Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Spondilitis Tuberkulosis

Dibuat Oleh:

Timothy Widjaja

112019233

Dibimbing Oleh:

dr. Komala Dewi, Sp.Rad

KEPANITERAAN ILMU RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 18 OKTOBER – 20 NOVEMBER 2021


Pendahuluan

Spondilitis tuberculosis atau yang dikenal juga sebagai Pott’s Disease merupakan salah satu
presentasi umum pada tuberculosis ekstrapulmoner, yang terasosiasi secara signifikan dengan
morbiditas dan bisa berkomplikasi menjadi kelumpuhan fungsional yang parah. Diagnosis
dari spondylitis TB sangat umum menjadi terlambat dikarenakan oleh manifestasi klinis awal
yang non-spesifik atau kecurigaan derajat rendah. Pendekatan diagnosis harus didasari
dengan adanya nyeri kronis atau deformitas, pertimbangan epidemiologis, pencitraan
radiologis, dan presedur yang adekuat untuk mendapatkan sampel secara bacterial, patologis,
atau hingga molecular yang dapat menegakan adanya diagnosis TB spondilitis.1,2

TB Spondilitis atau Pott’s disease menjadi salah satu penyakit tertua yang terdemonstrasi di
sejarah manusia, dengan pertama kali terdokumentasi pada peninggalan tulang belakang pada
Iron Age di Eropa, preservasi mumi pada zaman Mesir kuno, dan pesisir Pasifik di Amerika
Selatan. Pada tahun 1779, Percivall Pott yang pertama kali mendeskripsikan tuberculosis
tulang belakang yang dideskripsikan sebagai deformitasi kifosis dan adanya temuan defisit
neurologis, yang dimana namanya dijadikan sebagai rujukan diagnosis pada penyakit TB
pada tulang belakang.1,2

Epidemiologi

Secara global, TB ekstrapulomonal mewakili 14% dari 6,4 juta kasus TB yang dilaporkan
pada tahun 2017, berentang dari 8% di wilayah Pasifik Barat hingga 24% di wilayah
Mediterania Timur. Frekuensi relatif global dari presentasi TB yang berbeda tidak lebih rinci
daripada paru/ekstrapulmoner. Di Amerika Serikat, proporsi kasus luar paru pada tahun 2017
adalah 20,8% (1.887 kasus). Dari jumlah tersebut, keterlibatan tulang dan sendi adalah yang
paling umum ketiga, terdiri dari 9,8% kasus, setelah penyakit limfatik dan pleura.1

Laporan WHO pada tahun 2013 memperkirakan bahwa ada 8,6 juta kasus TB pada tahun
2012 dan di mana 1,1 juta orang (13%) adalah pasien dengan positif human
immunodeficiency virus (HIV). Prevalensi Tuberkulosis BTA positif di Indonesia pada tahun
2013 sebesar 257 per 100.000 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Pada tahun 2016, kejadian
TB mencapai 391 per 100.000 penduduk. 20% pasien TB paru akan menyebar ke TB ekstra
paru. 11% TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, di mana setengah dari kasus TB
osteoartikular adalah TS.7
Etiologi

Patogen yang mendasari tuberkulosis adalah kompleks genus Mycobacterium. Ada sekitar 60
spesies, di antaranya M. tuberculosis adalah jenis yang paling umum. Organisme ini adalah
basil yang fastidious, tumbuh lambat dan aerobik. Spesies mikobakteri non-TB lainnya yang
mempengaruhi manusia termasuk Mycobacterium avium, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium microti, dan Mycobacterium africanum. Basil TB mampu menjadi dorman
untuk waktu yang lama; namun ketika kondisi yang menguntungkan kembali contohnya pada
pasien dengan imunocompromised, mereka cenderung berkembang biak sekali setiap 15
sampai 20 jam.3

Infeksi menghasilkan reaksi inflamasi granulomatosa, yang biasanya ditandai dengan


nekrosis kaseosa, limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa tipe Langhans.3

Beberapa faktor risiko yang diketahui untuk TB termasuk kontak yang terlalu lama dengan
pasien yang terinfeksi, imunodefisiensi (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat), kepadatan
penduduk, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial ekonomi yang lebih rendah.2,3

Patofisiologi

Spondilitis TB biasanya merupakan hasil dari sumber infeksi ekstraspinal dan penyebaran
hematogen. Penyakit ini bermanifestasi sebagai kombinasi osteomielitis dan artritis yang
biasanya melibatkan lebih dari 1 ruas vertebra, dimana aspek anterior korpus vertebra yang
berdekatan dengan lempeng subkondral biasanya terpengaruh. Tuberkulosis dapat menyebar
dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis yang berdekatan. Pada orang dewasa, penyakit
diskus merupakan penyakit sekunder akibat penyebaran infeksi dari korpus vertebra. Pada
anak-anak diskus dapat menjadi tempat utama dikarenakan adanya vaskularisasi.2,4

Kerusakan tulang yang progresif dapat menyebabkan kolaps vertebra dan kyphosis. Kanalis
spinalis dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi, atau invasi dural langsung yang
menyebabkan kompresi pada medula spinalis dan terjadi adanya defisit neurologis.2

Deformitas kyphotic disebabkan oleh adanya kolaps pada tulang belakang bagian anterior.
Lesi yang berada di tulang belakang torakal lebih mungkin menyebabkan kyphosis daripada
di tulang belakang bagian lumbar. Abses dapat terjadi jika infeksi meluas ke ligamen dan
jaringan lunak yang berdekatan. Abses di daerah lumbal dapat turun ke bawah selubung
psoas ke daerah trigonum femoralis dan akhirnya mengikis ke dalam kulit.2,4

Manifestasi Klinis

Presentasi klinis tuberkulosis tulang belakang bervariasi. Manifestasinya tergantung pada


durasi penyakit, keparahan penyakit, lokasi lesi, dan adanya komplikasi terkait termasuk
deformitas dan defisit neurologis. Pada penyakit tanpa komplikasi, pasien biasanya datang
dengan nyeri punggung; sedangkan presentasi yang terkait dengan penyakit tulang belakang
tuberkulosis yang rumit melibatkan deformitas, instabilitas, dan defisit neurologis. Nyeri
punggung pada tuberkulosis dapat berhubungan dengan penyakit aktif itu sendiri (sekunder
akibat inflamasi), destruksi tulang dan instabilitas. Nyeri saat istirahat adalah patognomonik
dan jarang, nyeri radikuler merupakan gejala yang paling utama. Gejala konstitusional
termasuk penurunan berat badan atau nafsu makan, demam, dan malaise/kelelahan lebih
jarang dikaitkan dengan tuberkulosis ekstrapulmoner dibandingkan penyakit paru.2,4

Cold Abscess

Abses ini biasanya tidak memiliki semua tanda inflamasi yang terlihat pada abses. Di tulang
belakang bagian leher, abses ini dapat bermanifestasi di ruang retrofaring, segitiga anterior
atau posterior leher, atau aksila. Di tulang belakang toraks dapat muncul sebagai abses
pravertebral atau paravertebral; atau di atas dinding dada. Di tulang belakang lumbar, mereka
dapat melacak di sepanjang otot psoas, Petit’s triangle, Scarpa’s triangle, atau daerah gluteal.2

Deformitas

Gambaran klinis deformitas kyphotic telah diklasifikasikan sebagai knuckle (keterlibatan satu
vertebra), gibbus (dua vertebra), dan kyphus bulat (lebih dari tiga vertebra). Karena
keterlibatan yang lebih besar dari tulang belakang anterior pada TB, tulang belakang secara
progresif mengembangkan orientasi kyphotic; terutama pada tulang belakang torakal dan
torakolumbalis. Sebuah teori menyatakan formula untuk memprediksi kyphosis akhir pada
populasi orang dewasa yang menderita TB tulang belakang: y = a + bx, di mana y adalah
kyphosis akhir, a dan b adalah konstanta masing-masing sama dengan 5,5 dan 30,5, dan x
adalah hilangnya awal tulang belakang tinggi badan, selanjutnya diamati bahwa deformitas
kyphotic lebih besar dari 60 derajat menyebabkan kecacatan yang signifikan dan berpotensi
menimbulkan defisit neurologis.2
Defisit Neurologis

