Anda di halaman 1dari 21

A.

TB paru
1. Definisi
TB adalah penyakit menular yang ditularkan dari orang ke orang
seseorang melalui batuk dan menghirup tetesan udara yang mengandung
bakteri. TB terutama memengaruhi paru-paru, tetapi bisa mempengaruhi
bagian tubuh manapun. Sebagai salah satu yang paling umum infeksi di
dunia, TB tetap menjadi masalah utama di banyak negara dan di antara
populasi yang rentan. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit
yang diketahui banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi
paru. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui
droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru (Pai et al.,
2018).

2. Etiologi dan Faktor risiko


Penyebab dari penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-
0,6 mikron dan bentuk dari bakteri ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranul, tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini
mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam
mikolat). Sifat dari bakteri ini agak istimewa, karena bakteri ini dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol sehingga
sering disebut dengan bakteri tahan asam (BTA). Selain itu bakteri ini juga
tahan terhadap suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada
kondisi rumah atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai
berbulan-bulan namun bakteri ini tidak tahan atau dapat mati apabila
terkena sinar, matahari atau aliran udara (Widoyono, 2011).
Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

Penyakit TB paru ini dapat ditularkan oleh penderita dengan hasil


pemeriksaan BTA positif. Lebih jauh lagi, penularan TB paru dapat terjadi
di dalam ruangan yang gelap dan lembab karena kuman Micobacterium
tuberculosis ini dapat bertahan lama apabila di kondisi ruangan yang gelap
dan lembab tersebut. Dalam hal ini, makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan, maka orang itu makin berpotensi untuk menularkan kuman
tersebut. Selain itu, faktor yang memungkinkan seseorang untuk terpapar
yaitu seberapa lama menghirup udara yang sudah terkontaminasi kuman
M. tuberculosis tersebut dan konsentrasi percikan dalam udara tersebut
(Depkes RI, 2007).
Risiko seseorang untuk tertular TB paru tergantung dari tingkat
pajanan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif akan
memberikan risiko penularan lebih besar dibandingkan pasien TB paru
dengan BTA negatif (Depkes RI, 2007; Widoyono, 2011).
Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :
a. Faktor host terdiri dari:
1. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB.
2. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran
penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan
Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam serum akan
meningkatkan risiko terinfeksi TB.
3. Penyakit sistemik, pasien dengan penyakit-penyakit seperti
keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko
untuk terkena TB
4. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko
untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna
obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki
risiko untuk terkena TB.
5. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih
banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak-anak
(Horsburgh, 2009).
b. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan
berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan
yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko
untuk terkena TB dimana sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih
tinggi untuk terkena TB (Horsburgh, 2009).

Gambar 2. Faktor Risiko Kejadian TB (Depkes, 2011)


3. Klasifikasi
Klasifikasi pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan
bakteriologis, yaitu seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil
pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh
Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan Mycobacterium tuberculosis positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat Mycobacterium tuberculosis positif
d. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat
tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum
(Kemenkes, 2014).

Gambar 3.1 Klasifikasi Tuberkulosis (Pai et al., 2016)

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis, yaitu pasien yang tidak memenuhi


kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk
dalam kelompok pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian


terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis.
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas,
pasien juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomi dari penyakit, riwayat
pengobatan sebelumnya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


a. Tuberkulosis paru, yaitu penyakit TB yang terjadi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi
pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru, yaitu penyakit TB yang terjadi pada organ
selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,
kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan
Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB
pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada
organ menunjukkan gambaran TB yang terberat (Kemenkes, 2014).
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
1) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
4) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui (Kemenkes,
2014).

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Kemenkes, 2014).

Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) : adalah pasien
TB dengan :
1) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART atau
2) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
b. Pasien TB dengan HIV negatif : adalah pasien TB dengan :
1) Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau
2) Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui : adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan (Kemenkes,
2014).

4. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembangbiak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (Werdhani, 2005).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis) (Werdhani, 2005).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler (Werdhani, 2005).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.
Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan (Werdhani, 2005).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan/kaseosa dan enkapsulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini (Werdhani, 2005).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, ehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Werdhani, 2005).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (Werdhani, 2005).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Werdhani, 2005).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru
disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan
tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat bentuk penyebaran hamatogen
yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute
generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita (Werdhani, 2005).
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma
(Werdhani, 2005).
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar kesaluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapatdibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadisecara berulang (Werdhani, 2005).
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak,yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-
9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda
(Werdhani, 2005).
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadidalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer (Werdhani, 2005).
5. Penegakkan diagnosis
a. Manifestasi Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2014).
b. Pemeriksaan Dahak
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :
a) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
b) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di Fasyankes.
c) S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi (Kemenkes, 2014).

