Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

DIAGNOSIS MOLEKULER

Dosen : Rafika, S.Si.,M.Kes


Mata kuliah : Biologi Sel Dan Molekuler II

Oleh
Leontius Manselmi
NIM. PO714203222015

PROGRAM SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN MAKASSAR
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadiran Tuhan yang Maha Esa karena atas bimbingan dan penyertaannya
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Diagnosis Molekuler”.
Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Biologi
Molekuler sekaligus memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang materi diagnosis molekuler
yang sangat berkembang pesat saat ini terutama dalam bidang teknologi laboratorium kesehatan untuk
memberikan informasi secara cepat dan akurat dalam menentukan mikroba yang menimbulkan penyakit
dan pengetahuan lain yang berhubungan dengan biologi molekuler.
Akhirnya penulis menyampaikan permohonan maaf manakala ada keterbatasan maupun
kekurangan dalam penulisan makalah ini, kiranya ada masukan, kritik, dan saran untuk melengkapi
makalah ini agar menjadi lebih berkualitas dan bermanfaat.

Makassar, 13 Agustus 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian........................................................................................................................ 3
2.2 Metode Pemeriksaan Diagnosis Molekuler .................................................................... 3
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 16
3.2 Saran ............................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepanjang perkembangan ilmu pengetahuan para ilmuan selalu berusaha untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan atau masalah-masalah yang telah dihadapi oleh ilmuan sebelumnya. Sejak
ditetapkannya postulat Koch maka berarti bahwa suatu agent penyebab suatu penyakit infeksi harus
dapat diisolasi pada suatu biakan murni, harus dapat diidentifikasi, menimbulkan suatu penyakit
yang sama pada hewan percobaan, dan dapat diisolasi kembali pada suatu biakan murni.

Selanjutnya perkembangan didalam menentukan penyebab penyakit infeksi diawali dengan


mengambil bahan pemeriksaan klinik melalui prosedur-prosedur pewarnaan, isolasi dengan
menggunakan medium pembenihan, melakukan reaksi-reaksi biokimiawi untuk menentukan
produk-produk metabolisme, dan tes-tes serologik atau imunodiagnostik untuk mendeteksi antigen
mikroba atau antibodi terhadap antigen mikroba. Pemeriksaan- pemeriksaan tersebut dilakukan di
bidang Mikrobiologi Kedokteran untuk tujuan diagnostik labolatorik atau tujuan-tujuan penelitian.

Dengan menggunakan dogma biakan murni dapat diisolasi dan diidentifikasi penyebab suatu
penyakit infeksi yaitu bakteri, jamur atau virus. Namun dengan teknik-teknik yang telah ada,
diketahui bahwa beberapa organisme sangat sulit atau mungkin tidak mungkin dibiakan, sehingga
harus dicari metode lain untuk dapat menetukan penyebab infeksi tersebut. Selain itu pada beberapa
keadaan metode-metode untuk identifikasi sangat terbatas dalam hal sensitivitas atau spesifitas atau
keduanya. Untuk menambah sensitivitas, mempercepat waktu pemeriksaan dan menentukan
mikroorganisme yang sukar dibiak telah dikembangkan suatu immunoassay yang biasa dilakukan
oleh laboratorium-laboratorium yang besar maupun yang kecil untuk mendapatkan hasil diagnosis
yang cepat.

Kemajuan di bidang biologi molekuler dan bidang pengembangan dari bioteknologi saat ini
merupakan langkah baru untuk menetukan penyebab infeksi sehingga dapat digunakan sebagai alat
bantu pembantu diagnosis, karena metode-metode biologi molekuler lebih sensitif, lebih spesifik,
dan lebih cepat. Prinsip-prinsip dasar di bidang biologi molekuler seperti genetika molekul, faga
bakteri, dan enzim-enzim bakteri melahirkan bioteknologi modern pada akhir tahun 1970.

Bidang diagnostik molekuler telah melihat banyak pertumbuhan dalam pengaturan klinis,
memberikan pendekatan cepat dan sensitif untuk mendeteksi dan memantau berbagai macam
penyakit manusia. Ada potensi yang sangat nyata untuk diagnostik molekuler untuk merevolusi

1
perawatan pasien, menawarkan alat yang lebih jauh dari karakterisasi penyakit sederhana,
menjangkau ke dalam domain karakterisasi pasien.

Pendekatan diagnostik molekuler menggunakan teknik deteksi asam nukleat untuk


menganalisis target DNA atau RNA dari individu yang terkena. Tes berbasis molekuler dapat
mencakup berbagai kondisi klinis dari penyakit genetik bawaan, melalui berbagai kanker, agen
penyakit menular, dosis obat atau skenario respons pengobatan (farmakogenomik), dan bahkan
pengobatan yang dipersonalisasi dan penyelidikan prognostik berdasarkan pada pembuatan genetik
individu-up (obat pribadi). Hasil dari tes diagnostik molekuler digunakan bersama dengan gejala
yang disajikan dan keahlian klinis dari dokter yang melayani untuk lebih memahami etiologi
penyakit, patogenesis, diagnosis dan prognosis.

Teknologi umum dalam lingkungan penelitian tidak selalu mudah diadopsi dalam pengaturan
diagnostik. Tes diagnostik harus menunjukkan utilitas klinis, sementara pada saat yang sama
mematuhi persyaratan kualitas yang ketat untuk reproduksibilitas, bersama dengan

kinerja sensitivitas dan spesifisitas yang tepat. Meskipun biologi molekuler telah menjadi
bidang studi selama lebih dari 50 tahun, integrasi diagnostik molekuler ke dalam bidang patologis
bervariasi. Sementara genetika klinis telah menjadi hampir seluruhnya berbasis molekuler, analisis
morfologi tradisional, analisis kimia, dan imunohistokimia akan selalu mendapat tempat di banyak
bidang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian diagnosis molekuler?

2. Bagaimana teknik pemeriksaan diagnosis molekuler?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian diagnosis molekuler?

2. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan diagnosis molekuler?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Diagnostik molekuler merupakan pengujian untuk menganalisa penanda biologi secara


genomik atau proteomik untuk mendapatkan informasi kesehatan atau penyakit pasien dalam
diagnostik klinis (Shukla et al. 2019).

Beberapa kelebihan diagnostik molekuler diantaranya adalah kecepatan dan hasil yang sangat
spesifik (tepat), dapat mendeteksi sampai pada tingkat molekul DNA (gen). Mendeteksi berbagai
patogen yang tidak dapat di kultur, tersedianya data base membuat diagnostik menjadi jauh lebih
baik, dan dilakukan dengan metode yang tidak invasive sehingga dapat memberikan kenyamanan
pada pasien yang bersangkutan.

Diagnostik molekuler dapat digunakan untuk berbagai macam jenis diagnostik diantaranya:
1. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis patogen seperti bakteri,
virus,jamur dan parasit.
2. Penyakit non-infeksi seperti kanker, penyakit degeneratif, penyakit kongenital dan
kelainan genetis.
3. Non-penyakit seperti test DNA untuk keperluan identifikasi manusia.
4. Material genetik lain seperti biomarker yang mempunyai hubungan dengan kesehatan.
2.2 Metode Pemeriksaan Diagnosis Molekuler
1) Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR (Polymerase Chain Reaction ) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan
jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim DNA polymerase dan
oligonukleotida sebagai primer dalam suatu termocycler. Primer yang berada sebelum daerah
target disebut sebagai primer forward dan yang berada setelah daerah target disebut primer
reverse. Teknik PCR digunakan untuk memperbanyak sekuen DNA tertentu dengan waktu
relatif singkat (beberapa jam). Dengan PCR, molekul DNA dapat diperbanyak sampai jutaan
kopi. oleh karena itu teknik ini bisa disebut amplifikasi DNA. Dalam teknik PCR,
diperlukan juga dNTP yang mencakup dATP (nukleotida berbasa Adenine), dCTP (Cytosine),
dGTP (Guanine) dan dTTP (Thymine). Beberapa komponen penting yang dibutuhkan dalam
reaksi PCR adalah: DNA target, primer, enzim Taq DNA polymerase, deoxynucleoside

3
triphosphat (dNTP), dan larutan penyangga (buffer).
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan,
yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA template, penempelan (annealing) pasangan primer
pada DNA target dan pemanjangan primer (extension) atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis
oleh DNA polymerase. Tiga tahap pada siklus PCR adalah sebagai berikut:

1. Denaturasi. Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi
dua untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi
menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap
ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang
sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90ºC – 95ºC.
2. Penempelan primer (annealing). Primer akan menuju daerah yang spesifik yang
komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan
terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada templat. Proses ini biasanya
dilakukan pada suhu 50ºC – 60ºC. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan
sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus
apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72º C.
3. Reaksi polimerisasi (extension). Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan
rantai ini, terjadi pada suhu 72ºC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami
perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen dengan
templat oleh DNA polimerase.
Didalam proses PCR, terjadi siklus yang berulang. 1 copy DNA setelah satu siklus akan
menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 copy dan
seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara eksponensial. Seperti pada
Gambar 2.2, siklus PCR biasanya berlangsung 35-40 siklus.

4
Gambar 2.2 Ilustrasi Amplifikasi PCR (Sumber: Vierstraete, 1999)

Produk PCR adalah Amplikon (segmen DNA) yang berada dalam jumlah jutaan copy,
tetapi tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh karena itu perlu adanya visualisasi
produk PCR yaitu dengan cara elektroforesis gel agarosa. Selain untuk mendeteksi,
elektroforesis gel agarosa juga bertujuan untuk mengetahui ukuran Amplikon dan mengetahui
kesesuaian amplikon dengan yang diinginkan. Hasil elektroforesis gel agarosa dapat dilihat
pada UV eliminator.

2) DNA Sequencing

DNA menyimpan informasi genetik dalam bentuk urutan nukleotida. Sekuensing DNA
merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui urutan nukleotida atau basa dalam
suatu fragmen DNA. Metode sekuensing merupakan salah satu terobosan utama dalam
genetika molekuler yang dapat mensekuensing potongan DNA secara cepat. DNA target yang
telah diamplifikasi dengan bantuan PCR akan disekuensing sehingga urutan basa nukleotida
yang dikode akan diketahui, yang nantinya dapat dijadikan bahan untuk identifikasi suatu
bakteri.

Pada dasarnya ada dua macam metode sekuensing yang telah dikembangkan, yaitu
metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger yang keduanya diperkenalkan pada tahun 1977.
Metode sekuensing yang paling banyak digunakan adalah metode Sanger. Selain lebih mudah,
praktis dan efisien, metode sanger juga sudah banyak digunakan dan jutaan nukleotida dari
berbagai spesies telah berhasil disekuensing dengan metode Sanger ini.

Pada metode Sanger dikenal dengan metode terminasi rantai, dan metode Maxam-
Gilbert dikenal dengan metode degradasi kimia (Brown, 2002). Metode Maxam-Gilbert
melibatkan degradasi kimiawi terhadap fragmen DNA yang akan disekuensing. Mula-mula
molekul DNA rantai ganda yang akan disekuensing dilabel salah satu ujungnya menggunakan
fosfat radioaktif, fragmen DNA yang sudah dilabel pada salah satu ujungnya dipotong tak
sempurna (partial digest) dalam empat reaksi kimia terpisah. Tiap reaksi membuat fragmen
DNA tersebut terpotong pada basa tertentu. Ini menghasilkan empat macam populasi fragmen
DNA yang semua ujungnya berlabel. Tiap populasi terdiri atas campuran fragmen DNA yang
panjangnya ditentukan oleh lokasi basa tertentu disepanjang fragmen DNA yang disekuensing
tersebut. Populasi fragmen DNA tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis melalui gel
polyacrilamida dan fragmen DNA yang berlabel pada ujungnya tersebut akan terdeteksi
melalui cara autoradiografi (Muladno, 2002). Metode degradasi kimia (Maxam-Gilbert)
memiliki kelemahan yaitu menggunakan bahan kimia yang beracun dan berbahaya bagi

5
kesehatan peneliti, sehingga hal ini merupakan alasan mengapa saat ini penentuan urutan basa
nukleotida (sekuensing) lebih banyak yang menggunakan metode Sanger.

Pada metode terminasi rantai (Sanger) reaksi sekuensing dimulai dengan reaksi PCR
untuk memperbanyak fragmen DNA. Pada Prinsipnya metode Sanger menggunakan
pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu.
Untuk mensintesis molekul DNA, diperlukan dNTP (Deoxynucleoside Triphospates) sebagai
bahan utamanya, sedangkan untuk menghentikan proses sintesis diperlukan ddNTP
(Dideoxynucleoside Triphospates) (Muladno, 2002). Metode Sanger memanfaatkan dua sifat
enzim DNA polymerase yaitu kemampuan untuk mensyintesis DNA dengan adanya dNTP dan
ketidakmampuan membedakan antara dNTP dan ddNTP (Sanger et al., 1977).

ddNTP tidak mempunyai gugus 3’-OH (hidroksil). ddNTP dapat digabungkan oleh
enzim taq polymerase pada untai DNA yang sedang disintesis melalui gugus 5’ triphosphat.
Namun, tidak adanya gugus 3’-OH mencegah terbentuknya ikatan phosphodiester dengan
dNTP berikutnya. Sintesis DNA tidak mungkin dilanjutkan dan berhenti pada posisi ddNTP.
Dengan demikian, jika satu jenis ddNTP (misalnya ddATP) dicampur dengan dNTP dalam satu
larutan reaksi, terjadi kompetisi antara dNTP yang memperpanjang molekul DNA dan ddNTP
yang memberhentikan proses pemanjangan tersebut (Muladno, 2002). Hasil akhir dari reaksi
tersebut adalah sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi (bervariasi satu basa
saja) dan basa terakhirnya sama bergantung dari ddNTP yang digunakan.

Fragmen-fragmen hasil sekuensing dipisahkan dengan elektroforesis gel polikakrilamid.


setelah itu dilakukan pembacaan hasil elektroforesis. Pembacaan hasil elektroforesis dapat
dilakukan bila fragmen-fragmen DNA yang terbentuk terlabeli. Pada awal perkembangan
teknik DNA sekuensing, pelabelan fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan radioisotop.
Label juga dapat berbentuk fluoresen. Pelabelan dapat dilakukan terhadap primer maupun pada
ddNTP. Pelabelan yang dilakukan pada ddNTP (dye terminator labeling) memberikan
kemudahan karena reaksi sekuensing dilakukan hanya dalam satu tabung. Lain halnya Jika
pewarnaan fluoresen dilakukan pada primer, reaksi pembentukan fragmen DNA harus
dilakukan dalam empat tabung terpisah (Gaffar, 2007). Fragmen-Fragmen yang berfluoresen
terbentuk karena inkorporasi ddNTP yang terlabel oleh pewarna. Masing-masing ddNTP yang
berbeda (dATP, dCTP, dGTP, dTTP) akan membawa sebuah warna yang berbeda. Dengan
demikian semua fragmen yang diterminasi oleh metode Sanger (yang berujung pada ddNTP)
mengandung sebuah dye pada ujung 3’nya.

Saat ini dengan bantuan teknologi semua dapat dilakukan dengan otomatis dan cepat

6
dengan bantuan mesin sequencer, dengan divariasi menggunakan pewarna berfluoresensi pada
ddNTP dan dideteksi menggunakan detektor yang terhubung dengan komputer sehingga
langsung dapat diolah (Brown, 2010). Dengan ditemukannya mesin Automated Capillary
Sequencer, proses pemisahan fragmen dan pembacaan urutan basa DNA dapat dilakukan
dengan lebih mudah, cepat dan otomatis. Hasil pembacaan mesin sequencer disebut
elektroferogram, yaitu peak-peak berwarna yang menunjukkan urutan basa DNA-nya seperti
terlihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Prinsip sekuensing (Sanger) dengan pewarnaan flouresen pada ddNTP (Sumber:
Brown, 2010).

3) Denaturating Gradient Gen Elektrophoresis (DGGE)

Mikrobiologi molekuler terapan dapat dikatakan merupakan bidang penelitian yang cepat
sekali berkembang. Salah satu cabang dalam bidang kajian ini adalah pengembangan metode
untuk mengidentifikasi dan memonitoring keberadaan mikroorganisme di ekosistem alami.
Metode mikrobiologi molekuler terus semakin berkembang sebagai pendukung yang valid bagi
teknik-teknik tradisional. Selama beberapa tahun terakhir, identifikasi bakteri berdasarkan
metode molekuler khususnya sekuensing gen 16S rDNA menjadi alat yang sangat penting
dalam mempelajari komunitas bakteri pada sampel lingkungan.

Metode kultur independen menjadi trend karena diyakini dapat mengatasi permasalahan
dalam kultivasi kultur mikroba secara selektif dan isolasi bakteri dalam sampel alami. Alasan
mendasar penggunaan metode kultur independen adalah kurangnya pengetahuan mengenai
kondisi alami mikroba tertentu sehingga sulit untuk membuat media untuk kultivasi secara
akurat di bawah kondisi tersebut. Metode molekuler mempunyai kelebihan lain seperti
kecepatan dan reliabilitas.

Teknik genetic fingerprinting dapat memberikan profil keanakaragaman genetik dari

7
suatu komunitas mikroba di ekosistem yang spesifik. Denaturing gradient gel electrophoresis
(DGGE) merupakan salah satu teknik kultur independen berdasarkan pemisahan amplikon
polymerase chain reaction (PCR) yang berukuran sama namun berbeda sekuen. PCR-DGGE
ribosomal DNA pertama kali diperkenalkan oleh Muyzer et al. pada tahun 1993.

Sejauh ini banyak peneliti menerapkan teknik PCR-DGGE dalam berbagai aplikasi di
bidang ekologi mikroba. PCR-DGGE biasanya diterapkan untuk mengetahui struktur
komunitas mikroba tanpa kultivasi dan untuk mempelajari dinamika komunitas sebagai respon
terhadap faktor-faktor lingkungan. Aplikasi teknik ini banyak ditujukan untuk mempelajari
struktur dan evolusi komunitas mikroba dari tanah, air laut, air sungai, air danau, saluran
pencernaan, bioreaktor pengolahan air limbah, insekta dan sampel klinis.

DGGE merupakan metode yang dapat mendeteksi perbedaan potongan DNA yang
berukuran sama namun berbeda sekuennya. Hal ini dikarenakan potongan DNA tersebut dapat
dipisahkan dalam gel denaturing gradient berdasarkan perbedaan profil denaturasinya
(melting).

Pada gel acrylamide, urea dan formamide dapat memberikan kondisi denaturasi. Larutan
100% bahan denaturan terdiri atas 7 M urea dan 40% formamide dalam air. Larutan dengan
denaturasi rendah dan tinggi dipersiapkan, dicampur dengan larutan acrylamide dan dituang
dalam tuangan gel menggunakan alat untuk membentuk denaturing gradient secara linier.
Selanjutnya elektroforesis dilakukan pada suhu yang konstan antara 55-65°C (biasanya 60°C).

Pada gel DGGE, potongan DNA untaian ganda terpisah sebagian pada area tertentu
(disebut melting domain) sewaktu ditempatkan pada lingkungan dengan denaturasi yang
meningkat. Melting temperature (Tm) domain ini adalah spesifik untuk sekuen. Sekali Tm
pada melting domain yang terendah tercapai, bagian potongan DNA tersebut terpisah sebagian
dan membentuk molekul yang ‘bercabang’. Hal ini menyebabkan mobilitas DNA dalam gel
acrylamide menjadi berkurang.

Selanjutnya, potongan DNA dengan ukuran yang sama namun komposisi pasangan
basanya berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda terhadap denaturing gradient.
Perbedaan sekuen potongan DNA akan mempunyai nilai Tm yang berbeda akan
bergerak/pindah pada jarak yang berbeda dalam gel DGGE. DGGE dapat dilakukan baik dalam
bentuk garis tegak (perpendicular) atau paralel. DGGE perpendicular gradient gel, biasanya
digunakan untuk mendeteksi melting behaviour potongan DNA dan untuk menentukan kisaran
denaturasi yang optimal dalam percobaan elektroforesis paralel. Gradien denaturasi adalah
garis tegak terhadap arah elektroforesis dan biasanya gradien berkisar antara 0-100% atau 20-

8
100%.

Pada DGGE paralel, gradien denaturasi adalah paralel terhadap bidang elektrik dan
kisaran denaturant dipersempit yang memungkinkan pemisahan yang lebih baik. Gel paralel
adalah yang paling sering diterapkan untuk multisampel pada gel yang sama. Waktu optimum
elektroforesis yang memungkinkan untuk pemisahan potongan DNA yang baik dapat
ditentukan dengan mengisi sampel yang berbeda pada gel paralel dalam interval waktu yang
sama.

Potongan DNA yang diisikan pada gel DGGE biasanya merupakan produk PCR.
Resolusi optimum dihasilkan sewaktu molekul tidak berdenaturasi secara total. Penambahan
30- sampai 40-bp GC clamp pada satu primer PCR memastikan bahwa potongan DNA akan
tersisa dalam bentuk untaian ganda dan dan terposisikan pada area dalam melting domain yang
terendah. Chemiclamps merupakan psoralen-derivatised primer PCR yang dapat digunakan
sebagai alternatif GC clamp dengan efek yang sama.

Meskipun begitu, chemiclamps berikatan kovalen pada satu ujung untaian DNA,
sehingga tidak dapat digunakan sewaktu potongan DGGE akan disekuensing karena band tidak
dapat dapat direamplifikasi secara langsung, kecuali jika nested primer digunakan. Melting
behaviour dari DNA untaian ganda telah dideskripsikan dengan model komputer (software)
seperti MacMeltTM yang dapat mengkalkulasi profil melting DNA dan menunjukkan area
domain sekuen yang telah diketahui dengan stabilitas yang tinggi dan rendah secara teroritis.
Penempatan primer dan GC clamp selanjutnya dapat dioptimasi dengan analisis efek
penempatan pada profil melting DNA.

Band pada cetakan DGGE dapat dilihat dengan pewarnaan ethidium bromide.
Kebanyakan prosedur adalah pewarnaan silver meskipun gel yang diwarnai silver tidak dapat
digunakan untuk percobaan hibridisasi dan potongan DNA untaian tunggal juga dapat
terdeteksi. SYBER Green I merupakan perwarnaan alternatif untuk visualisasi gel DGGE.
Pewarnaan SYBER Green tidak memberikan warna latar sehingga memungkinkan untuk
pendeteksian potongan DNA meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah.

4) DOT Blotting

Dot blot seperti Western blot karena melibatkan deteksi protein terikat membran berbasis
antibodi. Namun, perbedaan utama antara kedua teknik tersebut adalah dot blotting tidak
memerlukan pemisahan elektroforesis. Selama dot blot, sampel (biasanya lisat sel atau
jaringan, atau protein rekombinan) terlihat langsung ke membran nitroselulosa atau PVDF,
yang kemudian diblokir sebelum inkubasi dengan antibodi primer. Setelah dicuci untuk

9
menghilangkan reagen antibodi yang tidak terikat, antibodi sekunder yang diberi label dengan
bagian deteksi seperti horseradish peroxidase (HRP) atau pewarna fluoresen ditambahkan
untuk memungkinkan deteksi target.

Dot blot memiliki beberapa kegunaan. Pertama, metode ini menawarkan metode yang
cepat dan mudah untuk memeriksa apakah suatu sampel mengandung protein tertentu. Asalkan
antibodi primer khusus untuk target yang diinginkan, dot blot menghasilkan konfirmasi visual
yang cepat akan keberadaannya. Kedua, dot blot memungkinkan peneliti memperkirakan
konsentrasi protein target dalam sampel. Ini melibatkan bercak konsentrasi kontrol yang
diketahui (misalnya, protein rekombinan) ke membran, yang dengannya sampel dapat
dibandingkan. Ketiga, dot blot digunakan untuk memastikan apakah suatu antibodi
menunjukkan pengikatan spesifik, sebuah strategi yang biasanya digunakan untuk validasi
antibodi sekunder. Terakhir, dot blot banyak digunakan untuk mengoptimalkan konsentrasi
antibodi primer dan sekunder yang ditujukan untuk Western blotting. Dalam skenario ini,
antibodi primer terlihat langsung ke membran sebelum dideteksi dengan antibodi sekunder.
Seringkali, dot blot dikonfigurasi dalam pola kisi untuk menyederhanakan identifikasi
pasangan konsentrasi primer: sekunder yang optimal.

Keuntungan utama dot blot dibandingkan Western blot adalah jauh lebih cepat. Dot blot
juga lebih hemat biaya, karena menghilangkan kebutuhan akan bahan seperti gel
poliakrilamida, penanda berat molekul, dan semua peralatan serta penyangga yang diperlukan
untuk gel running dan transfer protein. Selain itu, dot blot memungkinkan penyaringan sampel
dalam jumlah besar untuk keberadaan protein yang diinginkan, tanpa dibatasi oleh jumlah jalur
yang tersedia pada gel. Di sisi lain, dot blot memiliki beberapa kelemahan akibat kurangnya
pemisahan protein. Ini termasuk ketidakmampuan untuk menentukan berat molekul, isoform,
atau integritas protein, dan potensi latar belakang yang lebih tinggi. Dot blot juga menghalangi
pemantauan ekspresi target normal dan termodifikasi dalam blot yang sama. Selain itu, karena
dot blot umumnya tidak memasukkan metode untuk normalisasi (misalnya, deteksi protein
housekeeping), membandingkan kadar protein secara akurat di antara sampel yang berbeda
tidak mungkin dilakukan.

5) Southern Blotting

Southern blot adalah suatu teknik yang dikembangkan oleh Edwin. M. Southern pada
1975, seorang ahli biologi asal Inggris. Teknik ini digunakan untuk pendeteksian suatu DNA
sequence spesifik (gen atau lain) dalam sample kompleks DNA (selular DNA). Ini juga
digunakan untuk menentukan bobot molekular suatu restriksi fragmen dan untuk mengukur

10
sejumlah relatif dalam sample berbeda. Di bawah kondisi-kondisi optimal, Southern blot
mendeteksi ~ 0.1 pg DNA yang menarik. Blot teknik digunakan untuk memindahkan protein
DNA dan RNA ke suatu pengangkut sehingga dapat dipisahkan, dan sering juga diikuti
penggunaan suatu gel ectrophoresis.

Southern blot digunakan untuk memindahkan DNA. Digunakan biologi molekular untuk
melihat kemungkinan kehadiran suatu urutan DNA dalam suatu sample DNA. Southern blot
Selatan berkombinasi gel agarose electrophoresis untuk separasi ukuran DNA dengan metoda
untuk memindahkan DNA ke suatu membran filter untuk pemeriksaan hybridisasi. Metoda lain
adalah Western blot dan Northern blot memiliki prinsip kerja yang sama tetapi menggunakan
RNA dan protein.

Setelah electrophoresis, gel tersebut diperlakukan dengan suatu alkali yang


menyebabkan DNA terdenaturasi dan terpisah menjadi rantai tunggal. Suatu membran seperti
selaput ditempatkan pada gel dan diberi tekanan melalui pengisapan atau metoda mundane
dalam kertas handuk (paper towels) dengan suatu berat. DNA berpindah tempat ke membran
dan stick. Membran DNA-impregnanted dibakar atau menyebar secara permanen dengan
menyertakan DNA tersebut. Molekul yang kemudian diperlakukan dengan suatu pemeriksaan
hybridisasi yang mana hanya suatu molekul DNA dengan urutan dikenali yang akan
dipasangkan dengan urutan DNA yang telah ditandai (diblot). Pemeriksaan DNA berlabel
dengan fluorescents atau chromogenic berpijar sehingga dapat teridentifikasi. Dengan
pengujian pola dari hybridisasi dengan sinar X atau Autoradiografi, peneliti dapat menentukan
fragmen yang berisi DNA sequence spesifik atau gen.

Metode ini mengkombinasikan elektroforesis gel agarosa untuk memisahkan DNA


berdasarkan ukurannya dan kemudian ditransfer ke membran filter untuk selanjutnya dilakukan
hibridisasi dengan probe. Untuk mengidentifikasi ataupun melacak suatu fragmen DNA
spesifik diperlukan suatu pelacak (probe). DNA dipisahkan terlebih dahulu dengan
elektroforesis. Probe yang dilabel akan terhibridisasi pada pita-pita DNA untuk mengetahui
apakah DNA tersenonetheless mengandung gen yang diinginkan. Southern blot mendeteksi
ssDNA dengan menggunakan DNA sebagai pelacak. Selain Southern Blot metode lain yang
mirip dan dikembangkan dari Southern Blot adalah Western Blot Northern Blot dan
Southwestern Blot yang memiliki prinsip yang sama namun molekul yang akan dideteksi dan
pelacak yang digunakan berbeda. Kegunaan dari Southern Blot adalah untuk menganalisis
keberadaan mutan yang ada pada suatu organisme dan dapat diketahui ukuran dari gen yang
menjadi mutan pada organisme tersenonetheless.

11
Teknik Southern Blot telah digunakan dalam berbagai aplikasi di bidang kesehatan
maupun pada rekayasa genetika. Salah satunya digunakan untuk menganalisis sistem major
histokompatibilitas pada tikus dan menganalisis penyusunan klon dari gen T-cell receptor
penyakit luka yang diakibatkan oleh mikosis dari fungoides.

Keuntungan teknik ini adalah dapat digunakan untuk laki-laki maupun wanit, namun
memiliki kelemahan seperti membutuhkan waktu yang cukup lama, mahal, membutuhkan
DNA yang banyak terdapat tahap radioaktif di dalamnya, dan tidak dapat mengidentifikasi
mutasi hingga pokoknya.

6) Real Time PCR

Real Time PCR adalah teknik yang digunakan untuk memonitor progress reaksi PCR
pada waktu yang sama (Biosoft, 2007). RT-PCR juga dikenal sebagai quantitative
PCR (qPCR). Jumlah produk PCR (DNA, cDNA atau RNA) yang relatif sedikit, dapat
dihitung secara kuantitatif.

Prinsip kerjanya didasarkan pada deteksi fluoresensi yang diproduksi oleh molekul
reporter yang meningkat sejalan dengan berlangsungnya proses PCR. Hal ini terjadi karena
akumulasi produk PCR pada tiap siklus amplifikasi. Molekul reporter dengan fluoresensi
meliputi pewarna yang berikatan pada double-stranded DNA (menggunakan SYBR®Green
atau EvaGreen®Reagents ) atau menggunakan probe spesifik sekuens/sequence specific probes
(Molecular Beacons or TaqMan® Probes).

Gambar 1. Contoh Mesin Real


Time PCR

Analisis menggunakan Real time PCR memiliki sensitivitas tinggi dan lebih spesifik untuk
produk PCR tertentu. Real time PCR juga meliputi Real Time-RT PCR dimana PCR dilakukan
secara Real Time menggunakan enzim Reverse Transcriptase secara langsung pada waktu yang
bersamaan. Real Time-RT PCR memiliki tambahan siklus Reverse Transcription yang memacu

12
perubahan molekul DNA dari molekul RNA. Real Time-RT PCR diperlukan karena RNA kurang
stabil dibandingkan dengan DNA.

Gambar 2. Proses Real Time PCR pada deteksi target non-spesifik (Fraga et al.,
2008).

Pada prosedur Real Time PCR, molekul reporter dengan fluoresensi (pada Gambar 2
ditunjukkan dengan bagian berwarna hijau) digunakan untuk memonitor proses PCR. Fluoresensi
akan dipendarkan oleh molekul sebagaimana terakumulasinya produk PCR pada tiap siklus
proses amplifikasi. Berdasar pada molekul yang digunakan untuk deteksi, teknik Real Time PCR
dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Deteksi target non-spesifik menggunakan pewarnaan DNA

Pada Real Time PCR, pewarna DNA digunakan sebagai reporter fluoresensi untuk
memonitor reaksi Real Time PCR. Fluoresensi pada reporter akan terakumulasi seiring
dengan proses amplifikasi yang berlangsung. Pencatatan secara kuantitatif dilakukan dengan
menghitung pancaran fluresensi tiap siklus PCR. Hal tersebut mungkin untuk dilakukan guna
memonitor reaksi PCR selama fase eksponensial. Jika grafik digambarkan antara log jumlah
awal template dan hubungan peningkatan fluoresensi reporter selama proses Real Time PCR,
maka akan didapatkan suatu garis hubungan yang menunjukkan kuantitas gen yang
diekspresikan.

2. Deteksi target spesifik


Deteksi target spesifik Real Time PCR dilakukan menggunakan beberapa probe
oligonucleotide yang dilabeli pada dua bagian reporter dengan label
(pewarna) fluoresensi/fluorescent dye dan pewarna quencher/ quencher dye.

13
Kuantitas mRNA dalam sel merupakan parameter jumlah gen yang terekspresi. Untuk
menganalisa tingkat ekspresi gen, cDNA yang telah disintesis dari mRNA diuji secara kuantitatif
menggunakan real time PCR. Analisis hasil real time PCR dapat dilakukan secara absolute
quantification dan relative quantitation. Metode relative quantitation atau yang dikenal juga
dengan comparative threshold method menghilangkan kebutuhan akan kurva standar yang
digunakan dalam perhitungan absolute quantification dan menggunakan perhitungan secara
matematika untuk mengukur tingkat kuantitatif relatif ekspresi dari gen target dengan
menggunakan gen referensi dan kalibrator dari jaringan.
Untuk mengetahui ekspresi suatu gen maka dibutuhkan gen referensi sebagai pembanding
internal (endogenous control) jumlah DNA agar tidak terjadi kesalahan interpretasi akibat jumlah
DNA yang berbeda. Gen referensi yang digunakan adalah gen yang tidak terpengaruhi oleh
lingkungan. Gen yang paling banyak digunakan adalah housekeeping gene seperti actin dan
gliseraldehida-3-fosfat-dehidrogenase.
Hasil real time PCR dengan metode comparative threshold meliputi nilai Cq dan relative
quantitation. Cq merupakan hasil fraksi jumlah siklus PCR dimana nilai reporter fluoresensi lebih
besar dari tingkat deteksi minimal mesin real time PCR sehingga amplicon meningkat secara
signifikan. Nilai Cq didapat dari jumlah siklus pada proses PCR yang berpotongan dengan garis
threshold. Threshold adalah garis yang menandai peningkatan sinyal fluoresensi secara signifikan
berdasarkan variabilitas baseline, namum posisi threshold dapat diatur bebas pada setiap titik di
fase eksponensial. Nilai relative quantitation dihitung berdasarkan satuan massa dengan rasio
nilai Cq kalibrator dengan Cq sampel dengan bentuk rumus:
Rasio(sampel/kalibrator) = ECq (kalibrator)-Cq (sampel)
E adalah nilai efisiensi amplifikasi yang menjelaskan berapa banyaknya target yang diproduksi
dalam setiap siklus PCR. Jika proses PCR efisien 100%, maka setiap siklus akan memproduksi
dua kali lipat hasil dari template semula. E bernilai 2 jika amplifikasi PCR 100% efisien (Bio-
Rad, 2006). Jika E bernilai 2, maka perhitungannya menjadi sebagai berikut:
Rasio(sampel/kalibrator) = 2Cq (kalibrator)-Cq (sampel) ;atau
Rasio(sampel/kalibrator) = 2DCq ; dimana DCq = Cq(kalibrator) – Cq(sampel)
Analisis relative quantitation menggunakan gen referensi yang umum digunakan adalah
Livak Method atau yang dikenal juga dengan metode 2–DDCq dan metode Pfaffl. Pada metode
ini diperlukan formula rumus alternatif untuk menentukan ekspresi relatif gen target pada sampel
yang berbeda-beda.
Untuk menentukan rasio antara sampel dan kalibrator, digunakan rumus berikut ini:

14
Aplikasi dari Real Time PCR (Biosoft, 2007) antara lain digunakan sebagai studi expresi
gen secara kuantitatif, penghitungan jumlah copy DNA (cDNA) pada genom atau DNAs virus,
analisis pembedaan alel atau genotiping Single Nucleotide Polymorphism SNP, untuk verifikasi
hasil microarray, keefektifan obat terapi, penghitungan kerusakan DNA.
Perbedaan Real Time PCR dan PCR biasa yaitu, dengan Real Time PCR deteksi produk
PCR dapat dihasilkan pada fase awal reaksi. PCR biasa hanya menggunakan Electrophoresis gel
untuk deteksi produk amplifikasi PCR pada fase akhir, tanpa mengetahui jumlah produk PCR
yang diekspresikan atau dihasilkan.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Diagnostik molekuler merupakan pengujian untuk menganalisa penanda biologi secara


genomik atau proteomik untuk mendapatkan informasi kesehatan atau penyakit pasien dalam
diagnostik klinis (Shukla et al. 2019).

Diagnostik molekuler dapat digunakan untuk berbagai macam jenis diagnostik diantaranya:
penyakit infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis patogen seperti bakteri, virus,jamur dan
parasit. Penyakit non-infeksi seperti kanker, penyakit degeneratif, penyakit kongenital dan kelainan
genetis. Non-penyakit seperti test DNA untuk keperluan identifikasi manusia. Material genetik lain
seperti biomarker yang mempunyai hubungan dengan kesehatan.

