Anda di halaman 1dari 15

Program Profesi

Lontara 3 Bawah Belakang (Neuro)


RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar

LAPORAN PENDAHULUAN
SPONDILITIS TB

Oleh
ELNA NURJANNAH
R014182013

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

(Nursiah Rama, S.Kep., Ns) (Sahrul Ningrat, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.M.B)

PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain
dalam tubuh.
Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan
menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang
belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.
(pengantar ilmu bedah ortopedi). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra
T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya
mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae

B. Etologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun
spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai
penyebabnya, seperti Mycobacterium fricanum (penyebab paling sering tuberkulosa di
Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria
(banyak ditemukan pada penderita HIV). Bakteri ini bersifat pleimorfik, tidak bergerak
dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 μm
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Lokalisai spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga di duga aadanya infeksi sekunder dari suatu teberkulosis traktus
urinaris, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena peravertebralis.

C. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada
saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi
basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati
limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik
timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak
aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering
terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra.
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Patogenesis penyakit ini
sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan
kemampuan host untuk memobilisasi imunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat
diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu.
Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik,
sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag.
Beberapa antigen yang dihasilkannya dapat juga bersifat immunosupresif (Mansjoer,
2000).
Infeksi mycobacterium tuuberculosis pada tulang selalu merupakan infeksi
sekunder. Berkembnagnya kuman dalam tubuh tergantung pada keganasan kuman dan
ketahanan tubuh klien.
Lima stadium perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa, antara lain:
1. Stadium I (implantasi)
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh klien
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah torakolumbal.

2. Stadium destruksi awal


Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama
3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang
terjadi 23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan
korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis
lebih mudah terjadi pada daerah ini.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan.
D. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam
hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,
kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas,
klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
Manifestasi klinis lainnya pada spondilitis TB yaitu:
a. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung.
Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
b. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini
disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
c. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
d. Deformitas pada punggung (gibbus)
e. Pembengkakan setempat (abses)
f. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa termasuk
akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai dan adanya batas defisit
sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri intercostal
E. Pemeriksaan radiologi dan Diagnostik penunjang
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED
meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam
sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay)
tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi
DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada
fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase
sampai terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.

2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru.
Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi
korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin
ditemukan adanya massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi
tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis
tulang belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf
(Lauerman, 2006).
F. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosis harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Pengobatan terdiri atas (Rasjad, 2007):
1. Terapi konservatif:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum klien.
c. Pemasangan brace pada klien, baik yang dioperasi ataupun yang tidak
di operasi.
d. Pemberian obat antituberkulosa
2. Obat-obatan:
a. Isonikotinik hidrasit (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan
per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak
10 mg/kg berat badan.
b. Asam para amino salisilat. Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.
c. Etambutol. Dosis per oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.
d. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-
anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.
e. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi.

3. Terapi Operatif
a. Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan
penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa /
kortikospongiosa.
b. Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis
bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan
operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pott’s paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula
spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara
dekompresi medula spinalis dan saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari aringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay,
2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk).
Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis
pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi
karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan Teori


1. Pengkajian Keperawatan
 Pengumpulan data
a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan
diagnosa medis
b. Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung
bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat
dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan
meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan
tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu
makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan
penurunan berat badan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasanya pada klien di
dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru..
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab
timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang
menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang
menderita penyakit menular tersebut.
e. Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan
sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan
perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas
sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
 Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi (Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis)
b. Palpasi (Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang
terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi)
c. Perkusi (Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok)
d. Auskultasi(Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan)

B. Diagnosa Keperawatan

a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan neuromuscular


b. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis (infeksi)
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
d. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan obstruksi jalan napas (mucus
berlebihan)
e. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan

C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Hambatan mobilitas NOC : NIC :