Diagnosis TB paru ditegakan antara lain berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (IDI, 2017):
a. Hasil anamnesis (Subjective) :
Suspek TB adalah seorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB
Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai (IDI, 2017):
1) Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptysis) dan/atau
2) Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat bedan,
keringat malam dan mudah lelah).
b. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective):
1) Pemeriksaan fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
menemukan kelainan. Pada auskulasi terdengar suara napas
brokhial/amforik/ronkhi basah/ suara napas melemah di apex paru,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (IDI, 2017).
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Darah: Limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
b) Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA)
atau kultur dari specimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
c) Untuk TB non paru, specimen dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan
d) Radiology dengan foto thorax PA-Lateral/top lordotik: pada TB
pada umumnya terdapat ga,baran bercak-bercak awan dengan
batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk
tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas
(bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan
pleura), efusi pleura (sudut costofrenicus tumpul) (IDI, 2017).
e) Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian
TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu,
yaitu :
 Pasien TB Ekstra Paru
 Pasien TB Anak
 Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan
dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang
ditetapkan. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan
tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan
diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut
(Kemenkes, 2014).
d. Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut
harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus
pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut
ditujukan untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB
dengan resistensi OAT. Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu
GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) di seluruh
provinsi (Kemenkes, 2014).
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada pasien dewasa (Kemenkes, 2014)

6. Penatalaksanaan
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari. Bertujuan
untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resisten sejak sebelum pasien mendapat pengobatan. Pengobatan pada
semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Bila pengobatan teratur
dan tanpa penyulit, daya penularan umumnya sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu (Kemenkes, 2014).
b. Tahap lanjutan
Tahap lanjutan penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien bisa
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2014).
Tabel 1. OAT Lini Pertama

Tabel 2. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama pada Pasien Dewasa

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan


ISTC) yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR atau 2RHZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol (Kemenkes, 2014).

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1. Pasien baru TB paru terkonfrmasi bakteriologis
2. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
3. Pasien TB ekstra paru

Tabel 3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1 : 2 (HRZE)/4(HR)3

Tabel 4. Dosis Panduan OAT Kompiak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5[HR]3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) :
1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
(Kemenkes, 2014).
Tabel 5. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 : 2[HRZE]S/ [HRZE]/
5[HR]3E3

Tabel 6. Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan


dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan
untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk
memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua
kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke-2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes, 2014).
Tabel 7. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

7. Pencegahan
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama.
Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas
kesehatan sangatlah penting peranannyauntuk
mencegahtersebarnyakumanTBini. Upaya pencegahan tersebut berupa
pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu:
a. Pengendalian Manajerial
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif
berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPITB yang
meliputi: a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB b. Membuat SPO
mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans serta Membuat perencanaan program PPI TB secara
komprehensif.
b. Pengendalian administrative
Pengendalian administratif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah atau mengurangi pajanan kuman m. tuberculosis kepada petugas
kesehatan, pasien, pengunjung, dan lingkungan. Upaya ini mencangkup:
1) Strateg iTEMPO (Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara
Aman, Obati secara tepat)
2) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
3) Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu, serta
pembuangan dahak yang benar
4) Skrining bagi petugas yang merawat pasien
c. Pengendalian lingkungan
Upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/
menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan
dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan
atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida. Sistem
ventilasi berupa, ventilasi alamiah, ventilasi mekanik, dan ventilasi
campuran.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan
keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu
fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca,
peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta
perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
d. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di
tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab
kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan
lingkungan.

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), 2010


menjelaskan tentang pencegahan penularan penyakit TBC, yaitu:
a. Pencegahan olehmasyarakat

1) Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh


meningkat untuk membunuh kuman TBC
2) Tidur dan istirahat yang cukup

3) Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba

4) Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan di sekitarnya

5) Membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan rumah


karena kuman TBC akan mati bila terkena sinar matahari
6) Imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah agar
kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TBC
7) Melakukan imunisasi bagi orang-orang yang melakukan kontak
langsung dengan penderita, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas
kesehatan, dan orang lain yang terindikasi, dengan vaksin BCG dan
tindak lanjut bagi yang positif tertular.
b. Pencegahan oleh penderita

1) Tidak meludah / membuang dahak di sembarang tempat tetapi dibuang


pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya: dengan menggunakan
wadah/ kaleng bertutup yang sudah diberi air sabun. Buanglah dahak ke
lubang WC atau timbun ke dalam tanah di tempat yang jauh
darikeramaian.
2) Menutup mulut saat batuk atau bersin dengan sapu tangan atau tisu atau
tangan pada waktu bersin dan batuk, dan mencuci tangan.
3) Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahar
imasuk. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman TB
4) Menjemur alat tidur
5) Berperilaku hidup bersih dan sehat
6) Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh.
7) Menggunakan alat-alat makan dan kamar tidur tersendiri yang terpisah
dari anggota keluarga yang lain.
8) Melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang kontak dengan
penderita TBC. Perlu dilakukan Tes Tuberkulin bagi seluruh anggota
keluarga. Apabila cara ini menunjukan hasil negatif, perlu diulang
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, dan perlu pemeriksaan intensif.
9) Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar segera diberikan
pengobatan pencegahan
c. Pencegahan oleh petugas kesehatan
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan
adalah dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB meliputi tanda
dan gejala, bahaya, penularan dan dampak yang ditimbulkan, pengobatan,
serta pencegahan penularan. Penyuluhan dapat dilakukan secara berkala
dengan Langit-langit muka, ceramah dan media masa yang tersedia di
wilayah tersebut tentang cara pencegahan TB. Penyuluhan juga dapat
diberikan secara khusus kepada klien agar klien rajin berobat untuk mencegah
penyebaran penyakit kepada orang lain maupun anggota keluarga lain agar
tercipta rumah sehat sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit.

Werdhani, A.R. 2005. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.


Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga.FKUI.
http://staff.ui.ac.id/internal/0107050183/material/PATO_DIAG_KLAS.pdf.
Diakses pada 25 Oktober 2017.
Pai, Madhukar, Marcel A. Behr, David Dowdy, Keertan Dheda, Maziar
Horsburgh, C.R., 2009. Epidemiology of Tuberculosis. Available from:
http://www.uptodate.com/contents/epidemiology-of-tuberculosis. Diakses
pada 1 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai