Disusun Oleh:
Niken Asih Laras Ati
150070300011132
Kelompok 2
A. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang vertebra. Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat
menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi
disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi primer pada bagian tubuh yang lain.
Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya
akan melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra.
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai
dengan gejala dan tanda neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun
1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan
melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui
hematogen. 1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh
nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta
penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih
sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB
dan 1,8% dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan
morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis
dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh
karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan
debris.(Paramarta, dkk, 2008).
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acidfastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga
sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara
yang
konvensional.
Dipergunakan
teknik
Ziehl-Nielson
untuk
Gambar 1 : Mycobacterium
tuberculosis
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana. Klasifi kasi Potts
Gambaran klinikoradiologis
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral,
hiperemia tampak pada skintigrafi , MRI
menunjukkan edema sumsum tulang.
Penyempitan
ruang
diskus,
erosi
paradiskal. MRI memperlihatkan edema
dan kerusakan korteks vertebra, CT scan
menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
23 vertebra terkena (angulasi 1030)
>3 vertebra terkena (angulasi 3060)
>3 vertebra (angulasi >60)
perjalanan
penyakit
< 3 bulan
24 bulan
39 bulan
624 bulan
>2 tahun
Tabel 3 : Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB (Zuandra
dan Janitra, 2013)
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan
klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal).
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan.
Termasuk
didalamnya
adalah
tuberkulosa
spinal
dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus
dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal
atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau skipping lesion.
Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui
pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB noncontiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defi sit neurologis dan tanpa
defisit neurologis, maka defi sit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defi
sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada
vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri
Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen
torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2)
Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen
vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya
lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior
D. PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan
menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus
Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya
limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal
dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita
tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan
bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah
bening, osteoartikular, hingga endometrial. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui
nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer
di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus
venosus paravertebral Batson. Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan
inflamasi paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum
tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis
jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi
dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi
sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban
gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan
vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan
vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian
posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas
kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus (Agrawal, 2010).
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat.
Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra servikal dan
lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra
sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal
dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.
Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan
granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat
menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior.
Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan
mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada
daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan
(wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia
E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan
spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya
gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah
ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara
lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina.
Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi,
karena dapat
menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus.
Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga
Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri
leher yang tidak spesifik.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah
satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia
onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua
tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh
abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit
sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan
oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika
ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul. (Zuwanda dan Janitra, 2013).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah
infeksi tuberkulosa.
1. Anamnesa
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau
bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal
menyebabkan paralisis.
g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang
i.
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
Normalnya
cairan
serebrospinal
tidak
mengeksklusikan
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat
corpus
vertebrae
anterior
yang
berbentuk
scalloping
karena
atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
kasus).
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,
lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
Diagnosis Banding :
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya
sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya
infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang
menyebabkan
pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)
masa pengobatan.
a) Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ).
Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan
Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ )
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :
2.
Terapi operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
Pada
tingkat
servikal,
abses
dapat
terjadi
pada
rongga
tandur tulang
Pembedahan dengan pendekatan posterior saja : Pada kasus tertentu,
pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi posterior
operasi tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak bergantung
pada pemberian OAT untuk mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan defi sit neurologis, abses di
-
fl
eksibilitas
vertebra.
Osteotomi
dekanselasi
cepat
dan
stabilisasi
vertebra
pada
fase
aktif
penyakit.
Dengan
kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau
perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama
pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien
bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.
3. Riwayat penyakit dahulu : Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa
biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa
salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga
ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5. Riwayat psikososial : Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit,
pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan
bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai
penderita.
6. Pola - pola fungsi kesehatan :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Adanya tindakan medis serta
perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan
merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga
menimbulkan
salah
persepsi
dalam
pemeliharaan
kesehatan klien.
Pola nutrisi dan metabolism : Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan
tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme
tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada
status nutrisinya.
Pola eliminasi : Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta
dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau
BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
aliminasi.
Pola aktivitas : Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan
klien
-
membatasi
aktivitas
fisik
dan
berkurangnya
kemampuan
dalam
merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
Pola sensori dan kognitif : Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan
melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
Pola penaggulangan stress : Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum
mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas
yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya
kelainan.
8. Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium :
Radiologi :
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Kronis berhubungan dengan agen cedera biologis (cedera)
2. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan deformitas,
kerusakan
musculoskeletal
3. Resiko cedera berhubungan dengan keterbatasan gerak
4. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
C. Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Nyeri kronis
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama x 24
jam,nyeri klien
berkurang dengan
indikator:
Skala Nyeri
Dapat
mengontrol
nyeri.
Melaporkan
tanda/gejala
nyeri pada
tenaga
kesehatan
Melaporkan bila
nyeri terkontrol
Penggunaan
non analgesic
untuk
mengurangi
nyeri.
NIC:Pain Management
Lakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai
dari lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas dan penyebab.
Gunakan komunikasi yang terapeutik agar pasien
dapat menyatakan pengalamannya terhadap nyeri
serta dukungan dalam merespon nyeri
Tentukan dampak nyeri terhadap kehidupan seharihari (tidur, nafsu makan, aktivitas, kesadaran,
mood, hubungan sosial, performance kerja dan
melakukan tanggung jawab sehari-hari)
Menyediakan informasi tentang nyeri, contohnya
penyebab nyeri, bagaimana kejadiannya,
mengantisipasi ketidaknyamanan terhadap
prosedur
Kontrol faktor lingkungan yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan pada pasien (suhu ruangan,
pencahayaan, keributan)
Ajari untuk menggunakan tehnik non-farmakologi (spt:
biofeddback, TENS, hypnosis, relaksasi, terapi
musik, distraksi, terapi bermain, acupressure,
apikasi hangat/dingin, dan pijatan ) sebelum,
sesudah dan jika memungkinkan, selama puncak
nyeri , sebelum nyeri terjadi atau meningkat, dan
sepanjang nyeri itu masih terukur.
Kolaborasi penggunaan analgesik
Hambatan
Mobilitas
Fisik
Klien dapat
melakukan
mobilisasi secara
berhubungan optimal
dengan
deformitas,
Kriteria Hasil:
kerusakan
Klien dapat ikut
muskuloskel
serta
dalam
etal
program latihan
Mencari
bantuan
sesuai kebutuhan
Mempertahankan
koordinasi
dan
mobilitas sesuai
tingkat optimal.
Resiko
cedera
berhubungan
dengan
keterbatasan
gerak
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama x 24 jam,
resiko cedera tidak
terjadi dengan
indikator:
menggunakan
handrail jika
dibutuhkan
Sediakan bantuan
Penggunaan alat
bantu dengan
benar
Kontrol kelemahan
diperlukan
Pasang tanda untuk memberi tahu staf lain bahwa
pasien beresiko tinggi terjatuh
4
Gangguan
citra tubuh
berhubungan
dengan
perubahan
struktur
tubuh
Klien dapat
Berikan kesempatan pada klien untuk
menggunakan
mengungkapkan perasaan. Perawat harus
koping yang adaptif.
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Bersama sama klien mencari alternatif koping yang
Kriteria Hasil
positif.
Klien dapat
Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara
mengungkapkan
klien keluarga dan teman serta berikan aktivitas
perasaan / perhatian
rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan
dan menggunakan
body image.
keterampilan koping
yang positif dalam
mengatasi
perubahan citra.
DAFTAR PUSTAKA
Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor.
Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : SpringerVerlag, 2007: 378-87.
Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.:
London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 : 228-31
of The