Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN PENYAKIT PROLAPS REKTUM DI RUANG BAJI KAMASE RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH LABUANG BAJI MAKASSAR

CI Lahan CI Institusi
( ) ( )

DI SUSUN OLEH
ALHAMIDA SALNAF ITUGA
14220160004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
TAHUN 2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. DEFINISI
Prolaps rektum adalah keluarnya mukosa maupun seluruh tebal dinding rektum
melewati anus. Apabila yang keluar tersebut terdiri dari semua lapisan dinding rektum,
prolaps ini disebut prosidensia.
Prolaps rektum jarang ditemukan bahkan jarang dibahas, tetapi jumlah kasus yang
sebenarnya tidak diketahui karena jarang dilaporkan khususnya bila terjadi pada daerah
terpencil. Prolaps rektum lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bayi. Prolaps rektum
atau prosidensia yang lengkap pada orang dewasa biasanya terjadi pada perempuan,
terutama pada perempuan usia di atas 60 tahun.

B. KLASIFIKASI
Prolaps rektum dikategorikan sesuai dengan tingkat keparahan, mencakup :
1. Prolaps internal, rektum telah prolaps, tapi tidak terlalu jauh keluar melalui anus. Juga
dikenal sebagai prolaps tidak lengkap.
2. Prolaps mukosa, hanya lapisan mukosa rektum menonjol melalui anus.
3. Prolaps eksternal, seluruh ketebalan rektum menonjol melewati anus. Juga dikenal
sebagai prolaps lengkap.Dapat menjadi prolaps inkarserata ataupun srtangulata.

C. ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diperkirakan berperan sebagai etiologi terjadinya prolaps
rektum antara lain:
1. Peningkatan tekanan intra abdomen seperti yang terjadi pada kostipasi, diare, BPH,
PPOK, pertusis.
2. Gangguan pada dasar pelvis.
3. Infeksi parasit seperti amubiasis, scistosomiasis.
4. Struktur anatomi, seperti kelemahan otot penyangga rektum, redundan rektosigmoid.
5. Kelainan neurologis akibat trauma pelvis, sindrom cauda ekuina, tumor spinal,
multipel sklerosis.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi prolaps rektum tidak sepenuhnya dipahami. Namun terdapat 2 teori
utama yang menjadi dasar mekanisme terjadinya prolaps rektum. Teori pertama
mengatakan bahwa prolaps rektum merupakan pergeseran hernia akibat defek pada fasia
panggul. Teori kedua menyatakan bahwa prolaps rektum dimulai sebagai intususepsi
internal yang melingkar dari rektum mulai 6-8 cm proksimal ambang anal. Seiring
dengan waktu peregangan ini berkembang menjadi prolaps dari seluruh tebal dinding
rektum, meskipun tahap ini tidak selalu dilampaui oleh setiap pasien.
Patofisiologi dan etiologi prolaps mukosa kemungkinan besar berbeda dengan
prolaps seluruh tebal dinding rektum dan intususepsi internal. Prolaps mukosa terjadi
ketika jaringan ikat pada mukosa dubur melonggar dan tertarik, sehingga memungkinkan
jaringan prolaps melalui anus. Hal ini sering terjadi sebagai kelanjutan dari penyakit
hemoroid yang lama dan mengalami hal serupa.
Seringkali, prolaps dimulai dengan prolaps internal dinding rektum anterior dan
berkembang menjadi prolaps seluruh tebal dinding rektum

E. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan prolaps rektum mengeluhkan adanya massa yang menonjol melalui
anus. Awalnya, massa menonjol dari anus setelah buang air besar dan biasanya tertarik
kembali ketika pasien berdiri. Seiring proses penyakit berlangsung, massa menonjol lebih
sering, terutama ketika mengedan dan manuver Valsava seperti bersin atau batuk.
Akhirnya, prolaps terjadi saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari seperti berjalan dan
dapat berkembang menjadi prolaps kontinu.
Seiring perkembangan penyakit, rektum tidak lagi tertarik spontan, dan pasien
mungkin harus secara manual mengembalikannya. Kondisi ini kemudian dapat
berkembang ke titik di mana prolaps terjadi segera setelah dikembalikan ke posisinya dan
prolaps kontinu. Terkadang rektum menjadi terjepit dan pasien tidak dapat
mengembalikan rektum.
Keluhan nyeri bervariasi. Sepuluh sampai 25% dari pasien juga mengalami
prolaps rahim atau kandung kemih, dan 35% mungkin mengalami sistokel terkait.
Konstipasi terjadi pada 15-65% kasus. Dapat juga terjadi perdarahan rektum. Selain
massa menonjol dari anus, pasien sering melaporkan buang air besar yang tidak dapat
ditahan (inkntinensia alvi) pada sekitar 28-88% pasien. Inkontinensia terjadi karena 2
alasan. Pertama, anus melebar dan membentang oleh rektum menonjol, mengganggu
fungsi sfingter anal. Kedua, mukosa rektum yang berhubungan dengan lingkungan dan
terus-menerus mengeluarkan lendir, sehingga membuat pasien merasa basah dan
inkontinensia. Mengetahui riwayat inkontinensia, konstipasi, atau keduanya penting
karena berperan dalam menentukan prosedur bedah yang tepat.

F. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda fisik dari prolaps rektum adalah sebagai berikut:
1. Penonjolan mukosa rektum
2. Penebalan konsentris cincin mukosa
3. Terlihat adanya sulkus antara lubang anus dan rektum
4. Ulkus rektum soliter (10-25%)
5. Penurunan tonus sfingter anal
Prolaps rektum adalah diagnosis klinis dan harus ditegakkan saat pasien datang
berobat. Pasien diminta untuk duduk di toilet ataupun berbaring miring dan mengedan,
lalu periksa adanya prolaps rektum. Jika tidak prolaps hanya dengan mengedan,
pemberian enema fosfat biasanya menimbulkan prolaps. Pada anak-anak, gliserin
supositoria dapat digunakan sebagai pengganti.
Massa yang menonjol harus menunjukkan cincin konsentris dari mukosa. Dalam
kasus prolaps kecil, kadang-kadang sulit untuk membedakan antara prolaps mukosa dan
prolaps seluruh tebal mukosa. Prolaps mukosa biasanya menunjukkan lipatan radial
bukan berupa cincin konsentris. Jika keduanya tidak dapat dibedakan secara klinis,
pemeriksaan dapat dibantu dengan defecogram dalam membedakan ini 2 kondisi.
Defecogram adalah tidak diperlukan pada prolaps rektum yang jelas.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan prolaps rektum bersifat tidak
spesifik dan bermanfaat jika pasien memiliki preferensi usia dan komorbiditas. Tidak
ada pemeriksaan lab khusus yang membantu dalam evaluasi prolaps rektum itu
sendiri. Pertimbangkan pemeriksaan feses dan kultur agen infeksius, khususnya pada
pasien anak.
2. Pemeriksaan imaging
a. Barium Enema dan Kolonoskopi
Sebelum memulai pengobatan bedah prolaps rektum, penting untuk mengevaluasi
seluruh usus besar untuk mengecualikan setiap lesi kolon lainnya yang harus
ditangani secara simultan. Kehadiran lesi tersebut dapat mempengaruhi pilihan
prosedur yang akan dilakukan. Evaluasi usus besar dapat dicapai dengan cara
kolonoskopi atau enema barium. Barium enema adalah indikator yang lebih baik
dari redundansi dari usus besar.
b. Video Defekografi
Defecography Video digunakan untuk membantu prolaps dokumen internal atau
untuk membedakan prolaps rektum dari prolaps mukosa jika tidak jelas secara
klinis. Hal ini tidak diperlukan untuk prolaps full-thickness dubur secara klinis
didiagnosis. Defecography dapat mengungkapkan intususepsi dari usus proksimal
atau obstruksi panggul. Radiopak materi (biasanya pasta barium) yang
ditanamkan ke dalam rektum, dan pasien diminta untuk buang air besar di toilet
radiolusen. Spot film dan rekaman video yang dibuat dan dapat digunakan untuk
menentukan apakah intussuscepts rektum pada buang air besar.
c. Rigid Proctosigmoidoscopy
Proctosigmoidoscopy kaku harus dilakukan untuk menilai rektum untuk lesi
tambahan, terutama ulkus rektal soliter. Borok hadir di sekitar 10-25% dari pasien
dengan prolaps baik internal maupun full-thickness. Jika ulserasi hadir, daerah
muncul sebagai ulkus tunggal atau sebagai borok beberapa di dinding rektum
anterior. Tepi sering menumpuk, dan daerah dapat berdarah.
Biopsi harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk
mengecualikan patologi lainnya. Ulkus rektal soliter biasanya dapat diidentifikasi
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Rektum prolaps mungkin ulserasi mukosa
tetapi sebaliknya histologis normal.
3. Tes lainnya
Anal-rektal manometri kadang-kadang digunakan untuk mengevaluasi otot
sfingter anal. Di hampir semua pasien, hasil menunjukkan penurunan tekanan
beristirahat di sfingter internal dan tidak adanya refleks penghambatan anorektal. Arti
penting dari hasil ini tidak jelas, dan kebanyakan ahli bedah tidak menggunakan tes
ini.
Penelitian penanda Sitz kadang-kadang digunakan untuk mengukur perjalanan
kolon pada pasien dengan konstipasi dan prolaps rektum untuk membantu
menentukan kebutuhan untuk reseksi kolon.

H. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Meskipun tidak ada pengobatan medikamentosa untuk prolaps rektum, prolaps
internal dapat diterapi terlebih dahulu dengan agen bulking, pelunak tinja, dan
supositoria atau enema.
2. Non-medikamentosa
Pada permulaan, saat prolaps masih kecil, penderita diberi diet berserat untuk
memperlancar defekasi. Kadang dianjurkan latihan otot dasar panggul. Pasien
diinstruksikan untuk merangsang buang air besar di pagi hari dan menghindari
dorongan untuk buang air saat sisa hari karena rasa penuh yang mereka rasakan
sebenarnya adalah intususepsi rektum proksimal ke arah distal rektum. Dengan
waktu, dorongan untuk buang air besar akan berkurang begitu juga dengan
intususepsi.
3. Pembedahan
Bila prolaps semakin besar dan makin sukar untuk melakukan reposisi, akibat
adanya udem, sehinga makin besar dan sama sekali tidak dapat dimasukkan lagi
karena rangsangan dan bendungan mukus serta keluarnya darah. Dimana sfingter ani
menjadi longgar dan hipotonik sehingga terjadi inkontinensia alvi, penanganan
prolaps rektum dilakukan melalui pembedahan.
Kontraindikasi terhadap koreksi bedah prolaps rektum didasarkan pada
komorbiditas pasien dan kemampuannya untuk mentoleransi pembedahan. Terdapat
dua jenis operasi untuk prolaps rektum: abdominal dan perineum. Prosedur
abdominal memiliki tingkat kekambuhan lebih rendah dan menjaga kapasitas
penyimpanan rektum tetapi mempunyai risiko lebih dan memiliki insiden konstipasi
yang lebih tinggi pasca operasi. Prosedur perineum tidak berisiko terjadinya
anastomosis namun mengurangi rektum, sehingga kapasitas penyimpanan rektum,
namun memiliki angka kekambuhan lebih tinggi. Prosedur abdominal umumnya lebih
disukai dalam pasien aktif yang berisiko rendah yaitu usia di bawah 50 dan pada
mereka yang memerlukan prosedur abdomial lain secara bersamaan.
Pembedahan mana yang terbaik masih menjadi kontroversi karena masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pendekatan laparoskopi untuk
memperbaiki prolaps rektum telah menjadi semakin populer. Pendekatan ini telah
mengintensifkan kontroversi karena terdapat penurunan angka morbiditas dari untuk
prolaps rektum pada kandidat yang tepat. Hasil jangka panjang dari pendekatan
laparoskopi masih diteliti. Inkarserasi prolaps rektum jarang terjadi.
Terlepas dari jenis prosedur yang direncanakan, persiapan usus penuh mekanik
dan antibiotik harus dilakukan sebelum operasi. Antibiotik intravena (IV) harus selalu
diberikan sebelum operasi jika suatu bahan asing akan ditanamkan, administrasi
pascaoperasi antibiotik juga dapat dipertimbangkan.
a. Prosedur Bedah Abdominal
Sebagaimana telah disebutkan di atas, perbaikan abdominal biasanya
dilakukan pada pasien yang lebih muda, sehat dengan yang harapan hidup
lebih panjang. Untuk pasien ini, prosedur dengan tingkat kekambuhan lebih
rendah namun dengan morbiditas yang lebih tinggi.
Prosedur abdominal pada pasien dengan intususepsi parah atau prolaps
