Oleh:
dr. Fitriana Wibowo
2250304205
Pembimbing:
dr. Rahmi Lestari, Sp. A(K)
dr. Ronaldi Noor, Sp.A, M. Biomed
NIM : 2250304205
PENDAHULUAN
Meningitis adalah suatu penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan pada lapisan
otak dan sumsum tulang belakang yang disebut meningen. Meningitis tuberkulosis
(TB) merupakan peradangan meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis (M. tuberculosis). Meningitis TB terjadi akibat penyebaran bakteri M.
tuberculosis melalui proses hematogen dan limfogen dari infeksi primer pada paru.1
Meningitis TB diperkirakan terjadi pada satu dari 100 kasus TB, dan
merupakan kondisi tuberculosis yang paling fatal, sehingga menyebabkan tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada dewasa dan anak. 2 Angka kematian mencapai
20-30% pada TB tanpa infeksi HIV, dan mencapai 50-60% pada TB dengan infeksi
HIV. Meningitis TB paling sering menyerang anak dan individu dengan HIV.3,4
Meningitis TB sering hadir dengan gejala yang tidak spesifik selama tahap
awal penyakit, hal ini mengakibatkan diagnosis sering tertunda dan pada akhirnya
datang dengan gejala klinis yang lebih buruk. Meskipun diagnosis dini dan
pengobatan adalah kunci untuk mengurangi angka morbiditas, namun ditemukan
hampir 50% anak dengan meningitis TB didiagnosis pada tahap lanjut. 2 Oleh karena
itu, petugas kesehatan harus melakukan skrining dan kewaspadaan yang tinggi
terhadap diagnosis meningitis TB, terutama di daerah endemis TB.3
8
dan pemeriksaan, analisis CSS dan neuroimaging yang menunjukkan peningkatan
basal meningeal, infark, hidrosefalus dangan atau tanpa tuberkuloma.4
Brain specific biomarker telah menjadi alat yang berharga untuk diagnosis
dan prognostik pada cedera otak dan infeksi, seperti cedera otak traumatis atau stroke.
Spesifitas sel dapat menunjukkan sifat cedera seluler, konsentrasi dari biomarker
mencerminkan keparahan cedera, dan perubahan kadar biomarker dapat memberikan
informasi tentang pemulihan atau cedera yang berkembang. Biomarker cedera khusus
otak ini diteliti memiliki hubungan dengan meningitis TB. Biomarker otak pada CSS
tersebut di antaranya S100B, GFAP dan NSE yang terkait dengan infark pada
pencitraan otak. Selanjutnya, biomarker ini secara serial di amati selama empat
minggu pertama rawat inap dan menunjukan penurunan konsentrasi pada semua
pasien yang mengalami perbaikan, sedangkan biomarker otak ini terus meningkat
pada pasien yang meninggal, hal ini tentunya dapat menjadi biomarker prognostik
yang menjanjikan.6 Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penulisan sari pustaka tentang biomarker pada meningitis TB.
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
Dalam laporan WHO pada tahun 2020, tuberkulosis dinyatakan sebagai penyakit
menular paling mematikan secara global. Pada tahun 2019 kejadian TB di dunia
tercatat sebanyak 10 juta, dengan kejadian terbanyak di negara-negara di Afrika.
Meningitis TB diperkirakan terjadi pada satu dari 100 kasus TB, dan merupakan
kondisi tuberculosis yang paling fatal, sehingga menyebabkan tingginya angka
morbiditas dan mortalitas pada dewasa dan anak.6 Angka kematian mencapai 20-30%
pada TB tanpa infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan meningkat hingga
50-60% pada TB dengan infeksi HIV.3 Meningitis TB paling sering menyerang anak
dan individu dengan HIV.4
10
kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian meningitis TB jarang terjadi
pada usia dibawah 3 bulan, dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama,
tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar anak dengan meningitis TB akan memberikan gejala sisa, hanya 18%
yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis TB yang
tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu.6
11
berkembang secara aktif. Risiko TB pada individu HIV positif adalah sebesar 10%
dalam setahun dibandingkan dengan individu sehat.16,17
Resiko lainnya adalah kontak erat dengan individu yang menderita penyakit
TB, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki
dan pada bayi yang tidak diberikan ASI. Cara penyebaran dari kontak orang ke orang
melalui sekret atau droplet saluran pernafasan. 13
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis meningitis TB dimulai dari adanya infeksi pernapasan, lalu diikuti oleh
penyebaran secara hematogen ke sistem saraf pusat (SSP). Biasanya fokus infeksi
primer terdapat di paru, namun Blockloch menemukan 22,8% dengan fokus infeksi
primer di abdomen, 2,1% di kelenjar limfe leher dan 1,2% tidak ditemukan adanya
fokus infeksi primer. Dari fokus infeksi primer, basil masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa TB milier atau hanya menimbulkan beberapa penyebaran fokus infeksi
yang biasanya tenang.18,19
Di dalam paru, infeksi lokal dimulai setelah menghirup secara aerosol udara
yang mengandung M. tuberculosis, hal ini menyebabkan makrofag alveolar, neutrofil,
dan dendritik cell (DC) teraktivasi dan melepaskan banyak sitokin, kemokin, dan
peptida antimikroba. Dendritik cell yang terinfeksi menyebar ke kelenjar getah
bening lokal dan dengan pengaruh sitokin dan kemokin merangsang diferensiasi sel
T-helper 1. Sel T-helper 1 akan melepaskan sitokin Interferon-gamma (IFN-γ) dan
Tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) ke tempat infeksi dan mengaktifkan makrofag
dan DC untuk memproduksi sitokin dan peptida antimikroba untuk menahan infeksi.
Setelah itu, granuloma akan terbentuk, dengan mengandung basil bakteri TB dalam
keadaan laten.20
12
Proses inflamasi pada parenkim menghasilkan Ghon focus, kemudian
penyebaran basil secara limfo-hematogen menyebabkan basil beredar ke seluruh
tubuh, mencapai meningen, dan terkadang hingga pleksus koroideus atau dinding
ventrikel membentuk Rich Fokus.21 Penyebaran hematogen ke sistem organ lain,
termasuk SSP, dapat terjadi setelah salah satu dari dua proses, sebagai berikut: (i),
bakteremia singkat dapat terjadi ketika M. tuberculosis masuk ke kelenjar getah
bening menjadi infeksi lokal TB primer, sebelum pembentukan granuloma; atau (ii)
tahap infeksi laten yang berkembang menjadi penyakit TB aktif karena penurunan
respon imun, terutama pada orang tua, immunocompromised, atau individu yang
sangat muda, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan paru-paru. Basil M.
tuberculosis melewati epitel alveolar melalui fagosit yang terinfeksi atau sebagai
bakteri bebas yang kemudian akan berikatan menggunakan protein antigen, yaitu
Early Secretory Antigenic 6 (ESAT-6) dan Culture Filtrate Protein 10 kDA (CFP-
10), bersama dengan heparin-binding hemaglutinin adhesin (HBHA).20
Basil TB dapat menyebar melalui Blood Brain Barrier (BBB) dan Blood-CSS
Barrier (BCSSB) melalui mekanisme berikut ini: (i) "Trojan horse", M. tuberculosis
melewati barrier melalui makrofag dan neutrofil yang terinfeksi; atau (ii) invasi
basiler ke endothelium otak, dimediasi oleh M. tuberculosis pknD (Rv0931c). Di
otak, basil TB menginisiasi perkembangan lesi tuberkulosis yang dikenal sebagai
Rich Fokus di meningens atau permukaan subpial atau subependymal. Pecahnya lesi
fokus ini melepaskan M. tuberculosis ke dalam ruang subarachnoid atau sistem
ventrikel, menyebabkan infeksi granulomatosa dan radang meningens. Isi fokus ini
dapat menyebar ke dalam ruang subarachnoid, 6-8 minggu kemudian memulai respon
inflamasi host dengan peradangan perivaskular dan eksudat basal yang
mengakibatkan terjadinya infark, kelumpuhan saraf kranial, dan hidrosefalus.20,21
13
aliran subarachnoid, menghalangi aliran CSS dan mengakibatkan hidrosefalus serta
peningkatan tekanan intrakranial. Dampak dari eksudat ini lebih lanjut (i)
menghambat proliferasi pembuluh darah kecil, yang menyebabkan iskemik fokal atau
difus, sedangkan penyumbatan arteri yang lebih besar menyebabkan infark; dan (ii)
perineuritis, mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan dalam kasus yang parah,
(iii) keterlibatan parenkim langsung. Representasi skematis dari rute inhalasi M.
tuberculosis terhadap perkembangan meningitis TB ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Penyebaran bakteri basil ini, khususnya umum terjadi pada anak dibawah lima
tahun. Pada usia ini anak sangat rentan terhadap penyebaran sistemik M.tuberculosis
pasca infeksi. Studi menemukan bahwa anak dibawah usia satu tahun yang tidak
mendapat BCG dan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) memiliki 20% risiko
meningitis TB atau TB milier setelah infeksi M.Tuberculosis primer. Sebuah meta-
14
analisis studi terbaru pada 137.647 anak yang terpajan TB melaporkan hampir 20%
anak tidak mendapat TPT sebelumnya. Terdapat peningkatan risiko TB di antara
anak-anak yang hidup dengan HIV, namun tidak ada bukti adanya korelasi kuat
antara risiko meningitis TB dan HIV di anak-anak.21
Gejala meningitis bisa belum terlihat nyata walaupun selaput otak sudah terkena. Hal
demikian dapat ditemukan pada TB milier sehingga jika dicurigai terjadinya
penyebaran secara milier, sebaiknya dilakukan lumbal pungsi walaupun gejala
meningitis belum tampak.13
Stadium Prodormal
Gejala meningitis TB didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak.
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa demam atau hanya terdapat kenaikan
suhu ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak menjadi
apatis dan tidurnya sering terganggu. Pada anak yang lebih besar dapat mengeluh
nyeri kepala. Keluhan malaise, anoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering
ditemukan. Pada stadium ini belum tampak manifestasi kelainan neurologis.8
Stadium Transisi
Stadium prodromal kemudian diikuti oleh stadium transisi yang ditandai dengan
kejang. Gejala menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk, seluruh
tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi,
ubun-ubun menonjol dan umumnya terdapat kelumpuhan saraf mata sehingga timbul
gejala strabismus dan nistagmus. Tuberkel sering terdapat pada daerah koroid. Suhu
tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran menurun hingga stupor. Pada stadium
transisi juga ditemukan gejala kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, dan hemibalismus).8
15
Stadium Terminal
Stadium terminal dapat ditemukan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil
melebar dan tidak memberikan reaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak
teratur, kadang - kadang ditemukan pernafasan Cheyne-Stokes. Terdapat keluhan
hiperpireksia dan anak dapat meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali.8
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu
dengan lainnya, jika tidak diobati umumnya berlangsung selama 3 minggu sebelum
anak meninggal.8
Presentasi klinis yang klasik dari penyakit meningitis sub-akut sulit dibedakan
dari penyebab meningoencephalitis lainnya. Saat gejala neurologis yang muncul,
seperti koma, kejang, peningkatan tekanan intrakranial serta hemiparesis, maka
diagnosis akan terlihat jelas namun prognosisnya buruk. Gangguan motorik dapat
ditemukan setelah terjadi infark pada basal ganglia, dengan gejala tremor, korea,
balismus atau mioklonus. Pada beberapa kasus, anak datang dengan ensefalopati TB
dengan TB milier namun tanpa bukti meningitis secara klinis ataupun pada hasil
pemeriksaan LCS.8,22
Pada meningitis TB dengan keterlibatan spinal, kurang dari 10% kasus dapat
menunjukkan gejala paraplegi. Tuberkulosis vertebral (Pott’s disease) terjadi pada
seperempat pasien dengan meningitis TB dan berhubungan dengan abses
paravertebral atau gibbus.22
16
pada meningitis TB dapat disertai peningkatan tekanan intrakranial, dengan gejala
ubun-ubun besar membonjol, muntah, kejang, dan penurunan kesadaran.14
2.1.6 Diagnosis
1. Tingkat 1, meningitis TB dengan glasgow coma scale (GCS) 15, tanpa defisit
neurologi fokal.
17
dengan kontras dapat menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark,
tuberkuloma, maupun hidrosefalus. Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran
TB. Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis dan pemeriksaan Elektroensefalografi
(EEG) dapat menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar.13,23
Pemeriksaan CSS
Tes klinis penting yang digunakan untuk memantau CSS adalah pungsi lumbal. 6
Identifikasi basil tuberkulosis di CSS, baik dengan pemeriksaan pewarnaan atau
kultur, diperlukan untuk diagnosis definitif. Pemeriksaan kultur merupakan baku
emas untuk mendiagnosis M. tuberculosis, namun lamanya waktu pertumbuhan M.
tuberculosis pada Mycobacterium Growth Indicator Tube (MGIT) dan media
Lowenstein Jensen (LJ) dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis.7
1. CSF yang jernih atau xantokrom, pleositosis dengan predominan sel limfosit.
Jumlah hitung total sel leukosit biasanya antara 100-500 sel/mm3. Pada awal
penyakit dapat ditemukan jumlah sel yang lebih rendah dan predominan
netrofil.
2. Peningkatan kadar protein dalam CSF, antara 100-500mg/dl.
3. Peningkatan jumlah limfosit (30-300/mm3)
4. Kadar glukosa dalam CSF rendah, kurang dari 45 mg/dL atau rasio glukosa
18
CSF dengan plasma, kurang dari 0,5.
Tuberculin Skin Test (TST) atau tes Mantoux akan menunjukkan hipersensitivitas
terhadap protein M. tuberculosis, yang dihasilkan oleh infeksi M. tuberculosis atau
induksi oleh vaksinasi Bacille Calmette Guerin (BCG). Hasil uji tuberkulin positif
tidak mengindikasikan penyakit TB, hanya menandakan telah terinfeksi. Hasil negatif
tidak menyingkirkan diagnosis penyakit TB karena beberapa kondisi, termasuk HIV
yang dapat menekan reaksi pada pemeriksaan ini. Uji tuberkulin memiliki sensitivitas
19
61% pada anak dengan meningitis TB. Sensitivitas menurun 34% jika terdapat ko-
infeksi HIV yang dapat menyebabkan hasil negative palsu. Pada anak kurang dari 6
bulan yang mendapatkan BCG, spesifisitasnya menurun karena tingginya positif
palsu. Hasil uji tuberkulin positif bisa disimpulkan telah terinfeksi M. tuberculosis
namun tidak bisa memastikan penyakit TB aktif. 15
Foto thorax
Foto thorak dibutuhkan pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan sputum atau yang
memiliki hasil Xpert negatif dan HIV positif, serta diduga TB ekstrapulmoner (efusi
pleura dan TB perikardial). Adanya infiltrat, pembesaran kelenjar getah bening atau
kavitas sangat mendukung TB. Indikasi penggunaan foto thorak , antara lain :14,23
20
efusi pleura, atau pasien dengan hemoptisis berulang dan berat.
2. Membantu diagnosis penyakit paru yang terjadi secara bersamaan seperti
kanker paru, bronkiektasis.
CT atau MRI otak dengan kontras dapat membantu mendukung diagnosis meningitis
TB. Temuan yang paling umum dapat berupa hidrosefalus, eksudat basal, infark, dan
tuberkuloma. Infark terjadi sebagai akibat vaskulitis yang mempengaruhi pembuluh
darah dari Circle of Willis, cabang perforasi dari arteri serebri media, dan sirkulasi
vertebrobasilar.18
≥ 36 2
< 36 0
Jumlah sel darah putih darah (103/ml)
≥ 15.000 4
< 15.000 0
21
Riwayat penyakit (hari)
≥6 5
<6 0
3
Jumlah sel darah putih total di LCS (10 /ml)
≥ 900 3
< 900 0
Rasio neutrofil cairan serebrospinal (%)
≥ 75 4
< 75 0
Diagnosis probable dan possible meningitis TB memerlukan tanda dan gejala dari
meningitis yang dihubungkan dengan klinis, analisis LCS, dan pencitraan yang
mendukung ke arah infeksi tuberculosis. Bukti infeksi TB di luar SSP berperan dalam
22
diagnosis probable atau possible. Marais dkk., membuat skor penilaian berdasarkan
temuan yang paling sering ditemukan pada meningitis TB anak dan diberikan skor
sesuai dengan frekuensi kejadiannya.37
- Penurunan kesadaran 1
23
Pleositosis (10-500 sel/µL) 1
Predominan limfosit >50% 1
Peningkatan kadar protein >1 g/L 1
Kadar glukosa < 2.2 mmol/L atau rasio glukosa 1
CSS/plasma rasio < 50 %
Kriteria Imaging Cerebri (Skor Maks = 6)
Hidrosefalus 1
Basal meningeal enhancement 2
Tuberkuloma 2
Infark 1
Pre contrast basal hiperdensity 2
Bukti Tuberkulosis di Tempat Lain
Thorak foto sugestif TB paru aktif: 2/4
- Possible Meningitis TB bila total skor > 6 atau 6- 9 jika tanpa imaging dan 6-
11 jika dengan imaging
24
- Probable Meningitis TB bila skor antara >10-12
2.1.7 Tatalaksana
Dosis obat OAT sebagai berikut :Click or tap here to enter text.
25
Dasar pengobatan meningitis TB dengan pemberian kombinasi OAT
ditambah kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang, koreksi
dehidrasi akibat intake yang kurang atau muntah dan fisioterapi.55
26
2.1.8 Prognosis Meningitis TB
Keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan adalah faktor risiko terkuat untuk
kematian. Dalam analisis multivariabel status gizi, penyakit lanjut stadium III
meningitis TB saat datang, lama sakit, dan hidrosefalus secara statistik dikaitkan
dengan hasil pengobatan yang buruk. Anak dengan gizi buruk sembilan kali lebih
mungkin untuk memiliki hasil pengobatan yang tidak optimal saat keluar
dibandingkan dengan anak dengan meningitis TB tanpa gizi buruk. Hidrosefalus
secara signifikan berhubungan dengan hasil yang buruk. Faktanya dokter anak
percaya bahwa anak-anak dengan penyakit meningitis TB stadium lanjut dan
komplikasi neurologis memiliki prognosis. Oleh karena itu intervensi untuk
mendapatkan diagnosis yang cepat dan pengobatan tanpa penundaan sangat
diperlukan.11 Di antara 1.636 anak dengan meningitis TB yang telah mendapatkan
pengobatan, kematian dapat terjadi pada 20% kasus dan hanya sepertiga anak yang
dapat bertahan hidup tanpa gejala sisa neurologis.2 Disabilitas neurologis tentunya
menjadi konsekuensi seumur hidup serta beban ekonomi dan sosial yang besar pada
keluarga, masyarakat, dan pada pelayanan kesehatan.4
2.2 Biomarker
27
intervensi terapeutik terbaik. Biomarker sangat penting untuk memahami mekanisme
molekuler yang mendasari penyakit, berkontribusi untuk mengidentifikasi potensial
target terapi yang baru. Dalam uji klinis, biomarker sangat penting untuk
menunjukkan kemanjuran dan keamanan intervensi obat atau terapi yang sedang
dipertimbangkan.14
Dalam pencarian alat diagnostik TB yang lebih baik, penelitian terbaru telah
menyelidiki beberapa pendekatan alternatif, termasuk pengukuran konsentrasi protein
dalam CSS, molekul transkripsi, dan metabolit sebagai biomarker untuk TB.
Beberapa upaya sedang dilakukan untuk mendeteksi biomarker tersebut dalam
spesimen yang mudah didapat, seperti darah, urin, dan air liur, dengan pendekatan
selain sputum yang dianggap sebagai prioritas tinggi oleh WHO.5
28
Glukosa CSS dan rasio CSS/glukosa darah berkorelasi negatif dengan kadar
CSS IL-6 pada pasien dengan infeksi SSP, sehingga mengungkapkan potensi
menggabungkan CSS IL-6 dan glukosa CSS sebagai biomarker untuk infeksi SSP.10
29
Gejala klinis seperti demam, penurunan kesadaran, kejang, kaku kuduk,
abnormalitas motorik, muntah, nyeri kepala, dan paresis saraf otak, tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antara meningitis bakterialis dan meningitis TB.
Ditemukannya bakteri dalam hasil kultur CSS dapat digunakan sebagai baku emas
penegakan diagnosis meningitis bakterialis. Namun pada anak, pemeriksaan ini sering
memberikan hasil negatif dan hasil pemeriksaan kultur bakteri membutuhkan waktu
yang cukup lama. Dalam perkembangannya pemeriksaan biomarker digunakan
sebagai penegakan diagnosis meningitis TB yang lebih cepat dan akurat pada anak. 17
Untuk membedakan penyebab meningitis tersebut kadar mediator inflamasi penting
untuk dilakukan pemeriksaan serta diharapkan dapat memberikan gambaran luaran
yang dihasilkan. Telah lama diketahui bahwa salah satu tanda untuk mengetahui
adanya infeksi bakteri dengan pemeriksaan biomarker adalah menggunakan kadar
ferritin.18 Diduga akibat proses pengaturan besi dalam makrofag yang terinfeksi
menyebabkan peningkatan kadar feritin CSS meningitis TB lebih tinggi dibandingkan
meningitis bakteri. Mycobacterium tuberculosis berada dalam makrofag di dalam
fagosom dan mencegah penyatuan antara fagosom dan lisosom melalui mekanisme
yang belum dapat dijelaskan. Zat besi yang berada dalam fagosom dibutuhkan oleh
M. tuberculosis. Pengaturan ini meningkatkan jumlah besi yang dapat disimpan
sebagai feritin dalam makrofag. Kadar ferritin normal di dalam CSS 2-4,6 ng/mL.
Kadar ferritin dapat meningkat pada kasus meningitis karena sintesis ferritin regional
akibat kerusakan jaringan, peningkatan pemeabilitas, dan pelepasan sel-sel inflamasi.
Kadar feritin yang ditemukan pada meningitis TB meningkat secara bermakna
dibandingkan pada meningitis bakterialis.17
Modifikasi dari tujuh biomarker protein serum dewasa yaitu CRP, SAA,
komplemen factor H, IFN-γ, IP-10, Apo AI, dan NCAM1 (sebagai pengganti
transthyretin) telah diidentifikasi berguna sebagai biomarker diagnosis pada
meningitis TB anak. Namun, kinerja tujuh biomarker ini berkurang dibandingkan
dengan yang dilaporkan pada orang dewasa dengan TB paru. Selain itu, terdapat
peningkatan kadar tiga biomarker yang lebih spesifik yaitu adipsin, Ab42, dan IL-10
30
pada anak meningitis TB dengan usia yang lebih muda. Dalam penelitian ini, juga
mengamati delapan belas level protein yang terdiri dari Aβ40, Aβ42, MIP-1α, IL-8,
IFN-γ, IL-10, IL-13, IL-21, IL-6, MCP-1, IP-10, MIG, granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSS), IL- 1b, IL- 12/23p40, IL-17A, IL-4, dan TNF-α
secara signifikan menunjukan kadar lebih tinggi dalam sampel CSS dibandingkan
dengan sampel serum, sedangkan tingkat penanda lain termasuk D-dimer, CC2,
CC4b, CC5a, adipsin, CF1, ADAMTS13, cathepsin D, ICAM-1, NCAM1, sVCAM-
1, PAI-1, Apo-CIII, CC3, CRP, A1AT, PEDF, SAP, dan MIP-4 secara signifikan
lebih tinggi dalam sampel serum dari semua penelitian dibandingkan dengan CSS.
Hanya tiga protein yaitu CCL4, G-CSS, dan I-309 yang terlihat tidak ada perbedaan
antara CSS dan sampel serum dari semua anak. Hasil diatas menunjukan pemeriksaan
biomarker dengan serum darah terbukti telah berguna dalam penegakan diagnosis
meningitis TB pada anak selain melalui CSS mengingat prosedur ini bersifat invasive
yang membutuhkan lumbal punksi dan akan sulit untuk dilakukan di daerah dengan
keterbatasan alat.19 Penelitian lain melakukan uji perbedaan dimensi elektroforesis
gel (2D-DIGE) dan spektrometri massa dengan sepuluh sampel cairan serebrospinal
pasien meningitis TB dan sepuluh sampel CSS kontrol. Teridentifikasi sebelas
protein manusia dan delapan protein mikobakteri dalam sampel ini. Di antara nya
Arachidonate 5-Lipoxygenase (ALOX-5) dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP)
teridentifikasi dapat digunakan sebagai biomarker CSS untuk diagnosis meningitis
TB.20
31
diperoleh saat kaskade inflamasi masih berkembang, dengan temuan di semua
penelitian adalah bahwa kadar sitokin CSS meningkat pada meningitis TB dengan
beberapa penurunan setelah memulai pengobatan dan peradangan masih dapat
berlanjut meskipun pengobatan telah mulai diberikan.9
Pengukuran protein inflamasi, seperti sitokin, kemokin, protein fase akut, dan
faktor pertumbuhan, juga dapat membedakan TB dari infeksi lain. Studi sebelumnya
mengevaluasi nilai protein alternatif selain IFN-γ yang ada terdeteksi dalam
supernatan setelah stimulasi sel darah dengan antigen spesifik M. tuberculosis
menggunakan multiplex immunoassays, terutama platform Luminex. Hal tersebut
didasarkan pada tes stimulasi, namun sebagian besar studi terbaru telah berfokus pada
evaluasi penanda inang pada spesimen yang tidak distimulasi, termasuk serum
plasma, urin, dan saliva mengingat biomarker tersebut mungkin lebih mudah
diterjemahkan ke dalam tes point-of-care. Penelitian pada CSS sebelumnya
menemukan kadar dari IL-1, TNF-α, IFN-γ , IL-6, IL-4, IL-10, IL-17A, IL-17F, dan
CD40L meningkat dua kali lipat lebih tinggi pada kelompok meningitis TB
dibandingkan kelompok kontrol, dengan IL-6 dilaporkan sebagai sitokin yang paling
penting untuk membedakan infeksi SSP dari kontrol. Glukosa CSS dan Rasio
CSS/glukosa darah berkorelasi negatif dengan kadar CSS IL-6 pada pasien dengan
Infeksi SSP, sehingga mengungkapkan potensi menggabungkan CSS IL-6 dan
glukosa CSS sebagai biomarker untuk infeksi SSP.19
32
Studi lain yang menilai berbagai nilai biomarker protein sebagai kandidat
diagnostik meningitis TB termasuk studi Afrika Selatan, yang mengidentifikasi tiga
penanda biosignature CSS yaitu IL-13, VEGF, dan cathelicidin LL-37, yang
menunjukkan potensi (sensitivitas 52,0%), spesifisitas 95,0%, PPV sebesar 91,0%,
dan NPV sebesar 66,0% dalam diagnosis meningitis TB pada anak. Biosignature tiga
penanda ini mendiagnosis meningitis TB dengan nilai sensitivitas 95,7% dan
spesifisitas (37,5%), dengan hasil yang lebih baik diperoleh yaitu sensitivitas 91,3%
dan spesifisitas 100% ketika IL-13 dan LL-37 digantikan oleh IFN-γ dan
myeloperoxidase (MPO), yang juga untuk diagnosis meningitis TB pada anak.
Beberapa biomarker baru, molekul adhesi intraseluler 1 (sICAM-1), MPO, IL-8, dan
IFN-γ dan berbagai biomarker individu, termasuk IFNγ-, MIP-4, CXCL9, CCL1,
RANTES, IL-6, TNF-α, MPO, MMP-9, MMP-8, complementary compplemen 2
(CC2), IL-10, PAI-1, CXCL8, IL-1b, A1AT, CXCL10, granulocyte colony-
stimulating factor (G-CSS), CC4, CC4b, granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSS), faktor pertumbuhan turunan trombosit (PDGF)
AB/BB, apolipoprotein (Apo)-AI, metalo-B laktamase (MBL), feritin, CC5a, SAP,
dan CC5, menunjukan potensi untuk diagnosis meningitis TB anak dalam studi yang
sama. 19,21
33
Variabilitas dalam konsentrasi biomarker di seluruh etiologi cedera otak, platform
pengujian, dan usia pasien masih cukup besar. Berbagai faktor dapat menentukan
konsentrasi protein yang diturunkan dari otak dalam darah, termasuk konsentrasi
intratekal, respon patologi, difusi dalam melintasi BBB dan BCSSB, dan waktu paruh
dalam darah. Kadar S100B, Glial Fibrillary Acid Protein (GFAP) dan Neuron
Specifik Enolase (NSE) terdeteksi dalam darah lebih awal setelah cedera otak
traumatis atau akibat pukulan, namun, waktu paruh mereka diperkirakan antara 30
menit dan 48 jam. Akibatnya, konsentrasi serum kemungkinan hanya mencerminkan
sebagian kecil dari konsentrasi CSS dan waktu pengambilan sampel terhadap cedera
adalah penting. Namun hal ini sulit untuk diidentifikasi dalam kondisi kronis seperti
meningitis TB di mana cedera mungkin juga bukan peristiwa tunggal. Episode dari
iskemia dan puncak konsentrasi serum mungkin terlewatkan, terutama jika pasien
datang terlambat. 22
Konsentrasi biomarker CSS S100B, GFAP, dan NSE yang terkait dengan
infark pada pencitraan otak dalam suatu studi pediatrik ternyata mampu dijadikan
sebagai biomarker prognostik terhadap meningitis TB. Dalam sampel serial selama 4
minggu pertama, konsentrasi mediator inflamasi tersebut mengalami penurunan pada
pasien yang menunjukan perbaikan, sedangkan biomarker otak ini terus meningkat
pada pasien yang meninggal.52
34
Pencarian alat diagnostik TB terbaru telah menemukan beberapa pendekatan
alternatif, termasuk pengukuran konsentrasi protein dalam CSS, molekul transkripsi,
dan metabolit sebagai biomarker untuk TB. 42 Dalam banyaknya penelitian yang
penulis rangkum tentang biomarker yang berperan pada meningitis TB ini, ditemukan
beberapa biomarker yang kerap di uji oleh peneliti guna menjadi alternatif diagnostik
dan prognostik pada meningitis TB. Biomarker tersebut diantaranya ferritin, IL-6, dan
kadar glukosa pada CSS.