Metode pemeriksaan diagnosis molekuler terdiri dari :

1. Polymerase Chain Reaction (PCR), PCR dapat mengamplifikasi (memperbanyak)


potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua uah primer
oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diperbanyak
adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA templatenya.

2. DNA Sequencing

Sekuensing DNA merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui urutan
nukleotida atau basa dalam suatu fragmen DNA. Metode sekuensing merupakan salah satu
terobosan utama dalam genetika molekuler yang dapat mensekuensing potongan DNA
secara cepat. DNA target yang telah diamplifikasi dengan bantuan PCR akan disekuensing
sehingga urutan basa nukleotida yang dikode akan diketahui, yang nantinya dapat
dijadikan bahan untuk identifikasi suatu bakteri atau virus.

3. DGGE (Denaturating Gradient Gen Elektrophoresis)

DGGE merupakan metode yang dapat mendeteksi perbedaan potongan DNA yang
berukuran sama namun berbeda sekuennya. Hal ini dikarenakan potongan DNA tersebut
dapat dipisahkan dalam gel denaturing gradient berdasarkan perbedaan profil

16
denaturasinya (melting).

4. DOT Blotting

Dot blot seperti Western blot karena melibatkan deteksi protein terikat membran berbasis
antibodi. Namun, perbedaan utama antara kedua teknik tersebut adalah dot blotting tidak
memerlukan pemisahan elektroforesis. Selama dot blot, sampel (biasanya lisat sel atau
jaringan, atau protein rekombinan) terlihat langsung ke membran nitroselulosa atau PVDF,
yang kemudian diblokir sebelum inkubasi dengan antibodi primer. Setelah dicuci untuk
menghilangkan reagen antibodi yang tidak terikat, antibodi sekunder yang diberi label
dengan bagian deteksi seperti horseradish peroxidase (HRP) atau pewarna fluoresen
ditambahkan untuk memungkinkan deteksi target.

5. Southern Blotting

Southern blot adalah suatu teknik yang dikembangkan oleh Edwin. M. Southern pada 1975,
seorang ahli biologi asal Inggris. Teknik ini digunakan untuk pendeteksian suatu DNA
sequence spesifik (gen atau lain) dalam sample kompleks DNA (selular DNA). Ini juga
digunakan untuk menentukan bobot molekular suatu restriksi fragmen dan untuk mengukur
sejumlah relatif dalam sample berbeda. Di bawah kondisi-kondisi optimal, Southern blot
mendeteksi ~ 0.1 pg DNA yang menarik. Teknik ini digunakan untuk memindahkan protein
DNA dan RNA ke suatu pengangkut sehingga dapat dipisahkan, dan sering juga diikuti
penggunaan suatu gel elctrophoresis.

6. RT-PCR

Real Time PCR adalah teknik yang digunakan untuk memonitor progress reaksi PCR
pada waktu yang sama (Biosoft, 2007). RT-PCR juga dikenal sebagai quantitative
PCR (qPCR). Jumlah produk PCR (DNA, cDNA atau RNA) yang relatif sedikit, dapat
dihitung secara kuantitatif. Prinsip kerjanya didasarkan pada deteksi fluoresensi yang
diproduksi oleh molekul reporter yang meningkat sejalan dengan berlangsungnya proses
PCR. Hal ini terjadi karena akumulasi produk PCR pada tiap siklus amplifikasi.

Perbedaan Real Time PCR dan PCR biasa yaitu, dengan Real Time PCR deteksi produk
PCR dapat dihasilkan pada fase awal reaksi. PCR biasa hanya menggunakan
Electrophoresis gel untuk deteksi produk amplifikasi PCR pada fase akhir, tanpa
mengetahui jumlah produk PCR yang diekspresikan atau dihasilkan.
3.2 Saran

17
Diagnosis molekuler berbasis genomik merupakan suatu terobosan baru dalam bidang
diagnostik klinis di Indonesia. Metode-metode yang berkembang saat ini baik secara nasional
maupun internasional memiliki akurasi diagnostik yang berbeda dari segi jenis penyakit, gen acuan,
dan sampel yang digunakan. Keberagaman hasil tersebut sangat memerlukan peran standarisasi dan
penilaian kesesuaian dalam ketelusuran hasil ke internasional menggunakan bahan acuan dan
pengembangan standar yang dapat menghasilkan diagnosis yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, A., dkk., 2020, Genomic Molecular Detection Methods And Diagnostic Acuracy in The
Development of Clinical Diagnostics in Indonesia. Artikel Badan Standarisasi Nasional
Gayatri, L, dkk., Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) for Detection of Viable
Mycobacterium Leprae in Multibacilar Type Patients after MDT-WHO Treatment. Jurnal Vol. 26
No. 2 2014. Departemen /Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Nurhayati, Betty dan Sri Darmawati, 2017, Biologi Sel dan Molekuler. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Sudigdoadi, S. 2015. Diagnostik Mikrobiologi Molekuler. Departemen Mikrobiologi FK Universitas
Padjajaran. Bandung
https://achmaddinoto.wordpress.com/2010/02/01/mengenal-teknik-pcr-dgge/
https://www.jacksonimmuno.com/secondary-antibody-resource/immuno-techniques/dot-blotting-for-
quick-detection/
https://www.academia.edu/31958497/Southern_blotting
https://generasibiologi.com/2016/03/real-time-pcr.html

18

Anda mungkin juga menyukai