Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

“SPONDILITIS TUBERKULOSIS”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik “Referat” Stase Ilmu


Penyakit Syaraf, RSUD DR. Harjono, Ponorogo

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S
dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S

Disusun Oleh :
Andi Irawan Kisman, S. Ked. J510170028
Arum Laksmita Dewi, S. Ked. J510170081
Ellya Afiani Kristanti, S. Ked. J510170082
Oktaviana Halisanti, S. Ked. J510170072

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF


RSUD. DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAAN UMS
2017
REFERAT

“SPONDILITIS TUBERKULOSIS”

Yang Diajukan Oleh:

Andi Irawan Kisman, S. Ked. J510170028


Arum Laksmita Dewi, S. Ked. J510170081
Ellya Afiani Kristanti, S. Ked. J510170082
Oktaviana Halisanti, S. Ked. J510170083

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian program pendidikan fakultas kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari .........................................

Pembimbing :

dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S. (.................................)

dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S. (.................................)

Disahkan Ka. Progdi Profesi


dr. Dewi Nirlawati . (.................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF


RSUD. DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAAN UMS
2017

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 2
A. Latar Belakang............................................................................. 3
B. Tujuan Penulisan ....................................................................... . 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12
A. Definisi......................................................................................... 12
B. Epidemiologi .............................................................................. 12
C. Etiologi........................................................................................ 17
D. Faktor Resiko .............................................................................. 19
E. Patogenesis........................................................................................ 20
F. Pato.................................................................................. 22
G. Faktor Resiko............................................................................ 24
H. Manifestasi Klinik...................................................................... 26
I. Diagnosis..................................................................................... 28
J. Diagnosis Banding.................................................................... 29
K. Penatalaksanaan.......................................................................... 31
L. Prognosis..................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 33

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defisit
neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium
tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan
penyakit yang relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini. Seringkali
penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut dimana deformitas kifosis dan
kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel (Zuwanda & Janitra, 2013).
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun
terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang
meninggal akibat penyakit ini. Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan
penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi. Walaupun manifestasi
tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun,
seperti tulang, traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat. Spondilitis tuberkulosa
merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang dengan gejala yang telah
berlangsung lama. Riwayat penyakit dan gejala klinis pasien adalah hal yang penting,
namun tidak selalu dapat diandalkan untuk diagnosis dini. Nyeri adalah gejala utama
yang paling sering. Gejala sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit.
Nyeri punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam
dan komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya
menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan
fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa
ekstraspinal (Shaputara & Munandar, 2015).
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi
sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas
inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia (Shaputara & Munandar, 2015).

4
B. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui definisi, etiologi dan epidemiologi Spondilitis TB.


2. Mengetahui faktor resiko Spondilitis TB.
3. Mengetahui patofisiologi dan patogenesis Spondilitis TB.
4. Mengetahui manisfestasi klinis dan terapi Spondilitis TB.
5. Mengetahui mengetahui diagnosis, komplikasi dan prognosis spondilitis TB.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Pott’s disease atau Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi tuberkulosis
ekstrapulmonal yang mengenai satu atau lebih tulang belakang, disebabkan oleh
kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra
sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Harsono,
2009).
B. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB
secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodeficiency virus
(HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB osteoartikular. Separuh
dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB. Di negara berkembang, penderita TB
usia muda diketahui lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan
di negara maju, usia munculnya spondilitis TB biasanya pada dekade kelima hingga
keenam. TB osteoartikular banyak ditemukan pada penderita dengan HIV positif,
imigran dari negara dengan prevalensi TB yang tinggi, usia tua, anak usia dibawah 15
tahun dan kondisi-kondisi defisiensi imun lainnya. Pada pasien-pasien HIV positif,
insiden TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang HIV negatif. Di
sisi lain, sekitar 25 – 50 persen kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV
positif[CITATION Placeholder1 \l 1033 ].
C. ETIOLOGI
Spondilitis tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales
dan famili Mycobacteriase [CITATION Par08 \l 1033 ]. Spesies Mycobacterium lain juga
dapat berkontribusi sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola
resistensi obat [ CITATION Vit02 \l 1033 ].

6
Basil Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lengkung, gram positif
lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus
walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal
ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang
terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat
pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar
2-4 μm [CITATION Par08 \l 1033 ].
D. PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-
biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut fokus primer Ghon [ CITATION Par08 \l 1033 ].
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada
penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik [ CITATION Par08 \l 1033 ].
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberculosis di luar tulang belakang
yang sebelumnya sudah ada [ CITATION Zuw13 \l 1033 ]. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan
TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering
terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic
7
spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi
pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan
penyebaran melalui ligamentum longitudinal [ CITATION Par08 \l 1033 ].
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan infl amasi paradiskus.
Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan
osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang,
sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan
otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder
akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada
vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi
kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan
vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior. Hal-hal
tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering
disebut sebagai gibbus [ CITATION Zuw13 \l 1033 ].
E. PATOFISIOLOGI
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan
menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer
(fokus Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan
terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer,
limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika
sistem imun penderita tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara
hematogen/ limfogen dan bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal,
ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga endometrial.
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus.
Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan
osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang,
sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan
otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder
akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada
vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi
8
kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan
vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior. Resultan dari
hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang
sering disebut sebagai gibbus (Zuwanda & Janitra, 2013).
F. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko dari spondilitis tuberculosis antara lain (Vitriana, 2002):
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai
kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam
bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang
berasal dari penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum
pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau
meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi
ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di paru
merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang
dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama
perempuan usia 10-14 tahun.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam
mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah
penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus meningkat pada
seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah
usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah
melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun
untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan
menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau
immunosupresan lain.
4. Penyakit

9
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau
Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
G. GEJALA KLINIS
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut:
- Berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
- Demam lama tanpa sebab yang jelas,
- Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit
- Batuk lebih dari 30 hari
- Terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai
benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen [ CITATION IGe08 \l
1033 ].
Manifestasi klinik spondiltis tuberculosis tidak ditemukan pada bayi usia kurang
dari satu tahun. Gejala pada penyakit ini muncul saat anak belajar berjalan atau
melompat.
Gejala khusus :
o Benjolan pada tulang belakang yang disertai nyeri. Untuk mengurangi rasa
nyeri, pasien akan enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-
akan kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk
atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika
pasien beristirahat.
o Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) disertai dengan
timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk
sudut, tetapi ini merupakan lesi yang tidak stabil dan dapat berkembang
secara progresif.

10
o Kelainan yang berlangsung lama dapat diserai dengan paraplegia atau
tanpa paraplegia. Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit
aktif atau yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe
defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal
dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh
berkembang beberapa tahun dikenal dengan onset lambat. [ CITATION
Sah15 \l 1033 ].
H. DIAGNOSIS
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalah artikan sebagai
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis biasanya baru
dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang
dan defisit neurologis [ CITATION Ras12 \l 1057 ].
Penegakan diagnosis seperti pada penyakit-penyakit pada umumnya melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan penunjang. Keberhasilan
melakukan diagnosis dini menjanjikan prognosis yang lebih baik.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak
spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap
pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap
spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa
didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat gejala gejala klasik (demam
lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru
belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan yang paling
sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati
secara adekuat [ CITATION Ras12 \l 1057 ].
Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang
membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang
mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi. Pemeriksaan fisik
umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru atau di tempat lain,
meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi TB ekstraspinal.
Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan
volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman

11
TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai
suara amforik atau bronkial dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan
(alignment) tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal
dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan
terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus
diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan
di bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses
terbentuk di anterior rongga dada atau abdomen.
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah
lanjut, meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti
sangat penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada
pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan
autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun
pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan
muncul spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower motor
neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior
ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi , yang biasanya
bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba,
nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif
(gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin
dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom [ CITATION Zuw13 \l 1057 ].
2. Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling
menunjang untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung
kelainan fisik pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis
yang dapat digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan),
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak
antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra,
sekuestrasi, serta massa para vertebra.26 Pada keadaan lanjut, vertebra akan
kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga
disebut juga concertina collapse (gambar 3).
2. 1. Sinar-X

12
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling
sering dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang
diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral.
Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior
badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan
jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat
dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang
memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess.
Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan
baik (gambar 2). Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi
kifotik diukur dengan metode Konstam (gambar 3).

Gambar 2
Sumber : Sumber : (Zuwandi & Janitra, 2013)
Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X
memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan
vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral
yang samar, yang merupakan cold abscess (panah putih).

13
Gambar 3
Sumber : (Zuwandi & Janitra, 2013)
Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam. Pertama, tarik
garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra yang sehat di atas
dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke anterior
sehingga bersilangan. Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam,
sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh
gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30º.
2. 2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang,
destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan
penyempitan kanalis spinalis (gambar 4). CT myelography juga dapat
menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui
punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT
scan. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna
untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas
kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti
dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.

Gambar 4
Sumber : (Zuwandi & Janitra, 2013)

14
Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial
setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri
vertebra L3 (panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah
putih), penjepitann medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas
(panah putih besar). Pada pemeriksaan CT-scan memberikan hasil yang
seksama mengenai gambaran tulang dengan lesi lisis yang tidak teratur,
kolaps pada diskus dan lingkar tulang, selain itu resolusi kontras rendah
mampu menilai jaringan lunak dengan baik khususnya daerah epidural
dan paraspinal. Pemeriksaan CT-scan juga dapat mendeteksi lesi dini
dan lebih efektif menilai bentuk serta kalsifikasi dari suatu abses
jaringan lunak [ CITATION Sur11 \l 1057 ].
2.3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan
lunak. Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan
sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik
dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh
vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal- T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis. Bagaimanan membedakan spondilitis
TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian
diagnosis diferensial setelah ini.

15
Gambar 5
Sumber : (Zuwandi & Janitra, 2013)
Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada
MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang
menyebabkan kifosis berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak (panah
putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula spinalis.
Gambaran ini khas menyerupai akordion yang sedang ditekuk.
2.4. Pencitraan lainnya
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada
daerah lumbar. Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan
volume abses/massa iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi
tuberkulosis. Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun
pemeriksaan ini hanya bernilai positif pada awal perjalanan penyakit.
Selain itu, bone scan sangat tidak spesifik dan ber-resolusi rendah.
Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi, keganasan dan
trauma dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada
spondilitis TB. Pencitraan dengan 67 Gadolinium diketahui berguna
untuk mendeteksi infeksi TB diseminata. Penggunaan pencitraan ini
masih belum lazim pada spondilitis TB.
3. Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis
Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang
belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan
dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi.1,19 Spesimen kemudian dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan pewarnaan basil tahan
asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA positif pada 60–89 persen
kasus.1,9 Studi histologi jaringan penting untuk memastikan diagnosis jika
kultur negatif, pewarnaan BTA negatif, sekaligus menyingkirkan diagnosis
banding lainnya. Temuan histologi pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi
sel epiteloid (granuloma epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis kaseosa.27
Sel epiteloid adalah sel mononuklear yang mem-fagositosis basil tuberkulosis
dengan sisa-sisa lemak kuman pada sitoplasmanya.8 Granuloma epiteloid dapat
ditemukan pada 89 persen spesimen yang merupakan gambaran khas histologi
infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah dilaporkan pada beberapa kasus.
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan diagnosis, biopsi bedah yang diikuti

16
dengan kultur dapat dipertimbangkan.9 biopsi bedah umumnya dilakukan pada
keadaan dimana biopsi jarum sangat berbahaya dan tidak menghasilkan
spesimen (dry tap). Kultur umumnya memerlukan waktu yang relatif lama,
yaitu 2 minggu. Kultur sebaiknya diikuti dengan uji resistensi OAT.8 Spesimen
yang cocok untuk dijadikan kultur adalah organ-organ dalam, tulang, pus, cairan
sinovial, atau jaringan sinovial. Media yang dapat digunakan adalah media
berbasis telur, seperti media Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan,
seperti Becton-Dickinson dan BACTECTM. Pajanan pasien dengan
fluorokuinolon sebelumnya akan memperlambat pertumbuhan kultur hingga 2
minggu.
4. Pemeriksaan laboratoris
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi
DNA kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu
lama, pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan
biaya yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR
adalah memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).
PCR memiliki sensitivitas sekitar 80 –98 persen dan spesifi sitas 98 persen.
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretory ES-31
mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan antigen 31 kDa
dikatakan dapat berguna, namun efektivitasnya masih diuji lebih lanjut.
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputin studi hematologis. Laju endap darah
(LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik menunjukkan proses infeksi
granulomatosa TB. Peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) diasosiasikan
kuat dengan formasi abses. Uji Mantoux positif pada sebagian besar pasien (84–
95 persen), namun hanya memberi petunjuk tentang paparan kuman TB
sebelumnya atau saat ini. Spesimen sputum memberikan hasil positif hanya jika
proses infeksi paru sedang aktif. Studi di Malaysia mengemukakan bahwa
kelainan hematologis yang paling sering ditemukan pada pasien spondilitis TB
adalah anemia normositik normokrom, trombositosis dengan/tanpa peningkatan
LED dan leukositosis [ CITATION Zuw13 \l 1057 ].
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari spondilitis tuberkulosis antara lain [CITATION
Placeholder1 \l 1033 ]:

17
1. Spondilitis Piogenik
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala
yang serupa dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan
keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik
umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan
Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih sering
menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi
spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya
penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain
pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaan
OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala
yang hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih
sering terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering
menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra.
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit, dan
hitung jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan
CRP lebih bermakna dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa
kasus dapat normal. Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit
melalui MRI. Perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada
infeksi tuberculosis adalah:
1) sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas
2) dinding abses tipis dan halus
3) adanya abses paraspinal dan intraoseus
4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra
5) keterlibatan vertebra torakal
6) lesi multipel
Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, diagnosis infeksi
piogenik lebih mungkin. Selain itu apabila ada sinyal abnormal pada sendi faset,
maka merupakan karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan pewarnaan Gram
spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat
memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan invasif.
2. Tumor Metastatik Spinal
Mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang yang
mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor

18
metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat
yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan
bermetastasis ke medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru,
limfoma, sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna
dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan
paru dan mamae lebih sering melibatkan vertebra torakal.
3. Keganasan primer
Pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan kompresi medula
spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi
abses dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang dapat membedakan
spondilitis TB dari neoplasma. Keluhan yang sering berupa nyeri punggung
belakang yang kronis progresif yang tidak spesifik, hal inilah yang
menyebabkan neoplasma spinal sulit dibedakan dengan spondilitis TB.
Adanya riwayat keganasan di tempat lain dapat membantu penegakkan
diagnosis. Defisit neurologis terjadi tergantung tingkat lesi, muncul jika tumor
sudah menekan epidural dan medula spinalis. Kolaps vertebra dengan
deformitas kifotik atau skoliotik terjadi akibat destruksi badan vertebra/ fraktur
oleh invasi tumor dengan diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat
secara pasti menyingkirkan atau memastikan diagnosis tumor spinal. Semua
temuan-temuan MRI spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor spinal.
4. Fraktur kompresi
Badan vertebra berpotensi menyebabkan deformitas kifotik disertai
gangguan neurologis dengan derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan
kekuatan yang besar untuk membuat badan vertebra yang bersangkutan retak,
kecuali jika didapatkan osteoporosis, usia tua atau penggunaan steroid jangka
panjang. Contoh klasik trauma yang menyebabkan fraktur kompresi seperti
jatuh dari ketinggian dengan bokong terlebih dahulu. Kecelakaan mobil juga
dapat menyebabkan dampak serupa. Mekanisme fleksi-kompresi biasanya
menyebabkan fraktur kompresi dengan bagian anterior mengecil (wedge-
shaped) dengan derajat kerusakan bagian tengah dan posterior yang bervariasi.
Medula spinalissegmen torakal lebih sering mengalami cedera karena
merupakan segmen yang paling panjang dibandingkan segmen lainnya dan juga
karena kanalis spinalisnya yang lebih sempit dengan vaskularisasi yang tentatif.
Diagnosis ditegakkan dengan temuan klinis dan adanya riwayat trauma yang

19
bermakna dikombinasikan dengan ada/ tidaknya faktor risiko seperti
osteoporosis atau usia tua.
J. TERAPI
Tujuan terapi pada kasus spondylitis tuberkulosa adalah :
a. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progesifitas penyakit
b. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :

a. Terapi konservatif
1) Pemberian nutrisi yang bergizi
2) Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi
pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
anti tuberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani
terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil
yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang
belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu
pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus
menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi obat yang bervariasi
memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian terapi,
karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberkulosa memakan
waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar
sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih
penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya
respon yang baik terhadap obat anti tuberkulosa juga merupakan suatu
bentuk penegakkan diagnostik [ CITATION Vit01 \l 1033 ].

Resistensi terhadap obat anti tuberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :

1) Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang
sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap
satu obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP

20
atau EMB. Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan
pada kasus ini.
2) Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi
yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan
untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah
kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9
bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya
dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat
diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya
resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah
masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih
merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat
menimbulkan ketidak patuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila
terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh
akan dapat mengalami resistensi sekunder [ CITATION Vit01 \l 1033 ].
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat anti tuberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang
primer:
 Isoniazid (INH)
- Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
- Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
- Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
- Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
- Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih
banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena
defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan
pemberian suplemen piridoksin).

21
- Relatif aman untuk kehamilan. Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300
mg/hari
 Rifampisin (RMP)
- Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun
lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
- Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang
paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
- Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia
dalam bentuk sediaan oral dan intravena.
- Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk
cairan serebrospinal.
- Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose
dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila
dikombinasi dengan INH.
- Relatif aman untuk kehamilan. Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600
mg/hari.
 Pyrazinamide (PZA)
- Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan
yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam
makrofag) atau dalam lesi perkejuan.
- Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
- Efek samping :
1) Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu
masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
2) Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang
tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan
dengan kadar asam urat. Dosis : 15-30mg/kg/hari
 Ethambutol (EMB)
- Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

22
- Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya
kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan
adanya central scotoma.
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis : 15-25 mg/kg/hari
 Streptomycin (STM)
- Bersifat bakterisidal
- Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan
vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous


radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini membantu pasien yang
terancam mengalami spinal block disamping mengurangi oedema jaringan.
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

3). Istirahat tirah baring (resting)


Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame/ plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut
dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk
melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik
yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips
untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada
keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk
mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut.
Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan
laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya
23
spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu
badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah,
Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai
bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. Pemasangan gips
bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat di imobilisasi dengan
jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas
diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah,
lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset
dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi
di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan
selama tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang
mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi
lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini
maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal
ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang
menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita
harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika,
jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita
yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang
kurang.
b. Terapi operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang
belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical
Research Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien
yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan
timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya
beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan
bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring

24
(terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik
sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan
tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester
tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang
belakang yang terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan
dekompresi juga diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu
tindakan operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon
mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi: [ CITATION IGe08 \l 1033 ]

A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif, operasi tidak dilakukan
bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda
hingga terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan
terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun
telah diberi terapi konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga
tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak
memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada
kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang
besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis;
dapat juga disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat
terdiagnosa

25
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi,
hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan
motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa
percobaan pemberikan terapi konservatif) [ CITATION IGe08 \l 1033 ].
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf.
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu [ CITATION IGe08 \l
1033 ].
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina [ CITATION Vit01 \l 1033 ]
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa
melalui pendekatan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi
utama di anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior
dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi
dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan
menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan
suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi
antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari
sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa
kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi
secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan
yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang
kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari
tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan
yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan
memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila
26
terdapat destruksi dua atau lebih korpus vertebra, adanya intabilitas karena
destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat serta tidak dapat
dilakukan pendekatan dari anterior[ CITATION Vit01 \l 1033 ].
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi
tambahan dan bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat
kesehatan yang tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior.
Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi,
dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya
menggunakan spinal bracing[ CITATION Vit01 \l 1033 ].
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra,
suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO
direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi.
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak
membantu. Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya
diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi
dan lesinya bersifat soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi
sebagai prosedur utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi
lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur
penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi
hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar
atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi
anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan [ CITATION
Vit01 \l 1033 ].
K. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi
sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas
inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia (Shaputara & Munandar, 2015).
L. PROGNOSIS
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik,
3) letak lesi, 4) defisit neurologis, 5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8)
komorbid, 9) tingkat edukasi dan sosioekonomi.Usia muda dikaitkan dengan
prognosis yang lebih baik.12 Namun, Parthasarathy dkk, menyimpulkan bahwa pada
27
pasien usia dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30° cenderung tidak
responsif terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika, dapat
mengurangi kemampuan bernafas. Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan
vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapiyang adekuat menjanjikan
pemulihan yang sempurna pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT
memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan
dengan prognosis yang buruk. Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat
edukasi pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien dengan
tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat sebelum muncul gejala
yang lebih berat seperti paraplegia (Cormican dkk., 2006).

28
DAFTAR PUSTAKA

Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current diffi culties in the diagnosis and
management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.

Harsono. 2010. Kapita selekta Neurologi. Edisi Ke-2. Yogjakarta: Gajah Mada University
Press  

Paramarta, I.G.E., Putu, S.P., Subananda, I.B. & Astawa, P., 2008. Spondilitis Tuberkulosis.
Sari Pediatri, 10, p.181.

Rasouli, R.M. et al., 2012. Spinal Tuberculosis : Diagnosis and Management. Asian Spine
Journal, 6, pp.294-308.

Sahputra, R.E. & Munandar, I., 2015. Spondilitis Tuberkulosa Cervical. Jurnal Kesehatan
Andalas, 2, p.642.

Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT and MRI


feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.

Surjono, E., 2011. Diagnosis dan Tata Laksana TB pada Anak. Damianus Journal of
Medicine,10,pp.177-86.

Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-
UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo.
2002.

Zuwanda dan Janitra. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis. Jurnal CKD-208,
40 (9). 661-673

29

Anda mungkin juga menyukai