2.2.4 Ferritin
Ferritin atau zat besi diperlukan oleh banyak bakteri sebagai kofaktor. Beberapa
faktor yang mempengaruhi kadar ferritin pada CSS yaitu proses peradangan yang
terjadi terutama pada meningitis bakterialis, disamping itu kadar TNF-α, IL-6 dan
INF-γ juga dapat meningkatan konsentrasi ferritin dalam CSS dan darah. Kadar
ferritin normal pada CSS berkisar antara 2 – 4,6 ng/ml. Nuraeni et al. (2020), dalam
suatu penelitian cross sectional yang membandingkan kadar ferritin dalam CSS
antara 23 pasien dengan meningitis TB dan meningitis bakterialis didapatkan median
kadar ferritin pada kelompok meningitis TB sebesar 15,47 dengan rentang 1,60 –
1.069,96 ng/ml, di banding dengan kadar ferritin pada meningitis bakterialis yang
lebih rendah yaitu sebesar 4,18 dengan rentang 1,30 – 24,26 ng/ml.71
35
Ferritin telah diketahui sebagai biomarker yang potensial terhadap infeksi
bakteri. Penyebab dari peningkatan kadar ferritin tersebut karena adanya peningkatan
permeabilitas, pembentukan ferritin akibat kerusakan jaringan dan akibat pelepasan
sel inflamasi. Peningkatan kadar ferritin CSS pada meningitis TB diduga karena
proses regulasi besi dalam fagosom makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis. Basil
yang berada didalam fagosom tersebut akan menghalangi fusi antara fagosom dan
lisosom melalui mekanisme yang belum jelas sehingga kadar besi pada fagosom akan
berkurang akibat infeksi M. tuberculosis, hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah
besi ferritin didalam makrofag pada meningitis TB. Keunggulan pemeriksaan kadar
ferritin CSS sebagai pembanding antara meningitis TB dan bakterialis yaitu
pemeriksaan ferritin ini cukup mudah dilakukan, cepat, tersedia serta memiliki
spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi guna membedakan antara meningitis TB dan
bakterialis.56
2.2.5 Interleukin 6
36
artikel lainnya dilakukan pada kelompok usia anak. Total ada 565 kasus meningitis
TB dan 191 sebagai kontrol. Artikel-artikel yang termasuk dalam studi tersebut
berasal dari India (3), Cina (3), Afrika Selatan (2), Turki (1), dan Indonesia (1).
Dalam artikel-artikel tersebut, kisaran IL6 yang terdeteksi pada CSS anak dengan
meningitis TB antara 9,60 dan 6683 pg/ml dan IL6 pada kontrol berkisar antara 0 dan
93,2 pg/ml.
Liu et al. , menyarankan dalam studi mereka bahwa kombinasi IL6 CSS dan
glukosa dapat berfungsi sebagai biomarker baru untuk membedakan penyakit SSP.
Manyelo et al. , dalam penelitian mereka, menyebutkan bahwa kadar IL6 secara
signifikan disekresikan pada meningitis TB bersama dengan sitokin lainnya yaitu
VEGF, IL13, dan cathelicidin LL37. Shen et al., dalam penelitiannya, juga
mengamati hubungan antara IL6 dan IL6 single-nucleotide polymorphisms (SNP)
pada pasien TB. Alan et al. , dalam studinya juga menemukan bahwa tingkat IL-6
CSS yang lebih tinggi daripada kadar IL-6 serum pada pasien dengan suggestive
meningitis TB. Bhasin et al. , mencatat IL6 CSS sangat terkait dengan kejadian stroke
pada kasus meningitis TB. Dari penelitian-penelitian tersebut membuat IL 6 menjadi
37
salah satu biomarker yang berperan kuat dalam menentukan diagnostik dan
prognostik pada meningitis TB.57
Delta-like 1 ligand (DLL 1) adalah suatu protein transmembrane tipe L yang terdiri
dari 723 asam amino dan. Sebagai ligan Notch, ia dibentuk oleh satu daerah terminal-
C di sitoplasma dan wilayah C-Delta/Serrate/LAG-2, mengikuti delapan sekuens
rangkaian faktor pertumbuhan epidermal berulang. Keluarga Notch adalah
sekelompok reseptor transmembran yang berfungsi dalam perkembangan beberapa
organ dan sel, dan menentukan arah diferensiasi seluler. Secara khusus,
penghambatan, mutasi gen, atau aktivasi abnormal jalur pensinyalan Notch dapat
berkorelasi dengan perkembangan penyakit SSP seperti penyakit Alzheimer, penyakit
Parkinson, stroke, tumor otak, dan cedera iskemia serebral. Selain itu, sinyal Notch1
memengaruhi pembentukan sel lemak dengan mengatur aktivasi asam lemak, dan
memainkan peran penting dalam metabolisme lemak. Dalam konteks tuberkulosis,
yang merupakan penyakit kronis yang menyebabkan gangguan metabolisme asam
lemak dan aktivasi sel lemak yang berlebihan, pelepasan DLL1 merangsang sinyal
Notch untuk mendorong diferensiasi sel lemak.19
Pengukuran kuantitatif konten DLL1 dalam CSS dan serum dari pasien
dengan penyakit pada SSP dilakukan dengan metode ELISA. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa, pada kelompok meningitis TB, kadar DLL1 di CSS secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok lain. Kelompok meningitis TB
menunjukkan kadar > 1.0 ng/ml, sementara tidak ada individu yang menunjukkan
kadar > 1.0 ng/ml pada meningitis virus, ensefalitis, meningitis purulen atau
kelompok kontrol. Tingkat DLL1 di CSS ini tidak memiliki korelasi dengan jumlah
sel, kadar protein CSS, glukosa atau klorida, atau tekanan CSS sehingga dapat
disimpulkan bahwa konten DLL1 dari CSS memiliki nilai potensial untuk diagnosis
kasus meningitis TB dengan sensitivitas 87,1%, spesifisitas 99,1%, prediktif negatif
value (NPV) sebesar 92,2%, dan positive predictive value (PPV) sebesar 98,2%,
38
dengan nilai cut off sebesar 1,0 ng/ml. Dalam penelitian ini, konten DLL1 yang ada
pada serum juga jauh lebih tinggi daripada infeksi SSP lainnya. Pengukuran DLL1
dalam serum menunjukkan kadar >6,0 ng/ml, dan tidak ada satupun individu dari
kelompok lain yang menunjukan kadar DLL1 dalam serum >6,0 ng/ml. Oleh karena
itu disimpulkan bahwa nilai batas untuk DLL1 sebesar 6,0 ng/ml dalam serum dapat
digunakan dalam konfirmasi diagnostik meningitis TB dengan sensitivitas 82,3%,
spesifisitas 91,0%, PPV 83,6%, dan NPV 90,2% dengan nilai cut off sebesar 6,0
ng/ml.
Kadar normal glukosa dalam CSS antara 1/2 - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-
90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa CSS perlu juga ditentukan kadar glukosa
plasma dan kedua nilai ini dibandingkan. Jika kadar glukosa CSS kurang dari 50%
kadar glukosa plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam CSS
menurun. Penurunan kadar glukosa dalam CSS ditemukan pada pasien dengan
meningitis bakterial, karsinoma selaput otak dan lain-lain.58
Glukosa CSS dan rasio glukosa CSS/darah berkorelasi negatif dengan kadar
IL-6 CSS pada pasien dengan meningitis TB, sehingga berpotensi menggabungkan
IL-6 dan glukosa CSS sebagai biomarker untuk meningitis TB.13
39
BAB 3
PENUTUP
Meningitis TB sering hadir dengan gejala yang tidak spesifik selama tahap
awal penyakit, hal ini mengakibatkan diagnosis sering tertunda dan pada akhirnya
datang dengan gejala klinis yang lebih buruk. Meskipun diagnosis dini dan
pengobatan adalah kunci untuk mengurangi angka morbiditas, namun ditemukan
hampir 50% anak dengan meningitis TB didiagnosis pada tahap lanjut. 2 Pencarian alat
diagnostik TB terbaru telah menemukan beberapa pendekatan alternatif, termasuk
pengukuran konsentrasi protein dalam CSS, molekul transkripsi, dan metabolit
sebagai biomarker untuk TB. Beberapa upaya sedang dilakukan untuk mendeteksi
biomarker tersebut dalam spesimen yang mudah didapat, seperti darah, urin, dan air
liur, dengan pendekatan berbasis selain sputum yang dianggap sebagai prioritas tinggi
oleh WHO.5
40
Brain specific biomarker telah lama menjadi alat yang berharga untuk
diagnosis dan prognostik pada cedera otak dan infeksi, seperti cedera otak traumatis
atau stroke. Spesifitas sel dapat menunjukkan sifat cedera seluler, konsentrasi dari
biomarker mencerminkan keparahan cedera, dan perubahan kadar biomarker dapat
memberikan informasi tentang pemulihan atau cedera yang berkembang. Biomarker
cedera khusus otak ini diteliti juga memiliki hubungan dengan meningitis TB.9
41
DAFTAR PUSTAKA
42
Dodd PJ, Yuen CM, Sismanidis C, Seddon JA, Jenkins HE. The global burden
of tuberculosis mortality in children: a mathematical modelling study. Lancet
Glob Heal. 2017 Sep;5:e898–906.
13. du Preez K, Jenkins HE, Donald PR, Solomons RS, Graham SM, Schaaf HS,
et al. Tuberculous Meningitis in Children: A Forgotten Public Health
Emergency. Front Neurol. 2022;13.
44. Kay AW, González Fernández L, Takwoingi Y, Eisenhut M, Detjen AK,
Steingart KR, et al. Xpert MTB/RIF and Xpert MTB/RIF Ultra assays for
active tuberculosis and rifampicin resistance in children. Cochrane database
Syst Rev. 2020 Aug;8:CD013359.
15. Rohlwink UK, Donald K, Gavine B, Padayachy L, Wilmshurst JM, Fieggen
GA, et al. Clinical characteristics and neurodevelopmental outcomes of
children with tuberculous meningitis and hydrocephalus. Dev Med Child
Neurol. 2016 May;58:461–8.
16 Pediatric Autoimmune Encephalitis Massimo Barbagallo GV, , Piero
Pavone1 , Catia Romano1 , Riccardo Lubrano2 RF, Department. Pediatric
Autoimmune Encephalitis Massimo. 2018;13:176–81.
17. Bella Devaleenal Daniel GAG& MN. Tuberculous meningitis in children:
Clinical management & outcome. Indian J Med Res. 2019;76:117–30.
18. Raut T, Garg RK, Jain A, Verma R, Singh MK, Malhotra HS, et al.
Hydrocephalus in tuberculous meningitis: Incidence, its predictive factors and
impact on the prognosis. J Infect. 2013;66:330–7.
19. Zhang Y, Lin S, Shao L, Zhang W, Weng X. Validation of thwaites’ diagnostic
scoring system for the differential diagnosis of tuberculous meningitis and
bacterial meningitis. Jpn J Infect Dis. 2014;67:428–31.
20. Principi N, Esposito S. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in
children. Tuberculosis (Edinb). 2012 Sep;92:377–83.
21. Wasserman S, Davis A, Wilkinson RJ, Meintjes G. Key considerations in the
pharmacotherapy of tuberculous meningitis. Vol. 20, Expert opinion on
pharmacotherapy. England; 2019. p. 1791–5.
22. WHO Consolidated Guidelines on Tuberculosis: Module 5: Management of
Tuberculosis in Children and Adolescents [Internet]. World Health
Organization; 2022.
23. Solomons RS, van Toorn R, Cresswell F V, Seddon JA. Update on the
Treatment of Pediatric Tuberculous Meningitis. Pediatr Infect Dis J. 2022;41.
24. Huynh L, Agossah C, Lelong-Boulouard V, Marie J, Brossier D, Goyer I.
Therapeutic drug monitoring of intravenous anti-tuberculous therapy:
management of an 8-month-old child with tuberculous meningitis. Paediatr Int
43
Child Health. 2021 Nov;41:285–90.
25. Panjasawatwong N, Wattanakul T, Hoglund RM, Bang ND, Pouplin T,
Nosoongnoen W, et al. Population Pharmacokinetic Properties of
Antituberculosis Drugs in Vietnamese Children with Tuberculous Meningitis.
Antimicrob Agents Chemother. 2020 Dec;65.
26. Savic RM, Ruslami R, Hibma JE, Hesseling A, Ramachandran G, Ganiem AR,
et al. Pediatric tuberculous meningitis: Model-based approach to determining
optimal doses of the anti-tuberculosis drugs rifampin and levofloxacin for
children. Clin Pharmacol Ther. 2015 Dec;98:622–9.
27. Schaaf HS, Seddon JA. Management of tuberculous meningitis in children.
Paediatr Int Child Health. 2021;41:231–6.
28. Shah I, Pereira NMD. Tuberculous Meningitis in Children: a Review Article.
Curr Infect Dis Rep. 2020;22:11.
29. Daniel BD, Grace GA, Natrajan M. Tuberculous meningitis in children:
Clinical management & outcome. Indian J Med Res. 2019 Aug;150:117–30.
30. Prasad K, Singh MB, Ryan H. Corticosteroids for managing tuberculous
meningitis. Cochrane database Syst Rev. 2016 Apr;4:CD002244.
31. Shah I, Meshram L. High dose versus low dose steroids in children with
tuberculous meningitis. J Clin Neurosci Off J Neurosurg Soc Australas. 2014
May;21:761–4.
32. Abdella A, Deginet E, Weldegebreal F, Eshetu B, Desalew A, Ketema I.
Tuberculous Meningitis in Children: Treatment Outcomes at Discharge and Its
Associated Factors in Eastern Ethiopia: A Five Years Retrospective Study.
Infect Drug Resist. 2022;15:2743–51.
33. Macnamara J, Eapen DJ, Quyyumi A, Sperling L. Novel biomarkers for
cardiovascular risk assessment: Current status and future directions. Future
Cardiol. 2015;11:597–613.
34. Califf RM. Biomarker definitions and their applications. Exp Biol Med
(Maywood). 2018 Feb;243:213–21.
35. Manzanares J, Sala F, Gutiérrez MSG, Rueda FN. 2.30 - Biomarkers. In:
Kenakin T, editor. Comprehensive Pharmacology. Oxford: Elsevier; 2022. p.
693–724.
36. Dhama K, Latheef SK, Dadar M, Samad HA, Munjal A, Khandia R, et al.
Biomarkers in stress related diseases/disorders: Diagnostic, prognostic, and
therapeutic values. Front Mol Biosci. 2019;6.
37. Bodaghi A, Fattahi N, Ramazani A. Biomarkers: Promising and valuable tools
towards diagnosis, prognosis and treatment of Covid-19 and other diseases.
44
Heliyon. 2023;9:e13323.
38. Yang Y, Guo X, Chang Z, Ye C, Xiang Y, Ma T. Multi-modal Dynamic Graph
Network: Coupling Structural and Functional Connectome for Disease
Diagnosis and Classification. In: 2022 IEEE International Conference on
Bioinformatics and Biomedicine (BIBM). 2022. p. 1343–9.
39. Wishart DS, Bartok B, Oler E, Liang KYH, Budinski Z, Berjanskii M, et al.
MarkerDB: An online database of molecular biomarkers. Nucleic Acids Res.
2021;49:D1259–67.
40. Sidhom K, Obi PO, Saleem A. A review of exosomal isolation methods: Is size
exclusion chromatography the best option? Int J Mol Sci. 2020;21:1–19.
41. Nadkarni GN, Chauhan K, Rao V, Ix JH, Shlipak MG, Parikh CR, et al. Effect
of Intensive Blood Pressure Lowering on Kidney Tubule Injury: Findings
From the ACCORD Trial Study Participants. Am J Kidney Dis. 2019;73:31–8.
42. Organization WH. High priority target product profiles for new tuberculosis
diagnostics: report of a consensus meeting, 28-29 April 2014, Geneva,
Switzerland. World Health Organization; 2014.
43. Sutherland JS, Mendy J, Gindeh A, Walzl G, Togun T, Owolabi O, et al. Use
of lateral flow assays to determine IP-10 and CCL4 levels in pleural effusions
and whole blood for TB diagnosis. Tuberculosis (Edinb). 2016 Jan;96:31–6.
44. Chegou NN, Sutherland JS, Malherbe S, Crampin AC, Corstjens PLAM,
Geluk A, et al. Diagnostic performance of a seven-marker serum protein
biosignature for the diagnosis of active TB disease in African primary
healthcare clinic attendees with signs and symptoms suggestive of TB. Thorax.
2016;71:785–94.
45. Manyelo CM, Solomons RS, Snyders CI, Kidd M, Kooblal Y, Leukes VN, et
al. Validation of host cerebrospinal fluid protein biomarkers for early diagnosis
of tuberculous meningitis in children: a replication and new biosignature
discovery study. Biomarkers. 2022;27:549–61.
46 Pathogenesis TM, Responses I. crossm Approaches. 2021;1–16.
47. Mason S, van Furth AMT, Solomons R, Wevers RA, van Reenen M, Reinecke
CJ. A putative urinary biosignature for diagnosis and follow-up of tuberculous
meningitis in children: outcome of a metabolomics study disclosing host–
pathogen responses. Metabolomics. 2016;12:1–16.
48. Utami DA, Purniti NPS, Subanada IB, MM AS. Faktor Risiko Infeksi
Tuberkulosis Milier dan Ekstraparu pada Anak Penderita Tuberkulosis. Sari
Pediatr. 2021;22:290.
49. Shokrollahi M, Shabanzadeh K, Noorbakhsh S, Tabatabaei A, Movahedi Z,
Shamshir A. Diagnostic value of CRP,procalcitonin, and ferritin levels in
45
cerebrospinal fluid of children with meningitis. Cent Nerv Syst Agents Med
Chem. 2018;18:58–62.
50. Douwe H. Visser, Regan S. Solomons, Katharina Ronacher, Gijs T. van Well,
Martijn W. Heymans, Gerhard Walzl, Novel N. Chegou, Johan F. Schoeman
AM van F. Host immune response to tuberculous meningitis. 2018;1–26.
51. Rohlwink UK, Mauff K, Wilkinson KA, Enslin N, Wegoye E, Wilkinson RJ,
et al. Biomarkers of cerebral injury and infammation in pediatric tuberculous
meningitis. Clin Infect Dis. 2017;65:1298–307.
52. Abebe G, , Zegeye Bonsa WK. Treatment Outcomes and Associated Factors in
Tuberculosis Patients at Jimma University Medical Center: A 5 Year
Retrospective Study Gemeda. Int J Mycobacteriology. 2017;6:239–45.
53. Stol K, Nijman RG, van Herk W, van Rossum AMC. Biomarkers for Infection
in Children: Current Clinical Practice and Future Perspectives. Pediatr Infect
Dis J. 2019;38:S7--S13.
54 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI. 2016.
55. Nuraeni, F., Dzulfikar, D. L. H., & Solek, P. (2020). Feritin Cairan
Serebrospinal sebagai Biomarker untuk Membedakan Meningitis Bakterialis
dan Meningitis Tuberkulosis pada Anak. Sari Pediatri, 21(4), 246-52.
56. Kruthika, P. (2022). Role of IL 6 as a biomarker in the diagnosis of
tuberculous meningitis–A systematic review. International Journal of
Mycobacteriology, 11(3), 229.
57. Prober CG. Central Nervous System Infection In: Kliegman RM, St.Geme III
JW, Blum NJ, et al. Nelson Textbook of Pediatrics 21th ed. Philadelphia:
Elsevier/Saunders 2019: 2038-47.
58 Peng T, Zhou Y, Li J, Li J, Wan W, Jia Y. Detection of Delta-like 1 ligand for
the diagnosis of tuberculous meningitis: an effective and rapid diagnostic
method. Journal of international medical research. 2014 Jun;42(3):728-36.
46