Anda di halaman 1dari 7

Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka

Nomor : 180 A Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Gugus Depan Gerakan
Pramuka yang Berpangkalan dikampus Perguruan Tinggi

1. Umum
a. Gerakan Pramuka adalah Organisasi Kepanduan Nasional Indonesia sebagai lembaga
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Gerakan
Pramuka berfungsi sebagai organisasi pendidikan nonformal di luar sekolah dan di
luar keluarga serta sebagai wadah pembinaan dan pengembangan peserta didik
berlandasan Sistem Among dengan menerapkan Prinsip Dasar Kepramukaan dan
Metode Kepramukaan.
b. Gerakan Pramuka bertujuan untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki
kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum,
disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan memiliki kecakapan hidup
sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup.
c. Untuk mencapai tujuan Gerakan Pramuka diperlukan dukungan dan partisipasi aktif
dari seluruh komponen masyarakat, baik dari kalangan internal maupun eksternal
Gerakan Pramuka.
d. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk gugus depan yang
berbasis satuan pendidikan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 Undang-Undang
RI Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, dijelaskan bahwa gugus depan
berbasis satuan pendidikan dan gugus depan berbasis komunitas.
e. Dalam usaha melaksanakan Keputusan Bersama antara Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi dengan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 047/DJ/KEP/1981
dan Nomor 021 TAHUN 1981, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka telah menetapkan
Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan gugus depan Gerakan Pramuka
yang berpangkalan di kampus perguruan tinggi.
f. Maksud Petunjuk Pelaksanaan ini untuk memberi pedoman bagi lembaga perguruan
tinggi dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengembangan serta mengatur tata
kerja dan tata laksana gugus depan Gerakan Pramuka yang berpangkalan di kampus
perguruan tinggi.

2. Dasar Petunjuk pelaksanaan ini disusun atas dasar:


a. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
b. Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka.
c. Keputusan Presiden RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pengesahan Anggaran Dasar
Gerakan Pramuka.
d. Keputusan Kwarnas Gerakan Pramuka Nomor 203 Tahun 2009 tentang Anggaran
Rumah Tangga Gerakan Pramuka.
e. Keputusan Kwarnas Gerakan Pramuka Nomor 231 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Penyelenggaraan Gugus Depan Gerakan Pramuka.
f. Keputusan Kwarnas Gerakan Pramuka Nomor 225 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Penyelenggaraan Majelis Pembimbing Gerakan Pramuka.
g. Keputusan Kwarnas Gerakan Pramuka Nomor 054 Tahun 1982 juncto Nomor 086
Tahun 1987 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Gugus
Depan yang Berpangkalan di Kampus Perguruan Tinggi.
h. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen P dan K dan
Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka Nomor 047/DJ/KEP/1981 dan Nomor 021 Tahun
1981.
3. Maksud, tujuan dan sasaran
 Maksud diadakannya gugus depan Gerakan Pramuka di perguruan tinggi adalah:
a. Menghimpun potensi civitas akademika dalam kampus dan komunitas di
sekelilingnya, yang berminat menjadi anggota Gerakan Pramuka agar dapat berperan
serta dalam pendidikan kepramukaan sebagai wahana pembentukan kader Gerakan
Pramuka.
b. Memberi kesempatan kepada mahasiswa dan kaum muda di sekelilingnya untuk
melakukan kegiatan positif, konstruktif, dan edukatif serta memberikan pengetahuan
dan pengalaman praktis melalui kegiatan pendidikan kepramukaan.
 Tujuan
Tujuan diadakannya gugus depan Gerakan Pramuka yang berpangkalan di perguruan
tinggi adalah untuk membentuk dan mengembangkan karakter bangsa dengan
meningkatkan peranan perguruan tinggi dalam melaksanakan Tridarma Perguruan
Tinggi di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat melalui kegiatan
pendidikan kepramukaan.
 Sasaran
a. Mampu menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepramukaan dalam rangka
melaksanakan program yang berdasarkan Tridarma Perguruan Tinggi dan tujuan
Gerakan Pramuka, terutama kegiatan pembentukan karakter dan bakti masyarakat.
b. Mampu meningkatkan kualitas anggota muda pada gugus depan di perguruan tinggi.
c. Tersusunnya program kegiatan pada gugus depan di perguruan tinggi secara
berkelanjutan dan berkesinambungan.

