Anda di halaman 1dari 15

A.

Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang
bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu
Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus
ditempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang
penyakit ini dan menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan
deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai
penyakit Pott. (pengantar ilmu bedah ortopedi). Spondilitis ini paling sering
ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis
tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus
vertebrae.

B. Etiologi.
Spondilitis tuberculosis atau tuberculosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder
dari tuberkulosis di tempat lain, 90 -95 % disebabkan oleh miko bakterium tuberkulosis
tipik (2 3dari tipe human dan 13 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh miko
bakterium tuberkulosa atipik. Kuman mycobacterium tuberkulosa bersifat tahan asam,
dan cepat mati apabila terkena matahari langsung.
C. Patofisiologi
Infeksi berasal dari bagian epifisial korpus vertebra. Kemudian, terjadi hiperemia dan
eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan pelunakan korpus. Selanjutnya terjadi
kerusakan pada korteks epifisis, diskus internertebra, dan vertebra sekitarnya. Kemudian
eksudat menyebar ke depan, di bawah longitudinal anterior. 
Eksudap ini dapat menembus ligamen dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang
garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di
belakang para vertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomasto
ideus. Eksudat dapat mengalami protusi ke depan dan ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Perubahan struktur vertebra servikalis menyebabkan spasme
otot dan kekakuan leher yang merupakan stimulus keluhan nyeri pada leher.
Pembentukan abses faringeal menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan menelan se
hingga terjadi penurunan asupan nutrisi dan masalah ketidak seimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan. Kekakuan leher menyebabkan keluhan mobilitas leher dan risiko tinggi
trauma sekunder akibat tidak optimalnya cara mobilisasi.
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis lainnya pada spondilitis TB yaitu:
1) Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
2)  Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya
radiks dorsalis di tingkat torakal.
3) Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
4) Deformitas pada punggung (gibbus)
5)   Pembengkakan setempat (abses)
6) Adanya proses tbc
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa termasuk akibat
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan:
 Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang
menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
  Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai dan adanya batas defisit sensorik
setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal.
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1) . Pott’s paraplegia
 Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf.
  Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2) Ruptur abses paravertebra
 Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
  Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3)  Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s
paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda
spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis
pada tumor).MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena
tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
F. Pemeriksaan Penunjang.
a) Pemeriksaan laboratorium
 Peningkatan laju endapan darah (LED) dan mungkin disertai mikro
bakterium.
 Uji mantoux positif.
  Pada pemeriksaan biakankuman mungkin ditemukan mikrobakteriu
 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional.
 Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel Pemeriksaan
radiologis.
b) Pemeriksaan Radiologis
 Foto thoraks untuk melihat adanya tuberculosis paru.
 Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis disertai penyempitan disks
intervertebralis yang berada di korpus tersebut.
c) Pemeriksaan mieleografi dilakukan bila terdapat gejala -gejala penekanan
sumsum tulang.
d) Foto CT Scan dapat memberikan gambaran tulang secara lebih detail dari
lesi,skelerosisi, kolap diskus dan gangguan sirkum ferensi tulang.
e) Pemeriksaan MRI  mengevaluasi infeksi diskus intervetebra dan osteomielitis
tulang belakang dan adanya menunjukan penekanan saraf.
G. Penatalaksanaan
ada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah parapl.
Prinsip pengobatan paraplegia pott adalah
1. Pemberian obat anti tuberkulosis.
2. Dekompresi medulla spinalis.
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Penatalaksanaan pada pasien spondilitis TB terdiri atas:

1. Terapi konservatif berupa:
 tirah baring (bed rest)
 Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak
vertebra
 Memperbaiki keadaan umum penderita.
 Pengobatan anti tuberkulosa

 Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah:

a. Kategori 1
Untuk penderita baru BTA(+) (>) dan BTA (-) / rontgen (+)
diberikan dalam 2 tahap.
 Tahap 1 rifampisin 450mg +Etambutol 750 mg +INH
300mg+pirazinamid 1500 mg.
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
 Tahap 2
 Rifampisin 450 mg + INH 600 mg.

Diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54 kali).

b. Kategori 2.
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan,termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang
diberikan dalam 2 tahap yaitu :
 Tahap 1
Streptomisin 750 mg +INH 3OO mg+Rifapisin 450 mg +
Pirazinamid+1500 mg +Etambutol 750 mg.
H. Klasifikasi

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal empat bentuk
spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral).Banyak ditemukan pada orang
dewasa.Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
2.  Sentral
3. Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma.Terbanyak di temukan di regio torakal.
4. Anterior
Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan
melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
5.  Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan.Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan
tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta
lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.

Perjalanan penyakit spondilitis TB ada lima stadium menurut kumar, yaitu :


1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk oloni yang berlangsung selama 6
– 8 minggu. Kedaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak –
anak umumnya pada daerah sentral vertebrata.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjai destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk
masa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 2-3
bulan setelah stadium destruksi awal.Selanjutnya dapat berebentuk sekuestrum
serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji
terutama disebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra,
yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4.  Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi pada daerah ini.
5.  Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis
atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif di depan
(Savant, 2007)

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Identitas klien
b) Keluhan utama Keluhan utama pada klien spondiitis TB terdapat nyeri
punggung bagian bawah.
c) Riwayat Kesehatan Sekarang Pada awal dapat dijumpai nyeri redikuler
yang mengelilingi dada dan perut. nyeri dirasakan meningkat pada malam
hari dan bertambah berat terutama pada saat  pergerakan tulang belakang.
 Data Subjektif yang mungkin adalah : badan terasa lemah dan
lesu, nafsu makan  berkurang serta sakit pada punggung, pada
anak-anak sering disertai dengan menangis  pada malam hari,
berat badan menurun, nyeri spinal yang menetap, nyeri
radikuler yang mengelilingi dada atau perut.
 Data Ojektif yang mungkin adalah : suhu sedikit meningkat
(subfebril) terutama pada malam hari, paraplegia, paraparesis,
kifosis (gibbus), bengkak pada daerah  paravertebra.
d) Riwayat Kesehatan Dahulu menurut R. Sjamsu Hidajat, 1997 : 20 tentang
terjadinya spondilitis tuberkulosa  biasanya pada klien di dahului dengan
adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberculosis paru.
e) Riwayat Penyakit Keluarga Salah satu penyebab timbulnya spondilitis
tuberkulosa adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain
yang menderita penyakit TB atau lingkungan keluarga ada yang menderita
penyakit tersebut.
f) Psikososial Klien akan merasa cemas, sehingga terlihat sedih dengan
kurangnya pengetahuan mengenai penyakit TB, pengobatan dan
perawatannya sehingga membuat emosinya tidak stabil dan mempengaruhi
sosialisasi penderita.
g) Pemeriksaan fisik
 . Inspeksi : terlihat lemah, pucat dan pada tulang belakang terlihat
bentuk kiposis
 Palpasi :  Sesuai yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang
belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami
infeksi.
 Perkusi : Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat
nyeri ketok.
 Auskultasi : Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak
ditemukan kelainaj
 Review of System (ROS)
1. B1 (Breating ).
 Inspeksi  : batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot  bantu nafas, peningkatn frekuensi pernafasan.
 Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri.
 Perkusi : resonan pada seluruh lapang paru.
 Auskultasi  : Suara nafas tambahan (ronki pada klien peningkatan
produksi secret)
2. B2 (Blood )
Dengan komplikasi paraplegia  : Hipotensi ortostatik (penurunan TD sistolik
≤25 mmHg dan diastolik ≤ 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring ke
posisi duduk) tanpa komplikasi paraplegia : kelainan system kardiovaskular
3. B3 (Brain ).
Tingkat kesadaran kompos mentis Kepala : tidak ada gangguan, yaitu
normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan, sering didapatkan adanya nyeri belakang
kepala. Leher  : pada spondilitis tuberkulosa yang mengenai vertebra servikalis, sering
didapatkan adanya kekakuan leher sehingga mengganggu mobilisasi leher dalam
melakukan rotasi, felksi dan ekstensi kepala. Wajah  : wajah terlihat menahan sakit,
tidak ada perubahan fungsi maupun  bentuk. wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
mata : tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis. telinga : tes bisik atau
weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau nyeri tekan. Hidung : tidak
ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung. Mulut dan Faring : tidak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Pemeriksaan fungsi serebral. status mental : Observasi penampilan dan tingkah laku
klien. biasanya status mental klien tidak mengalami perubahan.
4. B4 (bladder ).
Pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal dan servikal, tidak ada kelainan
pada system ini. Pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal, sering didapatkan
keluhan inkontinensia urine, ketidak mampuan mengkomunikasikan kebutuhan
eliminasi urine.
5. B5 (Bowel ).
Inspeksi : Bentuk datar, Simetris, tidak ada hernia. Palpasi : Turgor baik, tidak ada
kejang otot abdomen akibat adanya abses pada lumbal, hepar tidak teraba. Perkusi :
suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi : peristaltic usus normal
±20 kali/ menit. Inguinal –  genitalia –  anus : tidak ada hernia, tidak ada pembesaran
limfe, tidak ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan metabolism  : pada klien spondilitis
tuberkulosa, sering ditemukan penurunan nafsu makan dan gangguan menelan karena
adanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga pemenuhan nutria menjadi
berkurang.
6. B6 (Bone ). Look  :
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama pada
spondilitis tuberkulosa daerah torakal. pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbalis,
hampir tidak terlihat deformitas, tetapi terlihat adanya abses pada daerah bokong dan
pinggang. pada spondilitis tuberkulosa daerah servikal, terdapat kekakuan leher.
Feel  : Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis Move   : Terjadi kelemahan
anggota gerak (paraparesis dan paraplegia) dan gangguan pergerakan tulang belakang.
pergerakan yang berkurang tidak dapat dideteksi di daerah toraks, tetapi mudah
diamati pada tulang belakang lumbal,  punggung harus diperhatikan dengan teliti,
sementara gerakan dicoba. biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha tersebut
meninmbulkan spasme otot.
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah:

a) Gangguan mobilitas fisik


b) Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.
c) Perubahan konsep diri : Body image.
d) Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah.
( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )
Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut :

a.  Diagnosa keperawatan Satu


1. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan muskuloskeletal
dan  nyeri.
 Tujuan

Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal.

 Kriteria hasil
-Klien dapat ikut serta dalam program latihan
-Mencari bantuan sesuai kebutuhan
- Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.
   Rencana tindakan
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
b)  Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
c)  Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :

1)      mattress

2)      Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak
menimbulkan lekukan saat klien tidur.

d)     mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;

1)      Latihan   ekstensi   batang   tubuh   baik   posisi    berdiri    ( bersandar pada tembok )


maupun posisi menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta
ekstremitas bawah secara bersamaan.
2)      Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit.

3)      Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan.

e)      monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.

f)       Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet.

g)      Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi.

h)      Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa
tak nyaman pada lambung atau diare.

4.      Rasional

a)       Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.

b)      Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.

c)       Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.

d)      Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal.

e)       Untuk mendeteksi perubahan pada klien.

f)       Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.

g)      Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.

h)      Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat
menimbulkan efek samping

b. Diagnosa Keperawatan Kedua


2. Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya
peradangan sendi.
1). Tujuan
a. Rasa nyaman terpenuhi
b. Nyeri berkurang / hilang
2)   Kriteria hasil
a. klien melaporkan penurunan nyeri
b. menunjukkan perilaku yang lebih relaks
c.  memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang di [elajari dengan peningkatan
keberhasilan.
3)  Rencana tindakan
a.  Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri
ke  daerah yang baru.
b. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri.
c. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
d. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan
rasa nyaman.
e.  Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.
4)  Rasional.
a. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien
sendiri.
b. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya
terhadap nyeri klien.
c. Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
d.Dengan ganti – ganti  posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang
sehingga otot menjadi lemas dan nyeri berkurang.
e. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau
dengan mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.

3. Diagnosa Keperawatan ketiga


c. Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh.
1)  Tujuan
Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping yang adaptif.
2) Kriteria hasil
Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan keterampilan koping
yang positif dalam mengatasi perubahan citra.
3)  Rencana tindakan
a. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan. Perawat harus
mendengarkan dengan penuh perhatian.
b. Bersama – sama klien mencari alternatif koping yang positif.
c. Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan teman serta berikan
aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image.
4) Rasional
a.  meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dan dengan
ungkapan perasaan dapat membantu penerimaan diri.
b. Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.
c.       Memberikan semangat bagi klien  agar dapat memandang dirinya secara positif dan
tidak merasa rendah diri.

4.Diagnosa Keperawatan keempat


d.Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang
penatalaksanaan perawatan di rumah.
1)      Tujuan
Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah.
2)      Kriteria hasil
a.       Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
b.      Mengekspresikan  pengertian tentang jadwal pengobatan
c.       Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan, dan
gejala kemajuan penyakit.
3)      Rencana tindakan
a.       Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek sampingnya.
b.      Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset.
c.       Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat.
d.      Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur.
e.       Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan mobilitas.
f.       Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter.
Pelaksanaan
Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan di
implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
Komponen tahap Implementasi:
a.       tindakan keperawatan mandiri
b.      tindakan keperawatan kolaboratif
c.       dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan.
( Carol vestal Allen, 1998 : 105 )
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Tuberculosis. Didapat dari http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculosis.
Diakses tanggal 28 Maret 2013.
2. Anonim Tuberculosis spondylitis. Didapat dari http://www.wheelessonline.com/ortho/tube
rculousspondylitis. Diakses tanggal 28 Maret 2013.
3. Batra V. Tuberculosis. Didapat dar http:// www.emedicine.com/ped/topic2321.htm.
Diakses tanggal 28 Maret 2013.
4. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.
Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
5. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 28 Maret 2013.
6. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari
http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 28 Maret 2013.

Anda mungkin juga menyukai