fisikberhubungan dengan  Joint Movement :
 Monitoring vital sign sebelum/sesudah
gangguan neuromuscular Active
latihan dan lihat respon pasien saat
 Mobility Level
latihan
Batasan karakteristik  Self care : ADLs
 Konsultasikan dengan terapi fisik
- Dispnea setelah beraktivitas  Transfer performance
tentang rencana ambulasi sesuai
- Gangguan sikap jalan Setelah dilakukan tindakan
dengan kebutuhan
- Gerakan lambat keperawatan
 Bantu klien untuk menggunakan
- Gerakan spastik selama….gangguan
tongkat saat berjalan dan cegah
- Gerakan tidak terkoordinasi mobilitas fisik teratasi
terhadap cedera
- Instabilias postur dengan kriteria hasil:
 Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
- Kesulitan membolak balik posisi  Klien meningkat dalam
lain tentang teknik ambulasi
- Keterbatasan rentang gerak aktivitas fisik
 Kaji kemampuan pasien dalam
- Ketidaknyamanan  Mengerti tujuan dari mobilisasi
- Melakukan aktivitas lain sebagai peningkatan mobilitas  Latih pasien dalam pemenuhan
penggati pergerakan  Memverbalisasikan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
- Penurunan kemampuan perasaan dalam kemampuan
melakukan keterampilan motorik meningkatkan kekuatan  Dampingi dan Bantu pasien saat
halus dan kemampuan mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
- Penurunan kemampuan berpindah ADLs ps.
melakukan motorik kasar
- Penurunan waktu reaksi  Memperagakan  Berikan alat Bantu jika klien
- Tremor akibat bergerak penggunaan alat bantu memerlukan.
untuk mobilisasi  Ajarkan pasien bagaimana merubah
(walker) posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
Nyeri akut berhubungan dengan NOC : NIC :
agen cedera biologis (infeksi)  Pain management  Lakukan pengkajian nyeri secara
 Pain level komprehensif termasuk lokasi,
Batasan karakteristik: Setelah dilakukan tindakan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
- Bukti nyeri dengan keperawatan selama …… dan faktor presipitasi
menggunakan standar daftar nyeri berkurang dengan  Observasi reaksi nonverbal dari
periksa nyeri untuk pasien yang kriteria hasil: ketidaknyamanan
tidak dapat  Mampu mengontrol  Bantu pasien dan keluarga untuk
mengungkapkannya (misal nyeri (tahu penyebab mencari dan menemukan dukungan
NIPS, Pain Assessment nyeri, mampu  Kurangi faktor presipitasi nyeri
Checklist for senior with menggunakan teknik  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
Limited Ability to nonfarmakologi untuk menentukan intervensi
Communicate mengurangi nyeri,  Ajarkan tentang teknik non
- Diaphoresis mencari bantuan) farmakologi: napas dalam, relaksasi,
- Dilatasi pupil  Melaporkan bahwa nyeri distraksi, kompres hangat/ dingin
- Ekspresi wajah nyeri (missal berkurang dengan  Berikan analgetik untuk mengurangi
mata kurang bercahaya, menggunakan nyeri
tampak kacau, gerakan mata manajemen nyeri  Tingkatkan istirahat
berpencar atau tetap pada satu  Mampu mengenali nyeri  Berikan informasi tentang nyeri seperti
fokus, meringis) (skala, intensitas, penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
- Fokus pada diri sendiri frekuensi dan tanda berkurang dan antisipasi
- Keluhan tentang intensitas nyeri) ketidaknyamanan dari prosedur
menggunakan standar skala  Menyatakan rasa
nyeri (misal skala Wong-Baker nyaman setelah nyeri
FACES, skala analog visual, berkurang
skala penilaian numerik)  Tanda vital dalam
- Keluhan tentang karakteristik rentang normal
nyeri dengan menggunakan
standar instrument nyeri (misal
McGill Pain Questionnaire,
Brief Pain Inventiry)
- Laporan tentang perilaku
nyeri/perubahan aktivitas
(misal anggota keluarga,
pemberi asuhan)
- Mengekspresikan perilaku
(misal gelisah, merengek,
menangis, waspada)
- Perilaku distraksi
- Perubahan pada parameter
fisiologis (misal tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, saturasi oksigen,
dan end-tidal karbon dioksida
- Perubahan posisi untuk
menghindari nyeri
- Putus asa
- Sikap melindungi area nyeri
Gangguan citra tubuh NOC: NIC :
Tujuan : Klien dapa
berhubungan dengan gangguan  Berikan kesempatan pada klien untuk
mengekspresikan
struktur tubuh perasaannya dan dapat mengungkapkan perasaan. Perawat
menggunakan koping yang
adaptif.
Kriteria hasil harus mendengarkan dengan penuh
 Klien dapat
perhatian.
mengungkapkan
perasaan / perhatian dan  Bersama – sama klien mencari alternatif
menggunakan
koping yang positif.
keterampilan koping
yang positif dalam  Kembangkan komunikasi dan bina
mengatasi perubahan
hubungan antara klien keluarga dan
citra.
teman serta berikan aktivitas rekreasi
dan permainan guna mengatasi
perubahan body image.
Bersihan jalan napas tidak efektif NOC:
berhubungan dengan obstruksi  Respiratory status :  Pastikan kebutuhan oral / tracheal
jalan nafas (mukus berlebih) Ventilation suctioning.
 Respiratory status :  Berikan O2 ……l/mnt, metode………
Batasan karakteristik: Airway patency  Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
- Dispneu  Aspiration Control dalam
- Penurunan suara nafas Setelah dilakukan tindakan  Posisikan pasien untuk memaksimalkan
- Orthopneu keperawatan selama ventilasi
- Cyanosis …………..pasien  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Kelainan suara nafas (rales, menunjukkan keefektifan  Keluarkan sekret dengan batuk atau
wheezing) jalan nafas dibuktikan suction
- Kesulitan berbicara dengan kriteria hasil :  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
- Batuk, tidak efekotif atau tidak  Mendemonstrasikan tambahan
ada batuk efektif dan suara  Berikan bronkodilator :
- Produksi sputum nafas yang bersih, tidak - ………………………
- Gelisah ada sianosis dan dyspneu - ……………………….
- Perubahan frekuensi dan irama (mampu mengeluarkan - ………………………
nafas sputum, bernafas dengan  Monitor status hemodinamik
mudah, tidak ada pursed  Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
lips) Lembab
 Menunjukkan jalan nafas  Berikan antibiotik :
yang paten (klien tidak …………………….
merasa tercekik, irama …………………….
nafas, frekuensi
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
pernafasan dalam
keseimbangan.
rentang normal, tidak ada
 Monitor respirasi dan status O2
suara nafas abnormal)
 Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
 Mampu
mengencerkan sekret
mengidentifikasikan dan
 Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang
mencegah faktor yang
penggunaan peralatan : O2, Suction,
penyebab.
Inhalasi.
 Saturasi O2 dalam batas
normal
 Foto thorak dalam batas
normal
Ketidakseimbangan nutrisi: NOC:  Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh  Nutritional status:  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan Adequacy of nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
ketidakmampuan mencerna  Nutritional Status : food dibutuhkan pasien
makanan and Fluid Intake  Yakinkan diet yang dimakan mengandung
 Weight Control tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Setelah dilakukan tindakan  Ajarkan pasien bagaimana membuat
Batasan karakteristik: keperawatan catatan makanan harian.
- Nyeri abdomen selama….nutrisi kurang  Monitor adanya penurunan BB dan gula
- Muntah teratasi dengan indikator: darah
- Kejang perut  Albumin serum  Monitor lingkungan selama makan
- Rasa penuh tiba-tiba setelah  Pre albumin serum  Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
makan  Hematokrit selama jam makan
- Diare  Hemoglobin  Monitor turgor kulit
- Rontok rambut yang berlebih  Total iron binding  Monitor kekeringan, rambut kusam, total
- Kurang nafsu makan capacity protein, Hb dan kadar Ht
- Bising usus berlebih  Jumlah limfosit  Monitor mual dan muntah
- Konjungtiva pucat  Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
- Denyut nadi lemah jaringan konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/
TPN sehingga intake cairan yang adekuat
dapat dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
 Kelola pemberan anti emetik:.....
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line
 Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas oval
BAB III
Web of Caution

Infeksi secara hematogen tuberkulosisi paru ke dalam korpus


vertebra dekat diskus intervertabralis

Kerusakan tulang dan penjalaran infeksi ke ruang diskus dan


ke vertebra yang berdekatan

Pembentukan abses yang menjalar ke bagian lunak


paravertebra

Perubahan pada vertebra servikalis Perubahan pada vertebra torakalis Perubahan pada vertebra lumbalis

Kerusakan korpus Kerusakan korpus vertebra dan Penekanan korda dan radiks
vertebra dan terjadi terjadi angulasi vertebra ke depan saraf oleh pembesaran
angulasi vertebra ke abses/tulang yang bergeser
depan

Perubahan vertebra Kompresi radiks Paraplegia, stimulus nyeri


Perubahan diskus saraf pada pada pinggang
intervertabralis servikal vertebra torakalis
Perubahan vertebra
menjadi kifosis Hambatan
mobilitas fisik
Gangguan mobilitas leher Stimulasi nyeri
sehingga leher menjadi
kaku dan pembentukan Penurunan kemanpuan
abses pada faring melakukan respirasi, Nyeri akut
batuk efektif

Gangguan dalam proses


menelan Akumulasi sekret
meningkat

Asupan nutrisi tidak


adekuat Ketidakefektifan bersihan
jalan napas

Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan
tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.

Corwin, Elizabeth J., 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC


Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses: Defenitions
and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier.

Price, SA dan Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses penyakit ed. 6 vol.1.
Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C . (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth .
Jakarta : EGC.

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran ed 4 vol.
1. Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai