LAPORAN PENDAHULUAN
SPONDILITIS TB
Oleh
ELNA NURJANNAH
R014182013
PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain
dalam tubuh.
Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan
menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang
belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.
(pengantar ilmu bedah ortopedi). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra
T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya
mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae
B. Etologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun
spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai
penyebabnya, seperti Mycobacterium fricanum (penyebab paling sering tuberkulosa di
Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria
(banyak ditemukan pada penderita HIV). Bakteri ini bersifat pleimorfik, tidak bergerak
dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 μm
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Lokalisai spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga di duga aadanya infeksi sekunder dari suatu teberkulosis traktus
urinaris, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena peravertebralis.
C. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada
saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi
basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati
limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik
timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak
aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering
terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra.
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Patogenesis penyakit ini
sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan
kemampuan host untuk memobilisasi imunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat
diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu.
Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik,
sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag.
Beberapa antigen yang dihasilkannya dapat juga bersifat immunosupresif (Mansjoer,
2000).
Infeksi mycobacterium tuuberculosis pada tulang selalu merupakan infeksi
sekunder. Berkembnagnya kuman dalam tubuh tergantung pada keganasan kuman dan
ketahanan tubuh klien.
Lima stadium perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa, antara lain:
1. Stadium I (implantasi)
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh klien
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah torakolumbal.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru.
Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi
korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin
ditemukan adanya massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi
tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis
tulang belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf
(Lauerman, 2006).
F. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosis harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Pengobatan terdiri atas (Rasjad, 2007):
1. Terapi konservatif:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum klien.
c. Pemasangan brace pada klien, baik yang dioperasi ataupun yang tidak
di operasi.
d. Pemberian obat antituberkulosa
2. Obat-obatan:
a. Isonikotinik hidrasit (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan
per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak
10 mg/kg berat badan.
b. Asam para amino salisilat. Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.
c. Etambutol. Dosis per oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.
d. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-
anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.
e. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi.
3. Terapi Operatif
a. Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan
penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa /
kortikospongiosa.
b. Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis
bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan
operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pott’s paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula
spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara
dekompresi medula spinalis dan saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari aringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay,
2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk).
Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis
pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi
karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan
Perubahan pada vertebra servikalis Perubahan pada vertebra torakalis Perubahan pada vertebra lumbalis
Kerusakan korpus Kerusakan korpus vertebra dan Penekanan korda dan radiks
vertebra dan terjadi terjadi angulasi vertebra ke depan saraf oleh pembesaran
angulasi vertebra ke abses/tulang yang bergeser
depan
Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan
tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier.
Price, SA dan Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses penyakit ed. 6 vol.1.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C . (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth .
Jakarta : EGC.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran ed 4 vol.
1. Jakarta: Media Aesculapius.