Anda di halaman 1dari 24

Tumor Esofagus

Di Susun Oleh :

Belva Bhadranitya Buana (H1A019020)

Felicia Theddy (H1A019038)


Hifzani Nurmuliani (H1A019043)
Lalu Hizrian Rizkika Abtartu (H1A019062)
Rabsanjani (H1A019090)

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram


Blok Sistem Digestif 2021
1. Definisi Tumor Esofagus
Ada 2 jenis kanker esofagus yang berbeda secara epidemiologi dan patologi tetapi dengan
lokasi anatomis yang sama yaitu kanker sel skuamosa esofagus (OSCC) dan adenokarsinoma
(OAC). Secara biologis OSCC mirip dengan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher
sedangkan OAC lebih mirip dengan kanker lambung yang tidak stabil secara genetik. Keduanya
memiliki lesi displastik prekursor (Smyth et al., 2017).

2. Epidemiologi Tumor Esofagus


Kanker esofagus adalah penyebab kematian terumum ke 6 oleh kanker setiap tahunnya.
Pada 2013 ada 442.000 kasus yang terdiagnosis di seluruh dunia dengan 440.000 kematian. Hal
ini menunjukkan fatality rate yang tinggi untuk penyakit ini. OSCC merupakan kasus kanker
esofagus terbanyak secara global yaitu sebesar 70% dan biasanya sering terjadi di Cina Utara
(insidensi debanyak 100/100.000 populasi) hingga ke Asia tengah dan Iran Utara. Pada banyak
negara insidensi OSCC menurun karena kondisi hidup yang lebih baik dan mortalitasnya
menurun karena program skrining endoskopi. Insidensi OSCC di Amerika menurun 3,6% setiap
tahunnya pada 1998-2003 dan juga menurun 3,3% di Cina pada tahun 1989-2008. Kasus OAC
sendiri mengalami peningkatan pada negara barat yang terindustrialisasi, di mana OAC biasanya
sering ditemukan. Insidensinya meningkat menurut usia setiap tahunnya dari 3,5% di Skotlandia
hinga 8,1% di Hawaii. Secara umum insidensi tahunan kanker esofagus pada laki-laki di
Indonesia berkisar dari 0-0,9 per 100.000 penduduk untuk OAC dan untuk OSCC berkisar dari
1,2-3,1 per 100.000 populasi (Smyth et al., 2017).

3. Etiologi Tumor Esofagus


a. OSCC
Paparan terhadap karsinogen (hidrokarbon aromatik polisiklik, nitrosamin, dan lain-lain),
paparan terhadap substansi pro oksidatif yang memproduksi spesies oksigen reaktif yang akan
menginisiasi karsinogen, konsumsi etanol yang akan membantu transportasi tembakau ke sel,
kurangnya konsumsi sayur, buah, vitamin. Kerusakan epitelium esofagus baik karena suhu atau
iritasi fisik, serta kerentanan genetik (Yang et al., 2016).
b. OAC
Iritasi dan inflamasi mukosa esofagus yang akan menyebabkan lesi yang akan
berkembang menjadi OAC. Selain itu kurangnya konsumsi buah, sayur, serat, dan mikronutrien
juga akan menyebabkan inflamasi dan karsinogenesis. Penyebab lainnya adalah kerentanan
genetik (Yang et al., 2016).
4. Faktor Risiko dan Patogenesis Tumor Esofagus
Kanker esofagus adalah keganasan yang memiliki dampak besar terhadap mortalitas dan
morbiditas. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang berkembang dan diperkirakan akan
meningkat dalam 10 tahun ke depan. Dua jenis histologis karsinoma esofagus yang paling umum
dari kanker esophagus di seluruh dunia, adalah squamous cell carcinoma (SCC) atau karsinoma
sel skuamosa dan adenokarsinoma. Insidensi penyakit ini cenderung lebih tinggi di negara
berkembang. Keduanya adalah entitas yang berbeda dengan beberapa kesamaan, berkaitan
dengan distribusi epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, dan relevansi klinis dan prognostik.

a. Faktor Risiko dan Patogenesis SCC

Gambar 2 Lesi skuamous. (A) Mukosa skuamous dengan derajat displasia yang
rendah; (B) Mukosa skuamous dengan derajat displasia yang tinggi/ karsinoma in
situ; (C) Karsinoma sel skuamous invasif.

Gambar 1 Proses terjadinya adenokarsinoma yang berawal dari refluks


gastroesofageal

Invasi sel skuamosa neoplastik ke dalam lamina propria dan lapisan yang lebih dalam
menandakan Esophageal Squamoues Cell Carcinoma (ESCC) invasif. Secara histologis, tumor
dapat menunjukkan diferensiasi yang bervariasi. ESCC yang berdiferensiasi baik menunjukkan
adanya keratin pearl, keratinisasi sel individu dan jembatan antar sel (Gambar 2). ESCC yang
berdiferensiasi buruk tidak memiliki tanda ini dan ditentukan berasal dari sel skuamosa
berdasarkan pola infiltrasi, adanya Intraepithelial Neoplasia (IEN) atau lesi in situ pada mukosa
skuamosa yang berdekatan, atau dengan bantuan penanda imunohistokimia seperti CK5/6 atau
p63. ESCC yang berdiferensiasi sedang akan menunjukkan tanda tanda dari kedua tahapan
(intermediat).

Faktor risiko utama termasuk konsumsi alkohol dan merokok. Sebagian besar penelitian
telah menunjukkan bahwa alkohol adalah faktor risiko utama tetapi merokok dalam kombinasi
dengan konsumsi alkohol mungkin memiliki efek sinergis dan meningkatkan risiko. Mekanisme
bagaimana merokok dan alkohol bersama-sama menyebabkan peningkatan risiko kanker
esofagus telah dipelajari secara ekstensif. Alkohol dapat merusak DNA seluler dengan
menurunkan aktivitas metabolisme di dalam sel sehingga mengurangi fungsi detoksifikasi sambil
memicu stres oksidatif. Alkohol merupakan senyawa yang larut di dalam lemak. Oleh karena itu,
zat karsinogen berbahaya dalam tembakau mampu menembus epitel esofagus dengan lebih
mudah. Beberapa karsinogen dalam tembakau termasuk amina aromatik, nitrosamin,
hidrokarbon aromatik polisiklik, aldehida, dan fenol. Karsinogen lain, seperti nitrosamin yang
ditemukan dalam sayuran dan ikan yang diawetkan juga terlibat dalam SCC esofagus.
Patogenesis tampaknya terkait dengan peradangan epitel skuamosa yang mengarah ke displasia
dan perkembangan keganasan in situ.

Karsinoma sel skuamosa esofagus muncul dari ekskresi polipoid kecil, epitel tak
berambut, dan plak, umumnya terletak di bagian tengah esofagus. Lesi awal mungkin tidak
kentara, dan pewarnaan jaringan dengan yodium lugol harus digunakan untuk menodai epitel
skuamosa normal yang mengandung glikogen dari sel-sel yang kekurangan glikogen skuamosa
ganas untuk memfasilitasi diagnosis. Lesi lanjut berupa ulserasi, melingkar, menyusup ke
submukosa, dan meluas ke arah cephalad. Penyebaran terjadi melalui sistem limfatik ke kelenjar
getah bening regional, tetapi sepertiga pasien akan memiliki metastasis jauh ke hati, paru-paru,
dan tulang termasuk invasi sel ganas ke sumsum tulang.

Sekitar 60% adenokarsinoma esofagus distal terutama kasus GEJ muncul dari epitel metaplastik
esofagus Barrett. Perawatan khas untuk pasien dengan kerongkongan Barrett adalah pengawasan
menggunakan endoskopi bagian atas dan biopsi untuk memeriksa jaringan untuk bukti displasia.
Tingkat kejadian adenokarsinoma di antara pasien tanpa displasia adalah 1,0 kasus per 1000
orang-tahun; di sisi lain, deteksi displasia tingkat rendah pada indeks endoskopi dikaitkan
dengan tingkat kejadian adenokarsinoma 5,1 kasus per 1000 orang-tahun. Risiko tahunan
adenokarsinoma esofagus adalah 0,12% (95% CI; 0,09, 0,15). Displasia derajat tinggi harus
dikelola secara agresif, termasuk kemungkinan untuk reseksi bedah. Metastasis awal terjadi pada
kelenjar getah bening yang berdekatan atau regional. Prediktor seperti penanda tumor, (TP53),
dapat menunjukkan potensi perkembangan penyakit ganas (Napier, Scheerer and Misra, 2014).

b. Faktor Risiko dan Patogenesis ADENOKARSINOMA

Adenokarsinoma esofagus terjadi di esofagus distal kira-kira pada tigaperempat kasus dan
memiliki hubungan yang berbeda dengan penyakit refluks gastroesofagus (GERD). GERD yang
tidak diobati dapat berkembang menjadi Barrett's esophagus (BE), di mana epitel skuamosa
berlapis yang biasanya melapisi kerongkongan digantikan oleh epitel kolumnar. Refluks kronis
asam lambung dan empedu di persimpangan gastroesofageal dan kerusakan selanjutnya pada
kerongkongan telah terlibat pada pathogenesis metaplasia Barret. Sifat alamiah dari
metaplasianya sejauh ini belum diketahui. Diagnosis esofagus abrrett bisa dikonfirmasi melalui
biopsi mukosa kolumnar saat endoskopi saluran cerna bagian atas. Berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan oleh United States Gastroenterology Society, spesimen bipsi harus mengandung sel-
sel epitel kolumnar yang mengalami metaplasia dengan sel goblet untuk mendapatkan diagnosis
secara definitif. Insidensi esofagus barrett mengalami peningkatan seiring dengan meningkatya
usia dan sangat jarang terjadi pada anak-anak. Kondisi ini lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita dan lebih sering terjadi pada ras kaukasian jika dibandingkan
dengan ras asia dan afrika-amerika (Lv et al., 2019).

Pada kondisi kronik, mikrotrauma yang terjadi secara terus-menerus, dikarenakan oleh
refluks asam lambung, akan menyebabkan erosi pada epitel skuamosa yang selanjutnya akan
diperbaiki oleh proses regenerasi sel. Respon ini akan memicu proliferasi progenitor epitelial di
sekitarnya untuk menutupi kerusakan yang terjadi. Luka yang terjadi pada batas
skuamokolumnar akan memicu proliferasi dari progeniteor sel skuamosa dan kolumnar pada
kedua sisi. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk lapisan tipis sel epitel yang tidak berdiferensiasi
pada dasar luka. Walaupun proses ini merupakan proses penyembuhan yang normal, tapi
mikrotrauma yang terjadi secara terus meneurus akan membuat sel sel yang memiliki fenotipe
paling kuat terhadap refluks lah yang bertahan, sehingga menghilangkan sel-sel yang mampu
memproduksi mucin yaitu sel epitel kolumnar. Proses ini bisa dilihat pada gambar 3 (Lutz et al.,
2012).

5. Histopatologis Tumor Esofagus


a. Histopatologi Esophageal squamous cell carcinoma (ESCC)
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengevaluasi tumor esofagus adalah dengan
melakukan biopsi invasif. Biopsi invasif pada esophageal squamous cell carcinoma (ESCC) akan
menunjukkan gambaran terbentuknya formasi keratin. (Gambar 1) Esofagus bagian tengah
hingga bagian bawah adalah lokasi yang paling sering terjadinya ESCC. (Terada, 2009)

Gambar 3 Histologi Esophageal Squamous Cell Carcinoma (ESCC), terlihat formasi


keratinisasi (Terada, 2009)

b. Histopatologi Esophagus adenocarcinoma (ECA)


Salah satu faktor risiko terjadinya Esophagus adenocarcinoma (ECA) adalah terjadinya
Gastroesophageal reflux disease (GERD). Hubungan keduanya terlihat pada paparan kronik
esofagus bagian distal dengan zat asam dari lambung. Frekuensi GERD pada suatu individu
memungkinkan untuk meningkatkan resiko terjadinya ECA yang dimulai dari tahap Barret’s
Esophagus (BE). Barret’s Esophagus diartikan sebagai perubahan epitel squamosa menjadi epitel
kolumar. Kasus BE sering ditemukan pada bagian distal tenggorokan. Pada saat dilakukan biopsi
invasif ditemukan gambaran epitel kolumnar disertai dengan sel goblet. (Gambar 2A).
Panjangnya segmen BE memiliki hubungan dengan risiko mengalami progresi menuju ECA.
Jika semakin panjang segmen BE maka risiko terjadinya ECA juga semakin tinggi. Pemeriksaan
Histopatologi pada ECA akan memperlihatkan adanya formasi tubular (Gambar 2B).(Terada,
2009; Alsop dan Sharma, 2016)

Gambar 4. Histologi Barret’s Esophagus (BE), terlihat sel kolumnar A;


Histologi Esophagus Adenocarcinoma (EAC) B (Terada, 2009; Alsop dan Sharma, 2016)

6. Manifestasi klinis Tumor Esofagus


Pada banyak kasus tumor esofagus diikuti oleh disfagia yang progresif. Disfagia
merupakan kondisi sulit dan tidak nyaman untuk menelan. Disfagia yang progresif diartikan
sebagai kesulitan menelan yang dimulai dari makanan yang solid kemudian secara bertahap
mengalami kesulitan menelan makanan yang lunak atau cair dikarenakan tumor yang
berekspansi. Selain itu, kasus berat badan yang menurun juga banyak ditemukan. Keadaan nyeri
pada dada juga dapat timbul yang menandakan kecurigaan tumor menginvasi mediastium. Selain
itu anemia, mediastinal limfadenopati, serta suara serak dapat terjadi. (Alsop dan Sharma, 2016;
“Esophageal cancer,” 2017)

7. Diagnosis Tumor Esofagus


Diagnosis suatu tumor esofagus dapat dilakukan dengan anamnesis terarah
mengenai faktor risiko, pemeriksaan fisik yang lengkap, dan beberapa pemeriksaan
penunjang.
 Anamnesis :
a. Disfagia dan odinofagi
Keluhan ini berhubungan dengan progresif penyakit dimana awalnya pasien
hanya mengeluh kesulitan dalam menelan makanan padat, lama kelamaan dapat timbul
kesulitan dalam menelan makanan cair atau minuman bahkan air liur pasien sendiri
sehingga memuntahkan makanan kembali (obstruksi total). Kurang lebih terdapat 20%
pasien mengeluh adanya odinofagi (nyeri menelan) (Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W,
2014).
b. Penurunan berat badan
Gambaran klinis dapat dipengaruhi oleh kondisi geografi. Di daerah yang
memiliki status ekonomi rendah ke menengah seperti Afrika Selatan dan daerah yang
mendapatkan paparan tinggi terhadap rokok dan alkohol, dilaporkan kasus karsinoma
esofagus menunjukkan keluhan penurunan berat badan dratis. Sedangakan karsinoma
esofagus pada populasi daerah berkulit putih dengan status ekonomi menengah-atas
menunjukkan keluhan overweight yang disertai gejala refluks gastroesofageal
simtomatik. Namun gejala cachexia dan penurunan berat badan yang substansial
seringkali merupakan konsekuensi dari disfagia, yang mungkin merupakan penyakit
lanjut yang menyebabkan banyak pasien menjadi lemah pada saat diagnosis (Setiati, S.
Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014).
c. Nyeri atau rasa tidak nyaman pada retrosternal seperti sensasi terbakar, hal ini merupakan
akibat dari invasi ke mediastinum (Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014).
d. Nyeri tulang akibat metastasis (Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014).
e. Pasien dengan invasi ke dinding trakeobronkial yang menyebabkan fistula sehingga dapat
muncul gejala klinis seperti kelumpuhan saraf laring, batuk, suara serak dan/atau
pneumonia pasca-obstruktif (Boiles and Babiker, 2021).
f. Sesak nafas (Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014).
g. Gejala hematemesis, melena, dan anemia dapat muncul pada diagnosis awal sebagai
bagian dari perdarahan pada gastrointestinal yang nyata atau tersembunyi (Boiles and
Babiker, 2021).
h. Dalam proses anamnesis bisa ditanyakan pula atau digali faktor-faktor yang dapat
memperburuk keluhan penderita atau yang mendasari suatu penyakit, seperti riwayat
merokok, konsumsi alkohol, nitrosamin maupun penyakit GERD (Indarti and
Sekarutami, 2013).

 Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa di esofagus dan dapat pula tidak
teraba dari luar. Perlu dilakukan juga pemeriksaan limfadenopati di regio colli dan
supraklavikula. Selain itu, hal yang perlu dinilai dengan cermat adalah status nutrisi
pasien (Indarti and Sekarutami, 2013).

 Pemeriksaan penunjang :

Gambar 5 : (Kuwano et al., 2015)


Stadium klinis karsinoma esofagus ditentukan oleh berbagai prosedur pencitraan,
diantaranya diagnostik dalam hal kedalaman invasi tumor, ada/tidaknya metastasis
kelenjar getah bening serta diagnostik metastasis jauh (Kuwano et al., 2015). Selanjutnya
penentuan stadium, penilaian fitur karakteristik dari lesi (tingkat keganasan), serta
evaluasi kondisi umum pasien. Sebagaimana keganasan lain, stadium sangat menentukan
tatalaksana yang efektif dan efisien. Penentuan stadium kanker esofagus yang umum
digunakan saat ini adalah menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer) (Setiati,
S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014).
Pembedahan radikal untuk karsinoma esofagus, terutama operasi yang disertai
dengan torakolaparotomi, adalah prosedur yang paling invasif diantara berbagai jenis
operasi untuk karsinoma gastrointestinal. Kemajuan terbaru dalam teknik bedah, prosedur
anestesi, manajemen pasca operasi, dll., telah membawa pada pengobatan yang lebih
aman untuk karsinoma esofagus. Namun, insiden komplikasi pasca operasi dan kematian
terkait operasi masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit lain. Sehingga
perlu juga diperhatikan bahwa karsinoma esofagus terjadi terutama pada orang-orang usia
lanjut, yaitu rentang usia 65-70 tahun, dan memiliki berbagai penyakit yang berhubungan
dengan gaya hidup (hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, dll.). Oleh karena itu,
diharapkan bahwa penerapan pembedahan radikal diputuskan dengan hati-hati setelah
evaluasi fungsi organ vital. Dalam penerapan kemoterapi, radioterapi atau
kemoradioterapi, diharapkan fungsi organ vital memenuhi kriteria tertentu untuk
pelaksanaan terapi (Kuwano et al., 2015).
Berikut beberapa tes yang diperlukan untuk mengevaluasi kondisi umum dan
fungsi organ utama, diantaranya :
a. Status kinerja (PS/Performance Status)
Status kinerja adalah indeks sederhana dan berguna untuk evaluasi komprehensif
kondisi umum pasien. Pasien karsinoma esofagus dengan skor PS 0-2, dianggap sebagai
kandidat yang cocok untuk pembedahan radikal, kemoterapi, atau radioterapi. Berikut
tabel skor aktivitas (Kuwano et al., 2015).
Skor aktivitas Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) (Kuwano et al.,
2015).

PS0 Aktif penuh dan mampu melakukan semua aktivitas pra-penyakit tanpa
batasan.
PS1 Terbatasi oleh aktivitas fisik yang berat, tetapi dapat berjalan dan mampu
melakukan pekerjaan yang ringan atau menetap, misalnya pekerjaan rumah
tangga dan pekerjaan kantor yang ringan.
PS2 Mendapatkan rawat jalan dan mampu melakukan semua perawatan diri,
tetapi tidak dapat melakukan aktivitas kerja apapun. Meningkat dan sekitar
lebih dari 50% dari jam bangun
PS3 Mengalami keterbatasan dalam melakukan perawatan diri, terbatas pada
tempat tidur atau kursi lebih dari 50% dari jam bangun.
PS4 Sepenuhnya tidak dapat melakukan aktivitas maupun tidak dapat
melakukan perawatan diri apa pun. Benar-benar terbatas pada tempat tidur
atau kursi

b. Tes fungsi paru


Hasil tes fungsi paru merupakan indeks penting untuk menentukan kelayakan
melakukan prosedur torakotomi. Apakah torakotomi diindikasikan atau tidak harus
dinilai secara komprehensif, dengan mempertimbangkan hasil spirometri (%VC,
FEV1.0%, %RV/TLC), analisis gas darah arteri, temuan radiografi dada, temuan CT
scan, riwayat merokok, dan riwayat kesehatan. Torakotomi harus dipertimbangkan
dengan hati-hati jika nilai %VC ≤ 40%, FEV1.0% ≤ 50%, FEV1.0 < 1,5 L, dan
%RV/TLC ≥ 56%, dan tekanan oksigen arteri ≤ 60 Torr (Kuwano et al., 2015).
c. Tes fungsi jantung
Pada prinsipnya, pembedahan tidak diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
karena penyakit katup jantung atau kardiomiopati, aritmia berat, infark miokard dalam
waktu 3 bulan sebelum onset. Elektrokardiografi (EKG) istirahat atau latihan dilakukan
sebagai aturan. Jika ditemukan kelainan, pasien harus menjalani pemantauan EKG
Holter, ekokardiografi, kateterisasi jantung, atau pencitraan perfusi stres olahraga.
Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan internis kardiovaskular jika pasien memiliki
kelainan fungsi jantung atau telah menjalani terapi antiplatelet maupun terapi
antikoagulan sebelum operasi (Kuwano et al., 2015).
d. Tes fungsi hati

Perawatan bedah pada dasarnya tidak diindikasikan untuk hepatitis berat atau
hepatitis fulminan. Dalam kasus hepatitis kronis atau sirosis hati, perawatan bedah harus
dipertimbangkan berdasarkan evaluasi lengkap jumlah darah dan hasil tes pembekuan
darah, tes biokimia darah, tes stres ICG selama 15 menit, dan skrining hepatitis. Tidak
termasuk kondisi khusus, pembedahan pada dasarnya tidak dilakukan pada pasien yang
memiliki tingkat retensi ICG (Indocyanine Green) ≥ 40% dalam 15 menit karena
disfungsi hati. Jika nilainya berkisar 20-40%, penerapan operasi invasif minimal
termasuk pengurangan radikalitas operasi dapat dipertimbangkan dengan hati-hati
(Kuwano et al., 2015).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa kemoterapi sistemik dapat menyebabkan
reaktivasi virus hepatitis B pada pasien antigen-positif HBs. Kemoterapi juga dapat
menyebabkan hepatitis fulminan pada pasien yang memiliki riwayat infeksi virus
hepatitis B (negatif untuk antigen HBs dan positif untuk antibodi HBc atau antibodi
HBs). Oleh karena itu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hepatologi terlebih
dahulu (Kuwano et al., 2015).
e. Tes fungsi ginjal
Evaluasi fungsi ginjal meliputi urinalisis umum, kreatinin serum, BUN, elektrolit, dan
klirens kreatinin (Ccr). Meskipun pembedahan relatif jarang dikesampingkan hanya
karena perburukan fungsi ginjal, perlu dijelaskan kepada pasien kemungkinan perlunya
terapi dialisis jika kadar Cr serum ≥ 2,0 mg/dL dan Ccr ≤ 30% (Kuwano et al., 2015).
f. Tes toleransi glukosa
Kontrol glukosa darah perioperatif harus diterapkan secara ketat pada pasien dengan
diabetes atau penurunan toleransi glukosa, yang terdiri dari pengukuran kadar glukosa
darah puasa, tes toleransi glukosa 75 g oral, pengukuran kadar HbA1c, pengukuran
glukosa urin kuantitatif, dan pengujian keton urin. Kontrol pra-operasi ditargetkan pada
glukosa darah puasa < 140 mg/dl, ekskresi glukosa urin harian 10 g, dan tes negatif untuk
keton urin (Kuwano et al., 2015).
g. Pertimbangan lainnya
Fungsi sistem saraf pusat, termasuk ada/tidaknya gangguan jiwa, harus dievaluasi
secara komprehensif. Secara umum, pembedahan radikal tidak diindikasikan untuk
pasien dengan karsinoma esofagus bila ada gangguan serebrovaskular fase akut yang
menyertai. Sangat diharapkan bahwa pasien dengan depresi, kecemasan, delirium, atau
demensia dirujuk untuk evaluasi profesional oleh psikiater terlebih dahulu (Kuwano et
al., 2015).
h. PET scan.

Positron emission tomography CT (PET/CT) memungkinkan untuk mendeteksi tempat


tersembunyi dari penyebaran metastasis jauh, dan menghindarkan pasien pengobatan
lokal-regional yang agresif bila tidak diperlukan (Boiles and Babiker, 2021).

i. Ultrasonografi endoskopi (EUS)


Ultrasonografi endoskopi (EUS) telah menjadi standar teknik terapi untuk staging
lokoregional, dengan akurasi hingga 90% dalam menilai kedalaman tumor dan
keterlibatan kelenjar getah bening lokoregional dan mediastinum. Selain itu, EUS
memungkinkan biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening yang
mencurigakan (ukuran lebih dari 1 cm) untuk memastikan adanya metastasis kelenjar
getah bening yang penting untuk penentuan stadium yang tepat (Boiles and Babiker,
2021). EUS dapat digunakan setelah terapi neoadjuvant untuk memulihkan penyakit lokal
sebelum operasi, tetapi tidak memiliki sensitivitas untuk menilai respons lengkap. Setelah
mengunakan EUS, dilakukan pemeriksaan biopsi daringan untuk memastikan diagnosis.
Analisis yang diperoleh melalui spesimen dan sikatan untuk melihat sitology yang
memiliki tingkat akurasi mencapai 100% (Kuwano et al., 2015).

j. Bronkoskopi dan CT scan


Pemeriksaan bronkoskopi diperlukan pada kecurigaan massa tumor esofagus bagian
proksimal maupun pertengahan untuk mencari adanya invasi ke trakea atau fistula
esofagotrakea. Pemeriksaan rontgen dada merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan
sementara, bone scan hanya dilakukan atas indikasi adanya keluhan tulang. Untuk
melengkapi staging, yang bertujuan untuk mengetahui besarnya massa tumor, invasi dan
adanya keterlibatan kelenjar getah bening serta memberikan informasi mengenai
prognosis, dilakukan pemeriksaan CT scan dada, abdomen, dan pervis. Pemeriksaan CT
scan juga dimaksudkan untuk mencari adanya metastasis di rongga abdomen, paru, hati,
dan sebagainya (Boiles and Babiker, 2021). CT scan dengan ambang batas penilaian
suatu malignansi adalah 10 mm, CT scan memiliki akurasi 51–70% dalam mendeteksi
KGB mediastinum, sementara dengan ambang batas penilaian suatu malignansi adalah 8
mm, CT scan memiliki akurasi 79% dalam mendeteksi KGB di sekitar gaster dan celiac
axis (Indarti and Sekarutami, 2013).
American Joint Committee on Cancer (AJCC) mengeluarkan panduan dalam
menentukan stadium karsinoma esophagus sesui tabel berikut.
(Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014)
(Van Cutsem et al., 2013)

8. Treatment Tumor Esofagus


Tatalaksana karsinoma esofagus memerlukan kerjasama dari berbagai multidisiplin
termasuk diantaranya onkologi bedah, onkologi medik, gastroenterology, onkologi radiasi,
radiologi, dan patologi. Diperlukan pula bantuan dari spesialis gizi, perawat onkologi, spesialis
perawatan paliatif bahkan pekerja sosial (Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014).

Secara umum, kanker esofagus masih dianggap sulit. Penerapan terapi kombinasi
(multimodalitas) belum menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama dalam locoregional
failure dan angka kesintasan (survival rate). Laju metastasis jauh masih sulit ditekan dengan
berbagai pendekatan terapi, dan dijumpai lebih dari 50% pada follow-up pasien setelah terapi
(Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014). Arah pengobatan kanker esofagus saat ini adalah
terapi multimodalitas, sesuai hasil-hasil studi yang menunjukkan angka keberhasilan lebih baik
dibandingkan terapi monomodalitas. Tatalaksana kanker esofagus, dilakukan berdasarkan
stadium, serta terdiri dari tiga modalitas utama, yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi
(Kuwano et al., 2015).

Gambar 6: (Kuwano et al., 2015)


a. Perawatan Endoskopi

Inti pengobatan endoskopi adalah reseksi endoskopi (ER). Reseksi endoskopi


termasuk reseksi mukosa endoskopi konvensional (EMR), di mana mukosa yang terkena
karsinoma diaspirasi dan direseksi dengan snare. Diseksi submukosa endoskopik (ESD),
yang mengacu pada reseksi en bloc dari lesi yang luas menggunakan pisau IT atau pisau
kait. Perawatan endoskopik lain yang tersedia yaitu terapi fotodinamik (PDT), terapi
koagulasi plasma argon, dan terapi koagulasi elektromagnetik (Kuwano et al., 2015).

Indikasi untuk reseksi endoskopi, yaitu lesi yang tidak melebihi lapisan mukosa
(T1a), lesi yang tersisa di dalam epitel mukosa (EP) atau lamina propria mukosa (LPM),
perawatan ini sangat jarang dikaitkan dengan ada tidaknya metastasis kelenjar getah
bening, oleh karena itu, reseksi endoskopik adalah pengobatan yang cukup radikal untuk
karsinoma esofagus. Lesi yang mencapai muskularis mukosa atau sedikit menginfiltrasi
submukosa (hingga 200 μm, T1b-SM1) dapat dilakukan reseksi mukosa, tetapi
memungkin memiliki risiko metastasis kelenjar getah bening. Oleh karena itu, kasus-
kasus ini merupakan indikasi yang relatif. Lesi yang menginvasi lebih dalam (> 200 μm)
ke dalam submukosa (T1b-SM2) berhubungan dengan metastasis, dan bahkan karsinoma
superfisial harus diobati dengan cara yang sama seperti karsinoma lanjut (karsinoma yang
melebihi muskularis propria) (Kuwano et al., 2015).

Pengobatan lesi yang tidak dapat diobati dengan ER yaitu kasus-kasus dengan
kecenderungan perdarahan, pengobatan setelah radioterapi atau kemoradioterapi sehingga
dipertimbangankan memilih pengobatan lain seperti terapi fotodinamik (PDT) dan
koagulasi plasma argon (APC) diperlukan (Kuwano et al., 2015).

Setelah melakukan ER maka perlu dilakukan pemeriksaan histopatologis


spesimen untuk menentukan apakah diperlukan perawatan tambahan, kedalaman invasi,
ada/tidaknya invasi limfovaskular, dan status margin reseksi karenanya untuk
menentukan apakah lesi telah sepenuhnya dihilangkan dan untuk menilai kemungkinan
Berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh ER, diantaranya perdarahan, perforasi
esofagus, dan stenosis sikatriks (Kuwano et al., 2015).
b. Perawatan Bedah

Meskipun strategi terapi sangat bervariasi sesuai dengan lokasi tumor, stadium,
dan kondisi umum pasien, pembedahan tetap menjadi andalan dalam pengobatan tumor
esofagus. Secara umum, indikasi absolut untuk perawatan endoskopi adalah adanya
karsinoma dengan kedalaman invasi yang diklasifikasikan sebagai EP atau LPM. Namun,
esofagektomi dan rekonstruksi yang tidak disertai dengan diseksi kelenjar getah bening
dapat diindikasikan sebagai penilaian komprehensif untuk karsinoma awal yang luas
tanpa metastasis kelenjar getah bening. Untuk lesi yang mencapai mukosa muskularis,
frekuensi metastasis kelenjar getah bening adalah sekitar 9,3%. Persentase ini meningkat
seiring dengan meningkatnya kedalaman invasi. Untuk lesi yang menginvasi lebih dalam
ke jaringan submukosa, tingkat metastasis adalah sekitar 50%. Secara umum, dengan
kecurigaan metastasis kelenjar getah bening, diseksi kelenjar getah bening harus tetap
dilakukan bahkan untuk lesi superfisial dalam pengobatan T2 atau karsinoma yang lebih
dalam. Pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan lesi T4, hanya jika
reseksi kuratif dinilai dapat diterapkan. Pada dasarnya, pembedahan tidak dipilih sebagai
pengobatan awal ketika ada metastasis ke kelenjar getah bening yang jauh atau organ lain
(Kuwano et al., 2015).

Teknik operasi yang umum dilakukan adalah esofagogastrostomi, atau


esofagektomi dengan gastric pull-up. Laparotomi dapat sekaligus dikerjakan untuk
melihat perluasan di bawah diafragma bila ada kecurigaan ke arah sana. Pada tumor di
daerah servikal, mungkin dilakukan radical neck dissection sekaligus, terutama bila jenis
tumor adalah karsinoma sel skuamosa (Indarti and Sekarutami, 2013).

c. Kemoterapi

Kemoterapi tidak efektif sebagai modalitas tunggal. Penggunaan kemoterapi


cisplatin-based dapat memberikan respons pada 30-50% kasus, namun umumnya bukan
respons komplit. Kemoterapi dapat diberikan bersama dengan radioterapi (kemoradiasi)
(Indarti and Sekarutami, 2013).

Kemoradiasi sebagai terapi definitif menjadi pilihan pada kasus-kasus yang


inoperabel. Terapi ini memberikan local control dan overall survival yang lebih superior
daripada radiasi saja. Suatu studi oleh Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)
membandingkan pemberian radiasi saja (60 Gy) dengan kemoradiasi (RE 60 Gy bersama
dengan 5-FU/ mitomycin-C), hasilnya, angka kesintasan 2 tahun adalah 12% pada
kelompok pasien yang mendapat radiasi saja, dan 30% pada kelompok pasien yang
mendapat kemoradiasi, dengan median survival 14,9 bulan berbanding 9,0 bulan, pada
masing-masing kelompok. Kemoradiasi juga dapat diberikan preoperatif pada tumor-
tumor yang dinilai resectable. Pemberian kemoradiasi tidak mempengaruhi angka
kesintasan, namun memperpanjang waktu rekurensi tumor. Sementara pemberian
kemoradiasi postoperatif menunjukkan sedikit penurunan angka relaps dalam 5 tahun
(85% menjadi 70%), terutama pada pasien dengan N0, namun juga tidak memperbaiki
angka kesintasan (Indarti and Sekarutami, 2013).

d. Radiasi

Selama ini telah dilaporkan pemberian radiasi secara neoadjuvan dan adjuvan
konkuren dengan kemoterapi, maupun radiasi saja, untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Radiasi diberikan berbarengan dengan kemoterapi (kemoradiasi). Secara garis besar,
radiasi yang dapat dilakukan dalam tatalaksana kanker esofagus adalah radiasi eksterna
dan interna (brakiterapi) (Indarti and Sekarutami, 2013).

 Radiasi Eksterna

Radiasi dapat diberikan dengan dua teknik, yaitu konvensional


atau 3D-konformal (3D-CRT). Data yang harus ada sebelum memulai
perencanaan radiasi adalah penentuan lokasi tumor (gross atau tumor bed).
Hal ini mempengaruhi teknik yang dipilih serta penentuan lokasi subklinis
serta aliran kelenjar getah bening yang harus dimasukkan dalam lapangan
penyinaran. Prinsip umum dari radiasi pada kanker esofagus adalah
penentuan batas kranial dan kaudal dari tumor dan batas secara radial
(sekeliling tumor), berdasarkan pola drainase limfatik esofagus, dari
lapisan mukosa ke lapisan muscularis propria yang sebagian besar
berbentuk longitudinal (Indarti and Sekarutami, 2013).
Saat ini, teknik 3D-konformal lebih disukai karena berdasarkan
gambaran CT scan, dapat dilihat lebih jelas ekstensi tumor, keadaan
jaringan di sekitarnya maupun ada atau tidaknya pembesaran kelenjar
getah bening. Namun pada tumor yang terletak di esofagus daerah servikal
atau pasca krikoid, dapat diterapkan teknik konvensional. Batas kranial
adalah laring-faring dan batas bawah adalah subkarina, dengan portal
radiasi opposing lateral atau oblik. Bila KGB supraklavikula dan
mediastinal bagian atas dianggap memerlukan radiasi, maka dapat
diberikan melalui portal anterior- posterior (AP) (Indarti and Sekarutami,
2013).

Lapangan radiasi untuk tumor yang terletak di 2/3 bawah esofagus


(thoracic) harus mencakup seluruh esofagus bagian thoracic dan KGB
supraklavikula bilateral, dan batas bawahnya adalah esophagogastric
junction. Sementara untuk lesi di 1/3 inferior esofagus, batas bawah harus
mencakup celiac plexus. Pada kasus dengan tumor di tengah atau atas dari
esofagus bagian thoracic, portal radiasi juga harus mencakup aksis KGB
celiac, karena tingkat penyebarannya yang cukup sering ke KGB tersebut
(Indarti and Sekarutami, 2013).

 Radiasi Interna/Brakiterapi

Sebagai tambahan dari radiasi eksterna, dapat diberikan


brakiterapi, tentunya dengan pertimbangan bahwa pasien adalah kandidat
yang tepat (tidak ada halangan secara teknis), dan pasien akan
mendapatkan manfaat dari terapi ini. Salah satu panduan yang ada dan
masih digunakan sampai saat ini adalah konsensus yang dikeluarkan oleh
American Brachytherapy Society (ABS). Menurut panduan tersebut,
brakiterapi pada kanker esofagus memiliki dua tujuan, yaitu definitif dan
paliatif (Indarti and Sekarutami, 2013).

Kontraindikasi untuk brakiterapi menurut panduan ini adalah (Indarti and


Sekarutami, 2013):
 Adanya keterlibatan trakeal atau bronkial

 Lesi terletak di esofagus bagian servikal

 Adanya stenosis

 Status performance yang buruk

Pertimbangan lain yang masih kontroversial dalam pemilihan


pasien untuk brakiterapi adalah penilaian terhadap angka harapan hidup,
kebanyakan ahli onkologi radiasi tidak memilih brakiterapi untuk pasien
dengan harapan hidup < 3 bulan. Brakiterapi dilakukan intrakaviter,
dengan teknik HDR dan umumnya menggunakan Iridium-192. Pasien
yang akan menjalani brakiterapi telah mendapatkan kemoradiasi dengan 5-
FU dan radiasi eksterna sebesar 45–50 Gy. Dosis yang dapat diberikan
adalah 10 Gy dalam 2 minggu, yaitu 2 x 5 Gy (Indarti and Sekarutami,
2013).

e. Paliatif

Salvage surgery terutama bertujuan untuk menyingkirkan sebagian besar massa


tumor, sehingga mengurangi obstruksi, serta mencegah abses, pembentukan fistula
maupun perdarahan dari massa tumor yang besar. Teknik paliatif lain diantaranya
intubasi intraluminal, terutama pada pasien yang debilitatif, dengan fistula
trakeoesofageal dan invasi tumor ke jaringan vital sekitarnya. Dilatasi lumen esofagus
sebanyak 15 mm sudah dapat mengurangi keluhan disfagia, dan dilatasi harus dilakukan
setiap minggu atau bulan sesuai kondisi pasien, untuk memperbaiki gejala. Teknik lain
yang tersedia adalah laser Nd:YAG (neodymium: yttrium-aluminum-garnet) dan
photoirradiation dengan argon, bersamaan dengan presensitisasi dengan derivat
hematoporfirin intravena, teknik ini memiliki risiko yang minimal. Radiasi eksterna
memberikan sampai 80% perbaikan gejala nyeri dan disfagia, dengan regimen 30 Gy
dalam 2 minggu, 50 Gy dalam 5 minggu atau 60 Gy dalam 6 minggu (Indarti and
Sekarutami, 2013).
Gambar 7
9. Komplikasi Tumor Esofagus
Pada pasien yang mengalami kanker esofagus dapat menimbulkan berbagai komplikasi
penyakit. Komplikasi umum yang dapat terjadi pada kanker esofagus adalah anemia, disfagia,
pneumonia aspirasi, striktur esofagus, perdarahan gastrointestinal, fistula trakea esofagus,
defisiensi nutrisi/penurunan berat badan, dan metastasis (DiSiena et al., 2021).

10. Prognosis Tumor Esofagus


Prognosis penyakit dari tumor esofagus ini buruk, pada adenokarsinoma dan kanker sel
skuamosa tergantung pada stadiumnya masing-masing dan secara umum tingkat kelangsungan
hidup setiap stadium sama untuk adenokarsinoma dan kanker sel skuamosa. Tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun pasien dengan kanker esofagus adalah sekitar 20% untuk karsinoma
sel skuamosa dan adenokarsinoma esofagus. Pada pasien yang telah dilakukan pengobatan
kanker esofagus dini akan memiliki tingkat kelangsungan hidup 5 tahun setelah pengobatan
adalah 90%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun pasien untuk stadium menengah atau
akhir hanya 6% -15% (Xu et al., 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Smyth, E. C., Lagergren, J., Fitzgerald, R. C., Lordick, F., Shah, M. A., Lagergren, P., &

Cunningham, D. (2017). Oesophageal cancer. Nature Reviews Disease Primers, 3(1),

17048. https://doi.org/10.1038/nrdp.2017.48

Yang, C. S., Chen, X., & Tu, S. (2016). Etiology and Prevention of Esophageal Cancer.

Gastrointestinal Tumors, 3(1), 3–16. https://doi.org/10.1159/000443155

Napier, K. J., Scheerer, M. and Misra, S. (2014) ‘Esophageal Cancer: A Review of


Epidemiology, Pathogenesis, Staging Workup and Treatment Modalities’, World Journal
of Gastrointestinal Oncology, 6(5), pp. 112–120. doi: 10.4251/wjgo.v6.i5.112.
Alsop, B. R. dan Sharma, P. (2016) “Esophageal Cancer,” Gastroenterology Clinics of North
America. Elsevier Inc, 45(3), hal. 399–412. doi: 10.1016/j.gtc.2016.04.001.
“Esophageal cancer” (2017) Annals of Cardiothoracic Surgery, 6(2), hal. 190. doi:
10.21037/acs.2017.03.01.
Terada, T. (2009) “Esophageal Carcinoma with Triplicate Differentiation into Squamous Cell
Carcinoma, Small Cell Carcinoma and Adenocarcinoma: a Case Report,”
Gastroenterology Research, hal. 118–121. doi: 10.4021/gr2009.04.1282.
Boiles, A. R. and Babiker, H. M. (2021) Esophageal Cancer. Rockville Pike: StatPearls
Publishing LLC.

Van Cutsem, E. et al. (2013) ‘Improving outcomes in colorectal cancer: Where do we go from
here?’, European Journal of Cancer, 49, pp. 2476–2485. doi: 10.1016/j.ejca.2013.03.026.

Indarti, A. F. and Sekarutami, S. M. (2013) ‘Tatalaksana Radiasi pada Kanker Esofagus’,


Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society, 4(2), pp. 70–76.

Kuwano, H. et al. (2015) ‘Guidelines for Diagnosis and Treatment of Carcinoma of the
Esophagus April 2012 edited by the Japan Esophageal Society’, Esophagus, 12(1), pp. 1–
30. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4297610/.

Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, D. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th edn. Jakarta
Pusat: Internal Publishing.

DiSiena, M. et al. (2021) ‘Esophageal Cancer: An Updated Review’, Southern medical journal,
114(3), pp. 161–168. doi: 10.14423/SMJ.0000000000001226.
Xu, Q. L. et al. (2020) ‘The treatments and postoperative complications of esophageal cancer: A
review’, Journal of Cardiothoracic Surgery, 15(1), pp. 1–10. doi: 10.1186/s13019-020-
01202-2.
Lutz, M. P. et al. (2012) ‘Highlights of the EORTC st. gallen international expert consensus on
the primary therapy of gastric, gastroesophageal and oesophageal cancer - Differential
treatment strategies for subtypes of early gastroesophageal cancer’, European Journal of
Cancer, 48(16), pp. 2941–2953. doi: 10.1016/j.ejca.2012.07.029.
Lv, J. et al. (2019) ‘Alteration of the esophageal microbiota in Barrett’s esophagus and
esophageal adenocarcinoma’, World Journal of Gastroenterology, 25(18), pp. 2149–
2161. doi: 10.3748/wjg.v25.i18.2149.

Anda mungkin juga menyukai