Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN SPONDILITIS TBC

oleh:
Lidatu Nara Shiela, S.Kep
NIM. 122311101048

PROGRAM PROFESI NERS


UNIVERSITAS JEMBER
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan pada pasien dengan Spondilitis TBC di ruang Poli


Orthopedi telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, tanggal : Oktober 2015

Tempat: Ruang Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Oktober 2015

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(..............................................) (............................................)
NIP. NIM

Pembimbing Akademik,

(..................................................)
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
SPONDILITIS TBC
Oleh: Lidatu Nara Shiela, S.Kep

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Pengertian
Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang vertebra yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa (Fitri, 2010). Infeksi
spinal yang terjadi akibat tuberkulosis sangat berpotensi menyebabkan
morbiditas serius termasuk deficit neurologis dan deformitas tulang
belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis dini sangat penting
dalam menegakkan penyakit ini (Zuwanda, 2013). Spondilitis tuberculosa
paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang terjadi pada
vertebra C1 dan C2. Spondilitis TBC biasanya mengenai korpus vertebra
tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

Gambar 1. Bagian vertebrae


Gambar 2. Deformitas vertebrae penyandang spondilitis

2. Patofisiologi
Mikobakterium tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran
pernafasan dan saluran cerna, dengan perjalanan infeksi berlangsung dalam
4 fase, yaitu:
a. Fase primer
Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Didalam
jaringan paru timbul reaksi radang yang melibatkan sistim pertahanan
tubuh, dan membentuk afek primer.Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid
hilus, maka akan timbul limfadenitis primer, suatu granuloma sel
epiteloid dan nekrosis perkijuan. Afek primer dan limfadenitis primer
disebut kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami resolusi dan
sembuh tanpa meninggalkan bekas atau sembuh melalui fibrosis dan
kalsifikasi.
b. Fase miliar
Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran
hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain.
Penyebaran bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain
melalui bronkus dan menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase
ini dapat berlangsung terus sampai menimbulkan kematian , mungkin
juga dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman.

c. Fase laten
Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami
resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi
dorman. Fase ini berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama
bertahuntahun. Bila terjadi perubahan daya tahan tubuh maka kuman
dorman dapt mengalami reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi.
d. Fase reaktivasi
Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, rektifasi
penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan
kalsifikasi atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi
sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal
merupakan organ kedua yang paling sering terinfeksi ; selanjutnya
kelenjar limfe, tuba , tulang, sendi, otak, kelenjar adrenal, saluran cerna
dan kelenjar mamma. Meskipun jarang, tuberkulosa kongenital dapat
ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena umbilikal atau cairan
amnion ibu yang terinfeksi.
Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase
hematogen atau reaktivasi kuman dorman. Vertebra yang paling sering
terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal (T8-L3). Bagian anterior vertebra
lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan bagian posterior. Basil masuk
ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama , jalur arteri dan jalur vena serta
jalur tambahan.
Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke
perifer masuk kedalam korpus vertebra ; berasal dari arteri segmental
interkostal atau arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh
dari korpus yang berdekatan, dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah
arteri nutrisia. Didalam korpus arteri ini berakhir sebagai end artery,
sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah
paradiskal.

Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, suatu anyaman vena


epidural dan peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus
Batson pada daerah perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan
pleksus-pleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal, lumbal dan
pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson berasal dari daerah-daerah
tersebut diatas. Jika terjadi aliran retrograd akibat perubahan tekanan pada
dinding dada dan abdomen maka basil dapt ikut menyebar dari infeksi
tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena tersebut.
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses
paravertebral yang telah terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum
longitudial anterior dan posterior kekorpus vertebra yang berdektan.
Penyebaran tuberkulosis biasanya terjadi karena kelenjar hilus yang
mengalami perkijuan memecah dan basil tuberkulosis masuk kedalam
pembuluh darah. Infeksi bermula pada korpus vertebra dengan terbentukya
ruangan yang berisi bahan perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang
yang atrofi. Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang
nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis ini bisa menghasilkan massa seperti
keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah pembentukan tulang dan
membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra.
Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra
membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke
atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior.

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan
intensitas gejala bergantung pada tingkat keterlibatan spinal, keparahan
penyakit, dan durasi infeksi (McLain, 2009, dalam Fitri, 2010). Pasien
biasanya mengeluh nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang
terinfeksi (Zuwanda, 2013). Rasa nyeri bervariasi dari ringan, menetap,
hingga berat tergantung dari aktivitas yang dilakukan. Selain nyeri pasien
juga mengalami demam subfebris, menginggil, malaise, berkurangnya berat
badan atau berat badan tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala
TB paru yang juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Gejala lainnya
yaitu terjadinya deformitas tulang belakang, adanya spasme otot
paravertebralis, gangguan motorik, dan adanya gibus atau kifosis.

4. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat spondilitis tuberkulosis adalah:
1. Kelainan pada sistem neurologis karena adanya abses dalam
kanalis spinalis yang dapat menekan medula spinalis. Adanya abses
spinal dapat menyebabkan penekanan akar saraf, menyerupai herniasi
diskus atau dapat menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif
sehingga dapat terjadi paraplegia atau tetraplegia jika tidak ditangani
(McLain, 2009, dalam Fitri, 2010). Defisit neurologis terjadi pada 12–
50% penderita, yaitu terjadi paraplegi, paresis, hipestesia, nyeri radikular,
dan atau sindrom kauda equina (Zuwanda, 2013).
2. Terjadinya paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia)
merupakan komplikasi yang berbahaya. Pott’s paraplegia dibagi menjadi
dua jenis yaitu onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat
(late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut biasanya dalam dua
tahun pertama, disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau
proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umunya
disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan
tulang akibat destruksi tulang sebelumnya.
3. Spondilitas tuberkulosis servikal jarang terjadi, namun komplikasi
yang ditimbulkan lebih berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia
dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan pada nervus
laringeus, dan jika nervus frenikus terganggu, dapat mengganggu saluran
pernafasan dan timbuk sesak napas (Milla asthma) (Agrawal V, 2010,
dalam Zuwanda, 2013).
4. Kifosis, hal ini terjadi karena kerusakan tulang yang terjadi sangat
hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi juga sangat besar
(Paramarta, 2008).
5. Cedera corda spinalis (spinal cord injury), dapat terjadi karena
adanya tekanan ekstradural karena pus tuberkulosa (Vitriana, 2002).
6. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di
torakal ke dalam pleura (Vitriana, 2002).

5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan khusus yang dilakukan hingga saat ini untuk
mendiagnosis spondilitis tuberkulosis yaitu pemeriksaan radiologi karena
langsung memvisualisasi kelainan fisik pada tulang belakang. Terdapat
beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan, yaitu:
a. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal terlihat
normal pada penyakit tuberkulosis, namun seiring perjalanan waktu,
penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat menjadi gambaran
yang menonjol.
Pasa fase lanjut kerusakan bagian anterior semakin memberat dan
membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sinar-
X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik.

Gambar 1. Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X


memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian
dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat
terlihat masa paravertebral yang samar, yang merupakan cold
abcess (panah putih) (Sumber: Zuwanda, 2013).

b. Computed Tomography Scan (CT-Scan)


CT-Scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis. CT-Scan berguna untuk memandu tindakan biopsi
perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang, penggunaan
CT-Scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi
jaringan lunak.
Gambar 2. Pencitraan CT-Scan pasien spondilitis TB potongan aksial
setingkat T12. Pada CT-Scan dapat terlihat destruksi pedikel
kiri vertebra L3 (panah hitam), dan abses psoas (panah putih)
(Sumber: Zuwanda, 2013)

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Seperti
kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum
tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini mempunyai manfaat besar untuk
membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat
non kompresif pada spondilitis tuberkulosis, sehingga dapat membantu
dalam memutuskan pilihan manajemen terapi apakah bersifat konserfativ
atau operatif, selain itu juga dapat membantu menilai respon terapi yang
diberikan.

Gambar 3. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada


MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang
menyebabkan kifosis berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak
(panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan
medula spinalis (Sumber: Zuwanda, 2013).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis


spondilitis teburkulosis adalah:
1. Pencitraan yang lain
a. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah
lumbar, dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume
abses yang menjadi lesi tuberkulosis.
b. Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemerikasaan ini
hanya bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Berbagai jenis
penyakit seperti degenarasi, infeksi, keganasan, dan trauma dapat
memberikan hasil positif yang sama seperti pada spondilitis
tuberkulosis.

2. Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologi


Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang
belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara
perkutan dan dipandu dengan CT-Scan atau fluoroskopi. Jika
didapatkan cairan abses, cairan ini dapat ditarik melalui jarum halus
tanpa kesulitan. Jika dijumpai jaringan granulasi, mungkin diperlukan
suatu trocar untuk memperoleh spesimen jaringan. Spesimen kemudian
dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan
pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, jamur dan tumor.
Pemerikasaan mikrobiologi menggunakan cara kultur, diagnosis pasti
dibuat jika dijumpai basil tuberkulosis tahan asam pada kultur sputum,
urin atau bahan biopsi. Basil tuberkulosis tumbuh lambat pada kultur,
sekitar 6-8 minggu.
3. Pemerikasaan laboratorium
a. Polymerase Chain Reaction (PCR), dapat digunakan untuk
mendeteksi DNA kuman tuberkulosis. Pemeriksaan ini sangat akurat
dan cepat (24 jam), prinsip kerja PCR adalah memberbanyak DNA
kuman secara eksponensial sehingga dapat terdeteksi meski kuman
dalam jumlah sedikit (10–1000 kuman). PCR memiliki sensitivitas
sekitar 80–98%.
b. Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretori
ES-31 mycobacterial, IgG, anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan
antigen 31 Kda dikatakan dapat berguna, namun efektivitasnya
masih diuji lebih lanjut.
c. Pemeriksaan hematologis meliputi Laju Endap Darah (LED) yang
biasanya meningkat namun tidak spesifik menunjukkan proses
infeksi granulomatosa TB. Peningkatan kadar C-reactive protein
(CRP) diduga kuat adanya abses. Uji mantoux positif pada sebagian
besar pasien, namun hanya memberi petunjuk tentang paparan
kuman TB sebelumnya atau saat ini. Adanya kelainan hematologi
yang sering ditemukan pada pasien spondilitis TB adalah anemia
normositik normokrom, trombositosis dengan atau tanpa
peningkatan LED, dan leukositosis (Zuwanda, 2013).

6. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit
serta mencegah paraplegia. Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai
berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan
dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi
menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan
kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat
disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan
INH dan rifampisin harus diberikan selama seluruh pengobatan. Regimen 4
macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan
etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa
penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan,
pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun.
Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau
stabilitas klinik pasien.

Obat yang biasa dipakai untuk pengobatannya seperti pada tabel


berikut.
Nama obat Dosis harian Efek samping
(mg/kgBB/hr)
Izoniazid 5 – 15 (300 mg) Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin 10 – 20 (600 mg) Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, ensim hepar, cairan tubuh berwarna
oranye
Pyrazinamid 15 – 40 (2) Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal
Ethambutol 15 – 25 (2,5) Neuritis optik, penurunan visus, hipersensitif,
gastrointestinal
Streptomisin 15 – 40 (1) Ototoksik, nefrotoksik
Sumber: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman Nasional TB anak.

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka


dosis dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin
tidak boleh lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh
diracik dalam satu puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan.
Sebagai tambahan terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan
lebih awal pada penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non
spesifik untuk menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari
prostaglandin.
Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus
dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi.
Menurut Boswots Compos pengobatan yang paling penting adalah
imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien
yang terdeteksi lebih awal akan terdeteksi lebih awal; akan pulih setelah
arthrodesis. Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya
pada beberapa pasien yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila
pengobatan ini tidak memberikan perbaikan dan pemulihan, akan terjadi
dekompresi batang otak. Pada umumnya artrodesis dilakukan pada spinal
hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.

Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan


menunjukkan hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada
stadium akhir terjadi pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi
Pott’s paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan
antara lain:
1. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif,
paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan
konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama
1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang
disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan
dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi
nekrosis Mycobacterium
akibat tekanan tuberculosa
pada kulit,pada
paraplegia
paru- yang berat dengan onset
yang cepat,paru,
dapatkelenjar limfe mediastinum,
menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan
mesenterium, servikal, ginjal dan alat-
mekanis atau absesalat
dapat juga
dalam merupakan hasil dari trombosis vaskular
lainnya
tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya,
paraplegia flaksid, paraplegia
Hematogendalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris
yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6
bulan. Batson’s plexus of paravertebral vein
2. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan
paraplegia Toracal 10 ke atas
awal sering Vertebra
tidak disadari, Lumbal
paraplegia pada nonparaplegia
usia tua, paraplegia yang
disertai nyeri yang diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar
Bagian
saraf serta adanya central, anterior
komplikasi seperti batu atau terjadi infeksi saluran
Eksudat
dan daerah epifisial
kencing.

Prosedur pembedahan
Perlunakan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang
Chaperonin
Gangguan Destruksi Nyeri
mobilisasi mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi,
korpus dekompresi anterolateral
dan laminektomi.
Osteoporosis vertebra

B. Clinical Pathway Kifosis


Kompresi

Kompresi Risiko
saraf infeksi
Masalah Masalah
Pernafasan Kosmeti
k
Operasi

Pola nafas Gangguan Nyeri


tidak efektif citra tubuh
Menyebar ke
ligamentum
longitudinal
anterior
Menembus
ligamentum dan
bereksplorasi ke
ligament yang
lebih lemah
Abses lumbal,
pleura,
cervical

abses psoas yang


dapat mencapai
trigonum
C. Asuhan Keperawatan femoralis
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
alamat, No. RM, pekerjaan, status perkawinan, Tanggal MRS, Tanggal
pengkajian, dan sumber informasi.
b. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik
Spondiolitis tuberkulosis.
2. Keluhan Utama
Terdapat nyeri pada bagian punggung yang terinfeksi.
3. Riwayat penyakit sekarang
Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan terasa nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas
akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi
di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke
bagian perut. Rasa nyeri akan menghilang dengan beristirahat dan
semakin parah saat terjadi pergerakan pada tulang belakang. Untuk
mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku, pola
berjalan menyesuaikan rigiditas proyektil dari tulang belakang, langkah
kaki biasanya pendek untuk mencoba menghindari rasa nyeri.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
Terjadinya spondilitis tuberkulosa biasanya pasien mempunyai riwayat
penyakit tuberkulosis paru atau riwayat gejala-gejala klasik seperti
demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, dan penurunan berat
badan jika diagnosa TB paru belum ditegakkan.
5. Riwayat penyakit keluarga:
Pasien dengan penyakit spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab
timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain
mempunyai penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang
menderita penyakit tersebut.
c. Pola Persepsi Kesehatan
1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
Pasien yang kurang mengerti tentang perjalanan penyakit yang dialami
sebagian besar menimbulkan persepsi yang salah, sehingga pasien merasa
cemas akan keadaan yang dialami.
2. Pola nutrisi/ metabolik
Kondisi tubuh yang mengalami infeksi menyebakan metabolisme
meningkat, sehingga akan mengalami gangguan pada status nutrisi klien.
Sehingga pada pasien spondilitis tuberkulosis dapat mengalami penurunan
berat badan.
3. Pola eliminasi
Pasien yang mengalami nyeri punggung dapat menyebabkan terjadinya
perubahan dalam cara eliminasi, tindakan perawatan yang mengharuskan
pasien untuk diimobilisasi menyebabkan pasien harus eliminasi dengan
menggunakan alat, bila pasien belum biasa melakukan hal tersebut maka
akan dapat mengganggu proses eliminasi.
4. Pola aktivitas & latihan
Pasien yang mengalami nyeri dibagian punggung menyebabkan pasien
sangat berhati-hati dalam melakukan aktivitas. Saat berjalan langkah kaki
pasien pendek, dan pola jalan mereflesikan regiditas proyektil dari tulang
belakang untuk menghindari terjadinya nyeri.
5. Pola tidur & istirahat
Pada saat malam hari pasien mengalami keringat dingin dan deman yang
berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari, hari tersebut
dapat menggangu pola tidur dan istirahat pasien.
6. Pola kognitif & perceptual
Fungsi panca indra klien tidak mengalami gangguan, terkecuali jika
komplikasi paraplegi sudah terjadi.

7. Pola persepsi diri


Pasien dengan spondilitis tuberkulosis sering measa malu terhadap bentuk
perubahan tubuh yang mengalami perubahan.
8. Pola seksualitas & reproduksi
Kebutuhan seksualitas dan reproduksi tidak mengalami gangguan,
terkecuali bila pasien yang hospitalisasi kemungkinan kebutuhan tersebut
akan terganggu.
9. Pola peran & hubungan
Hubungan peran pasien dapat mengalami perubahan jika pasien yang
mengalami nyeri mulai mengurangi aktiviats yang seperti biasa dilakukan,
selain itu pasien yang merasa malu akan mulai membatasi dirinya dengan
orang lain.
10. Pola manajemen koping-stress
Pasien yang belum mengerti tentang perjalanan penyakit yang dialami
sebagian besar akan merasa rasah dan sering bertanya-tanya tentang
kondisi yang dialami.
11. System nilai & keyakinan
Tidak terjadi gangguan pada nilai dan keyakinan pasien. Sebagain besar
pasien mengalami penyakit akan lebih mendekat diri kepada Yang Maha
Esa karena berharap pertolongan dan agar cepat diberikan kesembuhan.
d. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Pasien sebagaian besar mempunyai kesadaran composmentis.
Tanda vital:
Respiration rate pasien lebih cepat karena diakibatkan oleh hambatan
pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi
paru oleh kuman TB.

Pengkajian Fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)


1. Kepala
Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk
dalam posisi dagu disangga oleh satu tangan, sementara tangan lainnya di
oksipital.
2. Mata
Tidak terjadi gangguan mata pada pasien.
3. Telinga
Tidak terjadi gangguan pada telinga pasien.
4. Hidung
Tidak terjadi gangguan pada hidung pasien.
5. Mulut
Tidak terjadi gangguan pada mulut pasien.
6. Leher
Terjadi rigiditas pada leher bila infeksi menjalar ke area servikal, dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis
torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau
bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi
leher.
7. Dada
Jika infeksi mengenai regio torakal dan terdapat abses maka abses dapat
berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak
sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan, abses ini
berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis.
8. Abdomen
Tidak terjadi gangguan pada abdomen pasien.

9. Urogenital
Bagian urogenital akan mengalami gangguan jika pasien mengalami
komplikasi yang paling berbahaya yaitu hemiplegi, sehingga pasien akan
mengalami gangguan pada sistem urogenital.
10. Ekstremitas
Infeksi yang terjadi di regio lumbar bila terdapat abses akan tampak
sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat
paha. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangan diatas
paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
11.Kulit dan kuku
Keadaan kulit harus dilihat dibagian yang terkena infeksi untuk
menentukan muara sinus/fistel yang terdapat pada daerah yang terinfeksi.
12. Keadaan lokal
Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang
dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan.

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan terjadinya penekanan saraf akibat
pembentukan abses paravertebral.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan terjadinya kompresi pada
medula spinalis
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya perubahan bentuk
tubuh akibat perjalanan penyakit
d. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan termoregulasi
dihipothalamus akibat proses infeksi
e. Risiko jatuh dengan faktor risiko gangguan keseimbangan dan koordinasi
gerakan tubuh
3. Perencanaan keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1 Nyeri kronis NOC: NIC :
berhubungan dengan Comfort level Pain Management:
terjadinya penekanan saraf Pain control a. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen
akibat pembentukan abses Pain level nyeri
paravertebral b. Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Kolaborasikan analgetik atau codein
1x24 jam, nyeri kronis pasien berkurang dengan d. Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
kriteria hasil: e. Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi)
a. Tidak ada gangguan tidur bila perlu
b. Tidak ada gangguan konsentrasi
c. Tidak ada gangguan hubungan interpersonal
d. Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan
secara verbal
e. Tidak ada tegangan otot
2 Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan Joint Movement: Active Exercise therapy: ambulation
terjadinya kompresi pada Mobility Level a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
medula spinalis Self care : ADLs dan lihat respon pasien saat latihan
Transfer performance b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
3x24 jam, gangguan mobilitas fisik teratasi dengan berjalan dan cegah terhadap cedera
kriteria hasil: d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
a. Peningkatan aktivitas fisik klien tentang teknik ambulasi
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. Memverbalisasikan perasaan dalam f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
meningkatkan kekuatan dan kemampuan secara mandiri sesuai kemampuan
berpindah g. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk bantu penuhi kebutuhan ADLs
mobilisasi (walker) h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
3 Gangguan citra tubuh NOC: NIC :
berhubungan dengan adanya Body image Body image enhancement:
perubahan bentuk tubuh Self esteem a. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien
akibat perjalanan penyakit terhadap tubuhnya
Setelah dilakukan b. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
tindakan keperawatan c. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan,
selama 3x24 jam, gangguan body image kemajuan dan prognosis penyakit
pasien teratasi dengan kriteria hasil: d. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
a. Body image positif e. Identifikasi arti pengurangan melalui
b. Mampu mengidentifikasi pemakaian alat bantu
c. kekuatan personal f. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam
d. Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi kelompok kecil
e. tubuh
f. Mempertahankan interaksi sosial
5 Risiko Jatuh NOC : NIC :
Faktor-faktor risiko: Knowledge: Personal Environmental Management Safety:
Internal: Safety a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
-Kelemahan Safety Behavior: Fall Prevention b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
-Penglihatan menurun Safety Behavior : Fall Occurance sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
-Penurunan koordinasi Safety Behavior: Physical Injury pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
otot, tangan-mata Tissue Integrity: Skin c. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
-Kurangnya edukasi and Mucous Membrane (misalnya memindahkan perabotan)
keamanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x d. Memasang side rail tempat tidur
24 jam, klien tidak mengalami trauma dengan e. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan
Eksternal: kriteria hasil: bersih
-Lingkungan Pasien terbebas dari trauma fisik f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau pasien.
g. Membatasi pengunjung
h. Memberikan penerangan yang cukup
i. Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
j. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
k. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
l. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga
atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses asuhan keperawatan. Format
evaluasi yang sering dipakai adalah format SOAP, dalam format ini kita
dapat mengetahui perkembangan keadaan pasien. Apakah masalah
keperawatannya sudah terselesaikan atau belum.

5. Discharge Planning
a. OAT harus tetap diberikan dengan pengawasan yang baik
b. Menurut Smeltzer dan Bare (2001), pendidikan untuk klien ditekankan
pada cara berpostur tubuh yang baik, yaitu berusaha menjaga tulang
vertebra klien tetap lurus ketika beraktivitas.
c. Menjaga agar udara rumah tetap bersih dengan ventilasi yang baik dan
tidak ada udara yang terkontaminasi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., et al. Tanpa tahun. Nursing Interventions Classification


(NIC). Fifth Edition. Mosby Elsevier

Fitri, Fasihah Irfani. 2010. Spondilitis Tuberkulosa Servikalis. [serial online].


http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28161. [diakses tanggal 30
Oktober 2016].

Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC).


Mosby Elsevier.

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.

Paramarta, I Gede Epi, dkk. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. [serial online].


http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-3-6.pdf. [diakses tanggal 30 Oktober
2016].

Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. [serial online].


http://pustaka.unpad.ac.id/wpontent/uploads/2009/05/spondilitis_tuberkulo
sa.pdf. [diakses tanggal 3 Oktober 2014].

Wilkison, J. M. dan Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosis


NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Zuwanda, dan Raka Janitra. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis


Tuberkulosis. [serial online].
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_208Diagnosis%20dan
%20Penatalaksanaan%20Spondilitis%20Tuberkulosis.pdf. [diakses
tanggal 30 Oktober 2016].

Anda mungkin juga menyukai