Defisit neurologis dapat terjadi baik pada tahap aktif penyakit (sekunder akibat kompresi dari
abses, jaringan inflamasi, sequestrum atau instabilitas tulang belakang) atau selama tahap
penyembuhan (biasanya sekunder akibat traksi mekanis pada gibbus internal atau instabilitas
tulang belakang).2,3

Kompresi awal pada TB adalah sekunder dari kolaps korpus vertebra, yang menyebabkan
keterlibatan traktus spinalis anterior (refleks tendon dalam yang berlebihan dan tanda
Babinski, perkembangan lebih lanjut menjadi defisit motorik tipe Upper-Motor Neuron).
Selanjutnya, traktus spinalis lateral terlibat secara progresif (dengan hilangnya sentuhan
kasar, nyeri, dan suhu); diikuti oleh defisit kolumna posterior (gangguan sfingter dan
kehilangan sensorik total). Skor Frankel, dan ASIA yang awalnya dikembangkan untuk
mengklasifikasikan defisit neurologis pada cedera tulang belakang akut juga dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan defisiensi neurologis pada tuberkulosis tulang belakang. Klasifikasi
Tuli yang dimodifikasi adalah klasifikasi yang paling berguna dari paraplegia Pott dengan
keterlibatan sumsum tulang belakang. Ada lima tahap paraplegia Pott:2

 Tahap 1: Defisit terlihat berdasarkan pemeriksaan klinis oleh klinisi (klonus


pergelangan kaki, refleks tendon dalam yang berlebihan dan Babinski atau ekstensor
plantar)
 Tahap 2: Pasien memiliki defisit motorik tipe UMN dengan spastisitas, namun masih
dapat berjalan. Skor motorik yang diantisipasi pada tetraparesis adalah 60 sampai 100
dan pada paraparesis adalah antara 80 dan 100; defisit sensorik melibatkan kolumna
lateral
 Tahap 3: Pasien terbaring di tempat tidur dan kejang. Skor motorik yang diantisipasi
pada tetraparesis adalah 0 sampai 30, dan pada paraparesis adalah antara 50 dan 80;
defisit sensorik melibatkan kolumna lateral
 Tahap 4: Pasien terbaring di tempat tidur dengan kehilangan sensorik/luka tekan yang
parah. Skor motorik yang diantisipasi pada tetraplegia adalah 0, dan pada paraplegia
adalah antara 50; defisit sensorik melibatkan kolumna posterior dan lateral
 Tahap 5: Mirip dengan tahap 4 +/- keterlibatan kandung kemih/motilitas usus +/-
spasme fleksor/ tetraplegia lembek/ paraplegia
Meskipun sebagian besar defisit neurologis akan masuk ke dalam klasifikasi ini, defisit neuro
pada granuloma intraspinal, cauda equina, atau sindrom conus medullaris atau TB lokasi
atipikal lainnya mungkin tidak sesuai dengan salah satu tahapan yang disebutkan di atas.3

Pemeriksaan Penunjang

Standar emas dalam diagnosis tuberkulosis adalah kultur Mycobacterium, namun, basil TB
mempunyai sifat fastidious, dan satu-satunya acuan pada kultur dengan hasil positif untuk
diagnosis dapat dikaitkan dengan sensitivitas yang buruk.4

Standar referensi laboratorium alternatif untuk diagnosis termasuk demonstrasi histopatologi


granuloma kaseosa klasik, pewarnaan apusan untuk mengidentifikasi basil tahan asam
(BTA), penanda inflamasi serologis, tes imunologi, dan modalitas diagnostik molekuler.
Presentasi klinis yang khas dengan bukti tidak langsung tambahan dari tes radiologi dan
laboratorium biasanya diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada sebagian besar pasien.1,3

Gambaran Pencitraan

Radiografi polos (sensitivitas 15%): Tahap awal (penghancuran tulang belakang kurang dari
30%) tidak mempunyai banyak berperan terhadap diagnosis. Tahap selanjutnya (di atas 30%
destruksi vertebra) dapat muncul dengan pengurangan ruang diskus, penipisan endplate,
destruksi korpus vertebra, instability, dan deformitas tulang belakang. Rontgen dada juga
merupakan pemeriksaan penting, karena hingga sepertiga dari pasien dengan TB tulang
belakang ini juga dapat memiliki penyakit paru yang menyertai.1,2
Gambar 1. Xray oblique yang menunjukkan perubahan erosive pada korpus verebra3

Computed tomography (CT) (sensitivitas 100%): Dapat membantu dalam diagnosis pada
tahap yang jauh lebih awal daripada x-ray biasa. Jenis lesi destruktif vertebra oleh CT pada
TB tulang belakang termasuk sklerosis fragmentaris, osteolitik, subperiosteal, dan lokal. CT
scan juga dapat membantu dalam biopsi yang dipandu untuk menegakkan diagnosis.3
Gambar 2. Tampak Axial pemeriksaan CT menunjukkan adanya erosi destruktif pada korpus vertebra

Gambar 3. A: CT Axial menunjukkan fragmentary bone pattern, B: abses jaringan lunak besar pada paraspinal
yang menunjukkan kalsifikasi awal

Gambar 4. Temuan radiografi atipikal. A: TB Multilevel menunjukkan sklerosis tulang luas dalam empat tingkat
dan penyakit infeksi intrasomatik L4 tanpa keterlibatan diskus. B: Pola tulang permeatif melibatkan sendi
costotransverse dan jaringan lunak yang berdekatan

Magnetic resonance imaging (MRI) (sensitivitas 100% dan spesifisitas 80%): MRI adalah
modalitas yang paling berguna dalam diagnosis TB tulang belakang. MRI paling baik
mendeteksi sejauh mana peningkatan jaringan lunak, lokasi abses dan kompromi kanal tulang
belakang. MRI yang ditingkatkan dengan Gadolinium dapat memberikan informasi tambahan
mengenai diagnosis. Skrining yang melibatkan seluruh tulang belakang juga dapat membantu
dalam mengidentifikasi keterlibatan tulang belakang yang tidak bersebelahan. MRI juga
dapat menilai respons terhadap pengobatan. Temuan MRI yang khas termasuk pengumpulan
sub-ligamen multi-segmen, terjadinya massa atau abses para / pra-vertebral yang jelas dengan
dinding abses yang relatif menebal, ruang diskus yang relatif terhindar sampai tahap penyakit
selanjutnya dan peningkatan heterogen dari tubuh vertebral dapat membantu dalam
membedakan spondylitis tuberkulosis dari infeksi piogenik lainnya.3,5

Gambar 5. Paradiskal pattern. A,B: Pencitraan pembobotan T2 sagital dan STIR menunjukkan sinyal hiperintens
pada korpus vertebra T9, menunjukkan edema sumsum tulang. C,D: Axial T2- dan T1-postcontrast weighted
imaging menunjukkan keterlibatan paradiskal dan infeksi menyebar ke ruang epidural (panah) dengan kompresi
sumsum tulang belakang
Gambar 6. Pola posterior. Pencitraan dengan pembobotan T2 aksial menunjukkan abses dingin besar (tanda
bintang) yang terletak di jaringan lunak dan infeksi tulang terkait yang melibatkan lengkung vertebra dan sendi
costovertebral (panah)
Gambar 7. Infeksi multisegmen. A, B: Sagittal T1-postcontrast weighted dan pencitraan STIR menunjukkan
tanda-tanda infeksi cervical lanjut dengan abses prevertebral yang besar (panah tipis) dan lesi skip awal dengan
peningkatan epidural yang melibatkan level T6 dan T7 (panah tebal). C, D: follow-up MRI 2 bulan kemudian
menunjukkan persistensi peningkatan kontras di badan vertebra serviks dengan resolusi abses prevertebral

Diagnosis

Diagnosis pada spondilitis TB dapat dibandingkan dengan konsiderasi adanya infeksi


piogenik dan jamur, serta adanya neoplastic. Secara umum, metastasis tulang belakang dan
keganasan tulang belakang primer hadir dengan keterlibatan korpus vertebra primer dan
adanya ruang diskus dibandingkan dengan TB dan infeksi lainnya. Tuberkulosis juga muncul
dengan jaringan lunak dan abses perivertebral, dibandingkan dengan tumor ganas.3,6

Pada pemeriksaan MRI, temuan perbedaan antara spondilitis TB dengan spondilitis piogenik
dapat dibedakan pada faktor berikut:6
Variabel Spondilitis Piogenik Spondilitis TB

Abses paraspinal / intraspinal Tidak ada Ada

Dinding abses Tebal dan iregular Tipis dan licin

Post-contrast paraspinal abnormal Sulit terlihat Mudah terlihat


signal margin

Abses dengan postcontrast rim Abses diskus Abses intraoseus


enhancement vertebra

Pola enhancement korpus vertebra homogen Heterogeny dan


focal

Keterlibatan korpus vertebra <2 korpus vertebra Multiple

Regio umum Lumbalis Torakalis

Derajat kerusakan diskus Destruksi menengah Normal hingga


ke total kerusakan ringan

Bony destruction yang lebih dari 50% Jarang terjadi, mild – Sering terjadi, severe
moderate

Tatalaksana

Sangat penting untuk mengklasifikasikan penyakit TB tulang belakang menjadi penyakit


yang rumit dan tidak rumit, berdasarkan presentasi mereka. Sementara TB tulang belakang
tanpa komplikasi pada dasarnya adalah penyakit medis; pasien tulang belakang TB pada
tingkat lanjut memerlukan intervensi bedah selain kemoterapi.2,3,6

Kemoterapi
Pengobatan utama pada TB tulang belakang adalah kemoterapi (pengobatan antitubercular /
Anti-Tubercular Treatment [ATT]). Basil tuberkel ada dalam bentuk intraseluler atau
ekstraseluler, atau sebagai bentuk dorman, atau berkembang biak dengan cepat. Oleh karena
itu, pengobatan multi-durg sangat penting untuk menyerang basil dalam berbagai tahap atau
bentuk dan mengurangi kejadian resistensi obat. Durasi (6, 9, 12, atau 18 bulan) dan
frekuensi pemberian ATT masih diteliti lebih lanjut. WHO merekomendasikan 6 bulan terapi
anti-TB yang bersifat multi-drug, termasuk 2 bulan pengobatan empat atau lima obat
(isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan/atau streptomisin) yang merupakan fase
inisiasi, diikuti oleh 4 bulan lanjutan terapi fase dengan rejimen dua obat termasuk isoniazid
dan rifampisin. American Thoracic Spine Society merekomendasikan rejimen yang
melibatkan 9 bulan pengobatan dengan obat yang sama (fase lanjutan yang diperpanjang
untuk jangka waktu 7 bulan). Canadian Thoracic Society merekomendasikan pengobatan
untuk durasi 9 sampai 12 bulan. Obat anti-TB lini kedua lainnya termasuk kanamisin,
kapreomisin, pirazinamid, amikasin, antara lain biasanya diindikasikan ketika ada resistensi
atau toleransi yang buruk terhadap obat lini pertama. Sebuah meta-analisis yang dilaksanakan
belum menunjukkan perbedaan antara pengobatan yang diberikan sendiri dan pengobatan
yang diamati secara langsung (Directly Observed Therapy, Short-Course [DOTS]); namun
WHO terus merekomendasikan Terapi DOTS untuk hasil yang optimal.2,5

Manajemen Bedah

Secara tradisional, TB diobati dengan debridement radikal melalui pendekatan anterior.


Namun, setelah hasil yang sukses dengan kemoterapi multidrug dan observasi, sebuah
penelitian memperkenalkan konsep "rejimen jalan tengah" dalam pengobatan tuberkulosis.
Rejimen ini merekomendasikan manajemen medis pada semua pasien, bersama dengan
manajemen bedah diperlukan dalam situasi berikut:2,6

 Kurangnya respons terhadap kemoterapi


 Penyakit berulang
 Kelemahan neurologis yang parah
 Defisit neuro statis atau progresif meskipun ada ATT
 Deformitas
 Rasa sakit yang melumpuhkan
 Instability
Tujuan intervensi bedah termasuk drainase abses, debridement jaringan yang terinfeksi,
stabilisasi vertebra dan koreksi deformitas. Basil tuberkel tidak menghasilkan biofilm apapun
dan oleh karena itu, infeksi tuberkulosis dapat distabilkan dengan implan. Prosedur bedah
biasanya melibatkan debridement dan fusi (berinstrumen atau tidak) melalui pendekatan
anterior, posterior atau gabungan. Abses dapat dikeringkan melalui pendekatan invasif
minimal atau terbuka.2

Prognosis

Clinico-Radiological Staging of Pott Spine (Prognostic Staging)

1. Tahap predestruktif; pelurusan kelengkungan, spasme otot perivertebral, hiperemia


pada scintiscan (Durasi kurang dari 3 bulan)
2. Tahap destruktif awal; pengurangan ruang diskus dan erosi paradiscal, knuckle
kurang dari 10 derajat, MRI menunjukkan edema sumsum, dan CT menunjukkan
erosi atau kavitasi (Durasi 2 - 4 bulan)
3. Kifosis sudut ringan; 2 sampai 3 vertebra yang terlibat dan kyphosis 10 - 30 derajat
(Durasi 3 - 9 bulan)
4. Kifosis sudut sedang; 2 hingga 3 vertebra yang terlibat dan kyphosis 30 hingga 60
derajat (Durasi 6 - 24 bulan)
5. Kifosis sudut parah; lebih dari 3 vertebra yang terlibat dan kyphosis lebih besar dari
60 derajat (Durasi lebih dari 24 bulan)

Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam memastikan hasil yang baik pada tulang
belakang Pott.2,4

Secara umum, penyakit tulang belakang tuberkulosis yang komplikata (dengan deformitas
terkait, ketidakstabilan atau defisit neuro) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan penyakit yang tidak rumit. Faktor prognostik penting lainnya termasuk usia (hasil
yang lebih buruk pada usia ekstrem), defisiensi imun (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat),
kepadatan penduduk, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial ekonomi yang lebih rendah.
Kepatuhan yang buruk dan toleransi yang buruk terhadap ATT (termasuk gangguan fungsi
hati) merupakan faktor utama kegagalan obat pada TB.4

Kesimpulan
Pott Disease, juga dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, adalah komplikasi klasik
tuberkulosis ekstrapulmoner (TB). Hal ini terkait dengan morbiditas yang signifikan dan
dapat menyebabkan gangguan fungsional yang parah. Sejak munculnya obat antituberkulosis
dan perbaikan manajemen kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang telah menjadi
langka di negara-negara maju, meskipun masih merupakan penyakit yang sering ditemukan
di negara berkembang. Tuberkulosis tulang belakang berpotensi menyebabkan morbiditas
yang serius, termasuk defisit neurologis permanen dan deformitas derajat tinggi. Perawatan
medis disertai kombinasi strategi tatalaksana obat dan bedah dapat mengendalikan penyakit
pada sebagian besar pasien.
Daftar Pustaka

1. Jose A Hidalgo, M. D. (2021, August 23). Pott disease (tuberculous [TB] spondylitis).
Background, Pathophysiology, Epidemiology. Retrieved November 9, 2021, from
https://emedicine.medscape.com/article/226141-overview.
2. Viswanathan VK, Subramanian S. Pott Disease. [Updated 2021 Aug 19]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538331/
3. Moorthy, S., &amp; Prabhu, N. K. (2002). Spectrum of MR imaging findings in
Spinal tuberculosis. American Journal of Roentgenology, 179(4), 979–983.
https://doi.org/10.2214/ajr.179.4.1790979
4. Rivas-Garcia A, Sarria-Estrada S, Torrents-Odin C, Casas-Gomila L, Franquet E.
Imaging findings of Pott's disease. Eur Spine J. 2013;22 Suppl 4(Suppl 4):567-578.
doi:10.1007/s00586-012-2333-9
5. Jung, N.-Y., Jee, W.-H., Ha, K.-Y., Park, C.-K., &amp; Byun, J.-Y. (2004).
Discrimination of tuberculous spondylitis from pyogenic spondylitis on MRI.
American Journal of Roentgenology, 182(6), 1405–1410.
https://doi.org/10.2214/ajr.182.6.1821405
6. Salam, H., El-Feky, M. Tuberculous spondylitis. Reference article, Radiopaedia.org.
(accessed on 08 Nov 2021) https://radiopaedia.org/articles/8759
7. Evayanti, L. G., Kalanjati, V. P., &amp; Machin, A. (2018). A rare widespread
tuberculous spondylitis extended from the T5-T10 Levels – A case report. IOP
Conference Series: Materials Science and Engineering, 434, 012323.
https://doi.org/10.1088/1757-899x/434/1/012323

Anda mungkin juga menyukai