rektum dengan fungsi sfingter normal berupa reseksi sigmoid dengan atau
tanpa rectopexy dan rectopexy saja. Kedua operasi, baik rectopexy atau
reseksi membutuhkan mobilisasi lengkap dari seluruh rektum ke lantai
panggul untuk menghindari intususepsi distal.
Rectopexy bertujuan untuk mengamankan rektum ke cekungan sakral. Ini
dapat dilakukan dengan jahitan atau bahan prostetik seperti polypropylene
mesh (Marlex), Gore-tex, atau asam polyglycolic atau mesh polyglactin
(Dexon atau Vicryl). Banyak penelitian telah menunjukkan tingkat komplikasi
yang lebih tinggi dengan bahan prostetik, tingkat kontinensia lebih rendah,
dan tidak ada perbedaan dalam angka kekambuhan, menjadikan suture
rectopexy lebih dianjurkan. Suture rectopexy dilakukan dengan jahitan tak
diserap, menempelkan rektum ke cekungan sakral. Jahitan ditempatkan
melalui ligamen lateral atau melalui propria muskularis dari rektum.
Prosedur bedah rectopexy laparoskopi bedah telah dikembangkan dan
memiliki hasil sebaik prosedur abdominal terbuka dan berhubungan dengan
lama waktu rawat inap lebih pendek dan kenyamanan pasien yang lebih besar.
1) Anterior reseksi
Pasien dengan prolaps rektum dan konstipasi sering memiliki usus
berlebihan, dan beberapa ahli bedah percaya bahwa melalui reseksi ini
konstipasi membaik dan mengurangi kambuhnya prolaps rektum.
Dalam reseksi anterior untuk prolaps rektum, rektum yang
dimobilisasi untuk tingkat ligamen lateral, dan usus berlebihan
(sigmoid) direseksi. Usus besar kiri kemudian dibuatkan anastomosis
ke atas rektum. Anastomosis ini dilakukan tanpa kelemahan pada
kolon sehingga rektum tetap pada posisinya dan tidak terjadi prolaps
lagi. Saat ini, ahli bedah kolorektal sedikit melakukan prosedur ini,
karena tidak berpikir untuk mengatasi kelainan anatomi seperti fiksasi
rektum yang lemah.
2) Marlex rectopexy
Dalam rectopexy Marlex atau disebut juga prosedur Ripstein,
seluruh bagian rektum dimobilisasi ke tulang ekor posterior, bagian
lateral ligamen lateralis, dan bagian anterior dari cul-de-sac anterior.
Bahan yang tak terserap, seperti Marlex mesh atau spons Ivalon,
difiksasi pada fasia presakral. Rektum kemudian ditempatkan dalam
keadaan tegang, dan material sebagian melilit rektum untuk tetap
dalam posisinya. Untuk mencegah obstruksi melingkar, dinding
anterior rektum tidak tercakup dengan spons atau mesh. Refleksi
peritoneal kemudian tertutup untuk menutupi benda asing. Mesh
Marlex atau spons menyebabkan reaksi inflamasi yang intens
terbentuk jaringan parut dan memfiksasi rektum pada posisinya.
Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki
konstipasi signifikan atau kolon sigmoid yang sangat berlebihan,
karena gejala cenderung memburuk. Jika rektum yang sengaja masuk
selama mobilisasi, bahan asing tidak boleh ditanamkan, karena risiko
infeksi.
Sementara laju erosi Marlex ke dalam rektum rendah, manajemen
sangat sulit, dan, untuk alasan ini, banyak ahli bedah lebih memilih
reseksi dengan suture rectopexy untuk fiksasi Marlex.

