oleh:
Lidatu Nara Shiela, S.Kep
NIM. 122311101048
(..............................................) (............................................)
NIP. NIM
Pembimbing Akademik,
(..................................................)
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
SPONDILITIS TBC
Oleh: Lidatu Nara Shiela, S.Kep
2. Patofisiologi
Mikobakterium tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran
pernafasan dan saluran cerna, dengan perjalanan infeksi berlangsung dalam
4 fase, yaitu:
a. Fase primer
Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Didalam
jaringan paru timbul reaksi radang yang melibatkan sistim pertahanan
tubuh, dan membentuk afek primer.Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid
hilus, maka akan timbul limfadenitis primer, suatu granuloma sel
epiteloid dan nekrosis perkijuan. Afek primer dan limfadenitis primer
disebut kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami resolusi dan
sembuh tanpa meninggalkan bekas atau sembuh melalui fibrosis dan
kalsifikasi.
b. Fase miliar
Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran
hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain.
Penyebaran bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain
melalui bronkus dan menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase
ini dapat berlangsung terus sampai menimbulkan kematian , mungkin
juga dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman.
c. Fase laten
Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami
resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi
dorman. Fase ini berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama
bertahuntahun. Bila terjadi perubahan daya tahan tubuh maka kuman
dorman dapt mengalami reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi.
d. Fase reaktivasi
Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, rektifasi
penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan
kalsifikasi atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi
sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal
merupakan organ kedua yang paling sering terinfeksi ; selanjutnya
kelenjar limfe, tuba , tulang, sendi, otak, kelenjar adrenal, saluran cerna
dan kelenjar mamma. Meskipun jarang, tuberkulosa kongenital dapat
ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena umbilikal atau cairan
amnion ibu yang terinfeksi.
Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase
hematogen atau reaktivasi kuman dorman. Vertebra yang paling sering
terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal (T8-L3). Bagian anterior vertebra
lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan bagian posterior. Basil masuk
ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama , jalur arteri dan jalur vena serta
jalur tambahan.
Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke
perifer masuk kedalam korpus vertebra ; berasal dari arteri segmental
interkostal atau arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh
dari korpus yang berdekatan, dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah
arteri nutrisia. Didalam korpus arteri ini berakhir sebagai end artery,
sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah
paradiskal.
4. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat spondilitis tuberkulosis adalah:
1. Kelainan pada sistem neurologis karena adanya abses dalam
kanalis spinalis yang dapat menekan medula spinalis. Adanya abses
spinal dapat menyebabkan penekanan akar saraf, menyerupai herniasi
diskus atau dapat menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif
sehingga dapat terjadi paraplegia atau tetraplegia jika tidak ditangani
(McLain, 2009, dalam Fitri, 2010). Defisit neurologis terjadi pada 12–
50% penderita, yaitu terjadi paraplegi, paresis, hipestesia, nyeri radikular,
dan atau sindrom kauda equina (Zuwanda, 2013).
2. Terjadinya paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia)
merupakan komplikasi yang berbahaya. Pott’s paraplegia dibagi menjadi
dua jenis yaitu onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat
(late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut biasanya dalam dua
tahun pertama, disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau
proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umunya
disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan
tulang akibat destruksi tulang sebelumnya.
3. Spondilitas tuberkulosis servikal jarang terjadi, namun komplikasi
yang ditimbulkan lebih berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia
dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan pada nervus
laringeus, dan jika nervus frenikus terganggu, dapat mengganggu saluran
pernafasan dan timbuk sesak napas (Milla asthma) (Agrawal V, 2010,
dalam Zuwanda, 2013).
4. Kifosis, hal ini terjadi karena kerusakan tulang yang terjadi sangat
hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi juga sangat besar
(Paramarta, 2008).
5. Cedera corda spinalis (spinal cord injury), dapat terjadi karena
adanya tekanan ekstradural karena pus tuberkulosa (Vitriana, 2002).
6. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di
torakal ke dalam pleura (Vitriana, 2002).
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan khusus yang dilakukan hingga saat ini untuk
mendiagnosis spondilitis tuberkulosis yaitu pemeriksaan radiologi karena
langsung memvisualisasi kelainan fisik pada tulang belakang. Terdapat
beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan, yaitu:
a. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal terlihat
normal pada penyakit tuberkulosis, namun seiring perjalanan waktu,
penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat menjadi gambaran
yang menonjol.
Pasa fase lanjut kerusakan bagian anterior semakin memberat dan
membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sinar-
X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik.
6. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit
serta mencegah paraplegia. Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai
berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan
dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi
menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan
kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat
disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan
INH dan rifampisin harus diberikan selama seluruh pengobatan. Regimen 4
macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan
etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa
penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan,
pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun.
Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau
stabilitas klinik pasien.
Prosedur pembedahan
Perlunakan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang
Chaperonin
Gangguan Destruksi Nyeri
mobilisasi mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi,
korpus dekompresi anterolateral
dan laminektomi.
Osteoporosis vertebra
Kompresi Risiko
saraf infeksi
Masalah Masalah
Pernafasan Kosmeti
k
Operasi
9. Urogenital
Bagian urogenital akan mengalami gangguan jika pasien mengalami
komplikasi yang paling berbahaya yaitu hemiplegi, sehingga pasien akan
mengalami gangguan pada sistem urogenital.
10. Ekstremitas
Infeksi yang terjadi di regio lumbar bila terdapat abses akan tampak
sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat
paha. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangan diatas
paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
11.Kulit dan kuku
Keadaan kulit harus dilihat dibagian yang terkena infeksi untuk
menentukan muara sinus/fistel yang terdapat pada daerah yang terinfeksi.
12. Keadaan lokal
Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang
dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan terjadinya penekanan saraf akibat
pembentukan abses paravertebral.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan terjadinya kompresi pada
medula spinalis
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya perubahan bentuk
tubuh akibat perjalanan penyakit
d. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan termoregulasi
dihipothalamus akibat proses infeksi
e. Risiko jatuh dengan faktor risiko gangguan keseimbangan dan koordinasi
gerakan tubuh
3. Perencanaan keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1 Nyeri kronis NOC: NIC :
berhubungan dengan Comfort level Pain Management:
terjadinya penekanan saraf Pain control a. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen
akibat pembentukan abses Pain level nyeri
paravertebral b. Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Kolaborasikan analgetik atau codein
1x24 jam, nyeri kronis pasien berkurang dengan d. Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
kriteria hasil: e. Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi)
a. Tidak ada gangguan tidur bila perlu
b. Tidak ada gangguan konsentrasi
c. Tidak ada gangguan hubungan interpersonal
d. Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan
secara verbal
e. Tidak ada tegangan otot
2 Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan Joint Movement: Active Exercise therapy: ambulation
terjadinya kompresi pada Mobility Level a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
medula spinalis Self care : ADLs dan lihat respon pasien saat latihan
Transfer performance b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
3x24 jam, gangguan mobilitas fisik teratasi dengan berjalan dan cegah terhadap cedera
kriteria hasil: d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
a. Peningkatan aktivitas fisik klien tentang teknik ambulasi
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. Memverbalisasikan perasaan dalam f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
meningkatkan kekuatan dan kemampuan secara mandiri sesuai kemampuan
berpindah g. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk bantu penuhi kebutuhan ADLs
mobilisasi (walker) h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
3 Gangguan citra tubuh NOC: NIC :
berhubungan dengan adanya Body image Body image enhancement:
perubahan bentuk tubuh Self esteem a. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien
akibat perjalanan penyakit terhadap tubuhnya
Setelah dilakukan b. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
tindakan keperawatan c. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan,
selama 3x24 jam, gangguan body image kemajuan dan prognosis penyakit
pasien teratasi dengan kriteria hasil: d. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
a. Body image positif e. Identifikasi arti pengurangan melalui
b. Mampu mengidentifikasi pemakaian alat bantu
c. kekuatan personal f. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam
d. Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi kelompok kecil
e. tubuh
f. Mempertahankan interaksi sosial
5 Risiko Jatuh NOC : NIC :
Faktor-faktor risiko: Knowledge: Personal Environmental Management Safety:
Internal: Safety a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
-Kelemahan Safety Behavior: Fall Prevention b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
-Penglihatan menurun Safety Behavior : Fall Occurance sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
-Penurunan koordinasi Safety Behavior: Physical Injury pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
otot, tangan-mata Tissue Integrity: Skin c. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
-Kurangnya edukasi and Mucous Membrane (misalnya memindahkan perabotan)
keamanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x d. Memasang side rail tempat tidur
24 jam, klien tidak mengalami trauma dengan e. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan
Eksternal: kriteria hasil: bersih
-Lingkungan Pasien terbebas dari trauma fisik f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau pasien.
g. Membatasi pengunjung
h. Memberikan penerangan yang cukup
i. Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
j. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
k. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
l. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga
atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses asuhan keperawatan. Format
evaluasi yang sering dipakai adalah format SOAP, dalam format ini kita
dapat mengetahui perkembangan keadaan pasien. Apakah masalah
keperawatannya sudah terselesaikan atau belum.
5. Discharge Planning
a. OAT harus tetap diberikan dengan pengawasan yang baik
b. Menurut Smeltzer dan Bare (2001), pendidikan untuk klien ditekankan
pada cara berpostur tubuh yang baik, yaitu berusaha menjaga tulang
vertebra klien tetap lurus ketika beraktivitas.
c. Menjaga agar udara rumah tetap bersih dengan ventilasi yang baik dan
tidak ada udara yang terkontaminasi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
DAFTAR PUSTAKA