4. Pengertian
a. Gugus depan adalah satuan pendidikan dan satuan organisasi terdepan penyelenggara
pendidikan kepramukaan.
b. Gugus depan yang dimaksud adalah gugus depan tidak lengkap dan gugus depan
lengkap.
c. Gugus depan tidak lengkap adalah gugus depan yang hanya memiliki satu atau dua
golongan peserta didik saja, misalnya hanya memiliki Ambalan Penegak dan atau
Racana Pandega.
d. Gugus depan lengkap adalah gugus depan yang memiliki semua golongan peserta
didik terdiri atas Perindukan Siaga, Pasukan Penggalang, Ambalan Penegak dan
Racana Pandega.
e. Pembina adalah tenaga pendidikan Gerakan Pramuka yang bertugas melatih peserta
didik di gugus depan.
f. Tenaga pendidik adalah anggota dewasa yang terdiri dari pembina dan pembantu
pembina, pelatih pembina, pamong dan instruktur saka.
g. Peserta didik adalah anggota muda terdiri dari Pramuka Siaga, Pramuka Penggalang,
Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega.
h. Majelis Pembimbing disingkat Mabi adalah dewan yang memberikan bimbingan pada
satuan organisasi Gerakan Pramuka.
i. Pembinaan adalah usaha sadar yang dilaksanakan oleh pembina pramuka yang
merupakan tindakan terencana, terarah dan berkesinambungan sebagai upaya
pendidikan yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang
lebih baik.
j. Pengembangan adalah upaya terencana untuk meningkatkan kecerdasan spiritual,
emosional, sosial, intelektual dan fisik yang dikemas dalam kegiatan terpadu dalam
Gerakan Pramuka untuk kelangsungan gugus depan di perguruan tinggi.
5. Kegiatan
 Program kegiatan gugus depan yang berpangkalan di kampus Perguruan Tinggi
disusun secara terpadu dengan kegiatan akademis dan sesuai dengan program
kerja kegiatan kwartir yang bersangkutan.Program kegiatan disusun melalui
musyawarah dewan racana pandega, dewan ambalan penegak dan dewan
penggalang dengan persetujuan pembinanya dan diusulkan kepada majelis
pembimbing.
 Jenis Kegiatan:
a. Kegiatan Pramuka Penegak (latihan rutin, pencapaian SKU/ SKK/SPG,
Kesakaan, Dianpinsat, Raimuna, Musppanitera, Perkemahan Wirakarya,
Perkemahan Pertisaka, LPK, KPDK, Pertisaka dan Penyuluhan).
b. Kegiatan Pramuka Pandega (latihan rutin, pencapaian SKU/ SKK/SPG,
Kesakaan, Dianpinsat, Raimuna, Musppanitera, Perkemahan Wirakarya, LPK,
KPDK, Pertisaka, Kemah Bakti Racana/Kembara, Pengembaraan, Penyuluhan
dan Kewirausahaan).
Catatan:Jenis-jenis kegiatan keterampilan dan kegiatan bakti antara lain:
a.Gerakan tunas, Pelestarian lingkungan hidup , Penghijauan , Pendidikan bela
negara, Pelayanan kesehatan , kemah kerja nyata
c. Search and rescue (SAR) Ikut serta dalam pencegahan dan penanggulangan
musibah/ bencana alam dan penyalahgunaan narkoba Pelatihan tanggap bencana,
Pelatihan pemadam kebakaran dan lain-lain.
d. Sebagai panitia Jambore di udara/ internet (JOTA/JOTI)
SEJARAH SINGKAT RACANA KARIADI – KARDINAH

Kariadi lahir di Kota Malang, pada 15 September 1905. Pendidikannya dimulai di


Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo, Surabaya,
lulus pada 1920. Pada 1921, ia berhasil memasuki Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS)
atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya dan lulus pada 1931. Begitu lulus, dr.
Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke
Ziekeninrichting (CBZ) di Surabaya. Setelah berdinas tiga tahun, dr. Kariadi ditugaskan ke
Manokwari, Tanah Papua. Dokter Kariadi menikah dengan drg. Soenarti, lulusan STOVIT
(Sekolah Kedokteran Gigi) di Surabaya. Soenarti lulus sebagai dokter gigi pribumi pertama di
Hindia Belanda. Setelah bertugas selama tiga tahun di Manokwari, dr. Kariadi kemudian
dipindahkan ke Kroya (Banyumas). Baru dua tahun bertugas di sini, dr. Kariadi ditugaskan lagi
ke luar Jawa, yaitu ke Martapura dan selesai bertugas 15 Mei 1942. Setelah itu, tepatnya 1 Juli
1942, dr. Kariadi ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit
Rakyat (Purusara) di Semarang.

Perang kemerdekaan terjadi tidak lama setelah proklamasi dikumandangkan, termasuk di


Semarang. Para pemuda terus berusaha merebut persenjataan milik tentara Jepang. Pada 13
Oktober 1945 suasana di Semarang sangat mencekam. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido
menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah
sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang. Pada Minggu, 14
Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk
mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan
milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari
tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB,
pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan
anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota
Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan
dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan
racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.

Selepas Maghrib, ada telefon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang
memberitahukan agar dr. Kariadi segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang
menebarkan racun itu. Dokter Kariadi, yang bertugas sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit
Purusara pun dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya
karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke
Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi
mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus
menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang.
Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam telefon berdering di rumah dr.
Kariadi. Soenarti mengangkat telefon itu, ternyata dari Rumah Sakit Purusara: dr. Kariadi
ditembak tentara Jepang dan tidak tertolong lagi nyawanya. Soenarti pun menangis. Hingga
keesokan harinya, keluarga dr. Kariadi kebingungan karena tidak bisa datang ke rumah sakit, di
mana jasad dr. Kariadi terbaring penuh luka karena suara tembakan terus terdengar di luar
rumah. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr.
Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri
mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit
sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat.
Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar pukul 3.oo WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya
untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr.
Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya,
pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17
Oktober 1945, tentara Jepang minta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan
serangan ke berbagai kampung.
     Sementara itu, karena kesibukan yang luar biasa dan situasi yang sangat gawat, jenazah dr.
Kariadi belum dapat dimakamkan. Barulah pada 17 Oktober 1945, jenazah dimakamkan di
halaman rumah sakit. Pemakaman berlangsung khidmat dengan naungan bendera Merah Putih
meskipun sering terganggu dengan tembakan musuh. Anak-anak dr. Kariadi hadir di
pemakaman, sedangkan istrinya merasa tidak mampu menyaksikan.

Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang.
Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850
orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara.
Pada 5 November 1961, kerangka dr. Kariadi dipindahkan dari halaman RS Purusara ke Taman
Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Menurut putrinya, Prof. Dr. Sri Hartini K.S. Kariadi,
dr., Sp.PD-KEMD, ketika kerangka ayahandanya dipindahkan itu, ia sempat ikut memeriksa
tulang-belulang ayahandanya. Sebagai mahasiswa kedokteran (waktu itu) ia melihat di tengkorak
terdapat retakan membentuk celah, yang menunjukkan bekas pukulan benda tajam (mungkin
dipukul dengan sangkur, sebelum ditembak).

Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dr. Kariadi, pada 1964, RSUP Purusara (yang sejak
1949 menjadi RSUP Semarang), diganti namanya menjadi "Rumah Sakit Dokter Kariadi", dan
pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968, dr. Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian
Sosial oleh Presiden Soeharto, secara Anumerta. Sebenarnya dr. Kariadi juga telah menghasilkan
karya besar di bidang pemberantasan penyakit malaria melalui dan menemukan minyak "Oleum
Pro-microscopieKar" yang sangat penting dalam menangani penyakit malaria dan filariasis yang
berjangkit di berbagai daerah di Indonesia.

KARDINAH

Di bawah kebesaran nama RA Kartini, sebenarnya ia memiliki adik perempuan bernama RA


Kardinah yang jalan hidupnya lebih berliku dan  berwarna. Menjelang usia senja, ia berdiam di
Kota Salatiga hingga nafas terakhirnya. Berikut  penelusuran yang saya lakukan melalui
berbagai sumber.

Kardinah terlahir tanggal 1 Maret 1881, ia anak ketujuh dari Bupati Jepara RM Sosroningrat.
Meski statusnya merupakan adik RA Kartini, sebenarnya Kardinah adalah adik lain ibu. Ibu
kandungnya bernama MA Ngasirah menjadi selir (istri sambungan dalam bahasa Jawa garwo
ampil).Pada jaman itu, lumrah adanya bila seorang pejabat tinggi di pemerintahan memiliki istri
selir. Jangankan dulu, wong di era sekarang saja kadang juga dianggap sah adanya.

Sebagai anak orang nomor satu di Kabupaten Jepara, Kardinah bersama kakak dan adiknya
mampu mendapatkan pendidikan yang lumayan (di masa itu). Mereka bersekolah di Europese
Lagere School (ELS) atau setingkat SD. Di luar pendidikan formal, sang ayah masih merasa
perlu mengundang guru les ke rumahnya. Tujuannya, agar putra putrinya memiliki kecerdasan
serta wawasan yang mumpuni.

Tahun 1902 saat usianya memasuki 21 tahun, dirinya dinikahi oleh putra Bupati Tegal
Reksonegoro yang bernama Patih Soejitno.Kendati menyandang status sebagai seorang istri,
namun semangat perjuangannya bukannya surut.Dia mulai mewujutkan cita- cita Het Klaverblad
(daun semanggi) yang berarti tiga saudara.

Memang, tiga bersaudara yang terdiri atas Kartini, Roekmini dan Kardinah mempunyai gagasan
besar yakni merefleksikan peran politik dalam komunitas Jawa secara umum. Bukan hanya
orang asing saja yang harus berbuat, namun dengan posisi sosialnya ia mampu melakukan
sesuatu bagi masyarakat.

Kardinah merasa geregetan dengan kebijakan pemerintahan kolonial yang membatasi secara
ekstra ketat pendidikan kaum pribumi.Level pendidikan lebih tinggi, hanya boleh digapai oleh
anak bangsawan meski harus bersekelah menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.
Dalam suratnya tertanggal 15 Juli 1911 kepada sahabat sang kakak, yakni Nyonya Abendanon,
dirinya sempat mempertanyakan perihal kesempatan itu.

“  Berapa banyak bangsa kami, saya bertanya pada diri sendiri, yang mampu untuk belajar di
sekolah- sekolah seperti itu ? Apakah itu adil ? Atau apakah yang seharusnya menjadi contoh
bisa membantu masyarakat pribumi untuk maju ?“ ungkap Kardinah dalam suratnya.

Mendirikan Sekolah dan Rumah Sakit

Secara perlahan, Kardinah membuat program pendidikan tersendiri di rumahnya.Melalui mulut


ke mulut, berita tersebut menyebar sehingga banyak kaum ningrat tertarik dengan model
pendidikan tersebut.Kalangan bangsawan tak sedikit yang menitipkan anak- anak mereka guna
memperoleh pendidikan a la Kardinah.Bintang terang mulai terlihat di tahun 1908, di mana
suaminya diangkat menjadi Bupati Tegal.

“Kini suami dan saya mempunyai rencana mendirikan sekolah sendiri bagi anak- anak pejabat
bawahan dari sumbuangan- sumbangan kolektif,” kata Kardinah dalam suratnya pada
Abendanon tanggal 15 Juli 1911.

Untuk mewujudkan gagasan yang sangat luar biasa itu, Kardinah mengumpulkan dana dengan
berbagai cara. Selain menjual koleksi buku miliknya, ia juga menerima bantuan dana dari istri
Asisten Residen Tegal HM de Stuers, istri kontrolir Tegal E. van den Bos dan istri Patih Tegal
bernama RA Soemodirdjo. Tanggal 1 Maret 1916, didirikan sekolah kepandaian putri Wismo
Pranowo. Beban tiap siswi hanya 50 sen, segala keperluan sekolah ditanggung bersama donator
lain.

Sekolah Wismo Pranowo awalnya menempati bekas gedung di kabupaten, muridnya hanya 150
orang, Di tahun 1924 jumlah siswi meningkat menjadi 200 orang sehingga dipecah di enam
ruangan belajar. Sekolah yang didirikan kardinah, menjadi rujukan pegiat pendidikan, termasuk
Dewi Sartika sang tokoh pendidikan asal Priangan. Bersama adiknya yang bernama Sari
Pamerat, mereka study banding ke Tegal.Bahkan, sempat ikut mengajar selama empat bulan
tanpa bayaran.

Ketika sekolah yang didirikan sudah berjalan normal, Kardinah kembali membuat terobosan.
Melihat kondisi kesehatan masyarakat Tegal yang jauh dari terjamin, apa lagi kerap mendengar
banyak ibu- ibu muda melahirkan tanpa memperoleh dukunga tenaga medis, hatinya tergerak.
Dengan dukungan suaminya, ia membangun fasilitas kesehatan sekaligus memberikan sosialisasi
tentang pentingnya medis. Hal ini dilakukan karena jaman itu, masyarakat lebih percaya klenik.

Tahun 1927, Kardinah mendirikan Rumah Sakit kardinah atau disebut Kardinah Ziekenhuis.
Salah satu orang yang mendukung berdirinya rumah sakit itu adalah Residen Pekalongan
Schilling yang tak sekedar memberikan bantuan moril, namun juga pendanaa. Bahkan, ia yang
meminta agar rumah sakit dinamai Kardinah. Tidak berhenti di situ, belakangan Kardinah juga
membangun rumah penampungan bagi fakir miskin, di mana rumah tersebut posisinya masih
berada di areal Kardinah Ziekenhuis. Atas segala jasanya, Kardinah diberi penghargaan oleh
pemerintahan Belanda, dirinya diberi bintang Ridde van Oranje Nassau dan pemerintah
Indonesia tahun 1969 memberikan Lencana Kebaktian Sosial.

