
Publishing. hlm. 158. ISBN 9781438126333.
7. Madigan, Michael L. (2017-05-19). HAZMAT Guide for First Responders(dalam
bahasa Inggris). Boca Raton: CRC Press. hlm. 24. ISBN 978-1-351-86312-4.
8.  What is a hazmat suit, and how does it protect medics against Ebola?".  The
Independent (dalam bahasa Inggris). 2014-12-29. Diakses tanggal 2021-03-19.
9. 4 Tingkatan Baju Hazmat, APD Tim Medis dari Virus Corona". kumparan. 2020.
Diakses tanggal 2021-03-12.
10. HAZMAT Protection Levels | National Environmental
Trainers". www.natlenvtrainers.com. Diakses tanggal 2021-03-12.
11. OSHA Technical Manual (OTM) | Section VIII: Chapter 1 - Chemical Protective
Clothing | Occupational Safety and Health Administration". www.osha.gov. Diakses
tanggal 2021-03-12.
12. Madigan, Michael L. (2017-05-19). HAZMAT Guide for First Responders (dalam
bahasa Inggris). CRC Press. hlm. 24–28. ISBN 978-1-351-86312-4.
13. VAN WELY, Eric (2017). "Current global standards for chemical protective clothing:
how to choose the right protection for the right job?". Industrial Health. 55 (6): 485–
499. 
14. They can cost £63k': how the hazmat suit came to represent disease, danger – and
hope". the Guardian  (dalam bahasa Inggris). 2020-03-26. Diakses tanggal 2021-03-
19.
15. Ma, Zhongliang; Li, Yanli (2016-3). "Dr. Wu Lien Teh, plague fighter and father of the
Chinese public health system". Protein & Cell. 7  (3): 157–158.

Anda mungkin juga menyukai