Gambar 3. Marlex Rectopexy

3) Suture rectopexy
Suture rectopexy pada dasarnya sama dengan Marlex rectopexy,
kecuali bahwa rektum difiksasi ke fasia presakral dengan bahan jahitan
bukan dengan mesh atau spons Ivalon.
4) Reseksi rectopexy
Sebuah reseksi dengan rectopexy disebut juga prosedur Frykman-
Goldberg merupakan kombinasi dari reseksi anterior dan rectopexy
Marlex, yang merupakan pilihan yang baik bagi pasien dengan
konstipasi yang signifikan. Rektum benar-benar dimobilisasi ke tulang
ekor posterior, pada ligamen lateral yang lateral, dan ke cul-de-sac
anterior.

Gambar 4. Fiksasi Mesh pada Promontorium Sakrum.

Kolon sigmoid yang berlebihan kemudian direseksi, dan usus sisanya


dibuatkan anastomosis ke atas rektum. Ligamen lateral (atau fasia
rektum) kemudian dijahit ke fasia presakral dengan rektum dibuat
menjadi tegang, yang menjaga rektum pada posisinya dan mencegah
kembalinya prolaps rektum. Rectopexy ini dicapai dengan jahitan
bukan mesh nonabsorbable karena usus dibuka untuk anastomosis dan
mesh dapat menjadi terkontaminasi.
Gambar 5. Fiksasi Mesh pada Dinding Rektal.

b. Prosedur Bedah Perineum


Prosedur perineum memiliki tingkat kekambuhan lebih tinggi tetapi
morbiditas yang lebih rendah dan sering dilakukan pada orang tua atau pada
pasien dengan kontraindikasi anestesi umum.
1) Anal Encirclement
Pada prosedur anal encirclement, sebuah band nonabsorbable
ditempatkan subkutan di sekitar anus. Tujuan dari prosedur ini adalah
untuk menjaga rektum dari prolaps dengan membatasi ukuran lumen
anus. Meskipun prosedur awalnya menggunakan kabel, sekarang
dipergunakan bahan lain seperti, Silastic Tube dan bahan jahit tak
terserap sebagai gantinya. Anal encirclement efektif dalam mencegah
mekanis rektum dari prolaps, tetapi tidak mengobati gangguan yang
mendasarinya.
Komplikasi dari prosedur ini meliputi obstruksi dengan impaksi
tinja dan erosi dari kawat dengan infeksi. Anal encirclement tidak lagi
umum dilakukan, biasanya hanya disediakan untuk pasien yang paling
lemah dan untuk pasien dengan risiko bedah tertinggi, di antaranya
dengan tujuan paliatif. Anal encirclement membawa risiko impaksi
tinja yang sangat tinggi.
2) Reseksi Delorme
Dalam reseksi Delorme mukosa, sayatan melingkar dibuat melalui
mukosa prolaps rektum dekat garis dentate, dengan elektrokauter
tersebut, mukosa tersebut dilucuti dari anus ke puncak prolaps dan
dipotong. Otot prolaps gundul kemudian lipit dengan jahitan dan
reefed up seperti akordion, dan ujung-ujungnya transeksi dari mukosa
dijahit bersama-sama. Prosedur ini sering digunakan untuk prolapses
kecil tetapi juga dapat digunakan untuk yang besar.

Gambar 6. Prosedur Delorme.3

3) Altemeier Perineum Rectosigmoidectomy


Dalam prosedur rectosigmoidectomy Altemeier perineal, sayatan
tebal penuh melingkar dibuat dalam rektum prolaps sekitar 1-2 cm dari
garis dentate. Mesenterium usus prolaps diligasi sedikit demi sedikit
sampai tidak ada usus berlebihan lagi yang dapat ditarik ke bawah.
Usus transeksi dan baik dijahit tangan ke lubang anus distal atau
dijepit dengan stapler melingkar. Sebelum anastomosis, beberapa ahli
bedah uji coba penerapan otot levator ani anterior, yang dapat
membantu meningkatkan kontinensia.

Gambar 7. Prosedur Alteimer.


4) Reseksi Stapled Perineum Prolaps
Prosedur ini dilakukan dengan menarik keluar prolaps sepenuhnya
pada pukul 3 dan 9, dalam posisi litotomi, memotong dengan arah
aksial terbuka dengan stapler linear. Reseksi dilakukan dengan stapler
Transtar Contour melengkung

Gambar 8. Reseksi Stapled Perineum Prolaps.

Setelah prosedur abdominal untuk prolaps rektum, pasien biasanya


mengalami nyeri dan ileus insisional. Cairan IV dipertahankan sampai
cairan yang dimulai dengan kembalinya fungsi usus atau sebelumnya,
tergantung pada apakah suatu anastomosis telah dilakukan. Sebagai
meningkatkan fungsi usus, diet dapat maju. Pasien dengan anastomosis
yang diselenggarakan pada diet rendah serat selama 2-3 minggu dan
kemudian mulai pada suplemen serat untuk membantu mencegah
kembalinya konstipasi dan mengejan. Pasien tanpa anastomosis yang
dapat dimulai pada diet tinggi serat cepat.
Sebuah kateter Foley ditempatkan perioperatif dan dibiarkan di
tempat selama beberapa hari karena diseksi rektum dapat menghambat
fungsi kandung kemih. Lama waktu rawat inap di rumah sakit rata-rata
3-7 hari dan biasanya tergantung pada kembalinya fungsi usus dan
pengendalian rasa sakit insisional.
Pasien yang telah menjalani prosedur perineum melakukannya
dengan baik pasca operasi, dengan rasa sakit yang minimal dan tinggal
di rumah sakit singkat. Awalnya, mereka menerima apa-apa melalui
mulut selama kurang lebih 12-24 jam. Setelah periode ini, cairan yang
dilembagakan, dan pasien dengan cepat maju ke diet biasa. Fungsi
usus kembali dengan cepat karena tidak ada sayatan abdominal, dan
pasien sering dapat habis 24-72 jam setelah prosedur.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi serius setelah operasi prolaps rektum meliputi infeksi, perdarahan,
perlukaan usus, kebocoran anastomosis, perubahan fungsi kandung kemih dan seksual,
dan konstipasi. Frekuensi komplikasi ini berkaitan dengan jenis prosedur.
1. Infeksi
Sumber yang paling umum dari infeksi pada prosedur pembedahan per
abdomen adalah organisme kulit pada luka. Jika bahan asing telah
ditanamkan, infeksi dapat terjadi, paling sering disebabkan organisme kulit,
dan jika memungkinkan bahan asing harus disingkirkan. Adanya fibrosis
dapat membuat penyingkiran bahan prostetik terlalu berbahaya, dalam kasus
seperti ini digunakan terapi antibiotik jangka panjang. Infeksi setelah prosedur
perineum jarang terjadi, biasanya sebagai akibat pemisahan di anastomosis
perineum.
2. Pendarahan
Perdarahan paling sering terjadi dalam 2 situasi. Situasi pertama
melibatkan robeknya pembuluh darah presakrum selama prosedur per
abdomen, ketika rektum langsung ditempelkan ke fasia presakrum. Hal ini
dapat menyebabkan hematoma presakrum atau perdarahan hebat. Pendarahan
seperti ini bisa sulit untuk dikendalikan karena pembuluh darah keluar
langsung dari tulang. Manuver awal dengan tekanan langsung ke area
perdarahan selama 10-15 menit. Jika ini gagal untuk mengontrol perdarahan,
pines titanium dapat ditempatkan ke dalam tulang untuk menghambat
perdarahan. Pemotongan di ruang presakrum sering meningkatkan perdarahan
dan harus dihindari. Situasi umum kedua untuk perdarahan terjadi selama
penipisan mukosa pada prosedur Delorme atau dari pemisahan luka pasca
operasi.
3. Perlukaan Usus
Perlukaan usus dapat terjadi selama mobilisasi rektum. Jika diketahui,
luka tersebut biasanya dapat diobati tanpa memerlukan diversi usus. Jika usus
terluka, tidak diperkenankan melakukan pemasangan material asing. Adanya
perlukaan yang tidak diketahui dapat menyebabkan pembentukan abses dan
sepsis panggul. Perlukaan usus yang tidak diketahui mungkin terjadi saat
prosedur laparoskopi oleh beberapa mekanisme, dan jika tidak terdeteksi
dengan cepat akan menghambat perbaikan kondisi pasien, dan dapat
menyebabkan sepsis dan kematian.
4. Kebocoran Anastomosis
Semua prosedur yang melibatkan suatu anastomosis membawa risiko
kebocoran anastomosis. Prosedur per abdomen dengan penyulit kebocoran
mungkin tidak memerlukan eksplorasi ulang jika kebocoran kecil dan berisi,
dan pasien stabil. Timbunan kebocoran dapat ditangani dengan drainase
perkutan, dan kebocoran ini sering membaik dengan perawatan suportif. Jika
kondisi pasien tidak membaik, perlu dilakukakan washout abdomen dengan
pengalihan tinja proksimal.
Jika kebocoran yang besar dan tidak berisi, atau jika pasien tidak stabil,
diindikasikan reeksplorasi darurat. Sepsis panggul membuat diseksi lebih
lanjut dalam panggul menantang serta berbahaya bagi pasien, dan washout
dengan pengalihan proksimal adalah prosedur pilihan. Kebocoran anastomotik
juga dapat terjadi setelah rekctosigmoidektomy perineum. Jika kebocoran
terjadi setelah prosedur ini, infeksi lokal dan sepsis panggul jarang terjadi.
5. Penurunan Fungsi Kandung Kemih dan Seksual
Perubahan fungsi kandung kemih dan fungsi seksual merupakan
komplikasi yang jarang terjadi dalam prosedur per abdomen jika dilakukan
dengan benar. Saraf simpatik dan parasimpatis panggul berjalan di sepanjang
rektum, jika pembedahan tidak dilakukan pada bidang yang tepat, cedera
dapat terjadi, menyebabkan disfungsi kandung kemih, impotensi, atau
ejakulasi retrograde. Ini merupakan pertimbangan penting dalam pemilihan
prosedur perbaikan, terutama pada pria, meskipun risiko cedera kurang dari 1-
2%.
6. Konstipasi
Prosedur dan perineum reseksi anterior memiliki risiko rendah obstruksi
outlet. Secara historis, prosedur per abdomen dimana penempelan rektum
pada sakrum menyebabkan tingginya tingkat obstruksi saat rektum dibungkus
mengelilinginya, seringkali mengharuskan pelepasan fiksasi untuk
mengobatinya, karena alasan ini, bila dilakukan pembungkusan, hanya
dilakukan pada sposterior dan sebagian di sisi rektum.
J. PATHWAY

Faktor resiko
hemoroid

Dilatasi dan distensi


pembuluh darah

Hemoroid

Prolaps hemoroid
menyebabkan Prolaps dan Iritasi tekan pada
pendarahan dan trombosit area rektum
lendir

Nyeri Akut

Ketidakefektifan Mengabaikan
perfusi jaringan dorongan defekasi
akibat nyeri

Konstipasi
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mengumpulkan
data atau informasi dan menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan penderita
tersebut.
1. Pre Operasi
Subjektif
a. Pola makan dan minum
- Kebiasaan
- Keadaan saat ini
b. Riwayat kehamilan
Kehamilan dengan frekwensi yang sering akan menyebabkan hemorrhoid
berkembang cepat
c. Riwayat penyakit hati
Pada hypertensi portal, potensi berkembangnya hemorrhoid lebih besar.
d. Gejala / keluhan yang berhubungan
- Perasaaan nyeri dan panas pada daerah anus
- Perdarahan dapat bersama feces atau perdarahan spontan (menetes)
- Prolaps (tanyakan pasien sudah berapa lama keluhan ini, faktor-faktor
yang menyebabkannya dan upaya yang dapat menguranginya serta upaya
atau obat-obatan yang sudah digunakan)
- Gatal dan pengeluaran sekret melalui anus
Obyektif
a. Pemeriksaaan daerah anus
- Tampak prolaps hemorrhoid, atau pada hemorrhoid eksterna dapat dilihat
dengan jelas. Rasakan konsistensinya, amati warna dan apakah ada tanda
trombus juga amati apakah ada lesi.
- Pemeriksaan rabaan rektum (rectal toucher)
b. Amati tanda-tanda kemungkinan anemia :
- Warna kulit
- Warna konjungtiva
- Waktu pengisian kembali kapiler
- Pemeriksaan Hb
2. Post Operasi
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan adalah pengkajian
mengenai keadaan lingkungan yang tenang (nyaman), pengkajian
mengenai pengetahuan tentang perawatan pre operasi. Selain itu juga
penting dilakukan pengkajian mengenai harapan klien setelah operasi.
b. Pengkajian pola nutrisi metabolik setelah operasi adalah mengenai
kepatuhan klien dalam menjalani diit setelah operasi.
c. Pengkajian pola eliminasi setelah operasi adalah ada tidaknya perdarahan.
Pengkajian mengenai pola BAB dan buang air kecil. Pemantauan klien
saat mengejan setelah operasi, juga kebersihan setelah BAB dan buang air
kecil.
d. Pengkajian pola aktivitas dan latihan yang penting adalah mengenai
aktivitas klien yang dapat menimbulkan nyeri, pengkajian keadaan
kelemahan yang dialami klien.
e. Pengkajian pola tidur dan istirahat adalah mengenai gangguan tidur yang
dialami klien akibat nyeri.
f. Pengkajian pola persepsi kognitif adalah mengenai tindakan yang
dilakukan klien bila timbul nyeri.
g. Pengkajian pola persepsi dan konsep diri klien adalah kecemasan yang
dialami klien setelah operasi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan prolaps rektum (Doenges dkk, 1999)
meliputi :
Pre operasi
1. Nyeri b.d agen injuri biologis (pembengkakan, trombus pembuluh darah pada anus)
2. Konstipasi b.d nyeri pada saat defekasi
3. Resti perdarahan b.d. penekanan pada vena hemoroidal akibat konstipasi.
4. Cemas b.d. rencana pembedahan
5. Kurang pengetahuan b.d. kurang informasi tentang operasi.
Post operasi
1. Nyeri b.d agen injuri fisik (luka insisi post hemoroidektomi)
2. Gangguan mobilitas fisik b.d. menurunnya kekuatan/ketahanan konstruktur nyeri.
3. Resiko konstipasi b.d hemoroidek-tomi
4. Defisit perawatan diri b.d. kelemahan, nyeri.
5. Resiko tinggi infeksi b.d. adanya luka operasi di daerah anorektal.
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. resiko tinggi perdarahan.

C. INTERVENSI
1. Meningkatkan kenyamanan
2. Mencegah komplikasi
3. Memberikan informasi trntang prosedur pembedahan,/prognosis, kebutuhan
pengobatan dan potensial komplikasi.

D. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan Intervensi
Pre Operasi Setelah dilakukan asuhan Pain Management
Nyeri b.d agen keperawatan diharapkan nyeri - Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri biologis yang dirasakan pasien komprehensif termasuk lokasi,
(pembengka- berkurang dengan kriteria karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
kan, trombus hasil: dan faktor presipitasi
pembuluh - Observasi reaksi nonverbal dari
darah di anus) Pain Level, ketidaknyamanan
Pain control, - Kaji kultur yang mempengaruhi respon
Post Operasi Comfort level nyeri
Nyeri b.d agen - Evaluasi pengalaman nyeri masa
injuri fisik Indikator lampau
(luka insisi - Kontrol lingkungan yang dapat
post hemoroid- Mampu mengontrol mempengaruhi nyeri seperti suhu
ektomi) nyeri (tahu penyebab ruangan, pencahayaan dan kebisingan
nyeri, mampu - Kurangi faktor presipitasi nyeri
menggunakan teknik - Pilih dan lakukan penanganan nyeri
nonfarmakologi untuk (farmakologi, non farmakologi dan
mengurangi nyeri, inter personal)
mencari bantuan) - Ajarkan tentang teknik non
Melaporkan bahwa farmakologi
nyeri berkurang - Berikan analgetik untuk mengurangi
dengan menggunakan nyeri
manajemen nyeri - Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Mampu mengenali - Tingkatkan istirahat
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi Analgesic Administration
dan tanda nyeri) - Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
Menyatakan rasa dan derajat nyeri sebelum pemberian
nyaman setelah nyeri obat
berkurang - Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
Tanda vital dalam dosis, dan frekuensi
rentang normal - Cek riwayat alergi
- Tentukan pilihan analgesik tergantung
Keterangan : tipe dan beratnya nyeri
1. Keluhan ekstrim - Monitor vital sign sebelum dan
2. Keluhan berat sesudah pemberian analgesik pertama
3. Keluhan sedang kali
4. Keluhan ringan - Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
5. Tidak ada keluhan dan gejala (efek samping)

Resiko Setelah dilakukan asuhan Constipation/ Impaction Management


konstipasi b.d keperawatan diharapkan - Monitor tanda dan gejala konstipasi
hemoroidek- konstipasi tidak terjadi dengan - Monior bising usus
tomi kriteria hasil: - Monitor feses: frekuensi, konsistensi
dan volume
Bowel elimination - Konsultasi dengan dokter tentang
Hydration penurunan dan peningkatan bising usus
- Mitor tanda dan gejala ruptur
Indikator usus/peritonitis
Mempertahankan - Jelaskan etiologi dan rasionalisasi
bentuk feses lunak tindakan terhadap pasien
setiap 1-3 hari - Identifikasi faktor penyebab dan
Bebas dari kontribusi konstipasi
ketidaknyamanan dan - Dukung intake cairan
konstipasi - Kolaborasikan pemberian laksatif
Mengidentifikasi
indicator untuk
mencegah konstipasi

Keterangan :
6. Keluhan ekstrim
7. Keluhan berat
8. Keluhan sedang
9. Keluhan ringan
10. Tidak ada keluhan
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., & Setiowulan, W. (2012). Kapita selekta
kedokteran (Edisi Ketiga ed., Vol. Jilid 1). Jakarta: Media Aesculaplus.
NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 - 2014. (M.
Ester, Ed., M. Sumarwati, D. Widiarti, & E. Tiar, Trans.) Jakarta: EGC.
Potter & Perry. (2013). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 vol 1.
Jakarta: EGC
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2010). Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (6 ed.,
Vol. II). (H. Hartanto, Ed., & B. U. Pendit, Trans.) Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC .

Anda mungkin juga menyukai