Petaka Membuat Pindah ke Salatiga

Paska kemerdekaan Indonesia, Kardinah yang memiliki gagasan besar memerdekakan kaum
pribumi malah menuai petaka.Adanya revolusi di berbagai daerah, merembet ke Kabupaten
Tegal.Saat itu, terdapat gerombolan bromocorah yang dipimpin laki- laki sangar bernama
Kutil.Naas, Kardinah dan keluarganya yang dianggap sebagai sosok yang melambangkan
feodalisme, ditangkap gerombolan tersebut. Mereka diarak keliling kota sembari mengenakan
baju karung goni. Kejadian yang menyedihkan, figur yang berjasa itu diperlakukan semena-
mena.
Ada dua versi atas terjadinya peristiwa menyedihkan itu, yang pertama menyebutkan bahwa
Kardinah diarak keliling kota selanjutnya oleh gerombolan Kutil diserahkan pada Wedana
Adiwerna dan sempat disekap selama sepekan. Tindakan Wedana Adiwerna tersebut, rupanya
memancing reaksi kalangan priyayi dan Tentara Keamanan Rakyat, sehingga tanggal 15
November 1945 berlangsung operasi penyelamatan secara diam- diam, selanjutnya Kardinah
diungsikan ke Salatiga.

Sedangkan versi kedua, yakni pengakuan Kardinah sendiri ketika bertemu istri Walikota Tegal
Sardjoe yakni Sumiati Sardjoe, saat dirinya diarak keliling kota oleh gerombolan Kutil,
sesampainya di depan Rumah Sakit Kardinah, ia berpura- pura sakit sehingga memperoleh
perawatan medis. Hingga malam harinya, orang- orang yang merasa simpati atas perjuangan
Kardinah “menculiknya” dan melarikannya ke Kota Salatiga. Entah mana yang benar dua versi
tersebut, yang pasti semenjak menetap di Salatiga nama Kardinah seperti raib ditelan bumi.

Titik terang keberadaan Kardinah mulai muncul di tahun 1970 atau 25 tahun setelah peristiwa
mengenaskan itu terjadi.Sumiati yang merasa Kardinah adalah sosok ibu sekaligus pahlawan
bagi kaum perempuan, berupaya mencari keberadaannya.Celakanya, di tahun itu belum dikenal
namanya twitter, facebook mau pun perangkat komunikasi lainnya.Akibatnya, langkah pencarian
Sumiati berjalan terseok- seok.

Hingga suatu hari di tahun 1970, Sumiati yang tengah mengikuti pertemuan Gabungan
Organisasi Wanita di Semarang, mendengar kabar bahwa figur yang dikaguminya berada di Kota
Salatiga. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera bergegas menuju kota kecil tersebut. Sayang,
kendati berhasil menemukan rumah tingal Kardinah, namun, adik Kartini itu menolak
menemuinya.Ia masih trauma mendengar kata Tegal, sebab ada kenangan pahit yang melekat.

Ditolak bertemu, tak membuat Sumiati patah arang.Ia berupaya terus – menerus agar bisa
menemui kardinah. Setelah makan waktu cukup lama, akhirnya Kardinah berkenan
menemuinya.Dalam kesempatan itu, Sumiati menyampaikan undangan khusus dari Sumiati
supaya Kardinah mau berkunjung ke Tegal, sebab, jaman sudah berubah.Tahun 1971, Kardinah
berkunjung ke Tegal dan disambut penuh haru oleh masyarakat.Ia menyempatkan diri berziarah
ke makam suaminya.

Tidak berapa lama usai berkunjung ke Tegal, tanggal 5 juli 1971, Kardinah wafat menyusul
suaminya tercinta. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di usia 90 tahun, ia memilih Kota
Salatiga sebagai kota terakhir di perjalanan kehidupannya yang penuh warna. Itulah sedikit
gambaran jatuh bangunnya adik Kartini di masa pemerintahan kolonial Belanda, giliran bangsa
ini merdeka, dirinya malah kehilangan kemerdekaannya akibat ulah para bromocorah yang
menelan mentah berita sampah.Terima kasih ibu Kardinah, berkat perjuanganmu pula kaum
wanita sekarang sudah mampu berdiri sejajar dengan para pria. Saya meyakini, beliau di alam
sana bakal menangis melihat kaumnya yang sekarang kerap wira- wiri mengenakan hotpants
serta tanktop serba ketat. (*)

Anda mungkin juga menyukai