Anda di halaman 1dari 58

INFEKSI SISTEM NEUROLOGI

dr. Rahmawati Akib, Sp.S, M.Kes


SPONDILITIS TB

dr. Rahmawati Akib, Sp.S, M.Kes


DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
 Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang
dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine
atau tuberculous vertebral osteomyelitis
 merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh
dunia.
 Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum
dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana
malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi
merupakan masalah utama
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
 Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju
insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis
dalam kurun waktu 30 tahun terakhir
 Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi
penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi
imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan
tahap lanjut infeksi HIV (Medical
Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980)
 Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum
alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah
kelompok beresiko besar terkena penyakit ini(
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
 Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini
terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50
tahun
 sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai
anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun).
 Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien
dengan spondilitis tuberkulosa.
 Spondilitis TB (penyakit Pott) penyebaran dari
fokus primer dapat secara hematogen dan
limfogen.
 Infeksi korpus vertebra biasanya dimulai pada
bagian tulang berdekatan dengan diskus
intervertebralis atau bagian anterior dibawah
periosteum korpus vertebra
ETIOLOGI
 Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk
basil (basilus).
 Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis
 Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri
berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan
tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya.
PATOGENESIS
 Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari
kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal
dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas
seluler.
 Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan
bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu
 Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme
pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit.
 Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang
cepat ; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat
terjadi dalam hitungan hari.
PATOLOGI
 Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena
penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus
limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang
dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di
luar tulang belakang.
 Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang
belakang berasal dari fokus primer di paru-paru
sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
PATOGENESIS
 Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis
:

(1) Peridiskal / paradiskal


Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak
ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan
nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini
sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi
kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di
regio torakal.
PATOGENESA
 (3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum
dari vertebra di atas
dan dibawahnya. atau karena adanya perubahan lokal
dari suplai darah vertebral.
 (4) Bentuk atipikal :

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus


primernya tidak dapat diidentifikasikan. Insidensi
tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak
diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
PATOGENESA
 Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit
neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena
kelainan pada tulang (kifosis)
 atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung
dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang
(seperti epidural granuloma, intradural granuloma,
tuberculous arachnoiditis).
 Perubahan tulang terlihat  2 - 5 bulan setelah infeksi.
 Biasanya bagian subkondral dari korpus vertebra terkena.
 Bag. anterior & lateral korpus yang terkena  kifosis &
gibus.

Bagian posterior dari korpus yang


terkena dapat terjadi kavitasi dan
massa ekstradural,

kanalis spinalis dapat menyempit


akibat terdapatnya abses dan jaringan granulasi,

Kompresi medula spinalis dan


defisit neurologis
DIAGNOSA
Berdasarkan anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat
badan, keringat malam, demam yang berlangsung
secara intermitten terutama so re dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat
berkurangnya keinginan bermain di luar rumah.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu)
berdahak atau berdarah disertai nyeri dada
DIAGNOSA
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau
berupa nyeri yang menjalar.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang
belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba
menghindari nyeri di punggung
 5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien
tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan
kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi
dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan
lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat
asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis
torticollis.
DIAGNOSA
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu
pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah
lipat paha.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis
(gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, bayonet
deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis
(defisit neurologis).Terjadi pada kurang lebih 10-47%
kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak
di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.
DIAGNOSA
 Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang
berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat
(disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses
piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah
lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher
(di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung
dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada.
Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran
lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di
segmen yang terkena.
DIAGNOSA
 Perkusi :
1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas
prosesus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak
tenderness.
Pemeriksaan Penunjang :
 1. Laboratorium :

Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20


sampai lebih dari 100mm/jam.
DIAGNOSA
 1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine
Purified Protein Derivative (PPD) positif.
 1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya
keterlibatan ginjal),sputum dan bilas lambung (hasil
positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
 1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan
limfositosis yang bersifat relatif.
 1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-
streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan
brucellosis (pada kasus-kasus yang
DIAGNOSA
 1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan
meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak
mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.
 2 Radiologis

 3. Computed Tomography – Scan (CT)

 4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Bermanfaat untuk :Membantu memutuskan pilihan manajemen


apakah akan bersifat konservatif atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan
kalsifikasi di abses.
 5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi)
dari lesi spinal
MRI
 Pilihan utama mengevaluasi infeksi spinal.
 Perubahan korpus vertebra yang berdekatan
dengan destruksi diskus intervertebral dan
terdapatnya abses paravertebral.
 Penyakit degenerasi diskus, metastasis medulla
spinalis, dan erosi intervertebral osteochondrosis
 menyerupai spondilitis TB
KOMPLIKASI
 1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
 2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses
paravertebral di torakal ke alam pleura.
DIAGNOSA BANDING
 1. Infeksi piogenik (contoh : karena
staphylococcal/suppurative spondylitis).
 2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).Dapat
dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
 3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s
disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst
dan Ewing’s sarcoma)
 4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari
spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya
penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk
abses paraspinal.
MANAJEMEN TERAPI
 Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
 1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan
progresifitas penyakit
 2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit
neurologis
MANAJEMEN TERAPI
 A. TERAPI KONSERVATIF
 1. Pemberian nutrisi yang bergizi

 2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti


tuberkulosa
 3. Istrahat tirah baring

 B. TERAPI OPERATIF
 Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu
pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring
(terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan
respon yang baik
MANAJEMEN TERAPI
 Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi
dan dekompresi juga diindikasikan bila :
 1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk
melakukan biopsi
 2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

 3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

 4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang


yang nyata dan mengancam atau kifosis berat saat ini
 5. Penyakit yang rekuren
PROGNOSA
a. Mortalitas
 Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan
ketat).
b. Relaps
 Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik
dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir
mencapai 0%.
c. Kifosis
 Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya
defisit neurologis
atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
PROGNOSA
 d. Defisit neurologis
 Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa
dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau
kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik
dengan dilakukannya operasi dini.
 e. Usia

 Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan


dengan orang dewasa
 f. Fusi

 Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting


untuk pemulihanpermanen spondilitis tuberkulosa
HIV AIDS

dr. Rahmawati Akib, Sp.S, M.Kes


DEFINISI

 AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune


Deficiency Syndrome, yaitu menurunnya kekebalan
tubuh terhadap penyakit karena infeksi virus HIV
(Human Immunodeviciency Virus)
ETIOLOGI

 AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa


nama, yaitu HTL II, LAV, RAV, yang nama ilmiahnya
disebut dengan Human Immunodeficency Virus (HIV),
yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus
yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat
terhadap limfosit T
 Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen
antiviral yang disebut HIV dari kelompok Retrovirus
Ribonucleic Acid (RNA).
EPIDEMIOLOGI
 Penelitian Hall, dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired
Immune Deficiency Sindrome (2009) di 33 negara
bagian Amerika Serikat, diperoleh bahwa Ras Kulit
hitam 9 kali berisiko menderita AIDS dibanding Ras
Kulit putih dengan Resiko Relative (RR) 9,16 dan Ras
Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi daripada
Ras Kulit Putih (RR 3,05).
 Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009),
terdapat 19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan
49,07%
MANIFESTASI KLINIS
 mengalami berat badanya menurun lebih dari 10% dalam
waktu singkat,
 demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan),

 diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan),

 batuk perkepanjangan (lebih dari satu bulan), kelainan


kulit dan iritasi (gatal),
 infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, serta
pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh,
seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.
ETIOPATOGENESIS
 Mekanisme masuknya virus HIV kedalam sistim saraf
pusat adalah dengan cara menumpang pada monosit
yang terinfeksi virus. Seperti telah diketahui dalam
keadaan normal monosit dapat melewati sawar darah
otak
 Selanjutnya di dalam sistim saraf pusat, monosit yang
telah terinfeksi berdeferensiasi menjadi mikroglia
( perivascular microglia ) dan makrofag ( meningeal
macrophages ; choroid plexus macrophages). Kedua
jenis sel ini kemudian bertanggung jawab dalam
penyebaran HIV di otak dan medula spinalis.
ETIOPATOGENESIS
 Mediator kimia dan protein virus HIV yang dihasilkan
oleh kedua jenis sel ini berperanan menimbulkan
gangguan permeabilitas sawar darah otak
DEMENSIA HIV
 Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai
dengan gangguan kognitif dan motorik yang
menyebabkan hambatan menjalankan aktifitas hidup
sehari-hari. Selain itu juga dijumpai bentuk klinis yang
lebih ringan walaupun penderita masih dapat
menjalankan aktifitas sehari-hari yang disebut sebagai
HIV-associated minor cognitive / motor disorder
( MCMD )
DEMENSIA HIV
 Keluhan motorik awal yang sering dijumpai adalah
kelambanan motorik, kesukaran menulis, gangguan
berjalan, bila memegang suatu benda sering kali terlepas.
Gangguan gait merupakan manifestasi awal motorik
yang paling sering dijumpai namun tidak terdiagnosa
 Keluhan kognitif dan perilaku pada tahap dini yang
sering dijumpai adalah mudah lupa ( forgetfullness ),
sukar berkonsentrasi, apatis, hilangnya libido dan
menarik diri dari kehidupan sosial.
DEMENSIA HIV
Gejala klinis yang menuntun kearah diagnosis demensia HIV
 Serologi HIV positif

 Terdapat gangguan yang bersifat progresif : kognitif, perilaku, memori


dan perlambatan mental
 Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus,
perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas, hiperrefleksia,
hipertonia dan dijumpainya release sign.
 Pemeriksaan neuropsikologi : impairmen pada dua jenis pemeriksaan
yaitu : fungsi lobus frontal, kecepatan motorik dan memori non verbal.
 Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan meningitis kriptokokkus.

 Pemeriksaan radiologik : atrofi cerebri dan disingkirkan adanya lesi fokal

 Tidak dijumpai penyakit psikiatrik mayor dan intoksikasi

 Tidak dijumpai gangguan metabolik ; hipoksemia, sepsis dan lain-lain

 Tidak dijumpai penyakit oportunistik otak yang aktif


INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
 Merupakan penyakit mematikan yang sering dijumpai
pada penderita HIV.
 Manifestasi sitomegalovirus pada penderita HIV
tersering adalah retinitis sitomegalovirus kemudian
diikuti oleh gangguan pada saluran cerna pada urutan
kedua
 Dan manifestasi neurologi pada urutan selanjutnya
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
 Manifestasi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat
dapat terjadi pada otak, medula spinalis dan saraf tepi.
Presentasi klinik yang sering dijumpai adalah ensefalitis,
meningoensefalitis, lesi desak ruang,
ventrikuloensefalitis, mielitis transversa, poliradikulitis
progresif dan mielopoliradikulitis.
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
 Gejala klinis ensefalitis sitomegalovirus tidak dapat
dibedakan dengan infeksi bakterial maupun virus lainnya
yang awitannya subakut.
 Pada ensefalitis sitomegalovirus dapat dijumpai
gangguan kognitif yang progresif disertai dengan
kelemahan motorik dan defisit sensorik yang dapat
disertai kelumpuhan saraf kranial, ataksia, hemiparesis
dan hemianopia.
 Oleh karena awitannya yang bersifat subakut keadaan
ini menyerupai demensia HIV.
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
 Poliradikulopati-progresif karena sitomegalovirus
memperlihatkan gejala sindroma kauda-equina.
 Keadaan ini berkembang selama beberapa hari sampai
beberapa minggu.
 Biasanya dimulai dengan kelemahan pada kedua tungkai
yang kemudian diikuti oleh saddle anesthesia dan
inkontinensia urin
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
 Pemeriksaan antigen sitomegalovirus dengan dari cairan
serebro spinal sangat membantu penegakan diagnosis
 Pemeriksaan serologik lainnya seperti IgG dan IgM
sitomegalovirus tidak bersifat spesifik.
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (ET)
 ET di jumpai pada 30 - 50 % penderita HIV dengan lesi
massa intrakranial.
 Kasus ET yang didiagnosis berdasarkan imajing dan
serologi dijumpai pada 30,7 % penderita HIV yang
dirawat di departemen neurologi
 ET biasanya dijumpai pada penderita HIV dengan kadar
CD 4 dibawah 200 sel/L.(22)
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
 Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri kepala
disertai demam.
 Defisit neurologi fokal, dengan manifestasi hemiparesis,
ataksia, defisit saraf kranial dan gangguan lapangan
pandang merupakan kelainan neurologi yang dapat
dijumpai disertai kesadaran menurun dan tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
 Gejala lain yang juga dapat ditemukan adalah kejang,
gejala mirip parkinson dan korea-athetosis
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
 Pemeriksaan imajing memperlihatkan lesi otak multipel
dengan cincin atau penyangatan homogen dan disertai
edema vasogenik pada jaringan di sekitarnya
 Pemeriksaan serologi sangat penting dalam diagnosis
ET. Bila dijumpai serologi IgG toksoplasma negatif
 Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
 Nilai CD 4 penderita HIV dengan gambaran imajing dan
hasil serologi sudah cukup sebagai dasar untuk memulai
terapi presumtif.
 Terapi ini dilakukan selama 2 minggu.

 Perbaikan klinis dapat dilihat dalam 1 – 2 minggu

 sedangkan perbaikan gambaran imajing dapat terlihat


pada 4 – 6 minggu.
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
 Menurut kepustakaan terapi ET yang efektif terdiri dari
pirimetamin 50 – 75 mg per hari disertai dengan
Sulfadiazin 100mg/KgBB/hari.(24) Mengingat efek
samping kedua obat tersebut adalah supresi sistim
hemapoetik maka perlu ditambahkan folinic acid 10-20
mg per hari
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
 terapi ET di RSCM dipakai fansidar dan klindamisin.
Dosis fansidar 2 – 3 tablet per hari dan klindamisin 4 X
600 mg per hari disertai dengan leukoverin 10 mg per
hari. (fansidar mengandung pirimetamine 25 mg +
sulfadoksin 500 mg ).
 Untuk terapi pencegahan kekambuhan maupun terapi
profilaksis pada penderita AIDS dapat diberikan
kotrimoksazol dosis dewasa 2 tablet per hari
MENINGITIS KRIPTOKOKKUS
 Angka kejadian meningitis kriptokokus pada penderita
HIV di Indonesia belum diketahui.
 Penelitian di Thailand melaporkan prevalensi
kriptokokosis pada penderita HIV sebesar 18,5 %.
 Awitan meningitis kriptokokus bersifat subakut
berlangsung selama 2 – 4 minggu dengan gejala sakit
kepala, demam, kesadaran menurun, perubahan
kepribadian dan gangguan memori.
MENINGITIS KRIPTOKOKKUS
 Frekuensi peningkatan tekanan intrakranial pada
meningitis kriptokokus terhitung tinggi seperti pada
penelitian Graybill dkk yang melaporkan pada 53 %
penderita dijumpai tekanan cairan serebro spinal ( CSS)
diatas 250 mmHg.
 Tekanan intrakranial tinggi ini akan menimbulkan
gangguan penglihatan dan pendengaran.
MENINGITIS KRIPTOKOKKUS
 Pemeriksaan imajing tidak memberikan gambaran yang
khas.
 Pada pemeriksaan neuroradiologi dapat dijumpai
gambaran edema serebri, lesi fokal, atrofi, hidrosefalus
dan penyangatan pada meningen ( meningeal
enhancement ).
 Pada pemeriksaan foto torak dapat dijumpai gambaran
kriptokokosis paru
MENINGITIS KRIPTOKOKKUS
 Pemeriksaan analisis CSS biasanya dijumpai sedikit
peningkatan sel, peningkatan protein yang moderat dan
penurunan glukosa.
 Pemeriksaan serologik untuk menentukan antigen
capsular merupakan pemeriksaan yang sangat
bermanfaat karena dapat dilakukan dengan cepat.
MENINGITIS KRIPTOKOKKUS
 Di RSCM terapi primer terhadap meningitis
kriptokokokus fase akut adalah Amfoterisin B 0,7 mg/kg
BB/hari intravena selama 2 minggu, kemudian
dilanjutkan dengan Fluconazole 400 mg per hari per oral
selama 8 – 10 minggu.
 Terapi pencegahan kekambuhan menggunakan
Fluconazole 100 mg per hari diberikan untuk seterusnya
selama jumlah sel CD 4 masih dibawah 300 sel/L.
MENINGITIS KRIPTOKOKKUS
 Pungsi lumbal berulang, pemasangan lumbal drain dan
ventriculoperitoneal shunt dilaporkan bermanfaat
mencegah kebutaan dan kematian pada penderita dengan
tekanan CSS yang tinggi pada infeksi kriptokokus di
serebral
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai