Anda di halaman 1dari 14

BAB I

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A. DEFINISI STENOSIS PYLORUS HIPERTROFIK (SPH)
Stenosis pylorus hipertrofik adalah obstruksi sfingter pilorus oleh hiper trofi
otot sirkuler dari pilorus (Wong, 1996) dalam buku (Rendle, Gray, & Dodge, 2005).
Stenosispilorus merupakan penyempitan pilorus karena jaringan parut yang terbentuk
pada penyembuhan ulkus seosen. Stenosis pilorus hipertrofik kongenital yaitu
stenosis yang disebabkan oleh penebalan otot sfingter pilorus.

Stenosis trofik pylorus terjadi ketika otot sirkuler pilorus menebal sehingga
terjadi penyempitan pilorus dan obsruksi saluran keluar lambung (Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008). Biasanya keadaan ini
terjadi dalam usia beberapa minggu pertama dan mengakibatkan muntah proyektil,
dehidrasi, alkalosis metabolik serta kegagalan tumbuh kembang.
Stenosis hipetrofik pilorus lebih sering dijumpai pada anak pertama dan bayi
laki-laki lebih sering terkena dengan frekuen 5x lebih sering dari pada bayi
perempuan. Kelainan stenosis ini lebih sering terdapat pada bayi aterm dibandingkan
pada bayi premature, dan lebih jarang ditemukan pada bayi asia serta afro-amerika
ketimbang bayi laki-laki Kaukasia (penduduk kulit putih).

B. ETIOLOGI
Penyebab stenosis pilorus belum diketahui secara pasti, terdapat predisposisi
ginetik dan saudara kandung serta anak-anak dari orang yang terkena stenosis

1
hipertrofik piloris memiliki resiko lebih tinggi mengalami keadaan ini (Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008).
Tetapi berbagai faktor telah diidentifikasi dan dicurigai terlibat dengan
penyakit ini. Stenosis pilorus tidak tampak saat lahir. Bayi dengan lahir kembar
monozigot lebih berpeluang dibanding dizigot. Inervasi otot yang tidak normal,
menyusui, dan stress pada ibu di trimester tigaa lebih diketahui ikut terlibat menjadi
faktor penyebab terjadinya stenosis pylorus, selain itu peningkatan prostragandin
serum, penurunan kadar nitrat oksida sintase di pilorus, dan hipergastrinemia
kemungkinan lain adalah pemberian prostaglandin E eksogen untuk mempertahankan
petensi ductus arteriosus, gastroenteritis eosinophilia, trisomi 18, sindrom Turner,
Smith Lemli Opitz, dan Canela de Lange (Rendle, Gray, & Dodge, 2005).

C. PATOFISIOLOGIS
Otot sirkuler pylorus membesar secara nyata akibat hipertrofik (peningkatan
ukuran) dan hyperplasia (peningkatan masa). Keadaaan ini menimbulkan peyempitan
hebat pada kanalis pylorus yang terletak diantara lambung dan duodenum. Akibatnya,
lumen saluran pada tempat makan mengalami obtrsuksi parsia. Seiring waktu prosess
inflamasi dan edema akan mengakibatkan pengurangan lebih lanjut ukuran lubang
saluran pylorus sampai kemudian terjadi perubahan obtruksi parsial menjadi obtruksi
total. Terapkali otot pylorus tersebut menebal hingga mencapai dua kali lipat ukuran
lazimnya (2 hingga 3 cm), dan pylorus akan mengalami hipertrofik dapat diraba
sebagai massa berbentuk buah jaitun pada daerah abdomen bagian atas (Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008).
Bukti menunjukan bahwa inervasi setempat turut terlibat dalam patoginesiss
kelainan ini. Pada bagian besar kasus terdapat lesi yang terpisah; meski demikian,
stenosis hipertofik pilorus bisa disertai dengan malrortasi intestinal, atresia,
esophagus, serta duodenum, dan anomaly anorectal.

2
D. PATHWAY
Proliferasi endodement tidak adekuat

Gangguan Perkembangan
Ansietas
Stenosis Pilorus

Kurang pengetahuan POST OPERATIF


Muntah
PRE OPERATIF

Volume cairan ↓ Intake nutrisi ↓ Resiko aspirasi

Dehidrasi Gangguan nutrisi


kurang dari
Kekurangan Gangguan cairan kebutuhan tubuh
volume cairan dan elektrolit
Terputusnya
Ketidakseimbangan Insisi Bedah
Kontuinitas
asam basa Jaringan
Resiko asidosis Gangguan rasa
metabolik Resiko Infeksi nyaman nyeri

E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran utama stenosis pilorus adalah muntah proyektil, peristaltik lambung
dapat dilihat, dan tumor pilorus yang dapat diraba. Gelombang peristaltic dapat
terlihat melintas dari kiri ke kanan di abdomen atas. Gejala awal dari stenosis pilorus

3
adalah adanya muntah tanpa empedu, karena obstruksi proksimal duodenum. Gejala
jarang dimulai sebelum umur 10 hari setelah kelahiran, apakah bayi lahir premature
atau tidak (Catzel, 1992). Pada awalnya muntah menyembur, namun dapat juga tidak,
biasanya bersifat progresif dan terjadi segera setelah makan ataubisa intermitten.
Muntah biasanya mulai setelah umur 3 minggu, tetapi gejala muncul paling awal pada
umur 1 minggu, dan paling lambat pada umur 5 bulan (Solidikin, 2011).
Dalam beberapa hari, bayi muntah setiap sehabis makan dan makanan
dikeluarkan dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga dapat menyembur (muntah
proyektil)- tetapi jaranh. Kadang pada bayi disertai juga konstipasi, tetapi kadang-
kadang bayi mengeluarkan feses kecil, encer, dan berwarna hijau; setelah muntah ,
bayi akan merasa lapar dan ingin makan lagi. Karena muntah teruss-menerus terjadi,
maka terjadi kehilangan cairan, ion hydrogen, dan klorida secara progresif, sehingga
menyebabkan alkalosis metabolik hipokleromik. Kadar kalium serum seperti
biasanya, tetapi mungkinada pengurangan kadar totalnya muntah.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. Labotarium
Yang perlu di periksa (konsultasikan kepada dokter Anda)
a. Darah perifer lengkap
b. Urinalis (protein, darah, bilirubin, leokusit, biakan urin)
c. Elektrolit darah (Na, K, Ca, Mg, Cl, P)
d. Kadar ureum dan kreatinin darah
e. Analisis gas darah dan asam basa
f. Pemeriksaan fungsi hati
g. Kadar gula
2. Ultrasonografi Abdomen (USG Perut), untuk melihat target sign atau donut
sign pada kasus stenosis pilorik hipertrofik, intusefsi (“usus makan usus”)
untuk menilai hati saluran empedu, ginjal, dan kandung kemih.
3. Foto polos abdomen, untuk menilai distribusi udara di dalam usus, untuk
melihat gambar air fluid level.
4. Endoskopi (gastrudodenoskopi). Bila dicurigai esoffagistis.

4
G. KOMPLIKASI
Stenosis pilorus dapat menyebabkan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan
masalah berat badan . Muntah berulang-ulang dapat mengiritasi perut bayi. Beberapa
bayi yang telah menderita pilorus stenosis berkembang menjadi penyakit kuning
sebuah perubahan warna kekuningan pada kulit dan mata.
1. Ikterus : disebabkan oleh defisiensi transferase glukuronida hepatik.
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih)
menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada
bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal),
terdapat pada 25% -50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa
merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya akibat berlawanannya
Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran
empedu, dan lain-lain.
2. Alkalosis metabolik hipokloremik (akut)
Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan basa
karena tingginya kadar bikarbonat. Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh
kehilangan terlalu banyak asam. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah
asam lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam
lambung disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang
dilakukan di rumah sakit, terutama setelah pembedahan perut). Pada kasus
yang jarang, alkalosis metabolik terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi
terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat. Selain itu,
alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium dalam
jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam mengendalikan
keseimbangan asam basa darah.
3. Dehidrasi berat (akut) dengan peningkatan kadar nitrogen urea darah.
Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh.
Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan
(misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan
gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh. Dehidarasi terjadi karena:
a. Kekurangan zat natrium

5
b. Kekurangan air
c. Kekurangan natrium dan air.
4. Komplikasi dari pylorotomy
Meskipun pyloromyotomy aman dan kuratif dan dilakukan hampir tanpa
kematian operasi (<0,5%) dan morbiditas (<10%), tidak tanpa komplikasi
potensial. komplikasi pascaoperasi intraoperative dan Potensi termasuk
perdarahan, perforasi, dan infeksi luka. Duodenum atau perforasi lambung,
komplikasi yang paling serius jarang terjadi namun jika terjadi sebelum
penutupan luka yang belum diakui konsekuensi yang gawat atau kematian
bisa terjadi. Bayi dengan usus bocor mengembangkan rasa sakit, kembung,
demam, dan peritonitis. Kebutuhan cairan yang sedang berlangsung, sepsis
umum, kolaps pembuluh darah, dan kematian ikuti jika kebocoran enterik
tidak diakui dan diobati. Dugaan perforasi reexploration pascaoperasi
membutuhkan segera. Pengakuan komplikasi ini pada saat operasi adalah
penting.

H. PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan adalah pyloromiotomi dengan angka kematian
kurang dari 1 persen. Untuk mencegah terjadinya keadaan yang berulang
residif, piloromiotomi harus dilakukan tuntas dengan cara seluruh bagian otot
pylorus yang hipertropi dibelah, termasuk sebagian otot di bagian proksimal.
Komplikasi pasca operasi dapat terjadi perdarahan, perforasi dan infeksi luka
operasi. Perforasi duodenum atau lambung merupakan penyulit yang
berbahaya sebab adanya suatu kebocoran enterik dapat menyebabkan nyeri,
peregangan perut, demam dan peritonitis, bahkan dapat terjadi sepsis, kolaps
vaskuler dan kematian. Jika terjadi perforasi harus dilakukan perbaikan dan
diberi antibiotika. Pada CHPS piloromiotomi merupakan pilihan utama.
Apabila dikerjakan dengan tepat maka prognosisnya baik dan tidak akan
timbul kekambuhan

6
2. Penatalaksanaan non bedah ( terapi obat ) Tanpa pembedahan penyembuhan
lambat (2-8 bulan), angka kematian lebih tinggi, dan biaya rawat inap tinggi.
Serta dampak yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan emosi
akibat perawatan yang lama di rumah sakit. Pengobatan secara medis
penyembuhannya biasanya berlangsung lambat. Untuk terapi obatnya yaitu
dengan sulfas atropin intra vena :
a. Dosis awal 0,4 mg/kg bb/ hari
b. Ditingkatkan 0,1 mg/kg bb/hari tiap 8 hari sampai muntah mereda
c. Dilanjutkan atropin oral selama 2 minggu. Selain itu dibutuhkan pula
obat-obatan penenang, anti tikolinergik dan cairan parenteral.
d. Terapi nutrisi Pada pasien post operasi pemberian makanan per oral
mulai diberikan 4-6 jam pasca bedah, setelah 24 jam intake penuh
diperbolehkan, Pada pasien non bedah diberikan makanan kental
dicampur tepung dan diberikan dengan porsi yang sedikit tapi sering.
Selama kira-kira 1 jam setelah makan, bayi dipertahankan dalam posisi
setengah duduk

BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Bayi

7
Nama, umur, jenis kelamin, agama, kedudukan klien dalam keluarga,
tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor
rekam medic, alamat.
b. Identitas Orang tua
Nama ayah, nama ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, agama dan alamat.
2. Riwayat Penyakit
a. Muntah pada bayi
Bayi sehat aktif, yang minumnya normal, sewaktu waktu bisa saja
secara spontan mengeluarkan sedikit susu yang diminumnya. Hal ini
biasanya disebut gumoh , namun. Bila muntahnya banyak ini bisa
disebabkan oleh reflux. Sedangkan bayi berusia kurang dari 2 bulan yang
tampak sakit muntah setiap kali minum, ada kemungkinan mengalami
stenosis pilorus. Tetapi bila muntah yang tidak ada kaitannya dengan
minum susu dan muntahnya berwarna hijau, perlu dipikirkan kemungkina
adanya sumbatan pada usus. Bila bayi demam dan muntah-muntah disertai
dengan batuk, itu hbisa saja krena bronkiolitis atau bahkan pertusis.
Sedangkan bila anak muntah disertai dengan diare, itulah yang biasanya
sebagai gastroenteritis.
Bila muntah disertai demam pada bayi berusia lebihd ari 2 bulan,
harus diperhatikan kesadarannya. Bila terjadi penurunan, kesadaran
disertai dengan kuduk kaku, kita harus mencurigai kemungkinan
menigitis. Bila bayi tidak mengalami demam dan muntahnya kehijauan,
pikirkan kemungkinan adanya sumbatan pada usus.
b. Muntah Pada Anak
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, bila muntah berwarna
kehijauan selalu pikirkan kemungkinan adanya sumbatan pada usus. Bila
muntah tidak kehijauan tetapi disertai dengan sakit perut terus-menerus
9lebih dari 6 jam), pikirkan kemungkinan apendendistis atau radang usus
buntu
Bila anak mengalami penurunan kesaran dan mempunyai riwayat
trauma kepala, maka kita harus memikirkan kemungkinan penyebabnya

8
adalah trauma kepala, namun bila tidak ada riwayat trauma kepala namun
anak mengeluh sakit kepala hebat, kuduk kaku, ada bintik bintik merah
tidak ada hilang bila ditekan, pikirkan kemungkinan meningitis.
Pada anak yang sudah agak besar bila selain muntah tinjanya
berwarna pucat (seperti dempul) apalagi bila diikuti dengan kuning
(jaundice) maka kemungkinan besar penyebabnya adalah hepatitis. Anak
juga bisa muntah akibat terlalu girang (exited) atau akibat berkendaraan
(motion sickness). Di lain pihak bila anak menunjukan dua atau lebih
gejala berikut yaitu demam, sakit saat berkemih, sakit perut, mengompol,
pikirkan kemungkinan infeksi saluran kemih.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh yang b.d muntah proyektif yang
sering
2. Kekurangan volume cairan b.d dihidrasi atau syok (atau keduanya).
3. Nyeri yang berhubungan dengan insisi bedah
4. Risiko infeksi yang berhubungan dengan pembedahan
5. Ansietas (orang tua) yang b.d kurang pengetahuan tentang penyakit, pemeriksaan
diagnotic dan terapi.
6. Defisit Pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah

C. INTERVENSI/RENCANA KEPERAWATAN
1. Dx 1
Tujuan : Nutrisi pasien dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
Bayi akan mempertahankan status nutrisi yang adekuat, ditandai oleh bayi dapat
menerima makanan dan muntah berkurang
Intervensi dan Rasional :
a. Beri bayi makanan dalam porsi tegak, sendakan setiap kali menelan
sebanyak 15-30 ml ciran makann. Ciptakan suasana lingkungan yang

9
tenang dan nyamanan. Sebelum pembedahan bayi harus dipuasakan
selama 3-4 jam bergantung pada usia bayi dan program dokter.
b. Tawarkan porsi makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi yang
sering setiap 1-2 jam. Beri lagi setelah setiap kali muntah.
c. Tawarkan makanan oral berupa larutan elektrolit (misalnya, Pedialtyte
atau Ricelyte) selama pemeriksaan diagnostic.
d. Kaji bayi untuk mendeteksi tana perburuan dehidrasi, termasuk penurunan
keluaran urine, kulit kering, turgor kulit buruk, dan fontanel serta mata
melesak ke dalam Laporankan tanda ini dengan segera.
e. Atur posisi bayi supaya tegak setiap kali selesai pemberian makanan.
2. Dx 2
Tujuan :
Cairan dan elektrolit pasien seimbang
Kriteria hasil :
Bayi akan mempertahankan kesimbangan ciran dan lektrolit yang normal yang
dibuktikan oleh keluaran urine normal (11 sampai 18 ml/jam untuk seseorang
neonates 17-25 ml/jam untuk seorang bayi yang berusia lebih tua), waktu
pengisian kembali kapiler 3-5 detik, turgor kulit baik dan kadar kalium serta
tanda-tanda vital sesuai dengan usia
Intervensi
a. Rehidrasi bayi sesuai indikasi dengan larutan elektrolit per oral atau cairan
intervena.
b. Pantau hasil uji laboratorium untuk hitung darah lengkap, berat jenis, dan
elektrolit, nitrogen urea darah, dan kadar gas darah arteri.
c. Pantau bayi setiap 2-4 jam untuk deteksi tanda-tanda syok termasuk
peningkatan frekuensi napas dan jantung, penurunan tekanan darah, dan
pucat
d. Kaji kulit bayi untuk deteksi tanda-tanda dehidrasi, termasuk kulit keabu-
abuan, kekeringan. Targor kulit buruk, dan fontanel cekung
e. Timbang berat badan bayi setiap hari dan pantau asupan serta haluaran
ciaran setiap jam termasuk jumlah asupan melalui intervena dan oral,

10
muntah drainase, nasogastrik, urine, dan feses. Pastikan menimbang
popok.
3. Dx 3
Tujuan : Nyeri klien teratasi
Kriteria hasil :
Nyeri pada bayi akan berkurang ditandai dengan tangis bayi berkurang dan bayi
tidak rewel
Intervensi dan rasional :
a. Beri obat analgesik secara teratur selama 24 jam pertama setelah
pembedahan. Catat tentang keefektifan obat.
b. Ubah posisi bayi (dari posisi miring ke tengkurapan) setiap 2 jam. Jika
memungkinkan
c. Perlihatkan kepada orang tua teknik menggendong yang benar, anjurkan
mereka untuk menggendong dan memeluk bayi
d. Pantau bayi untuk distensi abdomen, gelombang peristaltik, tidak adanya
atau penurunan bising usus, dan tanda-tanda obstruksi (misalnya, muntah
billier) setiap 4 jam. Laporkan kelainan ini dengan segera.
4. Dx 4
Tujuan : Tidak terjadi infeksi pada luka post pembedahan pada bayi
Kriteria hasil :
Infeksi bedah bayi akan tetap bebas dari infeksi setelah perbedaan yang di
tandai oleh pembengkakan dan kemerahan di sekitar tempat insisi berkurang
dan tiadak berbagi bukuserta tidak mengeluarkan rabas yang purulen.
Intervensi
a. Pantau balutan inisis untuk deteksi tanda-tanda infeksi (eritema, rabas
purulen, edema, peningkatan nyeri tekan, luka yang membuka,
peningkatan suhu inti) setiap 2 jam. Beri obat antibiotik, sesuai
program
b. Gunakan teknik steril ketika bersentuhan dengan tempat insisi, sampai
area tersebut benar-benar pulih, cuci tangan sebelum bersentuhan

11
dengan kulit, pertahankan, balutan steril dan bersihkan luka secara
meyeluruh.
5. Dx 5
Tujuan: Orang tua memahami penyakit bayinya, ansietas berkurang.
Kriteria hasil :
Orang tua akan mengalami penurunan rasa cemas yang ditandai oleh
ungkapan pemahaman tentang gangguan tersebut dan kebutuhan tentang uji
diagnostic dan terapi.
Intervensi
a. Jelaskan kepada orang tua anatomi dan proses pengeluaran makanan
melalui traktus gastrointestinal atas normal. Gunakan alat bantu visual
jika tersedia.
b. Berikan orang tua uji diagnostik yang diprogramkan
c. Ajarkan orang tua tentang setiap uji diagnostik (rangkaian
pemeriksaan saluran cerna atas USG, dan pemeriksaan laboratorium)
juga tentang persiapan uji, beberapa lama uji akan berlangsung dan
perawatan paska uji)
d. Berikan orang tua informasi tentang peristiwa pra dan pascabedah.
Jelaskan juga perincian tentang menahan pemberian makanan per oral,
pemeriksaan laboratorium, sinar – X, pengobatan nyeri rencana
pemberian makanan, cara menggendong bayi dan intubasi nasogastrik.
e. Anjurkan orang tua untuk menulis setiap pertanyaan yang muncul
dengan perawatan bayi, jawaban pernyataan mereka dengan sederhana
dan jujur.

6. Dx 6
Tujuan : Orang tua bisa melakukan perawatan pada bayi dirumah.
Kriteria hasil:
Orang tua akan mengungkapkan pemahaman tentang instruksi perawatan di
rumah
Intervensi

12
a. Ajarkan orang tua tentang pemberian makan pada bayi : jelaskan juga
tentang formula yang digunakan, metode persiapan, volume makanan,
dan teknik pemberian makan.
b. Ajarkan orang tua cara merawat luka bedah : jelaskan perincian
tentang menggantu balutan, teknik membersihkan dan tanda-tanda
infeksi.
c. Ajarkan orang tua tujuan dan penggunaan obat-obatan (misalnya,
klorida betanekol [dovoid]) : mencakup perincian cara pemberian,
dosis, dan reaksi efek samping yang potensial.

D. IMPLEMENTASI
Menyesuaikan dengan intervensi.

E. EVALUASI
1. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d muntah proyektif yang
sering.
Bayi dapat menerima makanan dan muntah berkurang
2. Kekurangan volume cairan b.d dehidrasi atau syok (atau keduanya)
Mempertahankan kesimbangan caiaran dan elektrolit yang normal
3. Nyeri b.d insisi bedah
Nyeri pasien dapat diatasi
4. Risiko infeksi b.d pembedahan
Tidak ada infeksi akibat pembedahan
5. Ansietas (orang tua) b.d kurang pengetahuan tentang penyakit, pemeriksaan
diagnostic dan therapy
Orang tua paham tentang penyakit yang di derita oleh anaknya.
6. Defisit pengetahuan b.dengan perawatan di rumah
Orang tua paham tentang instruksi perawatan di rumah

13
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, K. A. (2002). Ilmu Kesehatan Anak Nelson . Jakarta : EGC.

Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Edisi 8 Volume 2, EGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall, 1998, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC. Jakarta

Pusponegoro HD, Etal. (Ed). Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I.
badan

Penerbit IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Jakarta. 2005 : 64-68

Price, Syivia Anda Wilson, Lorraine M, 1995, Patofisologi, BukuI, EGC, Jakarta.

Rendle, J., Gray, O., & Dodge, J. (2005). Sinopsis Pediatri. Tanggerang : Binarupa
Aksara .

Smehzer, Suzanne C, Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8.


jakarta : EGC

Solidikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anaak Gangguan SIstem Gastrointestinal


dan Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika .

Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz,
P. (2008). Wong Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakaeta: Publisher.

14

Anda mungkin juga menyukai