Di Susun Oleh :
Gambar 2 Lesi skuamous. (A) Mukosa skuamous dengan derajat displasia yang
rendah; (B) Mukosa skuamous dengan derajat displasia yang tinggi/ karsinoma in
situ; (C) Karsinoma sel skuamous invasif.
Invasi sel skuamosa neoplastik ke dalam lamina propria dan lapisan yang lebih dalam
menandakan Esophageal Squamoues Cell Carcinoma (ESCC) invasif. Secara histologis, tumor
dapat menunjukkan diferensiasi yang bervariasi. ESCC yang berdiferensiasi baik menunjukkan
adanya keratin pearl, keratinisasi sel individu dan jembatan antar sel (Gambar 2). ESCC yang
berdiferensiasi buruk tidak memiliki tanda ini dan ditentukan berasal dari sel skuamosa
berdasarkan pola infiltrasi, adanya Intraepithelial Neoplasia (IEN) atau lesi in situ pada mukosa
skuamosa yang berdekatan, atau dengan bantuan penanda imunohistokimia seperti CK5/6 atau
p63. ESCC yang berdiferensiasi sedang akan menunjukkan tanda tanda dari kedua tahapan
(intermediat).
Faktor risiko utama termasuk konsumsi alkohol dan merokok. Sebagian besar penelitian
telah menunjukkan bahwa alkohol adalah faktor risiko utama tetapi merokok dalam kombinasi
dengan konsumsi alkohol mungkin memiliki efek sinergis dan meningkatkan risiko. Mekanisme
bagaimana merokok dan alkohol bersama-sama menyebabkan peningkatan risiko kanker
esofagus telah dipelajari secara ekstensif. Alkohol dapat merusak DNA seluler dengan
menurunkan aktivitas metabolisme di dalam sel sehingga mengurangi fungsi detoksifikasi sambil
memicu stres oksidatif. Alkohol merupakan senyawa yang larut di dalam lemak. Oleh karena itu,
zat karsinogen berbahaya dalam tembakau mampu menembus epitel esofagus dengan lebih
mudah. Beberapa karsinogen dalam tembakau termasuk amina aromatik, nitrosamin,
hidrokarbon aromatik polisiklik, aldehida, dan fenol. Karsinogen lain, seperti nitrosamin yang
ditemukan dalam sayuran dan ikan yang diawetkan juga terlibat dalam SCC esofagus.
Patogenesis tampaknya terkait dengan peradangan epitel skuamosa yang mengarah ke displasia
dan perkembangan keganasan in situ.
Karsinoma sel skuamosa esofagus muncul dari ekskresi polipoid kecil, epitel tak
berambut, dan plak, umumnya terletak di bagian tengah esofagus. Lesi awal mungkin tidak
kentara, dan pewarnaan jaringan dengan yodium lugol harus digunakan untuk menodai epitel
skuamosa normal yang mengandung glikogen dari sel-sel yang kekurangan glikogen skuamosa
ganas untuk memfasilitasi diagnosis. Lesi lanjut berupa ulserasi, melingkar, menyusup ke
submukosa, dan meluas ke arah cephalad. Penyebaran terjadi melalui sistem limfatik ke kelenjar
getah bening regional, tetapi sepertiga pasien akan memiliki metastasis jauh ke hati, paru-paru,
dan tulang termasuk invasi sel ganas ke sumsum tulang.
Sekitar 60% adenokarsinoma esofagus distal terutama kasus GEJ muncul dari epitel metaplastik
esofagus Barrett. Perawatan khas untuk pasien dengan kerongkongan Barrett adalah pengawasan
menggunakan endoskopi bagian atas dan biopsi untuk memeriksa jaringan untuk bukti displasia.
Tingkat kejadian adenokarsinoma di antara pasien tanpa displasia adalah 1,0 kasus per 1000
orang-tahun; di sisi lain, deteksi displasia tingkat rendah pada indeks endoskopi dikaitkan
dengan tingkat kejadian adenokarsinoma 5,1 kasus per 1000 orang-tahun. Risiko tahunan
adenokarsinoma esofagus adalah 0,12% (95% CI; 0,09, 0,15). Displasia derajat tinggi harus
dikelola secara agresif, termasuk kemungkinan untuk reseksi bedah. Metastasis awal terjadi pada
kelenjar getah bening yang berdekatan atau regional. Prediktor seperti penanda tumor, (TP53),
dapat menunjukkan potensi perkembangan penyakit ganas (Napier, Scheerer and Misra, 2014).
Adenokarsinoma esofagus terjadi di esofagus distal kira-kira pada tigaperempat kasus dan
memiliki hubungan yang berbeda dengan penyakit refluks gastroesofagus (GERD). GERD yang
tidak diobati dapat berkembang menjadi Barrett's esophagus (BE), di mana epitel skuamosa
berlapis yang biasanya melapisi kerongkongan digantikan oleh epitel kolumnar. Refluks kronis
asam lambung dan empedu di persimpangan gastroesofageal dan kerusakan selanjutnya pada
kerongkongan telah terlibat pada pathogenesis metaplasia Barret. Sifat alamiah dari
metaplasianya sejauh ini belum diketahui. Diagnosis esofagus abrrett bisa dikonfirmasi melalui
biopsi mukosa kolumnar saat endoskopi saluran cerna bagian atas. Berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan oleh United States Gastroenterology Society, spesimen bipsi harus mengandung sel-
sel epitel kolumnar yang mengalami metaplasia dengan sel goblet untuk mendapatkan diagnosis
secara definitif. Insidensi esofagus barrett mengalami peningkatan seiring dengan meningkatya
usia dan sangat jarang terjadi pada anak-anak. Kondisi ini lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita dan lebih sering terjadi pada ras kaukasian jika dibandingkan
dengan ras asia dan afrika-amerika (Lv et al., 2019).
Pada kondisi kronik, mikrotrauma yang terjadi secara terus-menerus, dikarenakan oleh
refluks asam lambung, akan menyebabkan erosi pada epitel skuamosa yang selanjutnya akan
diperbaiki oleh proses regenerasi sel. Respon ini akan memicu proliferasi progenitor epitelial di
sekitarnya untuk menutupi kerusakan yang terjadi. Luka yang terjadi pada batas
skuamokolumnar akan memicu proliferasi dari progeniteor sel skuamosa dan kolumnar pada
kedua sisi. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk lapisan tipis sel epitel yang tidak berdiferensiasi
pada dasar luka. Walaupun proses ini merupakan proses penyembuhan yang normal, tapi
mikrotrauma yang terjadi secara terus meneurus akan membuat sel sel yang memiliki fenotipe
paling kuat terhadap refluks lah yang bertahan, sehingga menghilangkan sel-sel yang mampu
memproduksi mucin yaitu sel epitel kolumnar. Proses ini bisa dilihat pada gambar 3 (Lutz et al.,
2012).
Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa di esofagus dan dapat pula tidak
teraba dari luar. Perlu dilakukan juga pemeriksaan limfadenopati di regio colli dan
supraklavikula. Selain itu, hal yang perlu dinilai dengan cermat adalah status nutrisi
pasien (Indarti and Sekarutami, 2013).
Pemeriksaan penunjang :
PS0 Aktif penuh dan mampu melakukan semua aktivitas pra-penyakit tanpa
batasan.
PS1 Terbatasi oleh aktivitas fisik yang berat, tetapi dapat berjalan dan mampu
melakukan pekerjaan yang ringan atau menetap, misalnya pekerjaan rumah
tangga dan pekerjaan kantor yang ringan.
PS2 Mendapatkan rawat jalan dan mampu melakukan semua perawatan diri,
tetapi tidak dapat melakukan aktivitas kerja apapun. Meningkat dan sekitar
lebih dari 50% dari jam bangun
PS3 Mengalami keterbatasan dalam melakukan perawatan diri, terbatas pada
tempat tidur atau kursi lebih dari 50% dari jam bangun.
PS4 Sepenuhnya tidak dapat melakukan aktivitas maupun tidak dapat
melakukan perawatan diri apa pun. Benar-benar terbatas pada tempat tidur
atau kursi
Perawatan bedah pada dasarnya tidak diindikasikan untuk hepatitis berat atau
hepatitis fulminan. Dalam kasus hepatitis kronis atau sirosis hati, perawatan bedah harus
dipertimbangkan berdasarkan evaluasi lengkap jumlah darah dan hasil tes pembekuan
darah, tes biokimia darah, tes stres ICG selama 15 menit, dan skrining hepatitis. Tidak
termasuk kondisi khusus, pembedahan pada dasarnya tidak dilakukan pada pasien yang
memiliki tingkat retensi ICG (Indocyanine Green) ≥ 40% dalam 15 menit karena
disfungsi hati. Jika nilainya berkisar 20-40%, penerapan operasi invasif minimal
termasuk pengurangan radikalitas operasi dapat dipertimbangkan dengan hati-hati
(Kuwano et al., 2015).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa kemoterapi sistemik dapat menyebabkan
reaktivasi virus hepatitis B pada pasien antigen-positif HBs. Kemoterapi juga dapat
menyebabkan hepatitis fulminan pada pasien yang memiliki riwayat infeksi virus
hepatitis B (negatif untuk antigen HBs dan positif untuk antibodi HBc atau antibodi
HBs). Oleh karena itu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hepatologi terlebih
dahulu (Kuwano et al., 2015).
e. Tes fungsi ginjal
Evaluasi fungsi ginjal meliputi urinalisis umum, kreatinin serum, BUN, elektrolit, dan
klirens kreatinin (Ccr). Meskipun pembedahan relatif jarang dikesampingkan hanya
karena perburukan fungsi ginjal, perlu dijelaskan kepada pasien kemungkinan perlunya
terapi dialisis jika kadar Cr serum ≥ 2,0 mg/dL dan Ccr ≤ 30% (Kuwano et al., 2015).
f. Tes toleransi glukosa
Kontrol glukosa darah perioperatif harus diterapkan secara ketat pada pasien dengan
diabetes atau penurunan toleransi glukosa, yang terdiri dari pengukuran kadar glukosa
darah puasa, tes toleransi glukosa 75 g oral, pengukuran kadar HbA1c, pengukuran
glukosa urin kuantitatif, dan pengujian keton urin. Kontrol pra-operasi ditargetkan pada
glukosa darah puasa < 140 mg/dl, ekskresi glukosa urin harian 10 g, dan tes negatif untuk
keton urin (Kuwano et al., 2015).
g. Pertimbangan lainnya
Fungsi sistem saraf pusat, termasuk ada/tidaknya gangguan jiwa, harus dievaluasi
secara komprehensif. Secara umum, pembedahan radikal tidak diindikasikan untuk
pasien dengan karsinoma esofagus bila ada gangguan serebrovaskular fase akut yang
menyertai. Sangat diharapkan bahwa pasien dengan depresi, kecemasan, delirium, atau
demensia dirujuk untuk evaluasi profesional oleh psikiater terlebih dahulu (Kuwano et
al., 2015).
h. PET scan.
Secara umum, kanker esofagus masih dianggap sulit. Penerapan terapi kombinasi
(multimodalitas) belum menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama dalam locoregional
failure dan angka kesintasan (survival rate). Laju metastasis jauh masih sulit ditekan dengan
berbagai pendekatan terapi, dan dijumpai lebih dari 50% pada follow-up pasien setelah terapi
(Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, 2014). Arah pengobatan kanker esofagus saat ini adalah
terapi multimodalitas, sesuai hasil-hasil studi yang menunjukkan angka keberhasilan lebih baik
dibandingkan terapi monomodalitas. Tatalaksana kanker esofagus, dilakukan berdasarkan
stadium, serta terdiri dari tiga modalitas utama, yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi
(Kuwano et al., 2015).
Indikasi untuk reseksi endoskopi, yaitu lesi yang tidak melebihi lapisan mukosa
(T1a), lesi yang tersisa di dalam epitel mukosa (EP) atau lamina propria mukosa (LPM),
perawatan ini sangat jarang dikaitkan dengan ada tidaknya metastasis kelenjar getah
bening, oleh karena itu, reseksi endoskopik adalah pengobatan yang cukup radikal untuk
karsinoma esofagus. Lesi yang mencapai muskularis mukosa atau sedikit menginfiltrasi
submukosa (hingga 200 μm, T1b-SM1) dapat dilakukan reseksi mukosa, tetapi
memungkin memiliki risiko metastasis kelenjar getah bening. Oleh karena itu, kasus-
kasus ini merupakan indikasi yang relatif. Lesi yang menginvasi lebih dalam (> 200 μm)
ke dalam submukosa (T1b-SM2) berhubungan dengan metastasis, dan bahkan karsinoma
superfisial harus diobati dengan cara yang sama seperti karsinoma lanjut (karsinoma yang
melebihi muskularis propria) (Kuwano et al., 2015).
Pengobatan lesi yang tidak dapat diobati dengan ER yaitu kasus-kasus dengan
kecenderungan perdarahan, pengobatan setelah radioterapi atau kemoradioterapi sehingga
dipertimbangankan memilih pengobatan lain seperti terapi fotodinamik (PDT) dan
koagulasi plasma argon (APC) diperlukan (Kuwano et al., 2015).
Meskipun strategi terapi sangat bervariasi sesuai dengan lokasi tumor, stadium,
dan kondisi umum pasien, pembedahan tetap menjadi andalan dalam pengobatan tumor
esofagus. Secara umum, indikasi absolut untuk perawatan endoskopi adalah adanya
karsinoma dengan kedalaman invasi yang diklasifikasikan sebagai EP atau LPM. Namun,
esofagektomi dan rekonstruksi yang tidak disertai dengan diseksi kelenjar getah bening
dapat diindikasikan sebagai penilaian komprehensif untuk karsinoma awal yang luas
tanpa metastasis kelenjar getah bening. Untuk lesi yang mencapai mukosa muskularis,
frekuensi metastasis kelenjar getah bening adalah sekitar 9,3%. Persentase ini meningkat
seiring dengan meningkatnya kedalaman invasi. Untuk lesi yang menginvasi lebih dalam
ke jaringan submukosa, tingkat metastasis adalah sekitar 50%. Secara umum, dengan
kecurigaan metastasis kelenjar getah bening, diseksi kelenjar getah bening harus tetap
dilakukan bahkan untuk lesi superfisial dalam pengobatan T2 atau karsinoma yang lebih
dalam. Pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan lesi T4, hanya jika
reseksi kuratif dinilai dapat diterapkan. Pada dasarnya, pembedahan tidak dipilih sebagai
pengobatan awal ketika ada metastasis ke kelenjar getah bening yang jauh atau organ lain
(Kuwano et al., 2015).
c. Kemoterapi
d. Radiasi
Selama ini telah dilaporkan pemberian radiasi secara neoadjuvan dan adjuvan
konkuren dengan kemoterapi, maupun radiasi saja, untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Radiasi diberikan berbarengan dengan kemoterapi (kemoradiasi). Secara garis besar,
radiasi yang dapat dilakukan dalam tatalaksana kanker esofagus adalah radiasi eksterna
dan interna (brakiterapi) (Indarti and Sekarutami, 2013).
Radiasi Eksterna
Radiasi Interna/Brakiterapi
Adanya stenosis
e. Paliatif
17048. https://doi.org/10.1038/nrdp.2017.48
Yang, C. S., Chen, X., & Tu, S. (2016). Etiology and Prevention of Esophageal Cancer.
Van Cutsem, E. et al. (2013) ‘Improving outcomes in colorectal cancer: Where do we go from
here?’, European Journal of Cancer, 49, pp. 2476–2485. doi: 10.1016/j.ejca.2013.03.026.
Kuwano, H. et al. (2015) ‘Guidelines for Diagnosis and Treatment of Carcinoma of the
Esophagus April 2012 edited by the Japan Esophageal Society’, Esophagus, 12(1), pp. 1–
30. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4297610/.
Setiati, S. Alwi, Idrus Sudoyo A. W, D. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th edn. Jakarta
Pusat: Internal Publishing.
DiSiena, M. et al. (2021) ‘Esophageal Cancer: An Updated Review’, Southern medical journal,
114(3), pp. 161–168. doi: 10.14423/SMJ.0000000000001226.
Xu, Q. L. et al. (2020) ‘The treatments and postoperative complications of esophageal cancer: A
review’, Journal of Cardiothoracic Surgery, 15(1), pp. 1–10. doi: 10.1186/s13019-020-
01202-2.
Lutz, M. P. et al. (2012) ‘Highlights of the EORTC st. gallen international expert consensus on
the primary therapy of gastric, gastroesophageal and oesophageal cancer - Differential
treatment strategies for subtypes of early gastroesophageal cancer’, European Journal of
Cancer, 48(16), pp. 2941–2953. doi: 10.1016/j.ejca.2012.07.029.
Lv, J. et al. (2019) ‘Alteration of the esophageal microbiota in Barrett’s esophagus and
esophageal adenocarcinoma’, World Journal of Gastroenterology, 25(18), pp. 2149–
2161. doi: 10.3748/wjg.v25.i18.2149.